“Jadi kau tahu, aku telah mengundurkan diri?”Nora menunduk lalu bertanya. “Apa yang mengganggumu?”Zaheen terdiam dengan pertanyaan itu. “Tak ada Nora, hanya… aku tak ingin di ketahui oleh orang-orang jika aku kekasihmu. Aku juga takut, ayahmu tahu tentang kita.”Deg.“Belum lagi, reputasimu sebagai anak dari seorang CEO terkenal, penari balet dan pewaris akan hancur berantakan hanya karena mencintai seorang pekerja proyek. Aku tentunya memikirkan itu semua, Nora.”Gadis itu mendongakkan kepalanya, ia menatap Zaheen dengan mata yang berkaca-kaca.“Maafkan aku karena tak memberitahumu terlebih dahulu.” Tangan Zaheen perlahan menyentuh tangan Nora, ia menyentuhnya dengan lembut seakan mencoba meminta maaf dan semoga Nora bisa mengerti dengan alasannya, semua itu demi kebaikan bersama. Tak perlu ada yang mengetahui mereka punya hubungan karena semua akan rusak.Ya. Hubungan itu tidak akan bertahan selamanya, seiring berjalannya waktu mereka tetap akan berpisah karena memang suatu saat b
Zaheen berdiri di depan gerbang pemakaman dengan hati yang berdebar-debar. Selama bertahun-tahun, ia menghindari tempat ini, tempat yang penuh dengan kenangan pahit dan rasa sakit yang tak terucapkan. Angin sore menghembus lembut, membawa aroma bunga kamboja yang gugur dari pepohonan tua di sekitar makam.Langkahnya terasa berat saat ia mulai berjalan menyusuri jalan setapak berbatu menuju area pemakaman keluarga. Hatinya berkecamuk dengan berbagai perasaan; rasa bersalah, kehilangan, dan kerinduan yang mendalam. Sejak kecelakaan tragis itu terjadi, Zaheen selalu merasa terjebak dalam lingkaran penyesalan, bertanya-tanya apakah ia bisa melakukan sesuatu untuk mengubah nasib keluarganya.Zaheen berhenti di depan dua nisan yang berdiri berdampingan dan satu batu nisan kecil yang menandakan batu nisan adik perempuan tersayangnya, tertutup rumput liar yang sudah mulai tumbuh lebat. Ia berlutut, tangannya gemetar saat meraih rumput-rumput itu dan mencabutnya perlahan. Di hadapannya, terpah
Bus itu berhenti dengan suara rem yang berdecit, membangunkan Zaheen dari lamunannya sejenak. Dengan langkah pelan, ia naik ke dalam bus, memilih kursi paling pinggir di dekat jendela. Zaheen duduk, menempelkan kepala pada kaca yang dingin, dan memandangi kota malam yang berselimut kabut tipis. Lampu-lampu jalan bersinar redup, menciptakan bayangan panjang di trotoar basah.Di luar sana, kehidupan terus berjalan, kendaraan berlalu-lalang, dan orang-orang yang terburu-buru pulang. Namun, di dalam bus yang hampir kosong ini, waktu seolah melambat. Zaheen terdiam, pikirannya melayang-layang antara kenyataan dan ingatan yang menyakitkan. Masa depan tampak begitu jauh, seperti bayangan samar di ujung jalan yang gelap.Ia memikirkan mimpi-mimpinya, harapannya, dan semua ketakutan yang mengiringi setiap langkah. Ada trauma yang masih melekat di dalam hatinya, seperti bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh. Kenangan-kenangan lama itu muncul tanpa diundang, menyesakkan dadanya. Zaheen menarik
Akhirnya, proyek hotel yang telah menjadi pusat perhatian Nora selama hampir setahun terakhir kini berdiri megah di depan matanya. Selesai dibangun dengan segala kerumitan dan dedikasi, hotel ini tampak seperti sebuah mahakarya yang memadukan kemewahan dan kenyamanan. Dengan langkah yang perlahan tapi pasti, Nora berjalan menyusuri koridor, menikmati setiap detail dari interior yang telah dirancang dengan penuh cinta dan ketelitian.Ketika memasuki lobi utama, Nora terpesona oleh luasnya ruangan yang dipenuhi dengan cahaya alami. Langit-langit tinggi dihiasi dengan lampu gantung kristal besar yang berkilau, memancarkan cahaya lembut ke seluruh penjuru ruangan. Lantai marmer yang berwarna krem bersih berkilauan di bawah kaki Nora, menciptakan kesan elegan dan megah. Di tengah lobi, sebuah meja resepsionis yang terbuat dari kayu mahoni mengkilap berdiri kokoh, dengan ukiran-ukiran halus yang menunjukkan sentuhan seni tradisional.Di sepanjang dinding, karya seni kontemporer tergantung d
“Ibu, aku tak mau pergi.”“Pergilah, sebelum kau ikut mati!”Suara gemetar wanita penuh cairan merah itu begitu menyedihkan. Iris mata hitam anak laki-laki berusia sembilan tahun itu mulai menyebarkan pandangannya, ia baru menyadari jika ayah, adik perempuannya dan pamannya telah meninggal di tempat kejadian. Air matanya terus saja membasahi kedua pipinya.Ia menggeleng, masih keras kepala. “Mobil ini akan meledak, Zaheen. Jika kau tak pergi, kita semua akan mati!” Wanita tua itu meneriaki anak pertamanya dengan cukup keras hingga Zaheen tersentak.Anehnya, kenapa tak ada satupun kendaraan yang lewat pada siang itu. Padahal langit masih terang, mungkin karena mereka melewati jalan yang begitu jarang orang lewati.“Ibu, tidak akan bisa bertahan lagi.” Suara ibunya kemudian melembut, tangannya juga perlahan mengelus kepala anaknya dengan gemetar. “Kau harus hidup nak, masa depanmu masih panjang meski ibu tidak akan ada di sana tapi ibu ...”Zaheen kaget dan panik saat mobil itu makin me
Rupanya langit yang cerah sudah terlihat mendung bagi dirinya. Hanya dalam hitungan detik, Tuhan berhasil mengambil segalanya dari hidup Zaheen; kasih sayang keluarganya, tempat berteduh, kebahagiaan dan perlindungan, tak ada yang tersisa.Ia hanya bisa meringkuk di depan orang-orang yang kini tak ia kenali. Ruangan kecil yang terbuat dari kayu rapuh dan juga banyaknya lalat memenuhi tempat itu, ia menatap anak laki-laki yang tadi membawanya dengan paksa.“Kau jangan khawatir, kau aman di sini,” katanya sembari tersenyum. Sepertinya dia anak baik meski suka memaksa.“Namamu Zaheen, kan? kenalin aku Kian.” Ia tersenyum dan memberikan roti miliknya pada Zaheen. “Sebagai tanda pertemanan kita, makanlah roti ini, kau pasti lapar, kan?”Tentu saja, Zaheen sangat lapar. Meski hanya sepotong roti tapi ia akan bersyukur bisa makan hari ini. Kian tersenyum sumringah saat Zaheen menerima makanannya dan mulai memakannya dengan cepat. “Kau sungguh kelaparan ya?” gumamnya takjub setelah Zaheen men
Suara bising dari tempat itu langsung menyerbu telinga seorang wanita dengan gaun hitam selutut. Seumur hidupnya tidak pernah memasuki tempat seperti itu, jika dilihat lagi, banyak sekali jalang yang sedang mencari tuannya, bau alkohol ada di mana-mana dan banyak sekali orang-orang tak tahu malu yang sedang bermaksiat di sana. Sungguh menjijikkan.“Nora sahabatku, cintaku... akhirnya kau datang juga!” seru wanita berambut pendek dengan pakaian seksi dan hiasan menor itu.Perhatian semua orang tentunya langsung teralihkan oleh wanita yang masih berdiri di depan pintu itu. “Ayo masuk, jangan malu. Ini tempat duduk khusus untukmu,” ujar Angelica penuh semangat sembari menunjukkan kursi untuk wanita bernama lengkap Eleonora itu.Karena Nora yang tidak bergerak sama sekali, akhirnya Angelica menarik tangan wanita itu lalu mendudukkannya di depan beberapa orang yang tidak Nora kenal, hanya satu atau dua orang yang ia tahu namun tidak akrab.Semua adalah teman-teman Angelica.“Perkenalkan ga
Sang pemilik mata hitam itu tepat duduk di samping Nora dengan pistol yang masih berada di kepala Nora bersiap menembaknya jika saja ia melawan. Suara teriakannya membuat ketegangan begitu terasa di dalam mobil tersebut.“Jalankan mobilnya!”Daniel begitu ragu, namun ia menatap Nora dengan mata yang berbinar. “Jalankan mobilnya, Daniel.” Suara lembut itu terdengar pelan, Daniel dengan terpaksa menuruti ucapan nonanya yang menyuruhnya mengikuti permainan si kriminal.“Lebih cepat!” bentak pria itu pada Daniel.Tanpa mengatakan apapun, Daniel makin menginjak gas hingga kecepatan tinggi. Pria itu menoleh ke belakang melihat polisi yang mengejarnya mulai menjauh, Daniel benar-benar sopir handal, ia bisa menghindari kejaran polisi dengan cepat.Nora merasakan jika pistol itu mulai menjauh dari kepalanya. Wanita bermata coklat itu menghela napas panjang dan kembali menatap pria beriris hitam tersebut dan benar saja, pria itu adalah lelaki yang membuatnya tertarik.Jantungnya berdekat lebih