Pria yang dipanggil Bos Rudi itu ambruk dan tak sadarkan diri.Morgan berdiri memandanginya dengan sorot mata menyala. Dia lalu menaiki anak-anak tangga ke lantai dua.Di lantai dua, karyawan-karyawannya Rudi itu kembali terhenti kerjanya. Mereka menatap ke arah tangga dengan raut muka cemas.“Apa yang terjadi di bawah?”“Yang barusan itu… teriakan Bos Rudi?”“Yang benar saja. Bos Rudi orangnya kuat. Dia jago tinju. Mana mungkin dia sampai dibikin berteriak seperti itu!”“Kalau bukan Bos Rudi lalu siapa?”“Ssst… kalian dengar itu? Ada yang sedang naik!”Mereka terus menatap ke arah tangga dengan was-was.Ketika sosok yang muncul kemudian adalah seorang pria yang tak mereka kenal, mereka terhenyak.Sosok itu, yang tak lain adalah Morgan, memberi mereka tatapan seorang pembunuh berdarah dingin.“Tetap di tempat kalian!” bentak Morgan.“Berani bergerak, akan kupatahkan kaki kalian!” sambungnya.Keberadaannya begitu kuat terasa. Orang-orang itu, yang bahkan tak melihat kebrutalan Morgan d
Joseph terkesiap. Dia mengenali suara itu.Meskipun sedikit berbeda karena dia mendengarnya via telepon, tak salah lagi, yang bicara padanya itu adalah Morgan.Kenapa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomornya Rudi?Tuuut... tuuut... tuuut...Sebelum Joseph sempat merespons peringatan dan ancaman Morgan, Morgan sudah mengakhiri panggilan.Untuk sesaat, Joseph seperti tiba-tiba berada di ruang gelap. Tangan dan tubuhnya gemetar."Joseph, ada apa denganmu? Siapa yang menelepon barusan?" tanya Robert, kesal dengan tingkah adiknya itu."Ah, itu... si Morgan..." Joseph tergeragap."Si sampah itu? Kenapa dia meneleponmu? Apa yang dia bilang?" tanya Robert lagi.Joseph baru saja akan menjawab, tapi batal melakukannya."Em, bukan apa-apa. Tak penting," ucapnya."Tak penting?""Ya. Lupakan saja."Joseph tak ingin Robert dan Henry bertanya lebih jauh. Dia punya firasat buruk bahwa sesuatu telah terjadi pada Rudi, dan jika sampai Henry atau Robert tahu itu, bisa-bisa dia yang repot."Ingat,
"Siapa kau?" tanya Morgan."Kau tak mengenaliku, Bos Besar?" tanggap Berry.Morgan memandangi Berry dengan mata memicing. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana dia pernah bertemu dengan pria itu.Tapi, baru juga raut mukanya berubah dan dia akan mengatakan sesuatu, Joseph angkat suara lebih dulu."Apa yang kau lakukan, Berry? Kenapa kau malah membungkuk hormat padanya?"Berry yang telah kembali menegakkan punggungnya menoleh menatap Joseph."Joseph, orang ini adalah pimpinan tertinggi Serigala Hitam, sang serigala terkuat yang pernah ada. Tentu saja aku membungkuk hormat padanya," kata Berry."Hah? Pimpinan tertinggi Serigala Hitam katamu? Kau pasti bercanda!" tanggap Joseph, terkekeh. "Dia ini menantu sampah di Keluarga Wistara. Kau pasti salah orang, Berry. Tak mungkin sampah seperti dia menjadi pemimpin tertinggi Serigala Hitam. Tak mungkin!""Tapi itu benar.""Tak mungkin. Aku tak percaya. Kau pasti salah orang!"Joseph bersikeras pada penilaiannya. Meski Morgan me
Seorang pria berbadan besar berjalan ke area parkir. Dia mengambil pentungan dari pinggangnya dan bersiap menggunakannya.“Area parkir ini masih kawasan bar. Kalau kalian mau berkelahi, berkelahilah di tempat lain. Jangan di sini!” kata pria berbadan besar.Morgan telah beberapa kali ke bar ini, tapi dia tak pernah melihat pria ini. Agaknya dia orang baru.“Dari tadi aku diamkan saja karena kupikir kalian akan segera pergi. Tapi lama-lama, dari yang kulihat, kalian berdua masih berniat menghajar orang ini di sini. Tak akan kubiarkan!” sambung pria berbadan besar itu, yang tak lain adalah petugas keamanan bar yang sedang berjaga.Melihat peluang untuk keluar dari situasi sulitnya, Joseph mengerahkan seluruh tenaganya untuk menjauh dari Morgan dan bersembunyi di balik si petugas keamanan.“Tolong aku. Mereka berdua gila. Mereka berniat membunuhku di situ,” hasut Joseph.Si petugas keamanan tampak murka. Dia mengayun-ngayunkan pentungannya. Mungkin dia berharap dengan melakukan itu Morga
Joseph tiba-tiba tak bisa bergerak. Seluruh tubuhnya kaku. Matanya membulat.Bahkan sebelum Morgan melakukan apa pun padanya, dia sudah kencing di celana.“Ck ck ck… kau ini…” ucap Moran, mencium bau pesing dari celana Joseph.Dia lalu melepaskan cengkeraman tangannya dari bahu Joseph, dan Joseph bukannya pergi atau lari, malah membungkuk sambil menaruh kedua tangannya di paha.Dia terengah-engah seolah-olah baru saja menyelesaikan lomba lari estafet atau maraton.“Joseph, apa motifmu sebenarnya? Kenapa kau melakukan hal sekeji itu pada adik kandungmu sendiri?” tanya Morgan.Joseph tak langsung menjawab, masih terengah-engah dengan wajah penuh bulir-bulir keringat.“Aku…. benci melihat… dia baik-baik saja… sedangkan aku terancam… hancur…”Joseph mengatakannya dengan terbata-bata. Morgan mengerutkan kening. Haruskah dia memafhumi alasan seperti itu?“Jadi maksudmu, kalau kariermu hancur, karier Agnes juga harus hancur? Begitu?” Morgan memastikan.Joseph mengangguk. Dia masih saja teren
Wanita yang menghampiri Morgan itu adalah Hannah. Ini kali kedua mereka bertemu dan, entah Morgan salah lihat atau apa, Hannah tampak berbeda.Make up-nya terlihat lebih dewasa, dan pakaian yang dikenakannya lumayan terbuka. Morgan bisa melihat belahan dada dan bagian atas payudara Hannah.“Bagaimana? Kau bawa mobil, kan? Biar aku yang menyetir. Takutnya kau sudah agak mabuk,” kata Hannah.Morgan menenggak lagi minuman yang baru saja dituangkannya. Memang, dia sudah mulai mabuk. Mengemudi dalam keadaan seperti itu bukan hal bijak.“Kau sedang apa di sini? Kau tak takut mantan pacarmu itu mampir ke sini dan mengganggumu lagi?” tanya Morgan.Hannah tersenyum pahit. Dia duduk di kursi yang tadi diduduki Agnes.“Wanita yang tadi itu siapa? Pacarmu?” celetuk Hannah.“Sepertinya kalian sedang ada masalah. Kalau kau mau cerita, aku akan menjadi pendengar yang baik,” sambungnya.Hannah membuka botol minuman Morgan yang tadi diambilnya itu. Tampak Morgan sedang ingin minum di situ, jadi dia pu
Dorongan tangan Morgan membuat ciuman Hannah terlepas dan dia pun mendesah.Menyadari apa yang baru saja disentuh dan ditekannya, Morgan langsung menarik tangannya.Di hadapan Morgan, buah dada Hannah terlihat lebih besar daripada tadi saat dia melihatnya di bar.“Apa yang kau lakukan? Di mana ini?” tanya Morgan. Jelas sekali dia tak senang.Hannah menatap Morgan dengan napas memburu. Apa yang baru saja dilakukannya membuat hasrat liarnya menggelora.Dia pun menyosor Morgan, hendak menciumnya lagi, tapi Morgan merespons dengan cepat.Ditahannya tubuh Hannah sebelum bibir mereka sempat bersentuhan. Kali ini, tangan Morgan menyentuh tulang selangka Hannah, bukan buah dadanya.“Hentikan, Hannah! Aku tak menginginkan ini!” kata Morgan.Penolakan Morgan itu begitu tegas. Hannah sampai terpukul mendengarnya.Langsung saja, wanita itu pun kembali ke joknya. Sekilas dia menatap Morgan dengan sorot mata memancarkan kesedihan. Tapi, Morgan tak peduli.“Kau jangan melewati batas, Hannah. Aku mem
“Siapa orang tak tahu waktu yang bertamu di saat kita sedang makan malam? Kenapa juga dia harus menekan bel berkali-kali?! Dasar gila!” rutuk Henry.“Jangan-jangan… itu dia, Pa,” kata Joseph.“Dia siapa?”“Morgan, Pa.”Henry mendengus. Kemarahan terlihat jelas di wajahnya.“Pelayan, coba lihat siapa yang datang! Kalau benar itu si keparat Morgan, jangan biarkan dia masuk!” perintah Henry.“Baik, Tuan,” tanggap si pelayan yang baru saja muncul. Segera saja dia bergegas ke ruang depan.Membayangkan orang yang baru saja menekan bel berkali-kali itu adalah Morgan, Joseph langsung kehilangan selera makan.Kedua kakinya gemetar. Begitu juga tangannya.“Joseph, kau kenapa lagi?” tanya Melisa, menatap Joseph cemas.“Tak apa-apa, Ma,” jawab Joseph, menggelengkan kepala.Tentu saja jawabannya itu tak meyakinkan. Bagaimanapun kulit mukanya benar-benar pucat seperti orang mati.Terdengar langkah-langkah kaki. Henry mengira yang datang itu si pelayan tadi, tapi ternyata bukan.“Selamat malam, oran