Dorongan tangan Morgan membuat ciuman Hannah terlepas dan dia pun mendesah.Menyadari apa yang baru saja disentuh dan ditekannya, Morgan langsung menarik tangannya.Di hadapan Morgan, buah dada Hannah terlihat lebih besar daripada tadi saat dia melihatnya di bar.“Apa yang kau lakukan? Di mana ini?” tanya Morgan. Jelas sekali dia tak senang.Hannah menatap Morgan dengan napas memburu. Apa yang baru saja dilakukannya membuat hasrat liarnya menggelora.Dia pun menyosor Morgan, hendak menciumnya lagi, tapi Morgan merespons dengan cepat.Ditahannya tubuh Hannah sebelum bibir mereka sempat bersentuhan. Kali ini, tangan Morgan menyentuh tulang selangka Hannah, bukan buah dadanya.“Hentikan, Hannah! Aku tak menginginkan ini!” kata Morgan.Penolakan Morgan itu begitu tegas. Hannah sampai terpukul mendengarnya.Langsung saja, wanita itu pun kembali ke joknya. Sekilas dia menatap Morgan dengan sorot mata memancarkan kesedihan. Tapi, Morgan tak peduli.“Kau jangan melewati batas, Hannah. Aku mem
“Siapa orang tak tahu waktu yang bertamu di saat kita sedang makan malam? Kenapa juga dia harus menekan bel berkali-kali?! Dasar gila!” rutuk Henry.“Jangan-jangan… itu dia, Pa,” kata Joseph.“Dia siapa?”“Morgan, Pa.”Henry mendengus. Kemarahan terlihat jelas di wajahnya.“Pelayan, coba lihat siapa yang datang! Kalau benar itu si keparat Morgan, jangan biarkan dia masuk!” perintah Henry.“Baik, Tuan,” tanggap si pelayan yang baru saja muncul. Segera saja dia bergegas ke ruang depan.Membayangkan orang yang baru saja menekan bel berkali-kali itu adalah Morgan, Joseph langsung kehilangan selera makan.Kedua kakinya gemetar. Begitu juga tangannya.“Joseph, kau kenapa lagi?” tanya Melisa, menatap Joseph cemas.“Tak apa-apa, Ma,” jawab Joseph, menggelengkan kepala.Tentu saja jawabannya itu tak meyakinkan. Bagaimanapun kulit mukanya benar-benar pucat seperti orang mati.Terdengar langkah-langkah kaki. Henry mengira yang datang itu si pelayan tadi, tapi ternyata bukan.“Selamat malam, oran
“Melisa, apa yang mau kau lakukan? Dia anakmu sendiri!” bentak Henry.“Diam kau, Henry!” Melisa membentak balik, sambil mengacungkan pisau itu ke suaminya tersebut.Henry terkejut, begitu juga yang lain. Ini pertama kalinya mereka melihat Melisa membantah Henry. Dan bantahan tersebut dilontarkannya dengan keras.“Aku tahu yang kalian bertiga lakukan di belakangku! Kalian pokir aku ini bodoh sampai-sampai aku tak tahu kalau kalian meracuniku tempo hari itu?!” sambung Melisa.Mata Henry membulat. Yang satu ini benar-benar di luar dugaannya. Melisa tak pernah membahas hal itu sejak dia sembuh, jadi Henry berpikir istrinya ini tak tahu apa-apa.Robert pun sama terkejutnya dengan ayahnya itu. Dan kini, ketika Melisa kembali menatapnya dengan penuh amarah, Robert mengangkat kedua tangannya ke depan.“Ma, tolong tenangkan diri Mama. Ini… ini tak seperti yang Mama pikirkan,” kata Robert.Mata Robert sekilas tertuju pada pisau di tangan Melisa. Melisa tampak memegangi gagang pisau dengan kuat,
“Rasakan ini, Jalang!”Si pria yang menampar Agnes itu hendak menendang Agnes yang masih bersimpuh, tapi seseorang menahan kakinya.Dia adalah Allina. Dia bergerak cukup cepat sehingga sempat menangkap kaki pria itu sebelum mengenai pinggang Agnes.“Siapa lagi kau?! Lepaskan kakiku!” bentak pria itu.Allina menatapnya dengan mata membulat, lalu dikibaskannya tangannya.Pria itu pun oleng dan hampir terjatuh. Allina lalu berdiri membelakangi Agnes, menjaga teman baiknya itu dari kemungkinan serangan lain dari si pria.“Kau ini manusia atau binatang? Bisa-bisanya kau menampar dan menendang wanita!” semprot Allina.“Anjing! Apa semua wanita sekarang sejalang ini?! Kuberitahu kau, kau berurusan dengan orang yang salah!” balas pria itu.Dia lalu menaruh dua jarinya di mulutnya dan bersuit. Tak lama kemudian, terdengar bunyi derap kaki di luar.Pintu kafe didorong ke dalam dan beberapa orang berpakaian hitam-hitam masuk.“Tuan memanggil kami?” tanya salah satu dari mereka, seorang pria deng
“Tuan Muda, mau ke mana kita sekarang?”Salah satu anak buahnya Brian yang menyetir mobil bertanya.“Ke villaku saja. Ada villa mewah yang dimiliki ayahku di kota ini. Sebentar aku cari tahu dulu lokasinya,” jawab Brian.“Baik, Tuan Muda.”Brian mencari-cari info tentang villa miliki ayahnya itu di ponselnya. Seingatnya, villa mewah yang dimaksudnya itu ada di kawasan elite di timur kota.Sementara itu di jok belakang, persis di belakang Bria, Agnes duduk. Di jok di sampingnya, duduk anak buah Brian yang lain.Muka Agnes tampak tegang. Dia tak percaya dia harus melalui hal seperti ini lagi.Tapi, berbeda dari sebelum-sebelumnya, kali ini dia tak begitu ketakutan atau apa.Entah apa yang terjadi padanya, tapi dia merasa dia bisa melawan, dan memang sebaiknya dia melawan.“Kau ini siapa? Kenapa kau menampar dan memaki kakak iparku tadi?” Agnes bertanya.“Heh, jaga bicaramu! Kau harus sopan kalau bicara pada Tuan Muda kami!” bentak anak buah Brian di sampingnya.“Biarkan dia,” sergah Bri
"Siapa kau?!"Si pria yang satu lagi langsung berdiri, menatap Morgan dengan tegang. Sesaat kemudian, tiba-tiba, Morgan sudah berada persis di hadapannya. Lehernya tercekat. Morgan mencekiknya dan mengangkat tubuhnya hingga kedua kakinya tak menapak lagi di lantai. "Siapa kalian? Apa yang mau kalian lakukan pada istriku?" Suara Morgan seperti geraman seekor harimau. Pria itu mukanya langsung pucat. Dia mencoba melepaskan cekikikan Morgan dengan kedua tangannya tapi tak bisa. "Morgan, jangan..."Agnes khawatir Morgan akan membunuh pria itu. Meski pria itu pantas mati, dia tak mau melihat Morgan membunuh seseorang. Tidak lagi. Akhirnya, Morgan melepaskan cengkeramannya di leher pria itu. Pria itu pun jatuh dan pantatnya membentur lantai. Sepertinya tulang ekornya kena. Kini dia mengaduh kesakitan sambil meringkuk menyamping. Morgan menghampiri istrinya. "Kau tak apa-apa, Sayangku?" tanyanya sambil memeriksa kondisi Agnes. "Morgan, Livia ada di atas! Cepat tolong dia!" kata A
Seperti de javu, Morgan mengantar Livia dan Agnes pulang dengan mobilnya.Agnes duduk di jok di sampingnya seperti saat itu, dan Livia persis di belakangnya.Tak ada percakapan selama mobil melaju di jalanan yang lengang.Pukul sembilan malam. Banyak orang sudah mulai beristirahat di jam-jam seperti ini.Di villa mewah tadi sebelum berangkat, Livia sempat menangis beberapa lama.Dia terisak-isak seperti anak kecil. Dia mengaku tak tahan dengan situasinya saat ini, di mana dia selalu cemas tak akan bisa lagi hidup mapan seperti biasanya.Selain itu, dia baru saja diperkosa oleh Brian. Itu kali pertamanya dia diperlakukan seburuk itu di ranjang oleh seorang pria.Morgan melirik ke kaca spion dalam untuk mengecek Livia. Istrinya Joseph itu tampak sedang mengistirahatkan punggung dan lehernya ke jok, sambil menatap ke jendela.Dia tampak sedih. Meski tak lagi menangis, dia benar-benar tampak sedih.Morgan merasa kasihan pada kakak iparnya itu. Livia, betapapun menyebalkannya dia, bagaiman
Bala bantuan yang diminta Brian tiba sepuluh menitan yang lalu. Kini, dia dan orang-orang yang dikirim pamannya itu tengah mengejar si pengacau yang merusak pestanya.“Itu dia, Tuan Muda! Mobilnya akhirnya kelihatan!” kata seorang pria botak yang mengemudikan mobil yang ditumpangi Brian.“Kau yakin itu mobilnya?” tanya Brian.“Yakin, Tuan Muda. Plat nomornya sesuai dengan yang ada di video,” jawab si pria botak.Tadi, ketika rombongan bala bantuan itu tiba di villa, mobil Morgan baru saja melaju. Salah satu dari mereka dengan cepat merekam mobil Morgan itu. Dari situ mereka mendapatkan plat nomornya.“Oke! Kita kejar mobil itu!” kata Brian.Langsung saja, si pria botak menelepon pengemudi lain di mobil di belakangnya.“Target ada di depan. Kau majulah! Lakukan sesuai rencana!” kata si pria botak.Tak lama setelah itu sebuah mobil menyalip mobil yang dikemudikannya. Mobil itu melaju cepat. Di satu titik pintu kaca sampingnya terbuka dan seseorang muncul sambil memikul bazoka.Selang be
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat