Agnes bergeming saking syoknya dia melihat ibunya yang tampak berada di ujung maut.Dan saat dia akan mendekati ibunya, Riana menariknya dan menghalanginya."Kalau kau tak mau mengabulkan permintaan Mama, kau pergi saja!" kata Riana, melotot."Iya, pergi saja sana kau! Dasar anak tak tahu diri!" rutuk Robert.Deg!Dada Agnes seperti baru saja dihantam benda keras. Dia tak percaya... dia tak percaya keluarganya bisa sejahat ini padanya.Dan Henry, satu orang lainnya yang masih ada di ruangan itu, kini menarik tangannya dan menyeretnya ke pintu."Keluar kau sana!" kata Henry, mendorong Agnes sampai dia tersungkur.Di saat yang sama Livia kembali, dengan setengah berlari. Bersamanya ada Dokter Herman."Silakan masuk, Dokter!" kata Henry, memberi jalan.Herman sempat melirik ke arah Agnes sebentar, sebentar saja, dan dia tampak jengah.Agnes terganggu dengan tatapan Herman, tapi kemudian matanya teralihkan ke salah satu tangan Herman yang dibebat perban. Kelihatannya tangan itu tak bisa d
Besok paginya, di kantor pusat Charta Group…Agnes duduk menunggu di ruang tunggu di dekat lobi. Wajahnya muram dan kedua bahunya turun.Dia sedang menunggu Felisia.Tak lain dan tak bukan, kedatangannya ini adalah untuk mewujudkan apa yang disepakatinya dengan Henry kemarin, yakni soal pengunduran dirinya dan penyerahan proyek ke tangan Robert.Agnes mengenakan make up tapi lingkar hitam di matanya masih terlihat.Semalaman dia tak bisa tidur. Hari ini dia akan kehilangan hal-hal berharga yang sudah didapatkannya dengan susah-payah.“Selamat pagi, Nona Agnes. Bagaimana kabar Anda?” tanya Felisia.Agnes menoleh, membalas senyum Felisia. “Kabar baik,” ucapnya, meski nada bicaranya tak menunjukkan itu.Felisia langsung menyadari itu sehingga kerutan-kerutan muncul di keningnya.“Apakah ada masalah terkait proyek, Nona Agnes?” tanya Felisia setelah dia duduk.Agnes menggeleng, berkata, “Sejauh ini proyek berjalan lancar. Tak ada masalah berarti. Kalaupun ada, sudah saya atasi dengan bant
Agnes mengklik tautan yang dikirimkan Allina. Sementara Henry masih terus mengomelinya, dia tak menyimaknya dan mulai membaca berita tersebut. Dan usai membacanya, dia terdiam dengan mulut ternganga. 'Benarkah ini? Apakah ini artinya Arman bukan lagi orang kaya-raya pewaris kerajaan bisnis ayahnya? Dan apakah itu berarti...? Ting! Pesan lainnya dari Allina tiba. [Kalau sudah begini, aku yakin, Arman akan mikir-mikir lagi soal janjinya mengucurkan dana triliunan rupiah buat perusahaan keluargamu itu.]Agnes tersenyum. Entah kenapa dia merasa itu lucu. [Hey, Agnes, kau dengar aku atau tidak?! Kau tahu kan betapa seriusnya situasi kita sekarang?[ Suara Henry terdengar nyaring. Agnes sampai mencopot dulu kedua TWS yang dikenakannya. Dan ketika dia mengenakannya lagi, dia berkata, "Pa, sepertinya aku tahu kenapa Arman seperti itu. Tapi ini bukan salahku. Seperti yang kubilang tadi, aku sama sekali tak melakukan apa pun."[Apa maksudmu?]"Arman dikeluarkan dari Gigantio Group, Pa.
Agnes terdiam sebentar, tak mengerti dengan apa yang dikatakan ayahnya. Lalu dia berkata, “Maksud Papa apa? Kesepakatan dibatalkan? Itu berarti….” [Kesepakatan dibatalkan, itu artinya kau tak perlu lagi melakukan hal-hal yang kuminta kemarin. Dasar anak bodoh!] Klik! Henry mengakhiri percakapan begitu saja, meninggalkan Agnes yang kini keheranan dan kebingungan. Sesaat kemudian ponselnya kembali bergetar. Pesan masuk dari Allina. [Kau sudah dengar itu, Agnes? Mamamu sudah sembuh. Sekarang kau tak perlu lagi mengorbankan kariermu.] Lagi-lagi kabar yang membingungkan. Dia pun meminta izin kepada asistennya Felisia untuk keluar dulu. Di luar ruangan, dia menelepon Allina. “Apa maksudnya ini? Mama sudah sembuh?” [Betul. Mamamu sudah sembuh. Itu berarti kau tak perlu mengundurkan diri dan menyerahkan proyek ke tangan kakakmu. Kabar baik, Agnes!] “Tapi apa benar Mama sudah sembuh? Kau tidak sedang membohongiku, kan?” [Ya ampun, Agnes. Untuk apa juga aku bohong padamu soal ini? Bet
Di kamar hotel tempat Agnes menginap... Baru saja Agnes selesai mandi dan keramas. Kini dia tengah duduk di depan meja rias, mengeringkan rambut panjangnya dengan hairdryer. Hari ini dia telah bekerja keras, melakukan lebih banyak hal dari biasanya, dan kini dia merasa lelah. Tapi perasaannya cukup enak. Perubahan situasi yang mengejutkan tadi sore mengubah harinya yang semula begitu muram. Karena ibunya sudah sembuh, dan ayahnya membatalkan kesepakatan mereka, Agnes memutuskan untuk membatalkan pengunduran dirinya. Tadi dia sempat khawatir dan malu saat mencoba mengatakannya kepada asistennya Felisia, tapi untunglah pria itu sangat baik padanya. Agnes tak jadi mengundurkan diri. Dia masih akan terus menggarap proyek berharga dari Charta Group hingga proyek ini selesai. "Syukurlah. Aku benar-benar lega. Besok aku harus menyempatkan diri untuk melihat Mama," gumamnya. Dia tersenyum. Dia merasa akan bisa tidur nyenyak sebab ibunya telah melewati masa kritis dan kondisinya akan m
"Bos, bagaimana sekarang?""Maju saja terus! Sebentar lagi kita keluar dari kota ini!"Meski telah diperingatkan, Jeremy bersikeras melanjutkan misinya. Tentu saja ada konsekuensi dari pilihannya ini. Dor dor dor... "Bos, mereka yang di belakang menembaki kita!" ujar pilot helikopter yang dinaiki Jeremy. "Sialan! Siapa mereka sebenarnya?" gerutu Jeremy. Dia tak pernah menduga akan menghadapi rintangan seperti ini. Kalau tahu akan begini, dia akan mengerahkan pasukan untuk menculik Agnes. Pasukannya Jeremy merupakan gabungan dari militer dan preman. Dia sendiri dulunya tentara, pernah mengabdi tiga belas tahun bagi negara, sebelum akhirnya dipecat dan diam-diam menggunakan jaringannya untuk membuat kelompok mafia kelas atas yang ditakuti di Kota KL. Dor dor dor dor... "Bos, mereka terus menembaki kita!" kata si pilot. "Aku tahu! Tak perlu mengingatkanku!" hardik Jeremy. Dia masih bingung kenapa helikopter-helikopter ini mengikutinya. Dari tampilannya, mereka tampaknya milite
Meski telah resmi dikeluarkan dari Gigantio Group, dan semua akses ke kerajaan bisnis ayahnya tak lagi dimilikinya, Arman masih diizinkan ayahnya untuk tetap menempati villa mewah di kawasan elite Kota HK. Villa ini telah ditempati Arman sejak dia kuliah. Dan di sana, bersama teman-temannya, dia kerap mengadakan pesta yang identik dengan obat-obatan terlarang dan aktivitas seksual. Banyak gadis muda dibawa ke pesta-pestanya itu dan dijebak di sana, mau tak mau harus mengikuti apa-apa yang dikatakan oleh Arman dan teman-temannya jika mau dibiarkan pulang. Arman sendiri sudah beratus-ratus kali menjadikan gadis-gadis itu mainan sekaligus pemuas hawa nafsunya. Beberapa dari mereka bahkan pernah hamil dan Arman akan melakukan apa pun supaya bayi-bayi itu tak pernah dilahirkan. Apa yang dilakukan Arman ini sangat menjijikkan. Orang-orang bisa dengan mudah memahaminya. Namun, bukan berarti mereka meresponsnya dengan benar. Selama bertahun-tahun ini hanya sedikit saja orang atau media y
Morgan menepikan mobilnya dan turun. Dia berjalan cepat-cepat menuju mobilnya Arman yang terguling-guling itu. Saat ini, tampak beberapa tentara mencoba mengeluarkan Arman dari mobilnya yang terbalik. Mereka adalah anak-anak buahnya Kris. "Bagaimana dia?" tanya Morgan. "Aman, Dewa Perang. Dia masih hidup. Hanya pingsan dan kehilangan banyak darah," jawab salah satu tentara. "Bawa dia ke mobil dan obati dia. Kita meluncur ke lokasi sekarang.""Siap, Dewa Perang!"Normalnya, orang yang kondisinya seperti Arman akan dibawa ke markas militer dan diobati di sana. Tapi bukan itu yang ada di rencana Morgan. Dia telah menyiapkan mobil dan tim khusus untuk mengobati Arman di perjalanan menuju lokasi. Lokasi yang dimaksud itu sendiri adalah sebuah titik jauh di dalam hutan. Tentara-tentara itu membawa Arman ke mobil yang telah disiapkan. Morgan sempat mengamati mobilnya Arman beberapa lama, lalu dia copot plat nomornya. Setelah itu dia kembali ke mobilnya. Perjalanan bermobil memakan wa
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat