Di kamar hotel tempat Agnes menginap... Baru saja Agnes selesai mandi dan keramas. Kini dia tengah duduk di depan meja rias, mengeringkan rambut panjangnya dengan hairdryer. Hari ini dia telah bekerja keras, melakukan lebih banyak hal dari biasanya, dan kini dia merasa lelah. Tapi perasaannya cukup enak. Perubahan situasi yang mengejutkan tadi sore mengubah harinya yang semula begitu muram. Karena ibunya sudah sembuh, dan ayahnya membatalkan kesepakatan mereka, Agnes memutuskan untuk membatalkan pengunduran dirinya. Tadi dia sempat khawatir dan malu saat mencoba mengatakannya kepada asistennya Felisia, tapi untunglah pria itu sangat baik padanya. Agnes tak jadi mengundurkan diri. Dia masih akan terus menggarap proyek berharga dari Charta Group hingga proyek ini selesai. "Syukurlah. Aku benar-benar lega. Besok aku harus menyempatkan diri untuk melihat Mama," gumamnya. Dia tersenyum. Dia merasa akan bisa tidur nyenyak sebab ibunya telah melewati masa kritis dan kondisinya akan m
"Bos, bagaimana sekarang?""Maju saja terus! Sebentar lagi kita keluar dari kota ini!"Meski telah diperingatkan, Jeremy bersikeras melanjutkan misinya. Tentu saja ada konsekuensi dari pilihannya ini. Dor dor dor... "Bos, mereka yang di belakang menembaki kita!" ujar pilot helikopter yang dinaiki Jeremy. "Sialan! Siapa mereka sebenarnya?" gerutu Jeremy. Dia tak pernah menduga akan menghadapi rintangan seperti ini. Kalau tahu akan begini, dia akan mengerahkan pasukan untuk menculik Agnes. Pasukannya Jeremy merupakan gabungan dari militer dan preman. Dia sendiri dulunya tentara, pernah mengabdi tiga belas tahun bagi negara, sebelum akhirnya dipecat dan diam-diam menggunakan jaringannya untuk membuat kelompok mafia kelas atas yang ditakuti di Kota KL. Dor dor dor dor... "Bos, mereka terus menembaki kita!" kata si pilot. "Aku tahu! Tak perlu mengingatkanku!" hardik Jeremy. Dia masih bingung kenapa helikopter-helikopter ini mengikutinya. Dari tampilannya, mereka tampaknya milite
Meski telah resmi dikeluarkan dari Gigantio Group, dan semua akses ke kerajaan bisnis ayahnya tak lagi dimilikinya, Arman masih diizinkan ayahnya untuk tetap menempati villa mewah di kawasan elite Kota HK. Villa ini telah ditempati Arman sejak dia kuliah. Dan di sana, bersama teman-temannya, dia kerap mengadakan pesta yang identik dengan obat-obatan terlarang dan aktivitas seksual. Banyak gadis muda dibawa ke pesta-pestanya itu dan dijebak di sana, mau tak mau harus mengikuti apa-apa yang dikatakan oleh Arman dan teman-temannya jika mau dibiarkan pulang. Arman sendiri sudah beratus-ratus kali menjadikan gadis-gadis itu mainan sekaligus pemuas hawa nafsunya. Beberapa dari mereka bahkan pernah hamil dan Arman akan melakukan apa pun supaya bayi-bayi itu tak pernah dilahirkan. Apa yang dilakukan Arman ini sangat menjijikkan. Orang-orang bisa dengan mudah memahaminya. Namun, bukan berarti mereka meresponsnya dengan benar. Selama bertahun-tahun ini hanya sedikit saja orang atau media y
Morgan menepikan mobilnya dan turun. Dia berjalan cepat-cepat menuju mobilnya Arman yang terguling-guling itu. Saat ini, tampak beberapa tentara mencoba mengeluarkan Arman dari mobilnya yang terbalik. Mereka adalah anak-anak buahnya Kris. "Bagaimana dia?" tanya Morgan. "Aman, Dewa Perang. Dia masih hidup. Hanya pingsan dan kehilangan banyak darah," jawab salah satu tentara. "Bawa dia ke mobil dan obati dia. Kita meluncur ke lokasi sekarang.""Siap, Dewa Perang!"Normalnya, orang yang kondisinya seperti Arman akan dibawa ke markas militer dan diobati di sana. Tapi bukan itu yang ada di rencana Morgan. Dia telah menyiapkan mobil dan tim khusus untuk mengobati Arman di perjalanan menuju lokasi. Lokasi yang dimaksud itu sendiri adalah sebuah titik jauh di dalam hutan. Tentara-tentara itu membawa Arman ke mobil yang telah disiapkan. Morgan sempat mengamati mobilnya Arman beberapa lama, lalu dia copot plat nomornya. Setelah itu dia kembali ke mobilnya. Perjalanan bermobil memakan wa
Agnes menatap wanita itu dengan bingung. Dari penampilannya, wanita itu sepertinya tentara. Tapi dia tidak terlihat kaki; justrunya sikapnya santai dan pembawaannya ruang. Dan apa yang baru saja dikatakannya? Agnes istrinya Sang Dewa Perang? "Pantas saja Dewa Perang begitu mencintaimu. Kau memang cantik secantik putri," kata wanita itu, sambil berjalan ke arah Agnes. "Kau... siapa? Di mana aku?" tanya Agnes. "Kau di markas militer Kota HK. Tidak ingat apa yang semala menimpamu?" wanita itu bertanya balik. "Semalam aku... diculik. Orang-orang itu membawaku dengan helikopter.""Betul. Dan sekarang kau di sini. Kau sudah aman. Tak perlu lagi ada yang kau khawatirkan."Wanita itu berhenti melangkah. Dia telah berdiri tepat di sisi kasur yang ditempati Agnes. "Bagaimana aku bisa... berada di sini? Bagian itu aku tidak ingat," kata Agnes kemudian. "Ah, mungkin semalam kau terlalu syok dengan penculikan itu, sehingga kau tak menyadari kalau tentara-tentara kiriman Dewa Perang menyela
"Apa yang sedang kau lakukan di sini, Joseph? Aku baru tahu kalau seorang polisi sepertimu punya banyak waktu untuk berleha-leha," sindir Morgan. "Keparat! Justru aku yang harusnya bertanya. Apa yang kau lakukan di sini? Ada urusan apa mantan napi sepertimu di sini?" serang Joseph. Kris, yang terprovokasi oleh sikap dan kata-kata kasar Joseph kepada Morgan, sempat akan mengambil tindakan, tetapi Morgan dengan cepat memberi isyarat agar dia tetap diam di tempatnya. "Aku ke sini untuk menemui Agnes. Apa yang salah dengan itu? Dia istriku," celetuk Morgan. Saat Joseph tampak akan membalasnya, Morgan memotongnya dengan gerakan tangan, lalu berkata, "Jangan bilang kau pun di sini untuk menemui Agnes. Kalian sudah mengusirnya sampai-sampai dia harus menginap di hotel seperti ini!"Joseph terdiam. Morgan menyerangnya tepat di titik yang kritis. Dia tak tahu harus membalasnya seperti apa. "Lebih baik kau kembali ke kantormu sana, Joseph. Tak ada gunanya juga kau di sini," cibir Morgan,
Dalam perjalanan kembali ke kantor polisi, Joseph tak henti-hentinya mengumpat. Apa yang dialaminya di depan hotel tadi sungguh membuatnya kesal. Dendamnya kepada Morgan semakin besar. "Anjing! Bangsat! Dia pikir dia itu siapa! Hanya karena dia berteman dengan Dewa Perang, dipikirnya statusnya sekarang lebih tinggi dariku? Omong kosong!"Joseph mengumpat sambil memukul-mukul dasbor. Anak buahnya, yang memegang setir, tampak tak nyaman tapi tak berani menegurnya. "Awas saja kau, Morgan! Aku bersumpah akan membalas semua perlakuanmu padaku! Aku tak akan mati sebelum melihatmu menderita!" Kembali, Joseph memukul-mukul dasbor. Kulit mukanya sudah memerah karena amarah. Tiba-tiba, mobil berhenti. Hampir saja kepala Joseph terantuk ke dasbor. "Ada apa? Kenapa berhenti tiba-tiba?!" tanya Joseph, geram. "Itu... ada orang yang tiba-tiba ke tengah jalan..." kata anak buahnya, menunjuk ke depan. Benar saja. Di depan sana ada seorang pria yang berdiri di tengah jalan. Joseph kesal. Dia
Rentetan tembakan dan teriakan itu membuat para pelanggan restoran ketakutan. Mereka yang sedang menyantap hidangan langsung berhenti. Mereka yang sedang asyik berbincang langsung terdiam. Adapun karyawan-karyawan restoran sendiri bergeming di tempatnya, seperti manekin. Mereka bingung harus melakukan apa. "Ayo tunjukkan dirimu, Dewa Perang! Jangan jadi pengecut!" teriak orang itu lagi. Morgan, sebagai satu-satunya orang di restoran yang tetap duduk tenang, hanya memandangi dua orang itu tanpa mengatakan apa pun. Dia tak mengenal mereka, dan agaknya tak pernah juga melihat mereka. Lantas kenapa mereka mengincarnya? Dan kenapa juga mereka berani menantangnya terang-terangan begini? Satu nama lantas melintas di benaknya: Rudolf. Morgan curiga orang-orang ini ada kaitannya dengan kembalinya Rudolf. Di luar, tampak dua orang satpam mendekat. Mereka pastilah terkejut dengan bunyi tembakan tadi. "Ada apa ini? Siapa kalian?" tanya salah satu satpam yang masuk dari pintu depan. Ta