“Ibu, aku tak mau pergi.”
“Pergilah, sebelum kau ikut mati!”
Suara gemetar wanita penuh cairan merah itu begitu menyedihkan. Iris mata hitam anak laki-laki berusia sembilan tahun itu mulai menyebarkan pandangannya, ia baru menyadari jika ayah, adik perempuannya dan pamannya telah meninggal di tempat kejadian. Air matanya terus saja membasahi kedua pipinya.
Ia menggeleng, masih keras kepala. “Mobil ini akan meledak, Zaheen. Jika kau tak pergi, kita semua akan mati!” Wanita tua itu meneriaki anak pertamanya dengan cukup keras hingga Zaheen tersentak.
Anehnya, kenapa tak ada satupun kendaraan yang lewat pada siang itu. Padahal langit masih terang, mungkin karena mereka melewati jalan yang begitu jarang orang lewati.
“Ibu, tidak akan bisa bertahan lagi.” Suara ibunya kemudian melembut, tangannya juga perlahan mengelus kepala anaknya dengan gemetar. “Kau harus hidup nak, masa depanmu masih panjang meski ibu tidak akan ada di sana tapi ibu ...”
Zaheen kaget dan panik saat mobil itu makin menghimpit tubuh ibunya, bersamaan dengan itu, muncul api yang cukup besar dari belakang bagasi mobil yang sudah terbalik tersebut. Zaheen yang memang saat kejadian terlempar keluar jendela dan akhirnya hanya memiliki luka kecil tak kuasa melihat semua keluarganya kini sedang diujung maut.
“Ibu!” Zaheen mencoba menarik tangan ibunya.
“Pergilah, Zaheen!” Api semakin menyebar dan saat itu, dengan terpaksa Zaheen berlari menjauhi mobil keluarganya, ia bersembunyi di semak-semak agar tidak terkena percikan api yang makin besar dan akhirnya yang ia takutkan sungguh terjadi.
Suara ledakan terdengar menggema di langit hingga mengeluarkan asap hitam. Zaheen menutup telinganya karena tak sanggup mendengar ledakan besar itu, ia sungguh hancur karena ia tahu jika akhirnya ia pun kini sendirian.
Ia yatim piatu dan adik kecilnya yang cantik itu juga tak ada lagi. Ia mulai merasa menyesal dengan keputusannya, harusnya ia ikut mati saja dengan semua keluarganya.
Suara tangisannya makin keras dan ia jatuh makin dalam hingga semua terlihat gelap. Ia pingsan tanpa ada yang menolongnya.
****
“Aku tidak menyangka jika kecelakaannya akan semengerikan ini.” Seseorang dengan kumis tipis dan bersetelan jas hitam mencoba membuka kain berwarna putih yang sudah di evakuasi.
Wajah beberapa orang yang ada di sana menjadi jijik saat melihat seluruh mayat telah hangus. “Aku sampai tak mengenali mereka,” celetuk satu orang pria lagi di belakang.
“Bukankah kau ingin mereka semua mati, ya inilah yang kau dapatkan Tuan Isaac,” ujar seorang pria besar yang berotot. “Bukankah kalau kerjaanku sebagus ini, aku juga akan dapat hasil yang lebih memuaskan?” katanya kembali sembari tertawa.
Isaac juga ikut tertawa. “Karena kau berhasil menyingkirkan mereka semua tanpa ada yang tersisa, maka kau akan dapat sepuluh kali lipat. Ingat hartaku kini tak akan habis, jadi semua kebagian.” Dengan sombongnya, lelaki berkumis bernama Isaac itu menunjuk semua orang-orang bayarannya yang telah berhasil membunuh satu keluarga malang tersebut dengan hadiah imbalan.
“Harta dan posisi sebagai CEO telah jadi milikku, jadi tak usah khawatir.” Semua orang di sana bertepuk tangan, seperti telah melihat pidato luar biasa dari sang pemimpinnya.
“Baik, cukup untuk hari ini. Aku harus mengurus pemakaman Grayson dan keluarganya, aku ingin dilihat oleh orang-orang kalau aku itu sahabat yang sedang kehilangan dan berduka.” Isaac berjalan meninggalkan orang-orang itu dan mulai memasang wajah sedih lagi di depan para polisi yang masih memeriksa tempat kejadian.
Tanpa Isaac sadari. Dari sudut di mana semak-semak begitu rimbun, ada anak yang melihat dan mendengar percakapan itu. Dengan mata penuh amarah, ia terus melihat punggung Isaac dan menatap jijik wajah Isaac saat pria berusia tiga puluh lima tahun itu kembali bersandiwara di hadapan polisi.
Zaheen baru sadar dari pingsannya, ia tak menyangka jika ia kembali harus mendapati kenyataan pahit untuk kedua kalinya. Kecelakaan itu, bukan murni sebuah musibah namun kesengajaan.
Harta dan tahta adalah pemicu utamanya, padahal Zaheen tahu jika Isaac adalah teman atau kerabat ayahnya yang selalu ayahnya banggakan. Ayahnya selalu mengatakan, jika di perusahaan properti bangunan yang sudah ia kelola menjadi begitu besar tersebut adalah milik seluruh karyawan yang telah bekerja lama di sana, ia ingin yang berjuang dengannya mendapatkan masing-masing cabang perusahaan. Tapi, ternyata ayahnya telah di curangi karena kerabat yang sudah bersama – sama membangun usaha itu malah berbuat keji dengan membunuhnya dan posisi sebagai seorang CEO kini akan dipertanyakan.
Siapa lagi yang paling berkuasa selain Isaac untuk sekarang. Bahkan Zaheen tak bisa melakukan apapun, ia tak ada niat untuk kembali. Karena jika ia kembali, ia akan di bunuh oleh manusia gila harta tersebut.
Suara ibunya kembali terdengar. “Kau harus hidup, nak.” Itulah yang menyebabkan Zaheen memutuskan untuk hidup dan pergi dari sana. Biarlah Isaac menikmati harta haramnya, tapi yang harus semua orang tahu jika anak laki-laki yang kini sedang berduka itu tak akan pernah melupakan kejadian ini.
Dari yang memiliki segalanya menjadi hilang seluruhnya. Itulah hidup Zaheen, ia harus menerima takdir mengerikan itu, karena waktu akan terus berjalan hingga ia dewasa nanti.
Ketika ia berhasil membalaskan kekejaman Isaac pada keluarganya, di mana ia akan merebut kembali apa yang ia harusnya miliki, di mana Isaac akan berlutut padanya.
Zaheen melangkahkan kakinya menjauh dari tempat kejadian itu, semakin jauh ia melangkah, semakin dalam dendam yang ada dihatinya.
****
Zaheen memegang perutnya yang kelaparan, sudah dua hari ia tak makan apapun dan hanya berkeliling saja. Ia mencoba menutup luka bakar di lehernya yang makin terasa sakit dengan kain yang ia dapatkan.
Di hari saat kejadian itu, bahkan Zaheen tak merasakan sakit apapun, ia tak menyadari luka besar yang ada di lehernya. Sampai tiba esoknya, bukan cuma hatinya yang sakit namun seluruh tubuhnya seperti patah.
Tak terasa matahari sebentar lagi akan terbenam dan Zaheen harus secepatnya mencari tempat untuk istirahat. Sama seperti hari-hari kemarin, ia mencoba beradaptasi dengan takdirnya.
“Hei, Sepertinya kau sudah lama duduk di sana.”
Zaheen berbalik ke arah suara itu berada. “Ya ampun! Kau terluka, apa preman memukulimu,” ujar anak laki-laki yang panik melihat luka bakar di leher Zaheen.
“Ikutlah denganku sebelum lukamu makin parah.”
“Tidak, aku tak mau. Aku menunggu ibuku.”
“Jangan bodoh, ibumu tak akan datang. Kau sudah dua hari di daerah ini, kan?”
Zaheen menggeleng. “Ayah, Ibu, Adelia. Mereka pasti mencariku.” Anak laki-laki itu terdiam sejenak, sepertinya ia mulai menyadari sesuatu, kalau anak yang ia temui baru saja mengalami hal buruk, terlihat dari air mata yang tiba-tiba saja turun tanpa permisi.
“Satu keluarga pemilik Magani Company, Grayson Magani, Paramitha, Zaheen Magani dan Adelia Magani, akan dimakamkan besok pagi di kampung halamannya ...”
Kedua anak laki-laki itu menatap Televisi yang masih menyiarkan berita panas di sebuah tokoh yang buka. “Jadi besok ya,” gumam Zaheen pelan namun masih bisa di dengar oleh anak laki-laki yang mencoba menolong Zaheen.
“Apa yang telah terjadi padamu. Kau Zaheen Magani, bukan?”
Rupanya langit yang cerah sudah terlihat mendung bagi dirinya. Hanya dalam hitungan detik, Tuhan berhasil mengambil segalanya dari hidup Zaheen; kasih sayang keluarganya, tempat berteduh, kebahagiaan dan perlindungan, tak ada yang tersisa.Ia hanya bisa meringkuk di depan orang-orang yang kini tak ia kenali. Ruangan kecil yang terbuat dari kayu rapuh dan juga banyaknya lalat memenuhi tempat itu, ia menatap anak laki-laki yang tadi membawanya dengan paksa.“Kau jangan khawatir, kau aman di sini,” katanya sembari tersenyum. Sepertinya dia anak baik meski suka memaksa.“Namamu Zaheen, kan? kenalin aku Kian.” Ia tersenyum dan memberikan roti miliknya pada Zaheen. “Sebagai tanda pertemanan kita, makanlah roti ini, kau pasti lapar, kan?”Tentu saja, Zaheen sangat lapar. Meski hanya sepotong roti tapi ia akan bersyukur bisa makan hari ini. Kian tersenyum sumringah saat Zaheen menerima makanannya dan mulai memakannya dengan cepat. “Kau sungguh kelaparan ya?” gumamnya takjub setelah Zaheen men
Suara bising dari tempat itu langsung menyerbu telinga seorang wanita dengan gaun hitam selutut. Seumur hidupnya tidak pernah memasuki tempat seperti itu, jika dilihat lagi, banyak sekali jalang yang sedang mencari tuannya, bau alkohol ada di mana-mana dan banyak sekali orang-orang tak tahu malu yang sedang bermaksiat di sana. Sungguh menjijikkan.“Nora sahabatku, cintaku... akhirnya kau datang juga!” seru wanita berambut pendek dengan pakaian seksi dan hiasan menor itu.Perhatian semua orang tentunya langsung teralihkan oleh wanita yang masih berdiri di depan pintu itu. “Ayo masuk, jangan malu. Ini tempat duduk khusus untukmu,” ujar Angelica penuh semangat sembari menunjukkan kursi untuk wanita bernama lengkap Eleonora itu.Karena Nora yang tidak bergerak sama sekali, akhirnya Angelica menarik tangan wanita itu lalu mendudukkannya di depan beberapa orang yang tidak Nora kenal, hanya satu atau dua orang yang ia tahu namun tidak akrab.Semua adalah teman-teman Angelica.“Perkenalkan ga
Sang pemilik mata hitam itu tepat duduk di samping Nora dengan pistol yang masih berada di kepala Nora bersiap menembaknya jika saja ia melawan. Suara teriakannya membuat ketegangan begitu terasa di dalam mobil tersebut.“Jalankan mobilnya!”Daniel begitu ragu, namun ia menatap Nora dengan mata yang berbinar. “Jalankan mobilnya, Daniel.” Suara lembut itu terdengar pelan, Daniel dengan terpaksa menuruti ucapan nonanya yang menyuruhnya mengikuti permainan si kriminal.“Lebih cepat!” bentak pria itu pada Daniel.Tanpa mengatakan apapun, Daniel makin menginjak gas hingga kecepatan tinggi. Pria itu menoleh ke belakang melihat polisi yang mengejarnya mulai menjauh, Daniel benar-benar sopir handal, ia bisa menghindari kejaran polisi dengan cepat.Nora merasakan jika pistol itu mulai menjauh dari kepalanya. Wanita bermata coklat itu menghela napas panjang dan kembali menatap pria beriris hitam tersebut dan benar saja, pria itu adalah lelaki yang membuatnya tertarik.Jantungnya berdekat lebih
“Pemuda yang merusuh semalam adalah anak laki-laki Grayson Magani, kau sudah gila! Jelas-jelas aku melihat dua anaknya ikut hangus terbakar dalam kecelakaan itu!”“Tenanglah Isaac, ini hanyalah dugaan. Kita belum tahu kebenarannya.”Pria tua itu terduduk di kursi singgahsananya dan mencoba menenangkan dirinya. Ia begitu ingat bagaimana mayat-mayat itu terbakar di dalam mobil yang dikendarai Grayson kala itu, sungguh tak masuk akal baginya jika ada yang hidup. Bahkan ia hadir saat pemakaman keluarga tersebut.Ia memijit pelipisnya menampakkan betapa frustasinya dirinya. “Panggil Nora, dia mungkin tahu sesuatu.”Adik Isaac yang tidak lain adalah ayah Emilia itu segera menuruti perkataan kakaknya. Tak butuh waktu lama, wanita cantik itu sudah berada di depan ayahnya.“Nora, ayah bersyukur kau selamat dari pemuda itu. Kau melihat wajahnya, atau Daniel juga mengetahuinya?”Nora menatap ayahnya dengan serius. Ia sudah janji pada Daniel untuk tidak mengikut campurkan pria itu pada masalah ya
“Nona, apa aku boleh bertanya sesuatu, maaf jika ini menyangkut pribadi anda.” Daniel memecahkan keheningan. Sejak mereka bertemu dengan Zaheen, keduanya menjadi canggung dan terasa aneh.Nora yang awalnya menatap luar jendela kini berbalik melihat Daniel. Ia menghela napas karena ia tahu apa yang akan ditanyakan oleh sopirnya tersebut. “Jangan pernah beritahu ayah soal kedekatanku dengan pria itu,” ujarnya.“Tapi bukankah dia berbahaya, jika saya tadi terlambat beberapa menit, mungkin nona ...” Daniel tidak bisa melanjutkan ucapannya.Nora mengingat kejadian tadi saat ia dicekik, ia pun masih bertanya-tanya mengapa terkadang ia melihat mata itu penuh dengan kebencian.“Jangan salah paham nona, tapi dia tak setara dengan anda. Pasti tuan akan sangat marah jika tahu nona menyukai pria itu.”“Daniel, cukup!”Daniel tersentak, hanya sebentar ia melirik nonanya lalu kembali fokus mengemudi malam itu. “Aku tahu resiko yang kuambil, aku akan berhati-hati dan semua akan baik-baik saja,” jela
Selama di perjalanan menuju studio, Zaheen terus saja memikirkan ucapan sahabatnya. Ia tidak pernah meragukan perasaannya sendiri, sudah sejak awal ia terus mengikuti kehidupan Isaac bersama anak perempuannya tentunya.Sejak remaja pun Zaheen sudah sering melihat Nora dari jauh, ia hanya melihat gadis itu dengan biasa tanpa ketertarikan sedikit pun.“Jaga hatimu, kalau sampai kau jatuh cinta, kau yang akan terpengaruh olehnya, ingat itu.”Setelah bus berhenti, segera Zaheen turun dan kini ia sudah berada di depan gedung mewah. Ia sering melewati tempat tersebut namun tak tahu apa yang dibuat orang di dalam sana, namun yang ia ingat bahwa banyak gadis-gadis yang sering berlalu lalang di sekitar sini.Mungkin ini tempat yang disukai para gadis.Pemilik mata hitam itu menelusuri setiap detail ruangan yang ia masuki, hanya ada ruangan dengan lampu yang remang-remang, sepertinya tempat ini sudah tutup tapi mengapa Nora menuruhnya ke sini.Zaheen melihat dari jauh ada siluet seseorang di se
Hubungan ini tercipta atas kebohongan, selamanya akan menjadi kepalsuan menurut Zaheen. Walaupun gadis itu mengatakan tentang hidupnya dan Zaheen juga mengatakannya, itu tetaplah kebohongan karena Zaheen tak akan pernah mengatakan yang sebenarnya sampai waktu itu tiba.Dan Zaheen tahu, jika waktu itu akan tiba maka mereka pasti akan selesai.“Aku ingin jadi seorang ballerina yang terkenal, bagaimana denganmu?”Nora menatap Zaheen dengan dalam. “Impianku?” tanya pria itu.gadis itu mengangguk. “Ya, kau ingin jadi apa?” tanyanya.Zaheen terdiam. Dia bahkan tak pernah memikirkan bagaimana ia kelak, ia tak memiliki impian sama sekali, dari kecil ia hanya memikirkan cara bagaimana menjatuhkan Isaac, ia hanya termakan oleh dendam.“Aku tidak tahu.”“Kenapa tak tahu,” kaget Nora. Gadis itu memperbaiki duduknya menghadap Zaheen agar mereka lebih leluasa berbicara.“Karena aku memang tak punya impian,” jawab Zaheen jujur.Nora terbelalak, ia kemudian tak sengaja melihat tangan Zaheen, meski la
“Aku Emilia Laura, sepupu Nora.”Seorang wanita berambut pendek kini sedang teliti menatap Zaheen, perempuan bermata cokelat itu tak memalingkan wajahnya sedikitpun dari punggung Zaheen. Dengan postur tubuh tegak ia berjalan dan kini telah berada di samping Zaheen, mencoba melihat wajahnya.Zaheen berpaling agar Emilia tak mencoba melihat wajahnya. “Aku tak ada hubungannya dengan gadis itu, maksudku kami hanya dekat biasa,” ujar Zaheen.“Biasa. Ya, aku paham.” Emilia tersenyum kecut, jika ia ingat lagi bagaimana sombongnya Nora mengatakan jika ia akan membuat pria itu jatuh cinta padanya, namun sepertinya itu belum berhasil.“Kenapa kau bertanya itu padaku?” tanya Zaheen, pria itu masih tak ingin berbalik untuk menatap lawan bicaranya.Emilia kini memperhatikan Zaheen dari atas ke bawah lalu kemudian mengernyit. Ia tak pernah menyangka selera sepupunya itu terlalu rendah, ini sangat jauh dari pria konglomerat atau pria pengusaha yang selalu memakai setelan jas rapi di mana pun ia bera