“Ayo, kemarilah, Dewa Perang!!” Rudolf berteriak lantang.Di belakangnya, Agnes terlempar dari tebing dan terjatuh. Di depannya, Morgan berlari dengan ke arahnya dengan sorot mata yang memerah darah.‘Ini adalah momen yang kutunggu-tunggu! Aku melewatkan bertahun-tahun untuk momen ini!’ pikir Rudolf.Dipasangnya kuda-kuda yang kokoh. Dikeluarkannya auranya yang gelap dan busuk itu.Dalam bayangannya, Morgan akan menerjangnya dengan sangat kuat. Dia sudah siap dan akan langsung menyerang balik Morgan dengan kekuatan penuh.Akan tetapi, bukan itu yang terjadi…Saat jarak mereka tinggal beberapa meter lagi, Morgan tiba-tiba menguatkan pijakan kakinya dan sekejap kemudian dia melompat. Tinggi sekali dia melompat.Rudolf tercengang dan hanya memandangi Morgan yang melewatinya dalam gerakan parabola.Sejenak kemudian Morgan mendarat di ujung tebing, persis di ujungnya, dan dia terjun begitu saja seperti seorang perenang yang akan beraksi.Rudolf masih tercengang dan bergeming di tempatnya.
Di rumahnya, Morgan baru bangun pukul dua siang. Apa yang terjadi semalam membuatnya sangat lelah. Bahkan kalau bukan karena ponselnya yang terus berdering, dia akan memperpanjang tidurnya hingga sore. Dengan kesal, Morgan mengambil ponselnya dan menjawab panggilan. "Siapa ini?" tanyanya ketus, masih dengan mata tertutup. [Ini aku, Allina. Kau baru bangun?]"Iya. Kalau saja kau tak meneleponku, aku mungkin masih tidur."[Coba nyalakan televisi. Ada berita tentangmu.]"Hmm? Berita tentangku?"[Lihatlah sendiri. Kupikir kau harus tahu.]Allina mengakhiri panggilan. Morgan berdecih, kesal karena merasa tidurnya terganggu. Tapi setelah beberapa lama, dia penasaran juga. Dia buka matanya, beranjak dari kasur, mengambil remot dan menyalakan televisi. Setelah memindah-mindahkan channel, dia akhirnya melihat berita yang dimaksud Allina. Berita itu membahas insiden-insiden semalam, dan sebuah foto ditampilkan di layar, dengan tanda panah merah merujuk ke seseorang di foto. [Aparat kep
Darah Morgan mendidih. Orang-orang ini benar-benar menguji batas kesabarannya.Bahkan setelah jendela penumpang mobilnya itu pecah, orang-orang itu masih belum berhenti melemparinya sambil menghujatnya."Harusnya kau malu pada dirimu sendiri!""Harusnya kau dipenjara!""Enyah kau dari kota ini!"Begitulah orang-orang itu mencelanya.Si pria tinggi-kurus yang tadi melabrak Morgan sendiri, mendapati orang-orang menyudutkan Morgan, kini seperti mendapatkan keberaniannya kembali.Dia pun berdiri tegap, mendongakkan kepala, lantas meludah ke arah Morgan.Ludah itu memang tak mengenai Morgan. Tapi, apa yang dilakukannya itu sungguh sebuah penghinaan yang besar.Morgan menatap pria itu dengan bengis. Dia hendak menghampiri orang itu untuk menghajarnya ketika seseorang tiba-tiba muncul, memosisikan dirinya di antara Morgan dan si pria tinggi-kurus."Sudahlah, Josh! Jangan cari masalah. Kita pergi saja. Kita sudah terlambat," kata seseorang itu, seorang wanita dengan rambut dicat cokelat teran
Setelah beberapa saat, sementara wanita itu menarik Morgan meninggalkan meja bartender, Morgan tersadar kalau wanita ini adalah Hannah, si wanita yang tadi melerainya saat dia dan Josh hampir saja baku hantam.Kini dia bertanya-tanya kenapa wanita itu tiba-tiba menariknya keluar. Apakah kali ini pun dia mencoba menjauhkannya dari masalah, seperti sewaktu di jalan tadi?“Kau ke sini naik apa? Kau bawa mobil?” tanya Hannah, saat mereka sudah ada di luar bar.“Mobilku yang hitam itu,” kata Morgan, menunjuk mobilnya di area parkir.“Oke. Kita pergi dengan mobilmu. Ayo,” kata Hannah.Wanita itu lagi-lagi menariknya seakan-akan mereka adalah sepasang kekasih.Morgan sebenarnya merasa risih, tapi dibiarkannya saja wanita itu menariknya.Anggap saja, itu ucapan terima kasihnya karena Hannah sudah dua kali menyelamatkannya saat dia akan meledak.“Ayo jalan. Kita pergi ke mana pun kau mau. Yang penting tinggalkan tempat ini,” pinta Hannah.Mereka telah berada di dalam mobil. Morgan menyalakan m
“Oh, begitu? Semuanya sesuai dengan yang tertulis di tagihan ini?” sindir Morgan.“Benar, Tuan. Anda bisa melihatnya sendiri. Harga tiap-tiap hidangan yang kalian berdua pesan ada di situ,” kata si pelayan.Morgan mengeceknya, dan memang, harga dari hidangan-hidangan yang dimaksud tertulis di situ. Tetapi nominalnya tak masuk akal.“Aku tak akan membayar tagihan ini,” kata Morgan kemudian.Si pelayan tampak bingung. Hannah, sementara itu, membelalakkan mata dan mulai panik.‘Tentu saja dia tak akan mampu membayar semahal itu,’ pikir Morgan sambil menatap kertas tagihan yang ditaruhnya di meja.Jangan kata satu miliar yang belum tentu dimiliki Morgan, puluhan juta saja bisa jadi sudah sangat berat bagi teman barunya ini. Begitu Hannah menduga.Lantas dia bertanya-tanya: apa yang akan terjadi pada mereka kalau mereka tak bisa membayar?“Mohon maaf, Tuan, tapi Anda harus melunasi tagihan dulu baru kami perbolehkan keluar,” kata si pelayan.“Kalau aku tetap tak mau bayar?” tantang Morgan.
"Sebentar!"Tiba-tiba Morgan mengangkat tangannya, dan langkah orang-orang berbadan kekar itu pun terhenti."Beri aku lima menit. Aku mau menelepon seseorang dulu," katanya.Orang-orang berbadan kekar itu saling pandang satu sama lain dengan tatapan bingung. Mereka lalu menatap Si Manajer Restoran, meminta arahannya."Biarkan saja. Kita lihat apa yang mau dilakukan orang ini," kata si Manajer Restoran.Morgan pun mengeluarkan ponselnya dan membuat panggilan."Halo, Felisia. Maaf aku mengganggumu malam-malam begini. Kau tahu restoran Perancis yang begitu terkenal di pusat kota?""Ya, yang itu. Bisa tolong kau beli restauran tersebut atas namaku? Pakai saja dulu uang perusahaan. Besok aku urus penggantiannya.""Betul. Saat ini juga. Kabari aku kalau semuanya sudah selesai.""Oh, ya. Tolong minta si pemilik restoran tersebut untuk datang ke restoran atau menghubungi manajer restoran yang bertugas malam ini. Kalau dia bisa datang ke restoran malam ini juga, itu lebih baik."Begitulah Morg
Menghindari timbulnya masalah lain, setelah meninggalkan restoran Perancis paling berkelas di pusat Kota HK itu, Morgan langsung mengantar Hannah pulang ke kosannya.Setelah menurunkan Hannah di depan sebuah gang kecil, Morgan melambaikan tangan, membalas Hannah yang lebih dulu melakukannya padanya.Tepat sebelum dia akan melajukan mobilnya lagi, Hannah yang telah menjauh itu tiba-tiba balik badan dan memanggilnya."Ada apa?" tanya Morgan."Jadi, restoran Perancis itu sekarang benar-benar milikmu?" Hannah balik bertanya."Anggap saja begitu," jawab Morgan, tersenyum tipis."Dari mana kau punya uang sebanyak itu? Apa kau juga anak orang kaya-raya seperti Josh?"Morgan terkekeh."Entahlah. Aku menganggap diriku yatim-piatu. Sewaktu kecil aku tinggal di panti asuhan. Aku tak tahu orang seperti apa ayah dan ibuku, tapi kemungkinan besar mereka sangat miskin sampai-sampai mereka menaruhku di sebuah kardus dan meninggalkanku begitu saja di depan panti asuhan. Kalaupun ternyata mereka kaya-r
Dengan kening penuh kerutan, Morgan mengklik tautan yang dikirim Allina.Panggilan masih tersambung. Dia mengaktifkan mode loudspeaker agar suara Allina terdengar jelas sementara dia membaca berita itu.[Kau sudah membacanya?]"Ini sedang kubaca."Mata Morgan mengikuti kata demi kata, menyimak apa yang disampaikan di berita itu.Selesai membacanya, kerutan-kerutan di keningnya bertambah. Kedua alisnya hampir bertemu di tengah.Berita itu menerangkan kalau si pria yang muncul di foto-foto yang tersebar luas itu, yang sebelumnya diduga terlibat dalam insiden-insiden berdarah semalam, kini ditetapkan sebagai buronan pemerintah kota HK.Foto Morgan kembali dimunculkan, kali ini disertai namanya juga, meski hanya nama depannya saja: Morgan.[Bagaimana? Sudah selesai?]"Kau dapat berita ini dari siapa?"[Di sebuah forum di internet. Kebetulan aku member di situ. Kau baru tahu sekarang?]"Ya. Dan ini... mengecewakan!"[Di berita itu kau diperlakukan sebagai penjahat.]"Siapa pun yang membuat
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat