Share

Morgan Orang Terhormat?

Penulis: Mr. K
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dalam sejarah Rumah Sakit P, itu adalah kali pertama seorang dokter ditampar oleh direktur rumah sakit, di hadapan pasien dan keluarga pasien.

Tentu saja Herman tak terima diperlakukan seperti itu.

Sebagai seorang dokter berpengalaman yang dianggap jenius oleh dokter-dokter lainnya, ditampar di hadapan orang-orang seperti ini adalah sebuah penghinaan.

Kulit muka Herman memerah. Separuh karena ditampar, separuh lagi karena amarah yang mulai meluap-luap.

Dia lantas menatap Vivi dengan sorot mata penuh dendam.

“Bu Direktur, kenapa Anda menampar saya? Kesalahan apa yang telah saya lakukan sampai-sampai saya harus menerima penghinaan ini?!” tanyanya.

Meski nada bicaranya tak tinggi, terasa sekali emosi yang kuat di situ.

“Anda bertanya kesalahan Anda apa? Anda hampir saja membuat reputasi rumah sakit ini hancur! Seharusnya Anda bersyukur karena orang terhormat yang Anda singgung tak meminta saya memecat Anda saat ini juga!” balas Vivi.

“Orang terhormat? Maksud Anda… kriminal ini..?”

“Dokter Herman! Jaga mulut Anda! Jangan sampai saya mengingatkan Anda lagi!”

Herman tampak bingung. Berkali-kali dia menatap Morgan lalu menatap Vivi, gagal mencerna apa yang barusan dikatakan sang direktur rumah sakit.

Si orang terhormat yang dimaksud adalah Morgan? Yang benar saja! Itu tak masuk akal!

Dan dia pun terkekeh.

“Bu Direktur, Anda pasti salah orang. Dia ini bukan orang terhormat—"

“Jangan coba-coba menantang saya, Dokter Herman! Anda memang dokter senior di sini, tetapi sayalah direktur rumah sakit ini. Saya punya kewenangan untuk memecat siapa pun yang tindakan atau ucapannya mencoreng nama baik rumah sakit ini! Anda mengerti?”

Direspons seperti itu, Herman langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

Apa yang dikatakan Vivi memang benar. Kendati wanita itu lebih muda belasan tahun darinya, posisinya di Rumah Sakit P ini memanglah jauh di atasnya.

Dia sebaiknya berhenti protes sebelum terlambat.

“Baik, Bu Direktur. Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang saya sebabkan,” kata Herman akhirnya, membungkuk hormat kepada Vivi.

Meski kata-kata yang digunakannya sangat sopan, terlihat sekali dari raut mukanya kalau Herman sebenarnya keberatan mengucapkannya.

Masalahnya, saat ini orang-orang di ruang inap itu memerhatikannya. Dan Herman bisa melihat dengan ujung matanya bahwa Morgan baru saja tersenyum meledeknya.

Saat dia berhenti membungkuk dan menatap Morgan, sepasang matanya seperti dua bola api yang berkobar-kobar.

Urusannya dengan pria yang dianggapnya kriminal ini belum selesai. Dia akan membalas penghinaan ini nanti.

“Tuan Morgan, saya mewakili seluruh dokter dan karyawan di rumah sakit ini memohon maaf atas ketidaknyamanan yang Anda rasakan. Jika ada yang bisa kami lakukan untuk membayarnya, silakan, jangan sungkan-sungkan untuk mengatakannya,” kata Vivi sambil tersenyum menatap Morgan.

Morgan sebenarnya bingung dengan kedatangan Vivi yang tiba-tiba dan sikapnya yang penuh hormat ini. Apakah wanita ini tahu dia siapa? Bagaimana bisa?

Di titik itulah, sebuah pesan chat dari Yudha diterimanya, dan pesan itu menjelaskan semuanya.

[Aku sudah menghubungi Direktur Rumah Sakit P. Aku minta dia membantumu selama kau di sana. Tapi tenang saja, dia tak akan membocorkan identitasmu.]

Morgan tersenyum miring. Yudha kadang memang suka memberinya bantuan yang tidak dia minta.

“Sudahlah. Tak perlu berlebihan seperti itu,” kata Morgan sambil menepuk pundak kiri Vivi.

Wanita itu menegakkan tubuhnya dan menatap Morgan. Kini dia terlihat lega.

Tadi ketika bicara dengan Jenderal Yudha di telepon, dia langsung panik saat diberitahu kalau Dewa Perang saat ini sedang berada di Rumah Sakit P untuk menjenguk istrinya yang terbaring koma.

Dalam bayangannya, Dewa Perang adalah sesosok pria bermuka seram yang suka membentak-bentak. Dia tak menyangka kalau ternyata orangnya selain tampan juga ramah.

“Tapi mungkin, ada satu hal yang bisa kalian lakukan untukku…” kata Morgan kemudian.

“Apa itu, Tuan Morgan? Katakan saja!” tanggap Vivi cepat.

“Istriku ini… dia memang sudah siuman, tapi masih butuh dirawat secara intensif beberapa lama. Pastikan dia mendapatkan perawatan terbaik yang bisa kalian berikan.”

“Baik, Tuan Morgan! Saya jamin, istri Anda akan kami tangani secara profesional dan maksimal. Dan kalau saya boleh kasih saran, mungkin sebaiknya istri Anda kami pindahkan saja ke ruang rawat inap VVVIP. Di sana fasilitas-fasilitas yang tersedia adalah yang terbaik yang kami miliki.”

Morgan mengangguk-angguk, berkata, “Ide bagus. Kalau begitu, pindahkan ke sana.”

“Baik, Tuan Morgan. Akan kami pindahkan istri Anda ke sana hari ini juga.”

“Oh ya, ada satu hal lagi…”

“Ya, Tuan?”

Morgan menatap Herman sebentar, tersenyum sarkas.

“Aku mau dokter yang menangani istriku diganti. Tak perlu kujelaskan, kan, apa alasannya?” katanya.

“Baik, Tuan. Saya mengerti. Mulai detik ini Dokter Herman tak akan lagi menangani istri Anda. Saya sendiri yang akan menggantikannya.”

Mendengar apa yang dikatakan Vivi, mata Herman membulat. Apalagi ini? Apakah wanita itu hendak mempermalukannya lagi? Bukankah tadi dia sudah mengesampingkan egonya dan meminta maaf?

“Anda dengar itu, Dokter Herman? Sekarang silakan Anda kembali ke ruangan Anda. Nanti tolong Anda ke ruangan saya untuk menjelaskan situasi pasien sejauh ini,” kata Vivi, menatap Herman dengan dingin.

Herman membuka mulut, hendak melontarkan protes, tetapi dia teringat apa yang terjadi tadi, sehingga dia pun mengurungkan niatnya.

Dia tak tahu ada apa di balik sikap hormat berlebihan Vivi kepada Morgan yang tampak sangat menggelikan di matanya itu, tapi dia akan mencaritahunya nanti.

“Baik, Bu Direktur,” kata Herman.

Setelah itu dia menatap Morgan sekilas lalu pergi, keluar dari ruang rawat inap itu.

“Ada lagi yang bisa kami bantu, Tuan Morgan?” tanya Vivi lagi.

“Saat ini cukup,” jawab Morgan, menggelengkan kepala.

“Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu. Anda bisa ke ruangan saya nanti jika Anda butuh sesuatu. Anda pun bisa menghubungi saya lewat chat atau panggilan telepon jika Anda berkenan,” ujar Vivi.

Mereka memang belum bertukar nomor kontak atau yang semacamnya, tapi karena Jenderal Yudha tahu nomornya, Vivi pun berpikir tak akan sulit bagi Morgan untuk mendapatkan nomornya.

Lagipula jika saat ini dia menawari Morgan untuk bertukar nomor kontak itu terlalu mencolok. Tidak pada tempatnya.

Bagaimanapun dia harus bisa menjaga sikap profesionalnya, sebab dia adalah orang yang memimpin Rumah Sakit P ini.

“Silakan,” ucap Morgan, mengangguk.

Vivi membalas anggukan Morgan dengan anggukan yang lebih rendah lantas keluar dari ruang rawat inap itu.

Selepas kepergian Vivi, Melisa dan Joseph, yang sedari tadi melongo terheran-heran dengan apa yang terjadi di hadapan mereka, mulai bersuara lagi.

“Apa yang sudah kau lakukan, Sampah?! Dokter Herman adalah dokter terbaik di rumah sakit ini. Dia telah menjadi dokter Keluarga Wistara selama belasan tahun. Sekarang, gara-gara ulahmu, Agnes tak akan lagi ditangani olehnya. Kau sadar apa yang telah kau lakukan, hah?!” cerca Joseph.

“Dasar keparat! Bahkan setelah bertahun-tahun kau masih saja menyusahkan Keluarga Wistara! Sialan kau, Morgan!” maski Melisa.

Morgan tak langsung menanggapi serangan-serangan itu. Dia menatap mereka dulu satu persatu.

Menggelikan sekali orang-orang ini, pikirnya. Bahkan setelah Morgan menunjukkan kepada mereka bahwa dia bisa membuat Agnes siuman, mereka masih saja gagal memahami bahwa sosok yang bisa menyembuhkan istrinya itu adalah dia, bukan Herman atau siapa pun.

Adapun tawaran Vivi yang berkata akan menangani istrinya untuk menggantikan Herman tak diprotesnya karena dia percaya, paling tidak, wanita itu bisa menjaga Agnes dengan baik.

Dan dia pun nanti akan meminta kepada Vivi agar orang seperti Arman, yang bukan bagian dari Keluarga Wistara, tak diizinkan untuk masuk ke ruang rawat inap Agnes yang baru.

Pria brengsek itu tak layak berada di dekat istrinya!

“Agnes sekarang sudah siuman, dan hari ini juga dia akan dipindahkan ke ruang rawat inap terbaik yang dimiliki rumah sakit ini. Bukankah semestinya kalian berterima kasih padaku?” ucap Morgan, tersenyum meledek.

“Hah?! Berterima kasih katamu? Kau tahu biaya sewa ruang rawat inap VVVIP di rumah sakit ini? Kenaikannya sampai sepuluh kali lipat, Bodoh! Sepuluh kali lipat! Sekarang siapa yang mau membayarnya, hah?! Siapa?!” sergah Joseph.

Keluarga Wistara saat ini memang sedang mengalami krisis finansial. Meski sempat mendapat suntikan dana yang lumayan besar dari Arman tujuh tahun lalu, Keluarga Wistara tak bisa mengelola Wistara Group dengan baik sehingga kini mereka kembali ke titik yang sama.

Dan mereka telah menggelontorkan uang dalam jumlah yang fantastis untuk melunasi biaya operasi Agnes saat dia ditangani di IGD seminggu yang lalu.

Mereka tak bisa kehilangan uang lebih banyak lagi. Tidak di saat belum ada titik terang soal dari mana mereka akan mendapatkan kucuran dana segar untuk menyelamatkan Wistara Group dari ancaman kebangkrutan.

“Soal itu, biar aku yang tangani. Kalian tak perlu khawatir,” kata Morgan, enteng.

Tak ayal, apa yang dikatakannya itu membuat Joseph murka.

“Kau pikir kau siapa, hah?! Kau ini baru saja keluar dari penjara! Kau pikir kami percaya kau punya uang, hah?!”

“Bagaimana kalau aku memang punya?”

“Tak usah bertingkah, Morgan! Hanya karena direktur rumah sakit tadi membelamu, bukan berarti dia akan menurunkan biaya sewa kamar dan biaya-biaya lainnya! Berhentilah bertingkah seakan-akan kau orang hebat, Keparat?!”

“Kau mau kita bertaruh lagi, Joseph?”

“Bajingan! Jangan besar kepala kau, Morgan!”

“Bisakah kalian diam sebentar, Tuan-tuan?!”

Ucapan terakhir terlontar dari si suster yang sedari tadi sedang mengamati perkembangan situasi Agnes.

Dan saat ini, ketika Morgan menoleh menatap Agnes, dia mendapati istrinya itu tampak kesakitan. Bulir-bulir keringat memenuhi wajah cantik Agnes.

“Nona, coba tarik napas dalam-dalam, setelah itu keluarkan dengan perlahan,” kata si suster.

Sambil memejamkan mata, Agnes mencoba melakukannya, tetapi sekejap kemudian dia terbatuk-batuk. Bulir-bulir keringat di wajahnya semakin banyak saja.

“Agnes, kau baik-baik saja?” tanya Morgan, yang kini sudah berada di samping kiri kasur dan tengah menaruh telapak tangannya di dahi Agnes.

‘Suhu tubuhnya tinggi sekali,’ pikirnya. Dan dia pun mengecek denyut nadi Agnes di itu di pergelangan tangan istrinya itu.

Terlalu lambat! Denyut nadi istrinya itu terlalu lambat!

“Ada apa ini? Apa yang terjadi? Bukankah seharusnya kita panggil dokter?” cerocos Melisa, panik.

Tak ada waktu untuk itu. Agnes harus segera diberi pertolongan medis darurat.

Morgan pun merobek baju pasien yang dikenakan istrinya itu dari atas.

“Hey, apa yang mau kau lakukan pada putriku, Keparat?!!” teriak Melisa.

Bab terkait

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Rencana Licik Joseph

    Morgan tak menggubris bentakan ibu mertuanya itu. Usai merobek sedikit baju pasien yang dikenakan Agnes, dia tekankan ujung jempol kanannya di dada istrinya itu, beberapa sentimeter di bawah leher.Morgan menarik napas, dan ketika dia mengembuskannya, dia menekan ujung jempol kanannya itu sembari menariknya ke bawah, membuat sebuah garis lurus hingga ke belahan dada istrinya.Apa yang dilakukannya ini adalah sebuah teknik pengobatan kuno yang bertujuan mendorong jantung memompa darah lebih cepat, yakni dengan mengalirkan energi murni yang dipusatkannya di ujung jempolnya itu.Teknik ini telah digunakan Morgan berkali-kali untuk menyelamatkan rekan atau anak-anak buahnya saat berada di medan perang, dan selalu berhasil. Kali ini pun hasilnya tak akan jauh berbeda.Akan tetapi, di mata Melisa yang tak tahu apa-apa soal teknik pengobatan kuno tersebut, Morgan tampak sedang mencoba melakukan hal tak senonoh terhadap putrinya.Tentu saja wanita paruh-baya itu murka. Bisa-bisanya Morgan me

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Upaya Menghabisi Morgan

    Joseph melangkah sambil tersenyum miring, merasa dia telah memenangkan pertarungan. Lebih dari tiga puluh polisi berpakaian preman telah dikerahkannya ke tempat ini. Sekuat apa pun Morgan sekarang, mestilah dia tak akan bisa apa-apa. Joseph telah memberi lampu hijau kepada anak-anak buahnya itu unuk menggunakan senjata api apabila diperlukan. “Kapten!” salah satu polisi berpakaian preman memberi hormat kepada Joseph. Joseph membalasnya dengan malas, lalu berkata, “Lakukan sesuai rencana. Aku tak peduli cara apa yang kalian pilih, yang jelas jangan sampai orang-orang curiga kalau dalang di balik aksi pengeroyokan ini adalah polisi. Paham?!” “Siap, Kapten! Laksanakan!” jawab bawahannya Joseph. Joseph kemudian memberi isyarat dengan kepalanya agar mereka kembali melangkah. Polisi-polisi preman itu pun mendekati mobil plat merahnya Joseph. Sambil menaruh ponselnya di telinga, Joseph sekilas menoleh untuk memastikan bahwa Morgan masih terkunci di mobilnya itu. ‘Mampus kau, Morgan! I

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Sudah Terlambat untuk Menyesal

    “Jangan bertindak bodoh! Buang senjata dan angkat tangan kalian kalau kalian masih ingin hidup!” Kalimat bernada mengancam itu dilontarkan oleh Kris. Dia dan pasukannya bergerak serempak mendekati orang-orangnya Joseph. Tentu saja, para polisi berpangkat rendah itu tak menduga mereka akan berurusan dengan tentara. Bukankah mereka hanya menjalankan tugas yang diberikan oleh atasan mereka? Dan kenapa juga puluhan tentara ini bisa ada di situ, menodongkan senjata kepada mereka seolah-olah mereka telah melakukan sesuatu hal buruk yang menyinggung institusi militer? Situasi ini tak masuk akal, kecuali…. ‘Jangan-jangan… apakah orang yang kamu keroyok ini… sebenarnya… seorang jenderal?’ gumam si polisi yang tadi beberapa kali berteriak itu. Dia langsung menoleh ke mobil, menatap Morgan dengan mata membulat. Tiba-tiba saja sosok Morgan yang duduk tenang di mobil itu kini membuatnya ketakutan. Dan saat dia melihat Morgan menyeringai, dia merasakan sesuatu seperti baru saja menancap di j

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Obrolan Busuk di Meja Makan

    Di mata Morgan, apa yang dikatakan si suster sangat tak masuk akal. Tak jadi dipindahkan? Bagaimana bisa? Bukankah tawaran untuk memindahkan istrinya ke ruang rawat inap VVVIP datang dari direktur rumah sakit sendiri? Dan apa maksudnya pula istrinya itu dibawa pulang? Siapa pun yang melihat Agnes akan tahu kalau wanita itu kondisinya masih sangat lemah. “Apa maksudnya ini? Jelaskan padaku!” pinta Morgan. Si suster pun mulai menuturkan apa yang diketahuinya. Jadi, alasan kenapa Keluarga Wistara memaksa membawa Agnes pulan adalah karena mereka tak mau mengeluarkan biaya lebih untuk pengobatan dan perawatan Agnes. Karena Agnes sudah siuman, mereka berpikir bisa melanjutkan pengobatan di rumah saja. Dan rupanya ide ini datang dari Herman. Tadi si suster sempat melihat Herman menemui keluarga pasien dan bicara panjang lebar dengan mereka. “Dokter Herman meyakinkan keluarga pasien bahwa dia akan lanjut mengobati dan merawat pasien meski pasien telah berada di rumah. Keluarga pasien m

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Uang Tunai 50 Miliar

    Henry dan kedua anak lelakinya berjalan menuju halaman depan. “Apa maksudnya ini? Bukankah tadi kau bilang kau sudah menyingkirkannya, Joseph? Ataukah itu hanya bualanmu?” tanya Henry. Joseph bingung harus menjawabnya seperti apa. Jujur saja, dia pun terkejut dengan kedatangan Morgan ini. “Aku sudah memerintahkan anak-anak buahku untuk menghabisinya, Pa. Mestinya mereka membuang mayatnya ke hutan atau ke—” “Faktanya dia ke sini! Si sampah itu ke sini!” Henry memotong penjelasan Joseph. Jelas sekali, suasana hati Henry sedang sangat buruk, dan Joseph hanya membuatnya lebih parah. Robert, yang lebih cerdik dari adiknya, memilih untuk tak mengatakan apa pun dulu. Dia sibuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi saat anak-anak buahnya Joseph itu menghajar Morgan. … Sementara itu di luar, di halaman depan rumah Keluarga Wistara, Morgan berdiri layaknya tokoh utama di sebuah film laga. Di sekitarnya pria-pria bepakaian serbahitam terbaring dan meringis kesakitan. Mereka adalah par

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Utang Tamparan 90 Kali

    “Bagaimana? Kalian lihat sendiri, kan? Tas ini isinya benar-benar uang,” sindir Morgan. Ketiga pria di hadapannya itu tak sanggup bicara. Untuk beberapa saat, kata-kata seperti tercerabut dari lidah mereka. Tapi kemudian Robert dan Joseph angkat bicara. “Itu pasti uang mainan, kan?” “Ah ya, pasti uang mainan. Atau uang palsu. Tak mungkin si miskin ini punya uang 50 miliar!” Morgan berdecih. Dia lalu meraup segepok uang dari tas jinjingnya itu, berdiri, lantas menyodorkannya ke Henry. “Sepertinya kaulah satu-satunya orang waras di hadapanku saat ini, Ayah Mertua. Bagaimana kalau kau periksa keaslian uang ini?” ujarnya. Henry menatap Morgan dengan dingin. Dia lalu menerima segepok uang tersebut. Dan saat mengeceknya, dia terbelalak. “Ini…. dolar…?” Ya, lembaran-lembaran itu memang dalam dolar. Morgan sengaja meminta itu ke pihak bank supaya semua lembarannya bisa masuk ke tas jinjing yang dibawanya itu. “Apa, Pa? Dolar? Dolar palsu maksudnya?” celetuk Joseph. “Diam kau, Josep

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Ancaman Baru

    Tommy, Walikota Kota HK, sedang menonton acara lawak favoritnya ketika tadi Henry meneleponnya. Dia yang semula tertawa-tawa, langsung menunjukkan muka jengah. Henry adalah salah satu orang yang punya peran penting dalam naiknya karier politik Tommy. Bahwa dia bisa menjadi Walikota Kota HK seperti sekarang, sebagian besar karena dukungan gencar dari Henry pada saat pilkada tiga tahun lalu. Dan dia tahu, jika tiba-tiba teman lamanya itu menghubunginya, itu artinya dia punya permintaan. Dan siapa yang menduga, permintaannya itu ternyata begitu rumit. “Sialan kau, Henry! Berani-beraninya kau menempatkanku dalam posisi ini!” gerutunya. Dilemparkannya bungkus rokok di tangannya ke dinding. Batang-batang rokok itu berceceran di lantai. Awalnya, Tommy tak mengendus masalah apa pun. Henry hanya memintanya untuk meringkus seorang pria yang membawa anak bungsunya. Namun, masalah itu baru terendus setelah asistennya Tommy yang juga seorang peretas ulung melakukan penelusuran terhadap pri

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Salah Memilih Target

    Morgan balas menatap pria itu dengan garang. Mobil ini adalah hadiah dari Jenderal Yudha atas prestasinya selama di militer, dan baru saja pria itu merusaknya. Dia harus merasakan akibatnya! Morgan pun membuka pintu mobil dan mendorongnya kuat-kuat. Gedebuk! “Argh!” Pintu itu menghantam si pria yang membawa pemukul bisbol, membuatnya tersungkur. “Kau tunggu di sini saja, ya. Apa pun yang terjadi, jangan keluar dari mobil. Oke?” Morgan mengatakannya sambil menatap Agnes dengan cemas. Istrinya itu mengangguk. Morgan lantas mematikan mesin mobil, mencabut kunci, keluar dan langsung menguncinya. “Bajingan kau! Rasakan ini!” Si pria yang tadi tersungkur itu telah kembali berdiri dan kini mengayunkan pemukul bisbolnya ke arah Morgan, menyasar kepalanya. Morgan menangkis pemukul bisbol itu dengan mudahnya, membuatnya terpelanting jauh. Si pria yang mencari gara-gara dengannya itu tampak terkejut, tak mengira Morgan sekuat itu. Dan sebelum sempat dia melakukan apa-apa, Morgan men

Bab terbaru

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Tak Belajar dari Kesalahan

    Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Tawaran untuk Membelot

    Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Berkumpulnya Lima Jenderal

    “Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Morgan adalah Sang Dewa Perang

    Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Bernard Membelot

    “Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Menaklukkan Bernard

    Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Memburu Bernard

    Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Kehilangan Besar

    “Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Akhir Tragis Matthew

    “Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat

DMCA.com Protection Status