Helikopter itu rupanya dilengkapi dengan senjata, dan kini ia menembaki orang-orang di sekitar perempatan tempat terjadinya kecelakan beruntun itu.Orang-orang panik, berlarian ke pinggir jalan. Ada juga yang kembali ke mobilnya dan mencoba kabur tapi malah menabrak mobil lain.Situasi benar-benar kacau. Beberapa orang tampak bergelimpangan di sana, terkena tembakan-tembakan itu.Bunyi sirene polisi. Mobil-mobil patroli polisi berdatangan.Helikopter itu mendadak menghentikan tembakan dan mengubah arah, menjauh dari perempatan.Saat mobil-mobil patroli itu tiba, polisi-polisi keluar dari sana, segera mengamankan area.Di antara mereka ada Joseph. Dia tercengang melihat banyaknya orang yang terkena tembakan dan mati di tempat."Ada apa sebenarnya ini? Siapa yang melakukannya?" Joseph bertanya kepada dirinya sendiri.Sementara anak-anak buahnya sibuk menyingkirkan mayat-mayat itu dari jalan, membawanya ke mobil-mobil ambulans yang baru saja datang, Joseph menengadah, mencari-cari si hel
"Katakan padaku di mana Rudolf, dan kau akan kubiarkan hidup."Morgan mengatakannya dengan dingin. Tatapannya setajam pedang. Di hadapannya, Selly mencoba menjauh. Peluru di pistolnya sudah habis. Betis kanannya terasa ngilu. "Kau akan mati! Rudolf akan menghabisimu!" rutuk Selly. Plak! Morgan menamparnya, keras sekali, sampai-sampai satu giginya tanggal. "Aku tanya sekali lagi: di mana Rudolf? Dan apa yang kalian rencanakan?" ucap Morgan. Saat Selly menatap Morgan lagi, dia malah menyeringai lebar. "Kau tak akan bisa menghentikan Rudolf. Kota ini akan hancur," ujarnya. Lalu tangannya bergerak cepat, mengambil pisau dari salah satu saku celananya. Morgan bersiap-siap menangkis serangan mendadak dari Selly ketika dilihatnya wanita itu justru mengarahkan mata pisau ke lehernya sendiri. Jleb! "Akh..."Selly baru saja mengakhiri hidupnya sendiri. Dia terkulai ambruk dengan mata membelalak dan leher menyemburkan darah. "Cih!"Morgan kesal. Orang-orangnya Rudolf susah sekali dia
Morgan membiarkan aura Dewa Perang-nya keluar, membuat Boni, si pria ber-hoodie itu, tak bisa bergerak.Suhu dalam sekejap turun beberapa derajat. Lampu-lampu di depan minimarket berkedip-kedip.“Kalian mengincarku, kan? Hadapi aku saja langsung! Tak usah libatkan orang-orang tak bersalah!” ucap Morgan, geram.Saat dia melangkah, tekanan udara yang berat dirasakan oleh Boni. Pria tinggi itu tadinya hendak mengambil pistol tetapi kini dia bahkan sulit sekali menggerakkan jari-jari tangannya.Bugh!“Argh…”Morgan meninju Boni tepat di perutnya, membuatnya muntah darah.Boni jatuh berlutut. Morgan lantas mencengkeram tudung hoodie-nya dan memaksanya berdiri, lalu meninjunya lagi di titik yang sama.“Ugh…”Darah muncrat lagi dari mulutnya. Bola matanya seperti hampir mau terlempar dari tempatnya.Belajar dari pengalaman, Morgan tak lagi menginterogasi anak buahnya Rudolf ini.Satu-satunya cara untuk mengorek informasi tentang rencana busuk mereka adalah masuk ke pikiran mereka, menggaliny
Morgan merentangkan kedua tangan dan kakinya sementara tubuhnya jatuh menghadap ke bahu jalan.Di saat yang sama, dia menarik sebuah napas panjang dan membangkitkan energi murninya. Dia bermaksud melindungi seluruh tubuhnya dari kerusakan yang mungkin muncul akibat benturan keras saat dia mendarat nanti.Butuh beberapa detik bagi Morgan hingga dia akhirnya mendarat di bahu jalan, dengan kedua kakinya lebih dulu.Pada saat itu, Wagner sudah berada belasan meter dari sana.Namun, bunyi keras yang disebabkan oleh benturan keras saat kedua kaki Morgan mendarat itu, yang menciptakan retakan-retakan di situ, membuat Wagner seketika menghentikan langkah dan menoleh.Kini dia menatap Morgan sambil memicingkan mata.Morgan sendiri, perlahan-lahan, bangkit menegakkan punggungnya.Hawa panas menguar dari tubuhnya, membuat sosoknya itu seperti bersinar di kegelapan malam.Wagner mulai waspada. Dia memutar tubuhnya hingga kini menghadap Morgan. Tangannya yang kiri memegangi tas punggung yang dia
Siapa pun yang melihat ledakan itu pasti mengira Morgan tewas.Bagaimana tidak? Bom itu sedang dibawanya saat ledakan itu terjadi, dan daya ledaknya mampu menghanguskan siapa pun yan memegangnya hingga benar-benar gosong.Hal itu pula yang ada di benak Wagner. Dia berdiri tegap, memandangi ledakan itu dengan senyum terkembang.“Sialan kau. Kau membuat satu bomku terbuang sia-sia,” ucap Wagner.Dia hanya membawa tiga bom saja, tadinya ketiganya mau dia pasang di tiga titik kritis di mall itu.Kini, setelah dua ledakan terjadi, sudah tak mungkin dia masuk ke mall tanpa dicurigai.Bom ketiga pun agaknya terpaksa dia lemparkan seperti yang dua sebelumnya, tapi kali ini dia akan memastikan bom itu meledak di titik yang diinginkannya.Sambil mengusap darah di ujung bibirnya, Wagner berjalan sambil memegangi bom ketiganya.Dipandanginya mall yang lobi depannya sudah tak keruan itu. Dia tengah mengukur, melakukan perhitungan, di titik mana dan ke arah mana, dan sekuat apa, dia harus melempar
Di Hotel M…Agnes merapatkan punggungnya ke dinding di samping jendela. Perlahan dia menyibak gorden, mengintip apa yang terjadi di bawah.Sejak sepuluh menit yang lalu, teriakan-teriakan terus terdengar. Dan ketika Agnes mencermatinya dengan saksama, dia juga mendengar bunyi tembakan.Tubuhnya seketika gemetar dan sempat sulit sekali baginya untuk bernapas.Saat dia mengetik pesan chat dan mengirimkannya kepada Allina tadi, dia kesulitan mengetik dengan benar. Isi pesannya itu mengandung banyak saltik.Dengan sangat hati-hati, Agnes menengok ke bawah lewat ujung jendela.Dilihatnya, kendaraan-kendaraan terparkir di depan hotel. Beberapa orang tampak berjaga di dekat mobil-mobil itu.Dan dia melihat percikan api yang dibarengi bunyi tembakan. Sedetik kemudian, teriakan-teriakan kembali terdengar.‘Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa ini? Apa mereka teroris? Kenapa mereka menyerang hotel?’ pikir Agnes.Di saat-saat seperti ini, ketika dia merasa dirinya terancam bahaya, soso
Morgan telah kembali berada di helikopter, bergerak menuju pelabuhan.Amarah di dalam dirinya masih begitu membara. Dia akan menghabisi Rudolf jika sampai orang itu menyakiti istrinya.“Berapa lama lagi kira-kira?” tanya Morgan, tak sabar.“Paling cepat sepuluh menit,” jawab Mon.Morgan menggebrak dasbor, sesaat membuat helikopter itu goyah.Kalau saja tadi dia tidak terlambat. Kalau saja tadi dia tak keliru mengambil keputusan.Dalam perjalanan dari mall ke Hotel M tadi, di tengah-tengah, Morgan dan Mon mendapat dua kabar dari Fri.Yang pertama adalah kabar baik: lokasi Koda berhasil ditemukan, dan rencana mereka berhasil terungkap.Yang kedua adalah kabar buruk: di waktu yang bersamaan, Rudolf dan orang-orangnya berencana meledakkan bom di lima lokasi berbeda.Sialnya, kelima lokasi itu pun saling berjauhan satu sama lain.Tak mungkin mendatangi kelima lokasi itu di waktu yang sama, Morgan pun memerintahkan Fri untuk mengirim kelima prajurit lain ke lokasi-lokasi itu, dibantu kirima
“Ayo, kemarilah, Dewa Perang!!” Rudolf berteriak lantang.Di belakangnya, Agnes terlempar dari tebing dan terjatuh. Di depannya, Morgan berlari dengan ke arahnya dengan sorot mata yang memerah darah.‘Ini adalah momen yang kutunggu-tunggu! Aku melewatkan bertahun-tahun untuk momen ini!’ pikir Rudolf.Dipasangnya kuda-kuda yang kokoh. Dikeluarkannya auranya yang gelap dan busuk itu.Dalam bayangannya, Morgan akan menerjangnya dengan sangat kuat. Dia sudah siap dan akan langsung menyerang balik Morgan dengan kekuatan penuh.Akan tetapi, bukan itu yang terjadi…Saat jarak mereka tinggal beberapa meter lagi, Morgan tiba-tiba menguatkan pijakan kakinya dan sekejap kemudian dia melompat. Tinggi sekali dia melompat.Rudolf tercengang dan hanya memandangi Morgan yang melewatinya dalam gerakan parabola.Sejenak kemudian Morgan mendarat di ujung tebing, persis di ujungnya, dan dia terjun begitu saja seperti seorang perenang yang akan beraksi.Rudolf masih tercengang dan bergeming di tempatnya.
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat