“Tuan Muda, mau ke mana kita sekarang?”Salah satu anak buahnya Brian yang menyetir mobil bertanya.“Ke villaku saja. Ada villa mewah yang dimiliki ayahku di kota ini. Sebentar aku cari tahu dulu lokasinya,” jawab Brian.“Baik, Tuan Muda.”Brian mencari-cari info tentang villa miliki ayahnya itu di ponselnya. Seingatnya, villa mewah yang dimaksudnya itu ada di kawasan elite di timur kota.Sementara itu di jok belakang, persis di belakang Bria, Agnes duduk. Di jok di sampingnya, duduk anak buah Brian yang lain.Muka Agnes tampak tegang. Dia tak percaya dia harus melalui hal seperti ini lagi.Tapi, berbeda dari sebelum-sebelumnya, kali ini dia tak begitu ketakutan atau apa.Entah apa yang terjadi padanya, tapi dia merasa dia bisa melawan, dan memang sebaiknya dia melawan.“Kau ini siapa? Kenapa kau menampar dan memaki kakak iparku tadi?” Agnes bertanya.“Heh, jaga bicaramu! Kau harus sopan kalau bicara pada Tuan Muda kami!” bentak anak buah Brian di sampingnya.“Biarkan dia,” sergah Bri
"Siapa kau?!"Si pria yang satu lagi langsung berdiri, menatap Morgan dengan tegang. Sesaat kemudian, tiba-tiba, Morgan sudah berada persis di hadapannya. Lehernya tercekat. Morgan mencekiknya dan mengangkat tubuhnya hingga kedua kakinya tak menapak lagi di lantai. "Siapa kalian? Apa yang mau kalian lakukan pada istriku?" Suara Morgan seperti geraman seekor harimau. Pria itu mukanya langsung pucat. Dia mencoba melepaskan cekikikan Morgan dengan kedua tangannya tapi tak bisa. "Morgan, jangan..."Agnes khawatir Morgan akan membunuh pria itu. Meski pria itu pantas mati, dia tak mau melihat Morgan membunuh seseorang. Tidak lagi. Akhirnya, Morgan melepaskan cengkeramannya di leher pria itu. Pria itu pun jatuh dan pantatnya membentur lantai. Sepertinya tulang ekornya kena. Kini dia mengaduh kesakitan sambil meringkuk menyamping. Morgan menghampiri istrinya. "Kau tak apa-apa, Sayangku?" tanyanya sambil memeriksa kondisi Agnes. "Morgan, Livia ada di atas! Cepat tolong dia!" kata A
Seperti de javu, Morgan mengantar Livia dan Agnes pulang dengan mobilnya.Agnes duduk di jok di sampingnya seperti saat itu, dan Livia persis di belakangnya.Tak ada percakapan selama mobil melaju di jalanan yang lengang.Pukul sembilan malam. Banyak orang sudah mulai beristirahat di jam-jam seperti ini.Di villa mewah tadi sebelum berangkat, Livia sempat menangis beberapa lama.Dia terisak-isak seperti anak kecil. Dia mengaku tak tahan dengan situasinya saat ini, di mana dia selalu cemas tak akan bisa lagi hidup mapan seperti biasanya.Selain itu, dia baru saja diperkosa oleh Brian. Itu kali pertamanya dia diperlakukan seburuk itu di ranjang oleh seorang pria.Morgan melirik ke kaca spion dalam untuk mengecek Livia. Istrinya Joseph itu tampak sedang mengistirahatkan punggung dan lehernya ke jok, sambil menatap ke jendela.Dia tampak sedih. Meski tak lagi menangis, dia benar-benar tampak sedih.Morgan merasa kasihan pada kakak iparnya itu. Livia, betapapun menyebalkannya dia, bagaiman
Bala bantuan yang diminta Brian tiba sepuluh menitan yang lalu. Kini, dia dan orang-orang yang dikirim pamannya itu tengah mengejar si pengacau yang merusak pestanya.“Itu dia, Tuan Muda! Mobilnya akhirnya kelihatan!” kata seorang pria botak yang mengemudikan mobil yang ditumpangi Brian.“Kau yakin itu mobilnya?” tanya Brian.“Yakin, Tuan Muda. Plat nomornya sesuai dengan yang ada di video,” jawab si pria botak.Tadi, ketika rombongan bala bantuan itu tiba di villa, mobil Morgan baru saja melaju. Salah satu dari mereka dengan cepat merekam mobil Morgan itu. Dari situ mereka mendapatkan plat nomornya.“Oke! Kita kejar mobil itu!” kata Brian.Langsung saja, si pria botak menelepon pengemudi lain di mobil di belakangnya.“Target ada di depan. Kau majulah! Lakukan sesuai rencana!” kata si pria botak.Tak lama setelah itu sebuah mobil menyalip mobil yang dikemudikannya. Mobil itu melaju cepat. Di satu titik pintu kaca sampingnya terbuka dan seseorang muncul sambil memikul bazoka.Selang be
“Morgan, kenapa dengan wajahmu?” tanya Agnes panik.“Tenang saja. Ini bukan darahku. Ini darah mereka,” jawab Morgan.“Kau menghajar mereka semua?”“Ya. Sekarang kita harus cepat pergi, sebelum yang lainnya bermunculan.”Morgan pun berjongkok agar Livia bisa kembali naik ke punggungnya. Di saat yang sama, dia memegangi tangan Agnes dan memandunya masuk lebih dalam ke hutan.Dia salah perhitungan. Tadi saat menghajar tiga orang bersenjata itu dia tahu kalau orang-orang yang mengincarnya jumlahnya lebih banyak.Setelah mendengar bunyi rentetan tembakan dan teriakan tadi, bukan tak mungkin mereka akan cepat menyadari di mana saat ini Morgan berada.Dan satu hal lagi: Morgan tak mengira akan ada helikopter juga.‘Sialan! Siapa mereka? Apakah mereka punya akses ke militer?’ gerutu Morgan dalam hati.Kini dia sedikit menyesali keputusannya untuk meminta Kris tak jadi mengirim pasukan. Kalau saja ada satu pasukan tentara saja dengan senjata lengkap, dia akan sangat terbantu.Mereka bertiga t
Di luar rumah kayu, beberapa saat sebelumnya…Morgan bersembunyi di balik sebuah batu besar.Orang-orang yang mengejarnya itu terus melepaskan tembakan ke arahnya, sedangkan dia tak memegang senjata apa pun.Terpaksa, dia menyerang dengan apa pun yang dia temukan, termasuk batu-batu kecil dan ranting-ranting keras.Yang menyulitkan Morgan adalah helikopter itu.Sedari tadi, sementara musuh-musuhnya itu terus menembakinya, si helikopter berputar-putar di atas, seakan bersiap untuk juga melepaskan tembakan ke arah Morgan di detik sosoknya terlihat.Morgan telah sebisa mungkin melindungi tubuhnya dengan perisai tak kasat mata, tapi dia tak tahu apakah senjata yang dimiliki helikopter itu adalah senapan mesin biasa atau justru rudal.Jika yang kedua, sudah pasti, perisai tak kasat mata itu tak akan bisa melindunginya.Sesekali Morgan melirik ke rumah kayu tempat Agnes dan Livia bersembunyi. Sayangnya dia tak bisa meninggalkan mereka, sebab bisa saja musuh-musuhnya ini curiga ada orang di
Brian masih menunggu di mobil. Hanya dia dan si pria botak yang duduk di jok supir.Berkali-kali, Brian menoleh ke kiri ke arah hutan. Dia bertanya-tanya kenapa orang-orangnya itu lama sekali.“Menurutmu kenapa mereka lama sekali? Apa sesulit itu menangkap tiga orang tak bersenjata? Dua di antaranya bahkan wanita!” keluh Brian.Si botak tampak kebingungan, tak tahu harus menjawab apa. Dia sendiri heran kenapa anak-anak buahnya itu lama sekali.Saat itulah, dia mendengar lagi bunyi ledakan keras, kali ini disertai cahaya menyilaukan di dari hutan.“Apa itu?” tanya Brian.“Tuan Muda tunggu di sini. Aku akan mengecek,” kata si pria botak, membuka pintu dan turun dari mobil.Dia menatap ke arah terjadinya ledakan. Apakah yang barusan meledak itu helikopter? Begitu dia bertanya-tanya.“Ini buruk!” gumamnya.Dia pun mencoba menelepon salah satu anak buahnya yang turut masuk ke hutan.Panggilan tersambung, tapi tak juga diangkat. Dia punya firasat buruk.Si botak kembali ke mobilnya, membuk
Tulang betis kaki kiri Brian langsung patah.Brian berteriak-teriak begitu keras, membuat burung-burung yang semula bertengger di dahan-dahan tinggi di hutan beterbangan menjauh.Si botak, yang tengah mengarahkan senjatanya ke Morgan, terbelalak tak percaya.“Sudah kubilang, aku berbaik hati dengan hanya mengambil kakimu saja. Harusnya aku ambil nyawamu sekalian! Orang sepertimu tak pantas hidup di dunia ini!” rutuk Morgan.Dia lepaskan kaki kiri Brian yang patah itu, lantas meludahinya.“Bajingan! Apa yang sudah kau lakukan?! Kau mematahkan kaki anak salah satu keluarga terkaya di negeri ini! Kau pikir kau bisa lolos begitu saja setelah ini?!”Si botak mengatakan itu sambil berteriak marah.Dia sebenarnya merasa bersalah. Tadi dia masuk ke hutan untuk menyelamatkan anak-anak buahnya, paling tidak sebagian, tapi tak satu pun dari anak-anak buahnya itu yang masih hidup.Dan kini, ketika dia kembali, dia pun gagal melindungi Brian, anak muda kesayangan majikannya, Paman Ox.Kegagalan ya