Muka Agnes memerah sementara matanya tertuju pada layar ponsel di tangannya.Orang-orang di meja itu sendiri kembali terkekeh meledeknya. Para pria di sana bahkan mengedipkan mata dengan nakal saat Agnes menatap mereka lagi.Ditaruhnya ponsel itu di meja begitu saja, dan dia beranjak meninggalkan meja itu.Tapi, dia tidak kembali ke mejanya. Dia menuju ke toilet yang berada di salah satu sudut kantin.Di toilet, di salah satu bilik di sana, Agnes muntah berkali-kali. Rasa mual sudah dirasakannya tak lama setelah dia menonton video tadi itu.“Apa maksudnya itu? Bagaimana bisa…”Agnes tak menuntaskan kata-katanya, sebab dia kembali muntah.Sia-sia saja dia tadi makan siang. Bahkan yang dimuntahkannya barusan agaknya lebih banyak daripada yang dia makan tadi.Setelah menekan tombol flush, Agnes keluar dari bilik tersebut dan menghampiri wastafel.Dia bersihkan mulutnya dengan air dari keran. Lalu dia tatap bayangannya di cermin.Sekejap kemudian, sosok dirinya di cermin itu bergerak send
Pria yang dipanggil Bos Rudi itu ambruk dan tak sadarkan diri.Morgan berdiri memandanginya dengan sorot mata menyala. Dia lalu menaiki anak-anak tangga ke lantai dua.Di lantai dua, karyawan-karyawannya Rudi itu kembali terhenti kerjanya. Mereka menatap ke arah tangga dengan raut muka cemas.“Apa yang terjadi di bawah?”“Yang barusan itu… teriakan Bos Rudi?”“Yang benar saja. Bos Rudi orangnya kuat. Dia jago tinju. Mana mungkin dia sampai dibikin berteriak seperti itu!”“Kalau bukan Bos Rudi lalu siapa?”“Ssst… kalian dengar itu? Ada yang sedang naik!”Mereka terus menatap ke arah tangga dengan was-was.Ketika sosok yang muncul kemudian adalah seorang pria yang tak mereka kenal, mereka terhenyak.Sosok itu, yang tak lain adalah Morgan, memberi mereka tatapan seorang pembunuh berdarah dingin.“Tetap di tempat kalian!” bentak Morgan.“Berani bergerak, akan kupatahkan kaki kalian!” sambungnya.Keberadaannya begitu kuat terasa. Orang-orang itu, yang bahkan tak melihat kebrutalan Morgan d
Joseph terkesiap. Dia mengenali suara itu.Meskipun sedikit berbeda karena dia mendengarnya via telepon, tak salah lagi, yang bicara padanya itu adalah Morgan.Kenapa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomornya Rudi?Tuuut... tuuut... tuuut...Sebelum Joseph sempat merespons peringatan dan ancaman Morgan, Morgan sudah mengakhiri panggilan.Untuk sesaat, Joseph seperti tiba-tiba berada di ruang gelap. Tangan dan tubuhnya gemetar."Joseph, ada apa denganmu? Siapa yang menelepon barusan?" tanya Robert, kesal dengan tingkah adiknya itu."Ah, itu... si Morgan..." Joseph tergeragap."Si sampah itu? Kenapa dia meneleponmu? Apa yang dia bilang?" tanya Robert lagi.Joseph baru saja akan menjawab, tapi batal melakukannya."Em, bukan apa-apa. Tak penting," ucapnya."Tak penting?""Ya. Lupakan saja."Joseph tak ingin Robert dan Henry bertanya lebih jauh. Dia punya firasat buruk bahwa sesuatu telah terjadi pada Rudi, dan jika sampai Henry atau Robert tahu itu, bisa-bisa dia yang repot."Ingat,
"Siapa kau?" tanya Morgan."Kau tak mengenaliku, Bos Besar?" tanggap Berry.Morgan memandangi Berry dengan mata memicing. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana dia pernah bertemu dengan pria itu.Tapi, baru juga raut mukanya berubah dan dia akan mengatakan sesuatu, Joseph angkat suara lebih dulu."Apa yang kau lakukan, Berry? Kenapa kau malah membungkuk hormat padanya?"Berry yang telah kembali menegakkan punggungnya menoleh menatap Joseph."Joseph, orang ini adalah pimpinan tertinggi Serigala Hitam, sang serigala terkuat yang pernah ada. Tentu saja aku membungkuk hormat padanya," kata Berry."Hah? Pimpinan tertinggi Serigala Hitam katamu? Kau pasti bercanda!" tanggap Joseph, terkekeh. "Dia ini menantu sampah di Keluarga Wistara. Kau pasti salah orang, Berry. Tak mungkin sampah seperti dia menjadi pemimpin tertinggi Serigala Hitam. Tak mungkin!""Tapi itu benar.""Tak mungkin. Aku tak percaya. Kau pasti salah orang!"Joseph bersikeras pada penilaiannya. Meski Morgan me
Seorang pria berbadan besar berjalan ke area parkir. Dia mengambil pentungan dari pinggangnya dan bersiap menggunakannya.“Area parkir ini masih kawasan bar. Kalau kalian mau berkelahi, berkelahilah di tempat lain. Jangan di sini!” kata pria berbadan besar.Morgan telah beberapa kali ke bar ini, tapi dia tak pernah melihat pria ini. Agaknya dia orang baru.“Dari tadi aku diamkan saja karena kupikir kalian akan segera pergi. Tapi lama-lama, dari yang kulihat, kalian berdua masih berniat menghajar orang ini di sini. Tak akan kubiarkan!” sambung pria berbadan besar itu, yang tak lain adalah petugas keamanan bar yang sedang berjaga.Melihat peluang untuk keluar dari situasi sulitnya, Joseph mengerahkan seluruh tenaganya untuk menjauh dari Morgan dan bersembunyi di balik si petugas keamanan.“Tolong aku. Mereka berdua gila. Mereka berniat membunuhku di situ,” hasut Joseph.Si petugas keamanan tampak murka. Dia mengayun-ngayunkan pentungannya. Mungkin dia berharap dengan melakukan itu Morga
Joseph tiba-tiba tak bisa bergerak. Seluruh tubuhnya kaku. Matanya membulat.Bahkan sebelum Morgan melakukan apa pun padanya, dia sudah kencing di celana.“Ck ck ck… kau ini…” ucap Moran, mencium bau pesing dari celana Joseph.Dia lalu melepaskan cengkeraman tangannya dari bahu Joseph, dan Joseph bukannya pergi atau lari, malah membungkuk sambil menaruh kedua tangannya di paha.Dia terengah-engah seolah-olah baru saja menyelesaikan lomba lari estafet atau maraton.“Joseph, apa motifmu sebenarnya? Kenapa kau melakukan hal sekeji itu pada adik kandungmu sendiri?” tanya Morgan.Joseph tak langsung menjawab, masih terengah-engah dengan wajah penuh bulir-bulir keringat.“Aku…. benci melihat… dia baik-baik saja… sedangkan aku terancam… hancur…”Joseph mengatakannya dengan terbata-bata. Morgan mengerutkan kening. Haruskah dia memafhumi alasan seperti itu?“Jadi maksudmu, kalau kariermu hancur, karier Agnes juga harus hancur? Begitu?” Morgan memastikan.Joseph mengangguk. Dia masih saja teren
Wanita yang menghampiri Morgan itu adalah Hannah. Ini kali kedua mereka bertemu dan, entah Morgan salah lihat atau apa, Hannah tampak berbeda.Make up-nya terlihat lebih dewasa, dan pakaian yang dikenakannya lumayan terbuka. Morgan bisa melihat belahan dada dan bagian atas payudara Hannah.“Bagaimana? Kau bawa mobil, kan? Biar aku yang menyetir. Takutnya kau sudah agak mabuk,” kata Hannah.Morgan menenggak lagi minuman yang baru saja dituangkannya. Memang, dia sudah mulai mabuk. Mengemudi dalam keadaan seperti itu bukan hal bijak.“Kau sedang apa di sini? Kau tak takut mantan pacarmu itu mampir ke sini dan mengganggumu lagi?” tanya Morgan.Hannah tersenyum pahit. Dia duduk di kursi yang tadi diduduki Agnes.“Wanita yang tadi itu siapa? Pacarmu?” celetuk Hannah.“Sepertinya kalian sedang ada masalah. Kalau kau mau cerita, aku akan menjadi pendengar yang baik,” sambungnya.Hannah membuka botol minuman Morgan yang tadi diambilnya itu. Tampak Morgan sedang ingin minum di situ, jadi dia pu
Dorongan tangan Morgan membuat ciuman Hannah terlepas dan dia pun mendesah.Menyadari apa yang baru saja disentuh dan ditekannya, Morgan langsung menarik tangannya.Di hadapan Morgan, buah dada Hannah terlihat lebih besar daripada tadi saat dia melihatnya di bar.“Apa yang kau lakukan? Di mana ini?” tanya Morgan. Jelas sekali dia tak senang.Hannah menatap Morgan dengan napas memburu. Apa yang baru saja dilakukannya membuat hasrat liarnya menggelora.Dia pun menyosor Morgan, hendak menciumnya lagi, tapi Morgan merespons dengan cepat.Ditahannya tubuh Hannah sebelum bibir mereka sempat bersentuhan. Kali ini, tangan Morgan menyentuh tulang selangka Hannah, bukan buah dadanya.“Hentikan, Hannah! Aku tak menginginkan ini!” kata Morgan.Penolakan Morgan itu begitu tegas. Hannah sampai terpukul mendengarnya.Langsung saja, wanita itu pun kembali ke joknya. Sekilas dia menatap Morgan dengan sorot mata memancarkan kesedihan. Tapi, Morgan tak peduli.“Kau jangan melewati batas, Hannah. Aku mem
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat