Morgan memicingkan mata, menatap penuh curiga.“Apa itu?” tanyanya.“Kita bicara di dalam saja, Dewa Perang,” jawab seseorang itu.Dan mereka pun masuk ke rumah. Morgan sempat menoleh ke sana-sini, tampak mencari-cari sesuatu, atau memastikan ada tidak-nya sesuatu.Di dalam rumah, ketika Morgan masuk, tujuh orang telah menunggunya.Beberapa dari mereka awalnya duduk-duduk di sofa, tapi setelah melihat Morgan, mereka langsung berdiri.Tujuh orang yang terdiri dari empat wanita dan tiga pria itu pun memberi hormat militer kepada Morgan.“Lapor, Dewa Perang! Tujuh Prajurit telah menyelesaikan tugas dan kini siap kembali membantumu menghalau serangan musuh!” kata salah satu dari mereka, si wanita yang tadi ‘menyambut’ Morgan di luar.Morgan menatap mereka sesaat, satu persatu, lalu membalas hormat mereka.“Wed, apa maksudnya ini? Kenapa kalian tiba-tiba datang tanpa ada pemberitahuan apa pun terlebih dulu? Kalian benar-benar telah menyelesaikan tugas kalian?” tanya Morgan.“Mohon maafkan
Hingga beberapa lama, Morgan hanya mematung seperti manekin. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Pesan-pesan chat istrinya itu awalnya biasa saja, berisi pertanyaan-pertanyaan seputar siapa sebenarnya si pemilik nomor dan apa maksud dari pesan-pesan yang diterima Agnes tadi sewaktu meninggalkan restoran. Tapi setelah itu, Agnes mulai menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyulitkan, dan akhirnya dia menyimpulkan bahwa si pemilik nomor bukanlah pemilik Charta Group melainkan Morgan. Dan pesan-pesan chat dari Agnes setelahnya mengandung kemarahan yang tertahan, berisi desakan-desakan agar Morgan menjelaskan semuanya. [Apa benar kau teman baiknya Sang Dewa Perang? Maksudmu, rumah dan mobil yang kau pakai itu sebenarnya milik Sang Dewa Perang?] [Kenapa kau tak menceritakan semua ini padaku? Kau pikir aku tak perlu tahu itu?] Itulah dua di antara pesan-pesan chat bernada menyerang dari Agnes itu. Morgan kini benar-benar bingung. Jikapun dia membalas pesan-pesan tersebut,
Agnes sedang sibuk mengurus hal-hal terkait proyek ketika ponselnya berdering.Dia terdiam sebentar, tak menyangka kalau orang meneleponnya adalah Allina.“Halo, Allina. Ada apa?”[Kau di kantor sekarang? Boleh aku ke sana untuk menemuimu?]“Sekarang?”[Sekitar setengah jam lagi, mungkin. Pas di jam makan siang. Saat ini aku sedang menuju ke sana.]“Kenapa mendadak sekali?”[Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Hal penting.]Agnes terdiam lagi, kali ini cukup lama.Sosok Morgan sekilas melintas di benaknya. Dia curiga hal penting yang ingin dibicarakan Allina itu ada kaitannya dengan suaminya itu.[Di jam makan siang, ya. Aku upayakan tiba di sana lebih cepat.]Tuut… tuut… tuut…Agnes hendak mengatakan sesuatu tetapi Allina telah memutus sambungan.Tadinya dia ingin meminta teman baiknya itu untuk mampir lain kali saja. Hari ini suasana hatinya sedang buruk.Teman baik. Dua kata ini membuatnya tersenyum tipis.Setelah sekian lamanya merasa sendirian, akhirnya dia punya seseorang yang
Agnes bergeming saking syoknya dia melihat ibunya yang tampak berada di ujung maut.Dan saat dia akan mendekati ibunya, Riana menariknya dan menghalanginya."Kalau kau tak mau mengabulkan permintaan Mama, kau pergi saja!" kata Riana, melotot."Iya, pergi saja sana kau! Dasar anak tak tahu diri!" rutuk Robert.Deg!Dada Agnes seperti baru saja dihantam benda keras. Dia tak percaya... dia tak percaya keluarganya bisa sejahat ini padanya.Dan Henry, satu orang lainnya yang masih ada di ruangan itu, kini menarik tangannya dan menyeretnya ke pintu."Keluar kau sana!" kata Henry, mendorong Agnes sampai dia tersungkur.Di saat yang sama Livia kembali, dengan setengah berlari. Bersamanya ada Dokter Herman."Silakan masuk, Dokter!" kata Henry, memberi jalan.Herman sempat melirik ke arah Agnes sebentar, sebentar saja, dan dia tampak jengah.Agnes terganggu dengan tatapan Herman, tapi kemudian matanya teralihkan ke salah satu tangan Herman yang dibebat perban. Kelihatannya tangan itu tak bisa d
Besok paginya, di kantor pusat Charta Group…Agnes duduk menunggu di ruang tunggu di dekat lobi. Wajahnya muram dan kedua bahunya turun.Dia sedang menunggu Felisia.Tak lain dan tak bukan, kedatangannya ini adalah untuk mewujudkan apa yang disepakatinya dengan Henry kemarin, yakni soal pengunduran dirinya dan penyerahan proyek ke tangan Robert.Agnes mengenakan make up tapi lingkar hitam di matanya masih terlihat.Semalaman dia tak bisa tidur. Hari ini dia akan kehilangan hal-hal berharga yang sudah didapatkannya dengan susah-payah.“Selamat pagi, Nona Agnes. Bagaimana kabar Anda?” tanya Felisia.Agnes menoleh, membalas senyum Felisia. “Kabar baik,” ucapnya, meski nada bicaranya tak menunjukkan itu.Felisia langsung menyadari itu sehingga kerutan-kerutan muncul di keningnya.“Apakah ada masalah terkait proyek, Nona Agnes?” tanya Felisia setelah dia duduk.Agnes menggeleng, berkata, “Sejauh ini proyek berjalan lancar. Tak ada masalah berarti. Kalaupun ada, sudah saya atasi dengan bant
Agnes mengklik tautan yang dikirimkan Allina. Sementara Henry masih terus mengomelinya, dia tak menyimaknya dan mulai membaca berita tersebut. Dan usai membacanya, dia terdiam dengan mulut ternganga. 'Benarkah ini? Apakah ini artinya Arman bukan lagi orang kaya-raya pewaris kerajaan bisnis ayahnya? Dan apakah itu berarti...? Ting! Pesan lainnya dari Allina tiba. [Kalau sudah begini, aku yakin, Arman akan mikir-mikir lagi soal janjinya mengucurkan dana triliunan rupiah buat perusahaan keluargamu itu.]Agnes tersenyum. Entah kenapa dia merasa itu lucu. [Hey, Agnes, kau dengar aku atau tidak?! Kau tahu kan betapa seriusnya situasi kita sekarang?[ Suara Henry terdengar nyaring. Agnes sampai mencopot dulu kedua TWS yang dikenakannya. Dan ketika dia mengenakannya lagi, dia berkata, "Pa, sepertinya aku tahu kenapa Arman seperti itu. Tapi ini bukan salahku. Seperti yang kubilang tadi, aku sama sekali tak melakukan apa pun."[Apa maksudmu?]"Arman dikeluarkan dari Gigantio Group, Pa.
Agnes terdiam sebentar, tak mengerti dengan apa yang dikatakan ayahnya. Lalu dia berkata, “Maksud Papa apa? Kesepakatan dibatalkan? Itu berarti….” [Kesepakatan dibatalkan, itu artinya kau tak perlu lagi melakukan hal-hal yang kuminta kemarin. Dasar anak bodoh!] Klik! Henry mengakhiri percakapan begitu saja, meninggalkan Agnes yang kini keheranan dan kebingungan. Sesaat kemudian ponselnya kembali bergetar. Pesan masuk dari Allina. [Kau sudah dengar itu, Agnes? Mamamu sudah sembuh. Sekarang kau tak perlu lagi mengorbankan kariermu.] Lagi-lagi kabar yang membingungkan. Dia pun meminta izin kepada asistennya Felisia untuk keluar dulu. Di luar ruangan, dia menelepon Allina. “Apa maksudnya ini? Mama sudah sembuh?” [Betul. Mamamu sudah sembuh. Itu berarti kau tak perlu mengundurkan diri dan menyerahkan proyek ke tangan kakakmu. Kabar baik, Agnes!] “Tapi apa benar Mama sudah sembuh? Kau tidak sedang membohongiku, kan?” [Ya ampun, Agnes. Untuk apa juga aku bohong padamu soal ini? Bet
Di kamar hotel tempat Agnes menginap... Baru saja Agnes selesai mandi dan keramas. Kini dia tengah duduk di depan meja rias, mengeringkan rambut panjangnya dengan hairdryer. Hari ini dia telah bekerja keras, melakukan lebih banyak hal dari biasanya, dan kini dia merasa lelah. Tapi perasaannya cukup enak. Perubahan situasi yang mengejutkan tadi sore mengubah harinya yang semula begitu muram. Karena ibunya sudah sembuh, dan ayahnya membatalkan kesepakatan mereka, Agnes memutuskan untuk membatalkan pengunduran dirinya. Tadi dia sempat khawatir dan malu saat mencoba mengatakannya kepada asistennya Felisia, tapi untunglah pria itu sangat baik padanya. Agnes tak jadi mengundurkan diri. Dia masih akan terus menggarap proyek berharga dari Charta Group hingga proyek ini selesai. "Syukurlah. Aku benar-benar lega. Besok aku harus menyempatkan diri untuk melihat Mama," gumamnya. Dia tersenyum. Dia merasa akan bisa tidur nyenyak sebab ibunya telah melewati masa kritis dan kondisinya akan m