Morgan merentangkan kedua tangan dan kakinya sementara tubuhnya jatuh menghadap ke bahu jalan.Di saat yang sama, dia menarik sebuah napas panjang dan membangkitkan energi murninya. Dia bermaksud melindungi seluruh tubuhnya dari kerusakan yang mungkin muncul akibat benturan keras saat dia mendarat nanti.Butuh beberapa detik bagi Morgan hingga dia akhirnya mendarat di bahu jalan, dengan kedua kakinya lebih dulu.Pada saat itu, Wagner sudah berada belasan meter dari sana.Namun, bunyi keras yang disebabkan oleh benturan keras saat kedua kaki Morgan mendarat itu, yang menciptakan retakan-retakan di situ, membuat Wagner seketika menghentikan langkah dan menoleh.Kini dia menatap Morgan sambil memicingkan mata.Morgan sendiri, perlahan-lahan, bangkit menegakkan punggungnya.Hawa panas menguar dari tubuhnya, membuat sosoknya itu seperti bersinar di kegelapan malam.Wagner mulai waspada. Dia memutar tubuhnya hingga kini menghadap Morgan. Tangannya yang kiri memegangi tas punggung yang dia
Siapa pun yang melihat ledakan itu pasti mengira Morgan tewas.Bagaimana tidak? Bom itu sedang dibawanya saat ledakan itu terjadi, dan daya ledaknya mampu menghanguskan siapa pun yan memegangnya hingga benar-benar gosong.Hal itu pula yang ada di benak Wagner. Dia berdiri tegap, memandangi ledakan itu dengan senyum terkembang.“Sialan kau. Kau membuat satu bomku terbuang sia-sia,” ucap Wagner.Dia hanya membawa tiga bom saja, tadinya ketiganya mau dia pasang di tiga titik kritis di mall itu.Kini, setelah dua ledakan terjadi, sudah tak mungkin dia masuk ke mall tanpa dicurigai.Bom ketiga pun agaknya terpaksa dia lemparkan seperti yang dua sebelumnya, tapi kali ini dia akan memastikan bom itu meledak di titik yang diinginkannya.Sambil mengusap darah di ujung bibirnya, Wagner berjalan sambil memegangi bom ketiganya.Dipandanginya mall yang lobi depannya sudah tak keruan itu. Dia tengah mengukur, melakukan perhitungan, di titik mana dan ke arah mana, dan sekuat apa, dia harus melempar
Di Hotel M…Agnes merapatkan punggungnya ke dinding di samping jendela. Perlahan dia menyibak gorden, mengintip apa yang terjadi di bawah.Sejak sepuluh menit yang lalu, teriakan-teriakan terus terdengar. Dan ketika Agnes mencermatinya dengan saksama, dia juga mendengar bunyi tembakan.Tubuhnya seketika gemetar dan sempat sulit sekali baginya untuk bernapas.Saat dia mengetik pesan chat dan mengirimkannya kepada Allina tadi, dia kesulitan mengetik dengan benar. Isi pesannya itu mengandung banyak saltik.Dengan sangat hati-hati, Agnes menengok ke bawah lewat ujung jendela.Dilihatnya, kendaraan-kendaraan terparkir di depan hotel. Beberapa orang tampak berjaga di dekat mobil-mobil itu.Dan dia melihat percikan api yang dibarengi bunyi tembakan. Sedetik kemudian, teriakan-teriakan kembali terdengar.‘Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa ini? Apa mereka teroris? Kenapa mereka menyerang hotel?’ pikir Agnes.Di saat-saat seperti ini, ketika dia merasa dirinya terancam bahaya, soso
Morgan telah kembali berada di helikopter, bergerak menuju pelabuhan.Amarah di dalam dirinya masih begitu membara. Dia akan menghabisi Rudolf jika sampai orang itu menyakiti istrinya.“Berapa lama lagi kira-kira?” tanya Morgan, tak sabar.“Paling cepat sepuluh menit,” jawab Mon.Morgan menggebrak dasbor, sesaat membuat helikopter itu goyah.Kalau saja tadi dia tidak terlambat. Kalau saja tadi dia tak keliru mengambil keputusan.Dalam perjalanan dari mall ke Hotel M tadi, di tengah-tengah, Morgan dan Mon mendapat dua kabar dari Fri.Yang pertama adalah kabar baik: lokasi Koda berhasil ditemukan, dan rencana mereka berhasil terungkap.Yang kedua adalah kabar buruk: di waktu yang bersamaan, Rudolf dan orang-orangnya berencana meledakkan bom di lima lokasi berbeda.Sialnya, kelima lokasi itu pun saling berjauhan satu sama lain.Tak mungkin mendatangi kelima lokasi itu di waktu yang sama, Morgan pun memerintahkan Fri untuk mengirim kelima prajurit lain ke lokasi-lokasi itu, dibantu kirima
“Ayo, kemarilah, Dewa Perang!!” Rudolf berteriak lantang.Di belakangnya, Agnes terlempar dari tebing dan terjatuh. Di depannya, Morgan berlari dengan ke arahnya dengan sorot mata yang memerah darah.‘Ini adalah momen yang kutunggu-tunggu! Aku melewatkan bertahun-tahun untuk momen ini!’ pikir Rudolf.Dipasangnya kuda-kuda yang kokoh. Dikeluarkannya auranya yang gelap dan busuk itu.Dalam bayangannya, Morgan akan menerjangnya dengan sangat kuat. Dia sudah siap dan akan langsung menyerang balik Morgan dengan kekuatan penuh.Akan tetapi, bukan itu yang terjadi…Saat jarak mereka tinggal beberapa meter lagi, Morgan tiba-tiba menguatkan pijakan kakinya dan sekejap kemudian dia melompat. Tinggi sekali dia melompat.Rudolf tercengang dan hanya memandangi Morgan yang melewatinya dalam gerakan parabola.Sejenak kemudian Morgan mendarat di ujung tebing, persis di ujungnya, dan dia terjun begitu saja seperti seorang perenang yang akan beraksi.Rudolf masih tercengang dan bergeming di tempatnya.
Di rumahnya, Morgan baru bangun pukul dua siang. Apa yang terjadi semalam membuatnya sangat lelah. Bahkan kalau bukan karena ponselnya yang terus berdering, dia akan memperpanjang tidurnya hingga sore. Dengan kesal, Morgan mengambil ponselnya dan menjawab panggilan. "Siapa ini?" tanyanya ketus, masih dengan mata tertutup. [Ini aku, Allina. Kau baru bangun?]"Iya. Kalau saja kau tak meneleponku, aku mungkin masih tidur."[Coba nyalakan televisi. Ada berita tentangmu.]"Hmm? Berita tentangku?"[Lihatlah sendiri. Kupikir kau harus tahu.]Allina mengakhiri panggilan. Morgan berdecih, kesal karena merasa tidurnya terganggu. Tapi setelah beberapa lama, dia penasaran juga. Dia buka matanya, beranjak dari kasur, mengambil remot dan menyalakan televisi. Setelah memindah-mindahkan channel, dia akhirnya melihat berita yang dimaksud Allina. Berita itu membahas insiden-insiden semalam, dan sebuah foto ditampilkan di layar, dengan tanda panah merah merujuk ke seseorang di foto. [Aparat kep
Darah Morgan mendidih. Orang-orang ini benar-benar menguji batas kesabarannya.Bahkan setelah jendela penumpang mobilnya itu pecah, orang-orang itu masih belum berhenti melemparinya sambil menghujatnya."Harusnya kau malu pada dirimu sendiri!""Harusnya kau dipenjara!""Enyah kau dari kota ini!"Begitulah orang-orang itu mencelanya.Si pria tinggi-kurus yang tadi melabrak Morgan sendiri, mendapati orang-orang menyudutkan Morgan, kini seperti mendapatkan keberaniannya kembali.Dia pun berdiri tegap, mendongakkan kepala, lantas meludah ke arah Morgan.Ludah itu memang tak mengenai Morgan. Tapi, apa yang dilakukannya itu sungguh sebuah penghinaan yang besar.Morgan menatap pria itu dengan bengis. Dia hendak menghampiri orang itu untuk menghajarnya ketika seseorang tiba-tiba muncul, memosisikan dirinya di antara Morgan dan si pria tinggi-kurus."Sudahlah, Josh! Jangan cari masalah. Kita pergi saja. Kita sudah terlambat," kata seseorang itu, seorang wanita dengan rambut dicat cokelat teran
Setelah beberapa saat, sementara wanita itu menarik Morgan meninggalkan meja bartender, Morgan tersadar kalau wanita ini adalah Hannah, si wanita yang tadi melerainya saat dia dan Josh hampir saja baku hantam.Kini dia bertanya-tanya kenapa wanita itu tiba-tiba menariknya keluar. Apakah kali ini pun dia mencoba menjauhkannya dari masalah, seperti sewaktu di jalan tadi?“Kau ke sini naik apa? Kau bawa mobil?” tanya Hannah, saat mereka sudah ada di luar bar.“Mobilku yang hitam itu,” kata Morgan, menunjuk mobilnya di area parkir.“Oke. Kita pergi dengan mobilmu. Ayo,” kata Hannah.Wanita itu lagi-lagi menariknya seakan-akan mereka adalah sepasang kekasih.Morgan sebenarnya merasa risih, tapi dibiarkannya saja wanita itu menariknya.Anggap saja, itu ucapan terima kasihnya karena Hannah sudah dua kali menyelamatkannya saat dia akan meledak.“Ayo jalan. Kita pergi ke mana pun kau mau. Yang penting tinggalkan tempat ini,” pinta Hannah.Mereka telah berada di dalam mobil. Morgan menyalakan m