"Apa yang sedang kau lakukan di sini, Joseph? Aku baru tahu kalau seorang polisi sepertimu punya banyak waktu untuk berleha-leha," sindir Morgan. "Keparat! Justru aku yang harusnya bertanya. Apa yang kau lakukan di sini? Ada urusan apa mantan napi sepertimu di sini?" serang Joseph. Kris, yang terprovokasi oleh sikap dan kata-kata kasar Joseph kepada Morgan, sempat akan mengambil tindakan, tetapi Morgan dengan cepat memberi isyarat agar dia tetap diam di tempatnya. "Aku ke sini untuk menemui Agnes. Apa yang salah dengan itu? Dia istriku," celetuk Morgan. Saat Joseph tampak akan membalasnya, Morgan memotongnya dengan gerakan tangan, lalu berkata, "Jangan bilang kau pun di sini untuk menemui Agnes. Kalian sudah mengusirnya sampai-sampai dia harus menginap di hotel seperti ini!"Joseph terdiam. Morgan menyerangnya tepat di titik yang kritis. Dia tak tahu harus membalasnya seperti apa. "Lebih baik kau kembali ke kantormu sana, Joseph. Tak ada gunanya juga kau di sini," cibir Morgan,
Dalam perjalanan kembali ke kantor polisi, Joseph tak henti-hentinya mengumpat. Apa yang dialaminya di depan hotel tadi sungguh membuatnya kesal. Dendamnya kepada Morgan semakin besar. "Anjing! Bangsat! Dia pikir dia itu siapa! Hanya karena dia berteman dengan Dewa Perang, dipikirnya statusnya sekarang lebih tinggi dariku? Omong kosong!"Joseph mengumpat sambil memukul-mukul dasbor. Anak buahnya, yang memegang setir, tampak tak nyaman tapi tak berani menegurnya. "Awas saja kau, Morgan! Aku bersumpah akan membalas semua perlakuanmu padaku! Aku tak akan mati sebelum melihatmu menderita!" Kembali, Joseph memukul-mukul dasbor. Kulit mukanya sudah memerah karena amarah. Tiba-tiba, mobil berhenti. Hampir saja kepala Joseph terantuk ke dasbor. "Ada apa? Kenapa berhenti tiba-tiba?!" tanya Joseph, geram. "Itu... ada orang yang tiba-tiba ke tengah jalan..." kata anak buahnya, menunjuk ke depan. Benar saja. Di depan sana ada seorang pria yang berdiri di tengah jalan. Joseph kesal. Dia
Rentetan tembakan dan teriakan itu membuat para pelanggan restoran ketakutan. Mereka yang sedang menyantap hidangan langsung berhenti. Mereka yang sedang asyik berbincang langsung terdiam. Adapun karyawan-karyawan restoran sendiri bergeming di tempatnya, seperti manekin. Mereka bingung harus melakukan apa. "Ayo tunjukkan dirimu, Dewa Perang! Jangan jadi pengecut!" teriak orang itu lagi. Morgan, sebagai satu-satunya orang di restoran yang tetap duduk tenang, hanya memandangi dua orang itu tanpa mengatakan apa pun. Dia tak mengenal mereka, dan agaknya tak pernah juga melihat mereka. Lantas kenapa mereka mengincarnya? Dan kenapa juga mereka berani menantangnya terang-terangan begini? Satu nama lantas melintas di benaknya: Rudolf. Morgan curiga orang-orang ini ada kaitannya dengan kembalinya Rudolf. Di luar, tampak dua orang satpam mendekat. Mereka pastilah terkejut dengan bunyi tembakan tadi. "Ada apa ini? Siapa kalian?" tanya salah satu satpam yang masuk dari pintu depan. Ta
Allina terkejut dengan pengakuan Morgan. Dia pikir, Morgan akan diam-diam menyerang si orang bersenjata itu lagi seperti tadi. Kalau sudah begini, bukankah Morgan menjadikan dirinya sasaran empuk bagi kedua orang itu? “Kau orangnya? Kau yang membuat tanganku berdarah seperti ini?!” raung si orang bersenjata yang terkena lemparan pisau. “Ya, akulah orangnya. Sekarang apa?” balas Morgan, menantang. Para pelanggan restoran tercengang. Mereka tak habis pikir, ada orang yang masih bisa berdiri dengan tenang dan percaya diri, tak sedikit pun terlihat khawatir dia akan diberondong peluru. “Ke sini kau! Angkat tanganmu ke atas!” teriak si orang bersenjata yang satu lagi. Kini dia menodongkan kedua pistolnya ke arah Morgan. Morgan beranjak dari kursinya, tapi sebelum dia melangkah lebih jauh Allina menggenggam tangannya. “Berhati-hatilah,” ujar Allina, tampak begitu khawatir. “Tenang saja,” kata Morgan. Dia pun maju ke depan, ke arah dua orang bersenjata itu melakukan penyanderaan. Ya,
Segera setelah Morgan mengatakannya, dua orang muncul dari depan, memasuki gang.Dari arah belakang, dua orang lainnya muncul, dan terdengar bunyi benda serupa besi diseret-seret.Orang-orang ini, keempat-empatnya, berbadan besar dengan otot-otot yang menonjol. Dan kepala mereka plontos. Semuanya."Cuma berempat? Kalian yakin tak mau menyerangku secara bersamaan?" tantang Morgan.Dia tahu, setidaknya ada orang-orang yang ditugaskan sebagai sniper. Mereka kini pasti masih bersembunyi di atas.Zasshhh!!Sesuatu tiba-tiba dilemparkan ke arah Morgan dari depan. Morgan menghindar, tapi segera dia menyadari kalau sesuatu yang dilemparkan itu kembali menyasarnya dari arah berlawanan.Trang!!Morgan terpaksa mengeluarkan pisau lipatnya, menahan serangan itu.Rupanya benda yang baru saja melintas cepat itu adalah sebuah sabit yang terpasangi rantai.Kini, si pemilik senjata sedang menariknya kuat-kuat, memaksa Morgan memasang kuda-kuda bertahan yang kokoh.Di saat yang sama, tiga pria plontos
"Orang yang memberi kami misi ini adalah Mr. X," kata si pengguna panah. "Mr. X? Siapa dia?" tanya Morgan. "Tak banyak yang kami tahu. Yang pasti, dia salah satu pebisnis terkaya di kota ini.""Kalian bekerja untuknya?""Tidak. Kami ini tentara bayaran. Kami bisa disewa siapa saja dan menjalankan misi di mana saja, tergantung besarnya bayaran.""Dan dia membayar kalian sangat mahal untuk datang ke kota ini dan menghabisiku. Begitu?""Ya. Begitulah.""Kalian tahu siapa aku?""Kami hanya tahu apa yang diinfokan Mr. X kepada kami. Dia bilang di kota ini ada Dewa Perang. Dan dia curiga orang itu kau.""Oh ya? Kenapa dia bisa berpikir begitu?""Entahlah. Kami tak menanyakan hal itu padanya. Selama kami dibayar, kami tak perlu tahu semuanya. Begitulah prinsip kami."Morgan kini tahu kalau si pengguna panah ini adalah pemimpin kawanan ini. Dan berbeda dengan yang lain, dia sepertinya cukup cerdik. Dia tahu kapan harus menyerang kapan harus menyerah. "Mr. X. Itu pasti nama samaran, kan? S
Dua mobil patroli polisi melaju di jalan raya yang sibuk.Joseph berada di mobil patroli yang satu, sedangkan Morgan berada di mobil yang satunya lagi.Keduanya sedang menuju ke kantor polisi Kota HK.Di mobil patroli polisi itu, Morgan sedang berpikir, mencari-cari cara bagaimana dia bisa segera menuju ke lokasi yang tertulis di kertas memo tadi.Dia tak tahu siapa musuhnya. Instingnya mengatakan, orang-orang ini lebih berbahaya daripada orang-orang yang tempo hari menculik Allina dan istrinya.Kedua tangan Morgan terborgol di depan. Sebenarnya berlebihan dia sampai diborgol seperti ini, sebab dia dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan, sebagai saksi.Tapi ini sama sekali tak aneh baginya. Joseph, kakak iparnya itu, selalu berusaha melakukan al buruk terhadapnya untuk menunjukkan kuasanya.Sayangnya, kali ini, kuasanya itu semu.Setelah cukup lama berpikir, sebuah ide akhirnya melintas di benak Morgan.Dia melirik ke kanan dan ke kiri. Dua orang polisi mengapitnya seakan-a
Orang-orang itu, ratusan jumlahnya, dengan cepat mengelilingi Morgan, membuatnya terjebak di dalam lingkaran yang semakin lama diameternya semakin mengecil.Tak seperti Miku, Morgan tak merasakan adanya ancaman berarti dari orang-orang ini.Hanya saja, satu pertanyaan muncul di benaknya: bagaimana Rudolf bisa menyusupkan orang sebanyak ini ke kota ini tanpa terdeteksi oleh aparat kepolisian maupun militer?"Hiyaaah!!"Raungan keluar dari mulut orang-orang itu ketika mereka berlari menerjang Morgan.Tak masalah. Morgan sudah dalam kondisi siap untuk bertarung. Dihajarnya orang-orang yang menerjangnya itu sehingga mereka terlempar ke berbagai arah.Beberapa dari mereka menghantam teman-temannya sendiri, membuat lingkaran itu cacat meski lekas tersambung lagi.Morgan meladeni orang-orang ini tanpa berpikir. Dia biarkan tubuhnya bergerak secara otomatis, dikendalikan oleh insting.Cara ini bisa menghemat energi, tapi sisi negatifnya: dia tak bisa mengatur daya hancur serangan-serangannya.