Di mata Morgan, apa yang dikatakan si suster sangat tak masuk akal.
Tak jadi dipindahkan? Bagaimana bisa? Bukankah tawaran untuk memindahkan istrinya ke ruang rawat inap VVVIP datang dari direktur rumah sakit sendiri?
Dan apa maksudnya pula istrinya itu dibawa pulang? Siapa pun yang melihat Agnes akan tahu kalau wanita itu kondisinya masih sangat lemah.
“Apa maksudnya ini? Jelaskan padaku!” pinta Morgan.
Si suster pun mulai menuturkan apa yang diketahuinya.
Jadi, alasan kenapa Keluarga Wistara memaksa membawa Agnes pulan adalah karena mereka tak mau mengeluarkan biaya lebih untuk pengobatan dan perawatan Agnes.
Karena Agnes sudah siuman, mereka berpikir bisa melanjutkan pengobatan di rumah saja.
Dan rupanya ide ini datang dari Herman. Tadi si suster sempat melihat Herman menemui keluarga pasien dan bicara panjang lebar dengan mereka.
“Dokter Herman meyakinkan keluarga pasien bahwa dia akan lanjut mengobati dan merawat pasien meski pasien telah berada di rumah. Keluarga pasien menyambut niat Dokter Herman ini sebab mereka begitu percaya padanya,” ujar si suster.
Herman tampaknya ingin menyelamatkan muka di hadapan Keluarga Wistara yang sudah menjadi kliennya selama belasan tahun.
Jika dia tak lagi diizinkan untuk menangani Agnes di rumah sakit, dia bisa melakukannya di kediaman Keluarga Wistara.
Harus diakui, itu langkah yang cerdik. Tetapi langkah yang diambil Herman ini membuat Mogan semakin buruk menilainya.
“Bagaimana dengan Direktur? Dia biarkan istriku dibawa pulang? Bukankah aku sudah menitipkan istriku padanya?” tanya Morgan.
“Soal itu… Anda mungkin sebaiknya tanyakan kepada orangnya langsung saja. Tapi dari yang saya dengar, beliau sepertinya mendapat desakan dari Dewan Komisaris rumah sakit,” jawab si suster.
“Desakan apa?”
“Desakan untuk membiarkan keluarga pasien membawa pasien pulang. Dan terkait hal ini…”
“Kenapa? Ada apa lagi?”
“Ada yang menduga kalau Dokter Herman menghubungi salah satu komisaris. Entah apa yang dikatakannya, tapi setelah itu Dewan Komisaris seperti menyudutkan Direktur.”
Benar yang dikatakan si suster. Dengan kariernya yang malang melintang dan prestasinya yang yahud sebagai dokter, Herman diberi semacam akses istimewa ke Dewan Komisaris Rumah Sakit P.
Dan mudah ditebak, suaranya cenderung akan didengarkan oleh Dewan Komisaris, paling tidak satu saja di antaranya.
Herman memanfaatkan celah ini untuk mengamankan posisinya, sekaligus melemahkan kewenangan Vivi.
Morgan semakin muak kepada Herman. Ketika waktunya tiba, dia akan memberi dokter congkak itu pelajaran.
Setelah si suster menjelaskan semua hal yang perlu diketahui Morgan, Morgan berterima kasih padanya lalu pergi.
Sempat terpikir olehnya untuk menemui Direktur Rumah Sakit P di ruangannya, meminta penjelasan yang lebih mendetail. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, dia bisa melakukannya nanti.
Morgan pun turun dengan lift. Ketika pintu lift terbuka dan dia hendak keluar, dia melihat Herman.
Sorot mata Herman langsung berubah jadi penuh amarah.
“Tuan Martin, ini dia si kriminal yang saya maksud. Anda bisa lihat sendiri, penampilannya saja seperti preman! Bu Direktur jelas melakukan kesalahan ketika dia memperlakukan orang ini seolah-olah dia sosok yang perlu dihormati!” kata Herman.
Martin, seorang pria berambut putih yang berdiri tepat di samping Herman, adalah anggota Dewan Komisaris Rumah Sakit P. Dialah yang tadi dihubungi Herman.
Karena satu dan lain hal, Herman punya hubungan baik dengan Martin. Sedangkan di Dewan Komisaris sendiri, Martin merupakan salah satu anggota yang punya pengaruh besar dan dominan.
Kini Martin menatap Morgan dengan tatapan meremehkan. Dia memindai Morgan dari atas ke bawah seperti memindai barang rongsokan.
“Aku tak tahu apa yang kau rencanakan, Anak Muda, tapi kalau kau berpikir kau bisa berbuat seenak jidatmu di rumah sakit ini, kau keliru.”
“Sebagai salah satu Rumah Sakit P terbaik di kota ini, kami menetapkan aturan-aturan yang harus dipatuhi pengunjung, dan aku akan menjaganya tetap seperti itu.”
Begitu Martin berkata. Morgan sudah keluar dari lift, tapi dia malas meladeni mereka.
Memang, dia sudah bertekad untuk memberi Herman pelajaran, tetapi momennya belum tiba.
Saat ini yang menjadi fokusnya adalah meluncur ke kediaman Keluarga Wistara untuk mengambil Agnes.
Maka, alih-alih menanggapi peringatan Martin, Morgan hanya melengos dan pergi meninggalkan mereka begitu saja.
Tingkahnya ini jelas membuat Herman dan Martin jengah.
“Kurang ajar! Tak tahu etika sekali kau, Anak Muda!” bentak Martin, membuat orang-orang di lobi menoleh ke arahnya.
“Anda lihat sendiri tingkah dia, Tuan Martin. Bajingan tengik ini merasa dirinya hebat. Dia bahkan berani mengabaikan pria terhormat seperti Anda!” Herman memanas-manasi.
“Apa yang barusan dilakukannya semakin menunjukkan kalau dia memang kriminal. Dan meskipun dia telah bebas, bagiku tetap saja dia kriminal. Bahkan aku berani bertaruh, tak lama lagi dia akan kembali mendekam di penjara karena melakukan pencurian atau tindakan kriminal lainnya,” sambungnya.
Morgan sebenarnya benar-benar tak ingin meladeni kedua orang itu, tetapi apa yang baru saja diucapkan Herman membuatnya jengah juga.
Berhenti melangkah, dia kemudian menoleh dan memutar tubuhnya 45 derajat.
Dia lesakkan sebuah tatapan dingin ke arah Herman.
Herman mundur selangkah. Tiba-tiba saja, dia merasa suhu ruangan lebih dingin beberapa derajat.
“Lain kali ketika kita bertemu, itu akan menjadi hari terakhirmu sebagai dokter,” ucap Morgan, dingin.
Wajah Herman mendadak pucat. Morgan mendecih lantas melanjutkan langkahnya.
Martin sempat kembali berteriak-teriak mengancamnya, tetapi dia tak peduli.
…
Sementara itu di kediaman Keluarga Wistara, malam harinya…
Rombongan yang membawa pulang Agnes telah tiba sekitar beberapa jam yang lalu.
Kini, anggota-anggota keluarga inti sedang berkumpul di ruang makan, menyantap hidangan makan malam sambil membahas kemunculan Morgan yang mengejutkan mereka.
“Saat ini dia terlihat jauh berbeda. Seakan-akan, ketika dia keluar dari penjara, di saat itu juga dia terlahir kembali. Tapi yang namanya sampah ya tetap sampah. Dan untunglah aku sudah menyingkirkannya,” kata Joseph.
“Menyingkirkannya? Maksudmu kau membunuhnya?” tanya Henry, ayahnya Joseph, pemimpin Keluarga Wistara saat ini.
“Tenang saja, Pa. Aku sudah memerintahkan anak-anak buahku agar si sampah itu terkesan dikeroyok preman. Kita aman. Tak akan ada yang bisa mengendus keterlibatan Keluarga Wistara,” tanggap Joseph.
Henry mengangguk-angguk. “Bagus kalau begitu,” ujarnya.
Joseph lalu menatap Robert dan kakaknya itu mengangkat sebelah alisnya.
Dua bersaudara ini kemudian saling melempar senyum miring. Mereka memang telah terbiasa melakukan hal jahat seperti ini.
“Lantas, apa yang akan kita lakukan dengan Agnes? Dia memang sudah siuman, tapi kulit wajahnya hancur begitu. Tak mungkin lagi ada orang kaya yang mau menikah dengannya,” cetus Riana, istrinya Robert.
“Ya, itu juga yang ingin kutanyakan. Dengan kondisinya yang seperti itu, bagaimana dia bisa berguna untuk kita? Bukankah kita masih butuh kucuran dana untuk menyelamatkan perusahaan keluarga? Apakah benar Arman masih mau menikahinya dengan kondisinya yang menyedihkan itu?” sahut Livia, istrinya Joseph.
Sedari dulu, mereka berdua ini memang membenci Agnes.
Bukan hanya karena Agnes memiliki kecantikan yang levelnya jauh di atas mereka, tapi juga karena semasa Bobby Wistara hidup Agnes benar-benar diperlakukan kakek tua itu sebagai cucu kesayangannya.
Riana dan Livia, sementara itu, kerap dijudesi oleh Bobby Wistara karena pemikiran mereka yang materialistis.
“Soal itu kita pikirkan nanti. Yang jelas, kita harus mendapatkan investor secepat mungkin. Dan dengan kondisinya yang sekarang, Agnes memang tak berguna. Kita tak bisa berharap apa pun padanya. Kalianlah, sebagai gantinya, yang harus melakukan apa pun untuk mendapatkan uang itu,” kata Henry.
Meskipun Agnes adalah anaknya, Henry tak pernah benar-benar menyayanginya.
Salah satu alasannya adalah karena Agnes wanita, dan di matanya wanita adalah spesies yang secara kapasitas berada di bawah pria.
Henry lebih menyukai anak-anak lelakinya yang dinilainya memiliki kecakapan untuk melanjutkan bisnis keluarga, ketimbang Agnes yang lebih dikenal oleh orang-orang karena kecantikannya.
Dan ketika insiden penculikan dan penyekapan itu membuat kecantikan Agnes sirna, jujur saja, kini Henry sebenarnya tak tahu hal apalagi yang bisa dia andalkan dari anak bungsunya itu.
Kecuali… jika rumor itu benar bahwa Arman masih berniat menikahi Agnes… mungkin Keluarga Wistara masih akan mendapatkan kucuran dana segar itu.
Meskipun begitu, melihat kondisi Agnes yang memprihatinkan, besar kemungkinan kucuran dana tersebut jumlahnya jauh di bawah yang mereka harapkan.
Sungguh menyebalkan, tapi apa memangnya gunanya seorang wanita yang wajahnya dipenuhi luka bakar?
Begitu Henry berpikir.
“Jadi, apakah di antara kalian semua ada yang punya ide segar? Katakan padaku, apa yang bisa kita coba lakukan untuk mendapatkan investor dalam waktu seminggu?”
Ditanya seperti itu oleh Henry, kedua anak lelakinya dan istri-istri mereka langsung menundukkan pandangan. Tak satu pun dari mereka bersuara.
Tadinya, Robert dan Joseph percaya diri kalau Arman, sebagai anak tunggal salah satu konglomerat terkaya di negeri ini, akan kembali menggelontorkan uang yang besar untuk perusahaan Keluarga Wistara.
Meskipun jumlahnya mungkin tak sesuai dengan ekspektasi mereka, paling tidak mereka bisa menggunakannya untuk membayar utang Wistara Group sekian persennya.
Sialnya, tadi Morgan menampar Arman dua kali. Robert dan Joseph pun khawatir kalau Arman akan batal mengucurkan dana.
Joseph telah mencoba menghubungi Arman beberapa kali, tetapi Arman belum juga merespons.
Kini, mereka kebingungan. Sekilas mereka saling pandang, lantas kembali menyantap hidangan makan siang masing-masing.
“Tak ada yang punya ide? Apakah kalian setakberguna ini?!” hardik Henry, membuat keempat orang itu berhenti mengunyah.
Tak satu pun dari mereka berani menatap Henry.
Di titik inilah, terdengar langkah-langkah kaki.
Henry menoleh, mendapati salah satu pelayan pribadi Keluarga Wistara menghampirinya.
“Mohon maaf mengganggu makan malam Anda, Tuan Besar, tapi di luar ada seseorang yang memaksa untuk bertemu dengan Anda. Para satpam sudah mencoba mengusirnya, tetapi dia berhasil menerobos masuk,” kata si pelayan.
Henry mengernyitkan kening. “Sialan! Berani-beraninya dia mengacau di rumahku! Siapa dia?” tanyanya.
“Dia bilang namanya Morgan, Tuan Besar,” jawab si pelayan.
Dalam sekejap, rahang Henry mengeras. Dia lalu menatap kedua anak lelakinya dengan sorot mata seorang raja yang marah.
“Kalian berdua, ikut aku keluar!”
…
Henry dan kedua anak lelakinya berjalan menuju halaman depan. “Apa maksudnya ini? Bukankah tadi kau bilang kau sudah menyingkirkannya, Joseph? Ataukah itu hanya bualanmu?” tanya Henry. Joseph bingung harus menjawabnya seperti apa. Jujur saja, dia pun terkejut dengan kedatangan Morgan ini. “Aku sudah memerintahkan anak-anak buahku untuk menghabisinya, Pa. Mestinya mereka membuang mayatnya ke hutan atau ke—” “Faktanya dia ke sini! Si sampah itu ke sini!” Henry memotong penjelasan Joseph. Jelas sekali, suasana hati Henry sedang sangat buruk, dan Joseph hanya membuatnya lebih parah. Robert, yang lebih cerdik dari adiknya, memilih untuk tak mengatakan apa pun dulu. Dia sibuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi saat anak-anak buahnya Joseph itu menghajar Morgan. … Sementara itu di luar, di halaman depan rumah Keluarga Wistara, Morgan berdiri layaknya tokoh utama di sebuah film laga. Di sekitarnya pria-pria bepakaian serbahitam terbaring dan meringis kesakitan. Mereka adalah par
“Bagaimana? Kalian lihat sendiri, kan? Tas ini isinya benar-benar uang,” sindir Morgan. Ketiga pria di hadapannya itu tak sanggup bicara. Untuk beberapa saat, kata-kata seperti tercerabut dari lidah mereka. Tapi kemudian Robert dan Joseph angkat bicara. “Itu pasti uang mainan, kan?” “Ah ya, pasti uang mainan. Atau uang palsu. Tak mungkin si miskin ini punya uang 50 miliar!” Morgan berdecih. Dia lalu meraup segepok uang dari tas jinjingnya itu, berdiri, lantas menyodorkannya ke Henry. “Sepertinya kaulah satu-satunya orang waras di hadapanku saat ini, Ayah Mertua. Bagaimana kalau kau periksa keaslian uang ini?” ujarnya. Henry menatap Morgan dengan dingin. Dia lalu menerima segepok uang tersebut. Dan saat mengeceknya, dia terbelalak. “Ini…. dolar…?” Ya, lembaran-lembaran itu memang dalam dolar. Morgan sengaja meminta itu ke pihak bank supaya semua lembarannya bisa masuk ke tas jinjing yang dibawanya itu. “Apa, Pa? Dolar? Dolar palsu maksudnya?” celetuk Joseph. “Diam kau, Josep
Tommy, Walikota Kota HK, sedang menonton acara lawak favoritnya ketika tadi Henry meneleponnya. Dia yang semula tertawa-tawa, langsung menunjukkan muka jengah. Henry adalah salah satu orang yang punya peran penting dalam naiknya karier politik Tommy. Bahwa dia bisa menjadi Walikota Kota HK seperti sekarang, sebagian besar karena dukungan gencar dari Henry pada saat pilkada tiga tahun lalu. Dan dia tahu, jika tiba-tiba teman lamanya itu menghubunginya, itu artinya dia punya permintaan. Dan siapa yang menduga, permintaannya itu ternyata begitu rumit. “Sialan kau, Henry! Berani-beraninya kau menempatkanku dalam posisi ini!” gerutunya. Dilemparkannya bungkus rokok di tangannya ke dinding. Batang-batang rokok itu berceceran di lantai. Awalnya, Tommy tak mengendus masalah apa pun. Henry hanya memintanya untuk meringkus seorang pria yang membawa anak bungsunya. Namun, masalah itu baru terendus setelah asistennya Tommy yang juga seorang peretas ulung melakukan penelusuran terhadap pri
Morgan balas menatap pria itu dengan garang. Mobil ini adalah hadiah dari Jenderal Yudha atas prestasinya selama di militer, dan baru saja pria itu merusaknya. Dia harus merasakan akibatnya! Morgan pun membuka pintu mobil dan mendorongnya kuat-kuat. Gedebuk! “Argh!” Pintu itu menghantam si pria yang membawa pemukul bisbol, membuatnya tersungkur. “Kau tunggu di sini saja, ya. Apa pun yang terjadi, jangan keluar dari mobil. Oke?” Morgan mengatakannya sambil menatap Agnes dengan cemas. Istrinya itu mengangguk. Morgan lantas mematikan mesin mobil, mencabut kunci, keluar dan langsung menguncinya. “Bajingan kau! Rasakan ini!” Si pria yang tadi tersungkur itu telah kembali berdiri dan kini mengayunkan pemukul bisbolnya ke arah Morgan, menyasar kepalanya. Morgan menangkis pemukul bisbol itu dengan mudahnya, membuatnya terpelanting jauh. Si pria yang mencari gara-gara dengannya itu tampak terkejut, tak mengira Morgan sekuat itu. Dan sebelum sempat dia melakukan apa-apa, Morgan men
Morgan mengecek suhu tubuh dan denyut nadi Agnes. “Agnes, kau demam!” ucapnya. Mendapati Agnes tak juga berhenti menggigil dan menggigiti jari-jemarinya, Morgan memutuskan untuk membawa istrinya itu pulang. Makan malam dibatalkan. Saat ini yang menjadi fokusnya adalah membuat istrinya itu kembali merasa nyaman. … Sekitar satu jam kemudian, di kamar yang ditempati Agnes beberapa hari terakhir… Sekarang Agnes sudah tenang, sedang terbaring memejamkan mata dengan kain kompres menempel di keningnya. Tadi setibanya mereka di rumah tersebut, Morgan sampai harus mengalirkan energi murninya ke tubuh Agnes. Rupanya, apa yang dilihatnya di jalan tadi itu membangkitkan traumanya. Seerhananya begini: gara-gara insiden penculikan dan penyekapan yang pernah dialaminya itu, otaknya merekam segala bentuk kekerasan fisik sebagai bahaya. Meskipun kekerasan fisik itu dialami oleh orang lain, tetap saja otaknya mengira kalau bahaya itu mengancamnya. Tubuhnya bereaksi secara spontan. Agnes bahka
Morgan sungguh tak mengerti apa yang terjadi pada Agnes. Apa pun yang dia katakan, apa pun yang coba dia lakukan, tampaknya salah di mata istrinya itu. Dia pun terpaksa membiarkan istrinya itu sendirian, meski sesungguhnya dia cemas. ‘Kenapa tiba-tiba jadi begini? Memangnya apa yang salah?’ pikirnya, gelisah. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, perasaannya sungguh tak enak. Setelah si content creator mantan tentara yang direkomendasikan Yudha itu datang untuk bekerja, Moran menitipkan Agnes padanya. Dia sendiri menuju ke kantor pusat Charta Group, sesuai saran Yudha. Meski datang untuk urusan bisnis penting, Morgan hanya mengenakan celana jeans dan kaus oblong. Itu memang setelan pakaian favoritnya. Dia tak nyaman jika harus mengenakan setelan kantoran yang kaku. Namun tentu, penampilannya ini membuat orang-orang yang melihatnya menyepelekannya. "Ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya seorang wanita di meja resepsionis. "Aku ingin bertemu dengan Felisia. Di lantai ber
“Bu Felisia… pria ini…” Jika Felisia saja sampai membungkuk hormat di hadapan Morgan, maka sangat mungkin Morgan sebenarnya bukan orang biasa. Menyadar hal itu, Alex langsung merasa dirinya dalam bahaya. Felisia menegakkan punggungnya, menatap Alex dan si resepsionis. “Kalian berdua, beri salam kepada Tuan Morgan. Beliau adalah pemilik Charta Group yang baru,” katanya. “Apa?!” kata kedua orang itu, serentak. Morgan menatap mereka bergantian, mendapati ketakutan di mata kedua orang itu. Lalu tiba-tiba Alex mendekat ke arahnya dan bersujud tepat di depan kakinya. “Tolong maafkan kebodohan saya, Tuan Morgan! Saya sudah melakukan sesuatu yang tak semestinya kepada Anda! Tolong biarkan saya tetap bekerja di sini!” katanya. Alex tentu teringat kata-kata Morgan tadi, bahwa ini adalah hari terakhirnya di Charta Group. Dan dia kini cemas. Bagaimana jika itu sampai terjadi? Dia telanjur menjanjikan kepada pacarnya untuk membelikan wanita itu tiga unit sport car yang total harganya 10
Morgan segera menjauh dari jendela. Dia membawa Felisia bersamanya. “Aku akan mengeluarkan peluru yang bersarang di bahumu. Bertahanlah,” katanya. Dia lalu mengaktifkan energi murninya dan memusatkannya di tangannya. Dengan fokus tinggi, dia membedah luka tembak itu dan memasukkan dua jarinya ke sana. Felisia berteriak kesakitan, tapi hanya sebentar saja. Tak sampai lima detik, Morgan sudah berhasil mengeluarkan peluru tersebut. Yang dilakukan Morgan kemudian adalah menghentikan pendarahan dan menutupi luka. Dia pun melakukannya dengan cepat. Kali ini Felisia hanya sedikit meringis. “Kau baik-baik saja?” tanya Morgan, setelah selesai menutupi luka tembaknya Felisia. Felisia mengangguk. Matanya memancarkan ketakjuban. Bagaimana tidak? Morgan baru saja melakukan sesuatu yang menurutnya mustahil. Bahkan dokter bedah berpengalaman lulusan luar negeri pun belum tentu bisa melakukannya secepat itu, seefisien itu. “Kau bisa berjalan? Kita sebaiknya keluar dari ruangan ini,” kata M
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat