Home / Urban / Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang / Upaya Menghabisi Morgan

Share

Upaya Menghabisi Morgan

Author: Mr. K
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Joseph melangkah sambil tersenyum miring, merasa dia telah memenangkan pertarungan.

Lebih dari tiga puluh polisi berpakaian preman telah dikerahkannya ke tempat ini. Sekuat apa pun Morgan sekarang, mestilah dia tak akan bisa apa-apa.

Joseph telah memberi lampu hijau kepada anak-anak buahnya itu unuk menggunakan senjata api apabila diperlukan.

“Kapten!” salah satu polisi berpakaian preman memberi hormat kepada Joseph.

Joseph membalasnya dengan malas, lalu berkata, “Lakukan sesuai rencana. Aku tak peduli cara apa yang kalian pilih, yang jelas jangan sampai orang-orang curiga kalau dalang di balik aksi pengeroyokan ini adalah polisi. Paham?!”

“Siap, Kapten! Laksanakan!” jawab bawahannya Joseph.

Joseph kemudian memberi isyarat dengan kepalanya agar mereka kembali melangkah. Polisi-polisi preman itu pun mendekati mobil plat merahnya Joseph.

Sambil menaruh ponselnya di telinga, Joseph sekilas menoleh untuk memastikan bahwa Morgan masih terkunci di mobilnya itu.

‘Mampus kau, Morgan! Inilah yang terjadi kalau kau menantangku!’ pikirnya.

Dia lanjut berjalan menghampiri sebuah mobil sedan yang telah disiapkan oleh anak-anak buahnya. Di detik dia duduk di jok kemudi, seseorang yang dihubunginya menjawab panggilan.

[Ada apa? Pastikan ini sesuatu yang penting karena aku sedang bertemu klien penting!]

Yang mengangkat panggilan adalah Robert, kakaknya Joseph, cucu pertama Keluarga Wistara.

“Ini soal Morgan, Robert. Si sampah itu bebas dari penjara hari ini. Tadi dia datang begitu saja ke rumah sakit,” kata Joseph.

[Hah? Apa katamu?]

“Aku bilang si benalu itu tadi tiba-tiba muncul di rumah sakit dan berbuat kekacauan. Dia bahkan menampar Arman!”

[Apa?! Gila dia! Bagaimana kalau Arman benar-benar mengurungkan niatnya untuk memberi kita kucuran dana?!]

“Itu dia. Kacau banget si sampah itu. Tapi tenang saja, sekarang orang-orangku sudah mengepungnya. Dia tak akan bisa lolos.”

[Bagus! Pastikan kau habisi dia!]

Joseph mengerutkan kening.

“Maksudmu… kita harus membunuhnya?”

[Ya.]

“Tidakkah itu berlebihan, Robert?”

Di jauh sana, Robert terdengar berdecih.

[Dengar, Joseph. Kita telah menjebloskan dia ke penjara, tetapi setelah dia bebas dia langsung mengganggu kita. Orang seperti ini bagusnya kita lenyapkan saja sekalian, daripada dia mengganggu kita lagi nanti.]

“Ah, kau benar.”

[Dan jangan sampai kembalinya si sampah ini membuat orang-orang mengendus keterlibatan kita dalam insiden penculikan Agnes. Kau tak mau kariermu di kepolisian berakhir kan, Joseph?]

Joseph menggeleng-gelengkan kepala. Susah-payah dia mencapai posisi strategisnya saat ini di kepolisian kota. Tentu saja dia tak mau Morgan berulah dan membuat kariernya hancur.

“Oke, akan kupastikan hidupnya berakhir hari ini. Anak-anak buahku akan mengatur seolah-olah dia dikeroyok dan dihabisi oleh organisasi mafia,” kata Joseph.

Percakapan kakak-beradik itu pun berakhir. Joseph lalu menoleh ke jendela dan melakukan panggilan lain.

Dilihatnya anak-anak buahnya itu sedang mengerubungi Morgan yang terkunci di mobilnya.

“Ada sedikit perubahan rencana. Habisi dia. Lakukan dengan rapi,” ucap Joseph.

Setelah itu dia menaruh ponselnya d dasbor. Masih sambil menatap ke titik yang sama, kali ini dia tersenyum miring.

“Jangan salahkan aku, Morgan. Ini konsekuensi yang harus kau terima sebab kau telah mengusik Keluarga Wistara,” ujarnya.

Joseph kemudian menyalakan mesin, melajukan sedannya, meninggalkan tempat itu.

Sementara itu di dalam mobil plat merah yang ditinggalkan Joseph, Morgan duduk tenang meskipun anak-anak buahnya Joseph kini mengerubunginya dan mengintimidasinya.

Beberapa kali, mereka menggedor-gedor kaca jendela mobil. Beberapa kali, mereka mengacung-acungkan senjata tajam maupun senjata api.

Orang-orang ini lebih mirip kawanan preman ketimbang polisi.

“Hey, Pengecut! Cepat keluar atau kami hancurkan kau dan mobil ini!” teriak salah satu polisi berpakaian preman.

Morgan menyeringai. Orang-orang ini mengancamnya seakan-akan mereka yakin betul kalau mereka bisa melakukan apa pun yang mereka mau terhadap Morgan.

Morgan penasaran, seandainya orang-orang itu tahu kalau dia adalah Dewa Perang, apakah mereka masih bisa bertingkah secongkak itu di hadapannya?

“Lihat, dia malah tersenyum!”

“Dia menyepelekan kita!”

“Keparat! Mungkin dia pikir dia ini hebat!”

“Tak bisa dibiarkan!”

“Kita paksa saja dia keluar!”

“Ayo!”

Dan orang-orang itu pun mengangkat senjata mereka masing-masing, bergantian menyerang mobil plat merah milik kepolisian itu.

Beberapa dari mereka mencoba menghantam jendela mobil.

Ajaibnya, jendela-jendela itu tak langsung pecah. Hanya ada retakan kecil saja, menandakan betapa kuat sebenarnya mobil ini.

Selama mereka bertingkah barbar itu, Morgan hanya merasakan guncangan-guncangan saja.

Tentu saja, anak-anak buahnya Joseph itu tak berhenti merusak mobil.

Perintah yang diberikan Joseph sudah jelas: habisi Morgan.

Itu berarti Joseph telah memberikan izin kepada mereka untuk melakukan apa pun terhadap mobil dinas tersebut selama tujuan tercapai.

“Siapkan minyak dan api! Kita bakar saja kalau si bangsat ini tak mau keluar juga!” teriak salah satu dari mereka.

Beberapa orang tampak menjauh, memisahkan diri dari kerumunan. Tak lama kemudian mereka kembali dengan membawa beberapa dirigen.

Morgan bisa menebak, dirigen-dirigen itu berisi minyak tanah.

“Siramkan!” teriak pria yang sama, dan minyak dari dirigen-dirigen itu pun dituangkan ke kap depan mobil, lantas ke bagian tengahnya, juga ke bagian belakangnya.

“Mundur!” teriak pria itu lagi, kali ini sambil menodongkan pistol ke arah mobil.

Teman-temannya bergerak mundur, menjauh dari mobil.

Pria itu sendiri mundur beberapa langkah, barangkali khawatir api atau percikan api kelak mengenainya.

“Ini peringatan terakhir untukmu, Bajingan! Kalau kau tak mau keluar juga, akan kupastikan kau mati terbakar! Sekarang tentukan pilihanmu! Aku hitung sampai tiga!” masih kata pria yang sama.

Bagaimana Morgan merespons ancaman tersebut?

Dia hanya menoleh, menatap pria yang berkoar-koar itu, memamerkan senyum miringnya.

Dia seakan menantang anak buahnya Joseph itu untuk melepaskan tembakan saat itu juga.

“Anjing kau!!! Bahkan dalam situasi terdesak seperti ini pun kau masih menantangku?!” pria itu geram.

Menurutnya, dia telah menciptakan situasi yang ideal untuk membuat seseorang ketakutan.

Tetapi ini… jangankan ketakutan, Morgan bahkan masih bisa menatapnya dengan ketenangan yang luar biasa, seolah-olah yakin bahwa dia akan baik-baik saja.

“Sudah, tembak saja dia, Bos!”

“Iya, tembak saja!”

“Biarkan dia tahu rasa!”

Begitulah desakan dari polisi-polisi lain.

Dan seperti tadi, respons Morgan hanyalah tersenyum miring.

Dia tak sedikit pun mengedipkan matanya; menatap lurus pada si polisi yang menodongkan senjata padanya.

Sebab memang baginya, apa-apa yang dilakukan orang-orangnya Joseph ini sama sekali tak ada artinya.

Kalaupun mobil benar terbakar, dia akan bisa keluar dari kobaran api tanpa luka bakar sedikit pun.

Perang-perang mematikan yang telah dijalani Morgan membuatnya terlatih untuk bisa cepat keluar situasi-situasi neraka.

Dan yang dialaminya saat ini, masihlah belum apa-apa.

“Aku beri kau kesempatan sekali lagi. Akan kuhitung sampai tiga. Kalau kau tak mau keluar juga, akan kutembak mobil ini berkali-kali sampai meledak!” ancam pria yang dipanggil ‘Bos’ itu.

“Satu… dua…”

Dor! Dor! Dor! Dor!

“Apa pun yang sedang kalian lakukan di sana, hentikan sekarang juga!”

Teriakan tersebut, juga rentetan tembakan yang mendahuluinya, membuat anak-anak buahnya Joseph itu menoleh ke belakang.

“A-apa apaan ini…?”

Tiba-tiba saja puluhan tentara bersenjata lengkap telah mengepung mereka.

Related chapters

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Sudah Terlambat untuk Menyesal

    “Jangan bertindak bodoh! Buang senjata dan angkat tangan kalian kalau kalian masih ingin hidup!” Kalimat bernada mengancam itu dilontarkan oleh Kris. Dia dan pasukannya bergerak serempak mendekati orang-orangnya Joseph. Tentu saja, para polisi berpangkat rendah itu tak menduga mereka akan berurusan dengan tentara. Bukankah mereka hanya menjalankan tugas yang diberikan oleh atasan mereka? Dan kenapa juga puluhan tentara ini bisa ada di situ, menodongkan senjata kepada mereka seolah-olah mereka telah melakukan sesuatu hal buruk yang menyinggung institusi militer? Situasi ini tak masuk akal, kecuali…. ‘Jangan-jangan… apakah orang yang kamu keroyok ini… sebenarnya… seorang jenderal?’ gumam si polisi yang tadi beberapa kali berteriak itu. Dia langsung menoleh ke mobil, menatap Morgan dengan mata membulat. Tiba-tiba saja sosok Morgan yang duduk tenang di mobil itu kini membuatnya ketakutan. Dan saat dia melihat Morgan menyeringai, dia merasakan sesuatu seperti baru saja menancap di j

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Obrolan Busuk di Meja Makan

    Di mata Morgan, apa yang dikatakan si suster sangat tak masuk akal. Tak jadi dipindahkan? Bagaimana bisa? Bukankah tawaran untuk memindahkan istrinya ke ruang rawat inap VVVIP datang dari direktur rumah sakit sendiri? Dan apa maksudnya pula istrinya itu dibawa pulang? Siapa pun yang melihat Agnes akan tahu kalau wanita itu kondisinya masih sangat lemah. “Apa maksudnya ini? Jelaskan padaku!” pinta Morgan. Si suster pun mulai menuturkan apa yang diketahuinya. Jadi, alasan kenapa Keluarga Wistara memaksa membawa Agnes pulan adalah karena mereka tak mau mengeluarkan biaya lebih untuk pengobatan dan perawatan Agnes. Karena Agnes sudah siuman, mereka berpikir bisa melanjutkan pengobatan di rumah saja. Dan rupanya ide ini datang dari Herman. Tadi si suster sempat melihat Herman menemui keluarga pasien dan bicara panjang lebar dengan mereka. “Dokter Herman meyakinkan keluarga pasien bahwa dia akan lanjut mengobati dan merawat pasien meski pasien telah berada di rumah. Keluarga pasien m

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Uang Tunai 50 Miliar

    Henry dan kedua anak lelakinya berjalan menuju halaman depan. “Apa maksudnya ini? Bukankah tadi kau bilang kau sudah menyingkirkannya, Joseph? Ataukah itu hanya bualanmu?” tanya Henry. Joseph bingung harus menjawabnya seperti apa. Jujur saja, dia pun terkejut dengan kedatangan Morgan ini. “Aku sudah memerintahkan anak-anak buahku untuk menghabisinya, Pa. Mestinya mereka membuang mayatnya ke hutan atau ke—” “Faktanya dia ke sini! Si sampah itu ke sini!” Henry memotong penjelasan Joseph. Jelas sekali, suasana hati Henry sedang sangat buruk, dan Joseph hanya membuatnya lebih parah. Robert, yang lebih cerdik dari adiknya, memilih untuk tak mengatakan apa pun dulu. Dia sibuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi saat anak-anak buahnya Joseph itu menghajar Morgan. … Sementara itu di luar, di halaman depan rumah Keluarga Wistara, Morgan berdiri layaknya tokoh utama di sebuah film laga. Di sekitarnya pria-pria bepakaian serbahitam terbaring dan meringis kesakitan. Mereka adalah par

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Utang Tamparan 90 Kali

    “Bagaimana? Kalian lihat sendiri, kan? Tas ini isinya benar-benar uang,” sindir Morgan. Ketiga pria di hadapannya itu tak sanggup bicara. Untuk beberapa saat, kata-kata seperti tercerabut dari lidah mereka. Tapi kemudian Robert dan Joseph angkat bicara. “Itu pasti uang mainan, kan?” “Ah ya, pasti uang mainan. Atau uang palsu. Tak mungkin si miskin ini punya uang 50 miliar!” Morgan berdecih. Dia lalu meraup segepok uang dari tas jinjingnya itu, berdiri, lantas menyodorkannya ke Henry. “Sepertinya kaulah satu-satunya orang waras di hadapanku saat ini, Ayah Mertua. Bagaimana kalau kau periksa keaslian uang ini?” ujarnya. Henry menatap Morgan dengan dingin. Dia lalu menerima segepok uang tersebut. Dan saat mengeceknya, dia terbelalak. “Ini…. dolar…?” Ya, lembaran-lembaran itu memang dalam dolar. Morgan sengaja meminta itu ke pihak bank supaya semua lembarannya bisa masuk ke tas jinjing yang dibawanya itu. “Apa, Pa? Dolar? Dolar palsu maksudnya?” celetuk Joseph. “Diam kau, Josep

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Ancaman Baru

    Tommy, Walikota Kota HK, sedang menonton acara lawak favoritnya ketika tadi Henry meneleponnya. Dia yang semula tertawa-tawa, langsung menunjukkan muka jengah. Henry adalah salah satu orang yang punya peran penting dalam naiknya karier politik Tommy. Bahwa dia bisa menjadi Walikota Kota HK seperti sekarang, sebagian besar karena dukungan gencar dari Henry pada saat pilkada tiga tahun lalu. Dan dia tahu, jika tiba-tiba teman lamanya itu menghubunginya, itu artinya dia punya permintaan. Dan siapa yang menduga, permintaannya itu ternyata begitu rumit. “Sialan kau, Henry! Berani-beraninya kau menempatkanku dalam posisi ini!” gerutunya. Dilemparkannya bungkus rokok di tangannya ke dinding. Batang-batang rokok itu berceceran di lantai. Awalnya, Tommy tak mengendus masalah apa pun. Henry hanya memintanya untuk meringkus seorang pria yang membawa anak bungsunya. Namun, masalah itu baru terendus setelah asistennya Tommy yang juga seorang peretas ulung melakukan penelusuran terhadap pri

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Salah Memilih Target

    Morgan balas menatap pria itu dengan garang. Mobil ini adalah hadiah dari Jenderal Yudha atas prestasinya selama di militer, dan baru saja pria itu merusaknya. Dia harus merasakan akibatnya! Morgan pun membuka pintu mobil dan mendorongnya kuat-kuat. Gedebuk! “Argh!” Pintu itu menghantam si pria yang membawa pemukul bisbol, membuatnya tersungkur. “Kau tunggu di sini saja, ya. Apa pun yang terjadi, jangan keluar dari mobil. Oke?” Morgan mengatakannya sambil menatap Agnes dengan cemas. Istrinya itu mengangguk. Morgan lantas mematikan mesin mobil, mencabut kunci, keluar dan langsung menguncinya. “Bajingan kau! Rasakan ini!” Si pria yang tadi tersungkur itu telah kembali berdiri dan kini mengayunkan pemukul bisbolnya ke arah Morgan, menyasar kepalanya. Morgan menangkis pemukul bisbol itu dengan mudahnya, membuatnya terpelanting jauh. Si pria yang mencari gara-gara dengannya itu tampak terkejut, tak mengira Morgan sekuat itu. Dan sebelum sempat dia melakukan apa-apa, Morgan men

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Kebohongan yang Mengecewakan

    Morgan mengecek suhu tubuh dan denyut nadi Agnes. “Agnes, kau demam!” ucapnya. Mendapati Agnes tak juga berhenti menggigil dan menggigiti jari-jemarinya, Morgan memutuskan untuk membawa istrinya itu pulang. Makan malam dibatalkan. Saat ini yang menjadi fokusnya adalah membuat istrinya itu kembali merasa nyaman. … Sekitar satu jam kemudian, di kamar yang ditempati Agnes beberapa hari terakhir… Sekarang Agnes sudah tenang, sedang terbaring memejamkan mata dengan kain kompres menempel di keningnya. Tadi setibanya mereka di rumah tersebut, Morgan sampai harus mengalirkan energi murninya ke tubuh Agnes. Rupanya, apa yang dilihatnya di jalan tadi itu membangkitkan traumanya. Seerhananya begini: gara-gara insiden penculikan dan penyekapan yang pernah dialaminya itu, otaknya merekam segala bentuk kekerasan fisik sebagai bahaya. Meskipun kekerasan fisik itu dialami oleh orang lain, tetap saja otaknya mengira kalau bahaya itu mengancamnya. Tubuhnya bereaksi secara spontan. Agnes bahka

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Siapa Pria Ini Sebenarnya?

    Morgan sungguh tak mengerti apa yang terjadi pada Agnes. Apa pun yang dia katakan, apa pun yang coba dia lakukan, tampaknya salah di mata istrinya itu. Dia pun terpaksa membiarkan istrinya itu sendirian, meski sesungguhnya dia cemas. ‘Kenapa tiba-tiba jadi begini? Memangnya apa yang salah?’ pikirnya, gelisah. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, perasaannya sungguh tak enak. Setelah si content creator mantan tentara yang direkomendasikan Yudha itu datang untuk bekerja, Moran menitipkan Agnes padanya. Dia sendiri menuju ke kantor pusat Charta Group, sesuai saran Yudha. Meski datang untuk urusan bisnis penting, Morgan hanya mengenakan celana jeans dan kaus oblong. Itu memang setelan pakaian favoritnya. Dia tak nyaman jika harus mengenakan setelan kantoran yang kaku. Namun tentu, penampilannya ini membuat orang-orang yang melihatnya menyepelekannya. "Ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya seorang wanita di meja resepsionis. "Aku ingin bertemu dengan Felisia. Di lantai ber

Latest chapter

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Tak Belajar dari Kesalahan

    Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Tawaran untuk Membelot

    Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Berkumpulnya Lima Jenderal

    “Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Morgan adalah Sang Dewa Perang

    Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Bernard Membelot

    “Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Menaklukkan Bernard

    Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Memburu Bernard

    Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Kehilangan Besar

    “Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta

  • Pembalasan Dendam Sang Dewa Perang   Akhir Tragis Matthew

    “Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat

DMCA.com Protection Status