Henry dan kedua anak lelakinya berjalan menuju halaman depan.
“Apa maksudnya ini? Bukankah tadi kau bilang kau sudah menyingkirkannya, Joseph? Ataukah itu hanya bualanmu?” tanya Henry.
Joseph bingung harus menjawabnya seperti apa. Jujur saja, dia pun terkejut dengan kedatangan Morgan ini.
“Aku sudah memerintahkan anak-anak buahku untuk menghabisinya, Pa. Mestinya mereka membuang mayatnya ke hutan atau ke—”
“Faktanya dia ke sini! Si sampah itu ke sini!” Henry memotong penjelasan Joseph.
Jelas sekali, suasana hati Henry sedang sangat buruk, dan Joseph hanya membuatnya lebih parah.
Robert, yang lebih cerdik dari adiknya, memilih untuk tak mengatakan apa pun dulu.
Dia sibuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi saat anak-anak buahnya Joseph itu menghajar Morgan.
…
Sementara itu di luar, di halaman depan rumah Keluarga Wistara, Morgan berdiri layaknya tokoh utama di sebuah film laga.
Di sekitarnya pria-pria bepakaian serbahitam terbaring dan meringis kesakitan.
Mereka adalah para pengawal tambahan yang ditugaskan untuk melindungi kawasan ini, menjadi pelapis para satpam yang berjaga di gerbang depan.
Di sampingnya, sebuah tas jinjing besar berwarna hitam yang menggelembung.
Saat pintu rumah terbuka dan tiga orang pria muncul, Morgan mengarahkan pandangannya ke sana. Dilihatnya ketiga orang itu tercengang.
“Apa-apaan ini?! Kau… berani-beraninya kau mengacau di rumahku, Bajingan!” hardik Henry.
Setelah bertahun-tahun, Morgan kembali berhadapan dengan ayah mertuanya yang arogan ini.
Tapi jika dulu dia hanya akan menunduk dan diam saja dihardik seperti itu, kali ini tidak.
“Di mana Agnes? Aku datang untuk membawanya. Kita telah sepakat, kan, Joseph?” ujar Morgan.
Henry mengerutkan kening dan menatap Joseph.
Joseph memang tak mengatakan apa pun soal kesepakatannya dengan Morgan di rumah sakit tadi, sebab baginya kesepakatan konyol itu hanya omong-kosong.
Lagi pula, si pengambil keputusan di Keluarga Wistara bukanlah dia, melainkan Henry.
“Aku tak tahu omong-kosong apa yang kau maksud. Aku tak ingat pernah bersepakat dengan sampah sepertimu,” ucap Henry kemudian, menatap Morgan kembali.
“Yang kulihat sekarang, kau menghajar orang-orangku, di rumahku. Ini pelanggaran privasi! Jangan harap kau bisa pergi begitu saja!” sambungnya.
Morgan memicingkan mata. Dia sudah bisa menebak kalau jadinya akan seperti ini.
Dia pun menatap Joseph dengan dingin. Kakak iparnya itu langsung tercekat, seolah-olah dia melihat hantu.
“Baiklah. Seharusnya aku tahu kalau satu-satunya orang yang bisa dipegang omongannya di keluarga ini adalah kau, Ayah Mertua,” ucap Morgan, sinis.
“Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan? Aku akan memberikan kepada kalian apa yang sedang kalian butuhkan. Sebagai gantinya, biarkan aku membawa Agnes. Aku akan mengobatinya dan merawatnya,” sambungnya.
Mendengar itu, Henry langsung tertawa terbahak-bahak.
“Kau tahu apa yang saat ini kami butuhkan, hah? Suntikan dana untuk perusahaan. Dan kau tahu besarannya berapa? 50 miliar! Memangnya kau pikir kau punya uang sebanyak itu? Orang miskin sepertimu… bahkan 5 juta saja saat ini belum tentu kau punya!” cecarnya.
Menanggapinya, Morgan hanya tersenyum kecut.
Dia tahu saat ini Keluarga Wistara sedang membutuhkan 50 miliar. Kris telah memberitahunya hal ini dalam perjalanan ke Rumah Sakit P.
Dan dia telah menyiapkan uang itu.
“Cuma 50 miliar? Oke, akan kuberi kalian 50 miliar. Tapi kalian harus berjanji, di detik kalian mendapatkan uang itu, di detik itu pula aku bisa membawa Agnes. Oke?”
Kali ini apa yang dikatakan Morgan membuat Henry terdiam. Dia mendelik. Menurutnya Morgan hanya membual dan lama-lama dia muak juga dengan bualan menantunya ini.
“Berhenti bermain-main denganku, Morgan! Kau mungkin bisa menghajar para pengawalku, tapi jangan lupa, setelah apa yang kau lakukan ini aku bisa kembali menjebloskanmu ke penjara. Jangan remehkan pengaruh Keluarga Wistara di kota ini!” ancam Henry.
“Betul kata Papa. Kalau kau pikir kau begitu hebat karena bisa melumpuhkan orang-orang ini, kau salah. Dunia ini tak semudah yang kau bayangkan, Morgan. Dan kau harus ingat, kau ini hanya mantan narapidana. Jangankan punya uang 50 miliar, kau bisa mendapatkan pekerjaan setelah ini saja itu sudah keajaiban. Sadari posisimu, Sialan!” timpal Robert.
Morgan terkekeh. Dua orang ini, mereka bertingkah seolah-olah mereka tahu betul Morgan saat ini seperti apa.
“Katakanlah aku bisa memberi kalian uang 50 miliar yang kalian butuhkan itu. Bagaimana dengan tawaranku tadi? Kalian berjanji akan membiarkanku membawa Agnes?” tanya Morgan.
Wajah Henry langsung memerah. Dia pun mendengus seperti banteng.
“Oke! Kalau kau memang punya uang sebanyak itu, tunjukkan padaku! Baru setelah itu kita bicara soal tawaran dan kesepakatan!” kata Henry.
Morgan tersenyum miring. Dia lalu mengambil tas jinjing di dekatnya itu.
Dengan tegap dan penuh percaya diri, Morgan melangkah ke depan membawa tas jinjingnya itu.
Setelah jarak antara dia dan ayah mertuanya hanya tiga meter, dia lemparkan tas tersebut.
“Uang yang kalian butuhkan ada situ. Hitung saja kalau kalian mau,” ucapnya.
Hening sejenak, Robert kemudian tertawa.
“Heh, kau pikir kami percaya tas yang kau lempar ini berisi 50 miliar rupiah? Kau pikir berapa banyak lembaran uang yang dibutuhkan untuk mencapai 50 miliar? Kau bisa menghitung tidak, hah?” cibir Robert.
“Orang ini sudah gila. Baru juga keluar dari penjara, dia bertingkah seolah-olah dia punya uang tunai sebanyak itu. Aku berani bertaruh, paling juga tas jinjing ini isinya baju-baju kotor dan sampah-sampah. Cocok buat sampah seperti dia!” timpal Joseph.
Henry mendengus. Apa yang dikatakan dua anaknya itu ada benarnya. Mana mungkin mantan narapidana yang baru saja bebas seperti Morgan punya uang sebanyak itu.
Lagipula, kalaupun isinya benar lembaran uang kertas, memangnya jumlahnya mencapai 50 miliar?
Butuh lima puluh ribu lembar seratus ribuan mencapai 50 miliar rupiah!
Lembaran sebanyak itu tak mungkin cukup dimasukkan ke tas jinjing di hadapannya!
‘Dasar pembual!’ pikirnya.
Ketika dia menatap Morgan lagi, sorot matanya memancarkan kemarahan.
“Berhenti membuang-buang waktuku! Kau masih punya kesempatan untuk angkat kaki sekarang juga. Kalau tidak, akan kutelepon polisi dan kulaporkan kau atas tuduhan memasuki ruang pribadiku tanpa izin!” hardik Henry.
Tetapi Morgan, di hadapannya, malah menghela napas seolah menyepelekan mereka.
“Kalau kalian tak mau membuka tas jinjing ini, biar aku yang buka,” ujarnya.
Langsung saja dia mendekati tas jinjing tersebut dan berjongkok.
Uang ini telah dia siapkan secara teliti oleh pihak bank sebelum dia meluncur ke tempat ini.
Saking tak biasanya penarikan tunai dalam jumlah sebanyak itu, pihak bank tadi sampai memperlakukannya seakan-akan dia nasabah terpenting yang mereka miliki.
“Ayo cepat buka! Cepat tunjukkan kepada kami kalau isi tas ini memang uang!” ucap Robert.
“Kalau sampai isinya memang uang, dan jumlahnya benar 50 miliar, kau boleh menamparku seratus kali!” ujar Joseph.
Morgan yang akan menarik retsleting tas jinjing itu mengambil jeda, menatap Joseph dengan mata memicing.
“Aku pegang kata-katamu, Joseph. Kali ini tak akan kubiarkan kau mengelak,” katanya.
Barulah setelah itu dia membuka retsleting tas jinjingnya, dan seketika itu juga lembaran-lembaran uang berhamburan keluar.
Joseph sampai mundur dua langkah saking terkejutnya.
…
“Bagaimana? Kalian lihat sendiri, kan? Tas ini isinya benar-benar uang,” sindir Morgan. Ketiga pria di hadapannya itu tak sanggup bicara. Untuk beberapa saat, kata-kata seperti tercerabut dari lidah mereka. Tapi kemudian Robert dan Joseph angkat bicara. “Itu pasti uang mainan, kan?” “Ah ya, pasti uang mainan. Atau uang palsu. Tak mungkin si miskin ini punya uang 50 miliar!” Morgan berdecih. Dia lalu meraup segepok uang dari tas jinjingnya itu, berdiri, lantas menyodorkannya ke Henry. “Sepertinya kaulah satu-satunya orang waras di hadapanku saat ini, Ayah Mertua. Bagaimana kalau kau periksa keaslian uang ini?” ujarnya. Henry menatap Morgan dengan dingin. Dia lalu menerima segepok uang tersebut. Dan saat mengeceknya, dia terbelalak. “Ini…. dolar…?” Ya, lembaran-lembaran itu memang dalam dolar. Morgan sengaja meminta itu ke pihak bank supaya semua lembarannya bisa masuk ke tas jinjing yang dibawanya itu. “Apa, Pa? Dolar? Dolar palsu maksudnya?” celetuk Joseph. “Diam kau, Josep
Tommy, Walikota Kota HK, sedang menonton acara lawak favoritnya ketika tadi Henry meneleponnya. Dia yang semula tertawa-tawa, langsung menunjukkan muka jengah. Henry adalah salah satu orang yang punya peran penting dalam naiknya karier politik Tommy. Bahwa dia bisa menjadi Walikota Kota HK seperti sekarang, sebagian besar karena dukungan gencar dari Henry pada saat pilkada tiga tahun lalu. Dan dia tahu, jika tiba-tiba teman lamanya itu menghubunginya, itu artinya dia punya permintaan. Dan siapa yang menduga, permintaannya itu ternyata begitu rumit. “Sialan kau, Henry! Berani-beraninya kau menempatkanku dalam posisi ini!” gerutunya. Dilemparkannya bungkus rokok di tangannya ke dinding. Batang-batang rokok itu berceceran di lantai. Awalnya, Tommy tak mengendus masalah apa pun. Henry hanya memintanya untuk meringkus seorang pria yang membawa anak bungsunya. Namun, masalah itu baru terendus setelah asistennya Tommy yang juga seorang peretas ulung melakukan penelusuran terhadap pri
Morgan balas menatap pria itu dengan garang. Mobil ini adalah hadiah dari Jenderal Yudha atas prestasinya selama di militer, dan baru saja pria itu merusaknya. Dia harus merasakan akibatnya! Morgan pun membuka pintu mobil dan mendorongnya kuat-kuat. Gedebuk! “Argh!” Pintu itu menghantam si pria yang membawa pemukul bisbol, membuatnya tersungkur. “Kau tunggu di sini saja, ya. Apa pun yang terjadi, jangan keluar dari mobil. Oke?” Morgan mengatakannya sambil menatap Agnes dengan cemas. Istrinya itu mengangguk. Morgan lantas mematikan mesin mobil, mencabut kunci, keluar dan langsung menguncinya. “Bajingan kau! Rasakan ini!” Si pria yang tadi tersungkur itu telah kembali berdiri dan kini mengayunkan pemukul bisbolnya ke arah Morgan, menyasar kepalanya. Morgan menangkis pemukul bisbol itu dengan mudahnya, membuatnya terpelanting jauh. Si pria yang mencari gara-gara dengannya itu tampak terkejut, tak mengira Morgan sekuat itu. Dan sebelum sempat dia melakukan apa-apa, Morgan men
Morgan mengecek suhu tubuh dan denyut nadi Agnes. “Agnes, kau demam!” ucapnya. Mendapati Agnes tak juga berhenti menggigil dan menggigiti jari-jemarinya, Morgan memutuskan untuk membawa istrinya itu pulang. Makan malam dibatalkan. Saat ini yang menjadi fokusnya adalah membuat istrinya itu kembali merasa nyaman. … Sekitar satu jam kemudian, di kamar yang ditempati Agnes beberapa hari terakhir… Sekarang Agnes sudah tenang, sedang terbaring memejamkan mata dengan kain kompres menempel di keningnya. Tadi setibanya mereka di rumah tersebut, Morgan sampai harus mengalirkan energi murninya ke tubuh Agnes. Rupanya, apa yang dilihatnya di jalan tadi itu membangkitkan traumanya. Seerhananya begini: gara-gara insiden penculikan dan penyekapan yang pernah dialaminya itu, otaknya merekam segala bentuk kekerasan fisik sebagai bahaya. Meskipun kekerasan fisik itu dialami oleh orang lain, tetap saja otaknya mengira kalau bahaya itu mengancamnya. Tubuhnya bereaksi secara spontan. Agnes bahka
Morgan sungguh tak mengerti apa yang terjadi pada Agnes. Apa pun yang dia katakan, apa pun yang coba dia lakukan, tampaknya salah di mata istrinya itu. Dia pun terpaksa membiarkan istrinya itu sendirian, meski sesungguhnya dia cemas. ‘Kenapa tiba-tiba jadi begini? Memangnya apa yang salah?’ pikirnya, gelisah. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, perasaannya sungguh tak enak. Setelah si content creator mantan tentara yang direkomendasikan Yudha itu datang untuk bekerja, Moran menitipkan Agnes padanya. Dia sendiri menuju ke kantor pusat Charta Group, sesuai saran Yudha. Meski datang untuk urusan bisnis penting, Morgan hanya mengenakan celana jeans dan kaus oblong. Itu memang setelan pakaian favoritnya. Dia tak nyaman jika harus mengenakan setelan kantoran yang kaku. Namun tentu, penampilannya ini membuat orang-orang yang melihatnya menyepelekannya. "Ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya seorang wanita di meja resepsionis. "Aku ingin bertemu dengan Felisia. Di lantai ber
“Bu Felisia… pria ini…” Jika Felisia saja sampai membungkuk hormat di hadapan Morgan, maka sangat mungkin Morgan sebenarnya bukan orang biasa. Menyadar hal itu, Alex langsung merasa dirinya dalam bahaya. Felisia menegakkan punggungnya, menatap Alex dan si resepsionis. “Kalian berdua, beri salam kepada Tuan Morgan. Beliau adalah pemilik Charta Group yang baru,” katanya. “Apa?!” kata kedua orang itu, serentak. Morgan menatap mereka bergantian, mendapati ketakutan di mata kedua orang itu. Lalu tiba-tiba Alex mendekat ke arahnya dan bersujud tepat di depan kakinya. “Tolong maafkan kebodohan saya, Tuan Morgan! Saya sudah melakukan sesuatu yang tak semestinya kepada Anda! Tolong biarkan saya tetap bekerja di sini!” katanya. Alex tentu teringat kata-kata Morgan tadi, bahwa ini adalah hari terakhirnya di Charta Group. Dan dia kini cemas. Bagaimana jika itu sampai terjadi? Dia telanjur menjanjikan kepada pacarnya untuk membelikan wanita itu tiga unit sport car yang total harganya 10
Morgan segera menjauh dari jendela. Dia membawa Felisia bersamanya. “Aku akan mengeluarkan peluru yang bersarang di bahumu. Bertahanlah,” katanya. Dia lalu mengaktifkan energi murninya dan memusatkannya di tangannya. Dengan fokus tinggi, dia membedah luka tembak itu dan memasukkan dua jarinya ke sana. Felisia berteriak kesakitan, tapi hanya sebentar saja. Tak sampai lima detik, Morgan sudah berhasil mengeluarkan peluru tersebut. Yang dilakukan Morgan kemudian adalah menghentikan pendarahan dan menutupi luka. Dia pun melakukannya dengan cepat. Kali ini Felisia hanya sedikit meringis. “Kau baik-baik saja?” tanya Morgan, setelah selesai menutupi luka tembaknya Felisia. Felisia mengangguk. Matanya memancarkan ketakjuban. Bagaimana tidak? Morgan baru saja melakukan sesuatu yang menurutnya mustahil. Bahkan dokter bedah berpengalaman lulusan luar negeri pun belum tentu bisa melakukannya secepat itu, seefisien itu. “Kau bisa berjalan? Kita sebaiknya keluar dari ruangan ini,” kata M
Morgan menatap pria yang tengah duduk di mejanya itu dalam diam. Setelah meneguk minuman dalam gelasnya, pria itu berdiri dan balas menatap Morgan sambil menyeringai. Morgan telah menghajar lebih dari lima puluh anak buahnya di ruang utama bar tadi, tapi pria ini seperti tak sedikit pun peduli pada hal tersebut. “Ya, akulah Berry Si Serigala. Kau datang untuk menantangku bertarung?” kata pria itu, berdiri dan menyeringai. Morgan malas menanggapi kata-katanya. Sekarang setelah memastikan kalau pria inilah memang yang dicarinya, dia tak perlu mengatakan apa pun lagi. Biar tinjunya yang bicara. “Kenapa? Kau belum mau memulai?” tanya Berry, memberi isyarat kepada Morgan untuk maju. Dari gestur yang ditunjukkannya, pria itu tampaknya meremehkan Morgan. Tak seperti anak-anak buahnya, Berry tak sedikit pun terlihat cemas atau ketakutan berhadapan dengan Morgan. “Kau tahu, anak-anak buahku yang kau ampuni itu mengatakan kalau kau sangat kuat. Tadinya kupikir mereka berlebihan, tapi se
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat