Wanita yang menghampiri Morgan itu adalah Hannah. Ini kali kedua mereka bertemu dan, entah Morgan salah lihat atau apa, Hannah tampak berbeda.Make up-nya terlihat lebih dewasa, dan pakaian yang dikenakannya lumayan terbuka. Morgan bisa melihat belahan dada dan bagian atas payudara Hannah.“Bagaimana? Kau bawa mobil, kan? Biar aku yang menyetir. Takutnya kau sudah agak mabuk,” kata Hannah.Morgan menenggak lagi minuman yang baru saja dituangkannya. Memang, dia sudah mulai mabuk. Mengemudi dalam keadaan seperti itu bukan hal bijak.“Kau sedang apa di sini? Kau tak takut mantan pacarmu itu mampir ke sini dan mengganggumu lagi?” tanya Morgan.Hannah tersenyum pahit. Dia duduk di kursi yang tadi diduduki Agnes.“Wanita yang tadi itu siapa? Pacarmu?” celetuk Hannah.“Sepertinya kalian sedang ada masalah. Kalau kau mau cerita, aku akan menjadi pendengar yang baik,” sambungnya.Hannah membuka botol minuman Morgan yang tadi diambilnya itu. Tampak Morgan sedang ingin minum di situ, jadi dia pu
Dorongan tangan Morgan membuat ciuman Hannah terlepas dan dia pun mendesah.Menyadari apa yang baru saja disentuh dan ditekannya, Morgan langsung menarik tangannya.Di hadapan Morgan, buah dada Hannah terlihat lebih besar daripada tadi saat dia melihatnya di bar.“Apa yang kau lakukan? Di mana ini?” tanya Morgan. Jelas sekali dia tak senang.Hannah menatap Morgan dengan napas memburu. Apa yang baru saja dilakukannya membuat hasrat liarnya menggelora.Dia pun menyosor Morgan, hendak menciumnya lagi, tapi Morgan merespons dengan cepat.Ditahannya tubuh Hannah sebelum bibir mereka sempat bersentuhan. Kali ini, tangan Morgan menyentuh tulang selangka Hannah, bukan buah dadanya.“Hentikan, Hannah! Aku tak menginginkan ini!” kata Morgan.Penolakan Morgan itu begitu tegas. Hannah sampai terpukul mendengarnya.Langsung saja, wanita itu pun kembali ke joknya. Sekilas dia menatap Morgan dengan sorot mata memancarkan kesedihan. Tapi, Morgan tak peduli.“Kau jangan melewati batas, Hannah. Aku mem
“Siapa orang tak tahu waktu yang bertamu di saat kita sedang makan malam? Kenapa juga dia harus menekan bel berkali-kali?! Dasar gila!” rutuk Henry.“Jangan-jangan… itu dia, Pa,” kata Joseph.“Dia siapa?”“Morgan, Pa.”Henry mendengus. Kemarahan terlihat jelas di wajahnya.“Pelayan, coba lihat siapa yang datang! Kalau benar itu si keparat Morgan, jangan biarkan dia masuk!” perintah Henry.“Baik, Tuan,” tanggap si pelayan yang baru saja muncul. Segera saja dia bergegas ke ruang depan.Membayangkan orang yang baru saja menekan bel berkali-kali itu adalah Morgan, Joseph langsung kehilangan selera makan.Kedua kakinya gemetar. Begitu juga tangannya.“Joseph, kau kenapa lagi?” tanya Melisa, menatap Joseph cemas.“Tak apa-apa, Ma,” jawab Joseph, menggelengkan kepala.Tentu saja jawabannya itu tak meyakinkan. Bagaimanapun kulit mukanya benar-benar pucat seperti orang mati.Terdengar langkah-langkah kaki. Henry mengira yang datang itu si pelayan tadi, tapi ternyata bukan.“Selamat malam, oran
“Melisa, apa yang mau kau lakukan? Dia anakmu sendiri!” bentak Henry.“Diam kau, Henry!” Melisa membentak balik, sambil mengacungkan pisau itu ke suaminya tersebut.Henry terkejut, begitu juga yang lain. Ini pertama kalinya mereka melihat Melisa membantah Henry. Dan bantahan tersebut dilontarkannya dengan keras.“Aku tahu yang kalian bertiga lakukan di belakangku! Kalian pokir aku ini bodoh sampai-sampai aku tak tahu kalau kalian meracuniku tempo hari itu?!” sambung Melisa.Mata Henry membulat. Yang satu ini benar-benar di luar dugaannya. Melisa tak pernah membahas hal itu sejak dia sembuh, jadi Henry berpikir istrinya ini tak tahu apa-apa.Robert pun sama terkejutnya dengan ayahnya itu. Dan kini, ketika Melisa kembali menatapnya dengan penuh amarah, Robert mengangkat kedua tangannya ke depan.“Ma, tolong tenangkan diri Mama. Ini… ini tak seperti yang Mama pikirkan,” kata Robert.Mata Robert sekilas tertuju pada pisau di tangan Melisa. Melisa tampak memegangi gagang pisau dengan kuat,
“Rasakan ini, Jalang!”Si pria yang menampar Agnes itu hendak menendang Agnes yang masih bersimpuh, tapi seseorang menahan kakinya.Dia adalah Allina. Dia bergerak cukup cepat sehingga sempat menangkap kaki pria itu sebelum mengenai pinggang Agnes.“Siapa lagi kau?! Lepaskan kakiku!” bentak pria itu.Allina menatapnya dengan mata membulat, lalu dikibaskannya tangannya.Pria itu pun oleng dan hampir terjatuh. Allina lalu berdiri membelakangi Agnes, menjaga teman baiknya itu dari kemungkinan serangan lain dari si pria.“Kau ini manusia atau binatang? Bisa-bisanya kau menampar dan menendang wanita!” semprot Allina.“Anjing! Apa semua wanita sekarang sejalang ini?! Kuberitahu kau, kau berurusan dengan orang yang salah!” balas pria itu.Dia lalu menaruh dua jarinya di mulutnya dan bersuit. Tak lama kemudian, terdengar bunyi derap kaki di luar.Pintu kafe didorong ke dalam dan beberapa orang berpakaian hitam-hitam masuk.“Tuan memanggil kami?” tanya salah satu dari mereka, seorang pria deng
“Tuan Muda, mau ke mana kita sekarang?”Salah satu anak buahnya Brian yang menyetir mobil bertanya.“Ke villaku saja. Ada villa mewah yang dimiliki ayahku di kota ini. Sebentar aku cari tahu dulu lokasinya,” jawab Brian.“Baik, Tuan Muda.”Brian mencari-cari info tentang villa miliki ayahnya itu di ponselnya. Seingatnya, villa mewah yang dimaksudnya itu ada di kawasan elite di timur kota.Sementara itu di jok belakang, persis di belakang Bria, Agnes duduk. Di jok di sampingnya, duduk anak buah Brian yang lain.Muka Agnes tampak tegang. Dia tak percaya dia harus melalui hal seperti ini lagi.Tapi, berbeda dari sebelum-sebelumnya, kali ini dia tak begitu ketakutan atau apa.Entah apa yang terjadi padanya, tapi dia merasa dia bisa melawan, dan memang sebaiknya dia melawan.“Kau ini siapa? Kenapa kau menampar dan memaki kakak iparku tadi?” Agnes bertanya.“Heh, jaga bicaramu! Kau harus sopan kalau bicara pada Tuan Muda kami!” bentak anak buah Brian di sampingnya.“Biarkan dia,” sergah Bri
"Siapa kau?!"Si pria yang satu lagi langsung berdiri, menatap Morgan dengan tegang. Sesaat kemudian, tiba-tiba, Morgan sudah berada persis di hadapannya. Lehernya tercekat. Morgan mencekiknya dan mengangkat tubuhnya hingga kedua kakinya tak menapak lagi di lantai. "Siapa kalian? Apa yang mau kalian lakukan pada istriku?" Suara Morgan seperti geraman seekor harimau. Pria itu mukanya langsung pucat. Dia mencoba melepaskan cekikikan Morgan dengan kedua tangannya tapi tak bisa. "Morgan, jangan..."Agnes khawatir Morgan akan membunuh pria itu. Meski pria itu pantas mati, dia tak mau melihat Morgan membunuh seseorang. Tidak lagi. Akhirnya, Morgan melepaskan cengkeramannya di leher pria itu. Pria itu pun jatuh dan pantatnya membentur lantai. Sepertinya tulang ekornya kena. Kini dia mengaduh kesakitan sambil meringkuk menyamping. Morgan menghampiri istrinya. "Kau tak apa-apa, Sayangku?" tanyanya sambil memeriksa kondisi Agnes. "Morgan, Livia ada di atas! Cepat tolong dia!" kata A
Seperti de javu, Morgan mengantar Livia dan Agnes pulang dengan mobilnya.Agnes duduk di jok di sampingnya seperti saat itu, dan Livia persis di belakangnya.Tak ada percakapan selama mobil melaju di jalanan yang lengang.Pukul sembilan malam. Banyak orang sudah mulai beristirahat di jam-jam seperti ini.Di villa mewah tadi sebelum berangkat, Livia sempat menangis beberapa lama.Dia terisak-isak seperti anak kecil. Dia mengaku tak tahan dengan situasinya saat ini, di mana dia selalu cemas tak akan bisa lagi hidup mapan seperti biasanya.Selain itu, dia baru saja diperkosa oleh Brian. Itu kali pertamanya dia diperlakukan seburuk itu di ranjang oleh seorang pria.Morgan melirik ke kaca spion dalam untuk mengecek Livia. Istrinya Joseph itu tampak sedang mengistirahatkan punggung dan lehernya ke jok, sambil menatap ke jendela.Dia tampak sedih. Meski tak lagi menangis, dia benar-benar tampak sedih.Morgan merasa kasihan pada kakak iparnya itu. Livia, betapapun menyebalkannya dia, bagaiman