Arman langsung menjauh dari Morgan, sembari menatapnya ketakutan.Dia masih ingat momen mengerikan ketika Morgan memegang tangannya dan meremukkan tulang tangannya itu.Itu salah satu momen terburuk di dalam hidupnya.“Kenapa memangnya kalau aku di sini? Kau takut aku membongkar rahasiamu?” tanya Morgan.“Ra-rahasia apa?” tanggap Arman, menatap Morgan cemas.Morgan tersenyum miring, berkata, “Kau yakin ingin aku mengatakannya di sini, di hadapan Keluarga Wistara?”Arman semakin cemas. Dia tak tahu apa yang ada di benak Morgan, tapi firasatnya mengatakan kalau itu bukan hal yang baik baginya.“Heh, Keparat! Apa sebenarnya maumu? Tak bisakah kau bersikap sopan sedikit kepada Nak Arman? Dia ini berasal dari kalangan atas sedangkan kau hanya orang miskin yang beruntung pernah tinggal menumpang di rumah kami!” cerca Henry.“Iya! Dasar tak tahu diri kau, Morgan! Dan apa juga yang kau lakukan di sini? Bagaimana bisa orang miskin sepertimu memasuki restoran ini? Hal licik apalagi yang kau lak
Sebab dilontarkan setelah tepuk tangan terhenti, suara Arman terdengar begitu lantang, dan tentu saja kini dia menjadi pusat perhatian.Sebagian orang yang tak mengenalnya memasang muka jengah, sebab sungguh tidak pantas sikap kasar seperti itu ditunjukkan seseorang yang menghadiri acara seberkelas ini.Tidak seperti ayahnya yang begitu dikenal dan dihormati oleh orang-orang superpenting yang tengah menghadiri acara ini, Arman di mata mereka hanya anak muda sengak yang tidak tahu cara bersikap.“Kalau menurut kalian ini lucu, maka ada yang salah dengan otak kalian! Mana Sang Dewa Perang yang kami tunggu-tunggu? Kenapa malah kriminal seperti dia yang sekarang berdiri di panggung?” kata Arman lagi.“Orang ini mantan narapidana, asal kalian tahu saja. Tujuh tahun dia dipenjara karena tuduhan pencurian dan pemerkosaan. Bisa-bisanya kalian beri orang seperti dia panggung di acara seprestisius ini! Lelucon macam apa ini?!” sambungnya.Orang-orang kini mulai kasak-kusuk. Mereka tak tahu apak
“Apa maksudmu, Jenderal?”[Begini. Aku baru saja mendapat informasi kalau Rudolf telah kembali, dan dia sedang mencarimu. Dan sebab perusahaanmu telah mengumumkan kalau Dewa Perang akan hadir di acara malam ini, dia saat ini sedang menuju ke Kota HK.]Morgan terdiam. Rudolf adalah pemimpin salah satu pasukan pemberontak yang dihadapinya di salah satu perang tersulit dalam tujuh tahun ini.Di perang yang dimenangkan Morgan itu Rudolf tersingkirkan, terpaksa kabur ke luar negeri, sementara pasukan pemberontaknya ditumpas habis oleh Morgan.Jika benar kini dia telah kembali, itu artinya dia sudah merasa siap untuk membalas dendam.[Kau harus berhati-hati, Morgan. Kemungkinan besar, Rudolf punya koneksi di Kota HK ini.][Setidaknya beberapa orang penting di kota ini diam-diam punya hubungan dengannya, dan bisa jadi mereka saat ini menghadiri acara kalian.][Dan jika sampai orang itu tahu keluarganya Dewa Perang, istrimu akan berada dalam bahaya.][Orang-orang itu bisa diam-diam mengambil
Morgan memicingkan mata, menatap penuh curiga.“Apa itu?” tanyanya.“Kita bicara di dalam saja, Dewa Perang,” jawab seseorang itu.Dan mereka pun masuk ke rumah. Morgan sempat menoleh ke sana-sini, tampak mencari-cari sesuatu, atau memastikan ada tidak-nya sesuatu.Di dalam rumah, ketika Morgan masuk, tujuh orang telah menunggunya.Beberapa dari mereka awalnya duduk-duduk di sofa, tapi setelah melihat Morgan, mereka langsung berdiri.Tujuh orang yang terdiri dari empat wanita dan tiga pria itu pun memberi hormat militer kepada Morgan.“Lapor, Dewa Perang! Tujuh Prajurit telah menyelesaikan tugas dan kini siap kembali membantumu menghalau serangan musuh!” kata salah satu dari mereka, si wanita yang tadi ‘menyambut’ Morgan di luar.Morgan menatap mereka sesaat, satu persatu, lalu membalas hormat mereka.“Wed, apa maksudnya ini? Kenapa kalian tiba-tiba datang tanpa ada pemberitahuan apa pun terlebih dulu? Kalian benar-benar telah menyelesaikan tugas kalian?” tanya Morgan.“Mohon maafkan
Hingga beberapa lama, Morgan hanya mematung seperti manekin. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Pesan-pesan chat istrinya itu awalnya biasa saja, berisi pertanyaan-pertanyaan seputar siapa sebenarnya si pemilik nomor dan apa maksud dari pesan-pesan yang diterima Agnes tadi sewaktu meninggalkan restoran. Tapi setelah itu, Agnes mulai menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyulitkan, dan akhirnya dia menyimpulkan bahwa si pemilik nomor bukanlah pemilik Charta Group melainkan Morgan. Dan pesan-pesan chat dari Agnes setelahnya mengandung kemarahan yang tertahan, berisi desakan-desakan agar Morgan menjelaskan semuanya. [Apa benar kau teman baiknya Sang Dewa Perang? Maksudmu, rumah dan mobil yang kau pakai itu sebenarnya milik Sang Dewa Perang?] [Kenapa kau tak menceritakan semua ini padaku? Kau pikir aku tak perlu tahu itu?] Itulah dua di antara pesan-pesan chat bernada menyerang dari Agnes itu. Morgan kini benar-benar bingung. Jikapun dia membalas pesan-pesan tersebut,
Agnes sedang sibuk mengurus hal-hal terkait proyek ketika ponselnya berdering.Dia terdiam sebentar, tak menyangka kalau orang meneleponnya adalah Allina.“Halo, Allina. Ada apa?”[Kau di kantor sekarang? Boleh aku ke sana untuk menemuimu?]“Sekarang?”[Sekitar setengah jam lagi, mungkin. Pas di jam makan siang. Saat ini aku sedang menuju ke sana.]“Kenapa mendadak sekali?”[Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Hal penting.]Agnes terdiam lagi, kali ini cukup lama.Sosok Morgan sekilas melintas di benaknya. Dia curiga hal penting yang ingin dibicarakan Allina itu ada kaitannya dengan suaminya itu.[Di jam makan siang, ya. Aku upayakan tiba di sana lebih cepat.]Tuut… tuut… tuut…Agnes hendak mengatakan sesuatu tetapi Allina telah memutus sambungan.Tadinya dia ingin meminta teman baiknya itu untuk mampir lain kali saja. Hari ini suasana hatinya sedang buruk.Teman baik. Dua kata ini membuatnya tersenyum tipis.Setelah sekian lamanya merasa sendirian, akhirnya dia punya seseorang yang
Agnes bergeming saking syoknya dia melihat ibunya yang tampak berada di ujung maut.Dan saat dia akan mendekati ibunya, Riana menariknya dan menghalanginya."Kalau kau tak mau mengabulkan permintaan Mama, kau pergi saja!" kata Riana, melotot."Iya, pergi saja sana kau! Dasar anak tak tahu diri!" rutuk Robert.Deg!Dada Agnes seperti baru saja dihantam benda keras. Dia tak percaya... dia tak percaya keluarganya bisa sejahat ini padanya.Dan Henry, satu orang lainnya yang masih ada di ruangan itu, kini menarik tangannya dan menyeretnya ke pintu."Keluar kau sana!" kata Henry, mendorong Agnes sampai dia tersungkur.Di saat yang sama Livia kembali, dengan setengah berlari. Bersamanya ada Dokter Herman."Silakan masuk, Dokter!" kata Henry, memberi jalan.Herman sempat melirik ke arah Agnes sebentar, sebentar saja, dan dia tampak jengah.Agnes terganggu dengan tatapan Herman, tapi kemudian matanya teralihkan ke salah satu tangan Herman yang dibebat perban. Kelihatannya tangan itu tak bisa d
Besok paginya, di kantor pusat Charta Group…Agnes duduk menunggu di ruang tunggu di dekat lobi. Wajahnya muram dan kedua bahunya turun.Dia sedang menunggu Felisia.Tak lain dan tak bukan, kedatangannya ini adalah untuk mewujudkan apa yang disepakatinya dengan Henry kemarin, yakni soal pengunduran dirinya dan penyerahan proyek ke tangan Robert.Agnes mengenakan make up tapi lingkar hitam di matanya masih terlihat.Semalaman dia tak bisa tidur. Hari ini dia akan kehilangan hal-hal berharga yang sudah didapatkannya dengan susah-payah.“Selamat pagi, Nona Agnes. Bagaimana kabar Anda?” tanya Felisia.Agnes menoleh, membalas senyum Felisia. “Kabar baik,” ucapnya, meski nada bicaranya tak menunjukkan itu.Felisia langsung menyadari itu sehingga kerutan-kerutan muncul di keningnya.“Apakah ada masalah terkait proyek, Nona Agnes?” tanya Felisia setelah dia duduk.Agnes menggeleng, berkata, “Sejauh ini proyek berjalan lancar. Tak ada masalah berarti. Kalaupun ada, sudah saya atasi dengan bant