Terima kasih kepada readers yang sudah membaca novel ini sampai sejauh ini. Di beberapa bab ke depan, Morgan akan berkonfrontasi dengan orang-orangnya Rudolf lewat pertarungan-pertarungan yang intens. Ikuti terus, ya! Jangan lupa vote-nya ~
Segera setelah Morgan mengatakannya, dua orang muncul dari depan, memasuki gang.Dari arah belakang, dua orang lainnya muncul, dan terdengar bunyi benda serupa besi diseret-seret.Orang-orang ini, keempat-empatnya, berbadan besar dengan otot-otot yang menonjol. Dan kepala mereka plontos. Semuanya."Cuma berempat? Kalian yakin tak mau menyerangku secara bersamaan?" tantang Morgan.Dia tahu, setidaknya ada orang-orang yang ditugaskan sebagai sniper. Mereka kini pasti masih bersembunyi di atas.Zasshhh!!Sesuatu tiba-tiba dilemparkan ke arah Morgan dari depan. Morgan menghindar, tapi segera dia menyadari kalau sesuatu yang dilemparkan itu kembali menyasarnya dari arah berlawanan.Trang!!Morgan terpaksa mengeluarkan pisau lipatnya, menahan serangan itu.Rupanya benda yang baru saja melintas cepat itu adalah sebuah sabit yang terpasangi rantai.Kini, si pemilik senjata sedang menariknya kuat-kuat, memaksa Morgan memasang kuda-kuda bertahan yang kokoh.Di saat yang sama, tiga pria plontos
"Orang yang memberi kami misi ini adalah Mr. X," kata si pengguna panah. "Mr. X? Siapa dia?" tanya Morgan. "Tak banyak yang kami tahu. Yang pasti, dia salah satu pebisnis terkaya di kota ini.""Kalian bekerja untuknya?""Tidak. Kami ini tentara bayaran. Kami bisa disewa siapa saja dan menjalankan misi di mana saja, tergantung besarnya bayaran.""Dan dia membayar kalian sangat mahal untuk datang ke kota ini dan menghabisiku. Begitu?""Ya. Begitulah.""Kalian tahu siapa aku?""Kami hanya tahu apa yang diinfokan Mr. X kepada kami. Dia bilang di kota ini ada Dewa Perang. Dan dia curiga orang itu kau.""Oh ya? Kenapa dia bisa berpikir begitu?""Entahlah. Kami tak menanyakan hal itu padanya. Selama kami dibayar, kami tak perlu tahu semuanya. Begitulah prinsip kami."Morgan kini tahu kalau si pengguna panah ini adalah pemimpin kawanan ini. Dan berbeda dengan yang lain, dia sepertinya cukup cerdik. Dia tahu kapan harus menyerang kapan harus menyerah. "Mr. X. Itu pasti nama samaran, kan? S
Dua mobil patroli polisi melaju di jalan raya yang sibuk.Joseph berada di mobil patroli yang satu, sedangkan Morgan berada di mobil yang satunya lagi.Keduanya sedang menuju ke kantor polisi Kota HK.Di mobil patroli polisi itu, Morgan sedang berpikir, mencari-cari cara bagaimana dia bisa segera menuju ke lokasi yang tertulis di kertas memo tadi.Dia tak tahu siapa musuhnya. Instingnya mengatakan, orang-orang ini lebih berbahaya daripada orang-orang yang tempo hari menculik Allina dan istrinya.Kedua tangan Morgan terborgol di depan. Sebenarnya berlebihan dia sampai diborgol seperti ini, sebab dia dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan, sebagai saksi.Tapi ini sama sekali tak aneh baginya. Joseph, kakak iparnya itu, selalu berusaha melakukan al buruk terhadapnya untuk menunjukkan kuasanya.Sayangnya, kali ini, kuasanya itu semu.Setelah cukup lama berpikir, sebuah ide akhirnya melintas di benak Morgan.Dia melirik ke kanan dan ke kiri. Dua orang polisi mengapitnya seakan-a
Orang-orang itu, ratusan jumlahnya, dengan cepat mengelilingi Morgan, membuatnya terjebak di dalam lingkaran yang semakin lama diameternya semakin mengecil.Tak seperti Miku, Morgan tak merasakan adanya ancaman berarti dari orang-orang ini.Hanya saja, satu pertanyaan muncul di benaknya: bagaimana Rudolf bisa menyusupkan orang sebanyak ini ke kota ini tanpa terdeteksi oleh aparat kepolisian maupun militer?"Hiyaaah!!"Raungan keluar dari mulut orang-orang itu ketika mereka berlari menerjang Morgan.Tak masalah. Morgan sudah dalam kondisi siap untuk bertarung. Dihajarnya orang-orang yang menerjangnya itu sehingga mereka terlempar ke berbagai arah.Beberapa dari mereka menghantam teman-temannya sendiri, membuat lingkaran itu cacat meski lekas tersambung lagi.Morgan meladeni orang-orang ini tanpa berpikir. Dia biarkan tubuhnya bergerak secara otomatis, dikendalikan oleh insting.Cara ini bisa menghemat energi, tapi sisi negatifnya: dia tak bisa mengatur daya hancur serangan-serangannya.
Miku telah melepaskan dua tembakan yang menghasilkan dua ledakan hebat.Nomalnya, siapa pun yang terkena atau berada di area ledakan akan mati, atau paling tidak terluka parah.Tapi sosok yang dihadapinya kini memang berbeda. Bahkan setelah Miku berhasil mengejutkannya dengan tembakan dan ledakan pertama, orang itu masih bisa berdiri dan baik-baik saja."Tak salah dia dijuluki Dewa Perang," gumam Miku.Yang membuatnya geleng-geleng kepala adalah apa yang terjadi setelah ledakan kedua.Dia tak melihat sosok Morgan di antara orang-orang yang bergelimpangan di bawah sana.Tak mungkin Morgan hangus sampai tubuhnya tak tersisa sama sekali. Kemungkinan besar dia berhasil menghindar atau seseorang memindahkannya sebelum ledakan kedua terjadi.Miku kembali meneropong dengan senapan khususnya, mencari-cari di mana Morgan berada.Tapi dia tak juga menemukannya. Yang dia temukan malah seorang wanita berambut pendek sebahu, dengan seragam tentara yang membuatnya tampak gagah.Wanita itu menengada
Ledakan itu membuat Miku terlempar ke belakang, membuatnya batuk darah saat punggungnya membentur dinding.Senapan khususnya terlempar ke arah lain. Sudah pasti senjata itu tak bisa digunakan lagi.“A-apa… yang.. terjadi?” gumamnya saat mencoba bangkit.Kembali dia batuk darah. Dadanya terasa sakit. Tulang punggunnya terasa ngilu dan tangan kirinya kebas.Saat dia melirik tangan kirinya itu, dia mendapati darah mengucur deras dari sana.Dia nyaris tak bisa merasakan apa pun di tangannya itu.Zhappp!Tiba-tiba saja, seseorang mendarat di balkon tersebut, beberapa meter di samping kirinya.Tak salah lagi, dia dalah Morgan. Sosok Morgan kali ini tampak berbeda dari tadi. Melihatnya saja membuat bulu kuduk Miku berdiri.“Katakan padaku, senjata apa yang kau gunakan tadi? Dari mana kau mendapatkannya?” tanya Morgan langsung, berjalan menghampiri Miku.Miku hendak menghindar dengan menggeser tubuhnya ke kanan, tetapi sulit sekali baginya untuk bergerak.Rupanya, setelah dia mengecek lagi ko
Menjelang tengah malam, polisi-polisi tiba di gedung bekas sekolah di kawasan utara Kota HK. Joseph ikut turun ke lokasi. Dia tercengang mendapati ratusan orang bergelimpangan dan tinggal mayat. Kerusakan fisik di sekitar gedung juga tak biasa. 'Apa yang terjadi di sini?' pikir Joseph. Sementara anak-anak buahnya menelusuri petunjuk yang bisa membawa mereka ke titik terang, perhatian Joseph tertuju pada sebuah mobil patroli polisi yang terparkir di depan gedung. Mobil itu gosong bagian depan dan atasnya, tapi nomor polisi di bemper belakang masih utuh. "Tak salah lagi. Ini mobil yang membawa si keparat itu tadi!" katanya. Mobil itu memang mobil yang membawa Morgan. Dan Joseph pun menyimpulkan kalau Morgan tadi ada di sini. "Sialan kau, Morgan! Apalagi masalah yang kau timbulkan sekarang?" gumam Joseph. Firasatnya tak enak. Dia merasa sesuatu yang sangat buruk akan terjadi di kota ini. ... Di pelabuhan di kawasan utara Kota HK... Seorang pria turun dari kapal feri, mengenaka
Morgan ingin membalas provokasi Xavier tetapi Agnes menyenggol kakinya. Saat Morgan menoleh menatap Agnes, dilihatnya istrinya itu tampak kesal kepadanya.Morgan pun mengerti. Dia terpaksa menarik kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya. "Maafkan suami saya, Tuan Xavier. Mungkin kita bisa langsung ke topik yang ingin dibahas saja?" kata Agnes. "Oh, tak usah terburu-buru begitu, Nona Agnes. Malam masih panjang. Kita minum dan makan saja dulu. Sebentar lagi pelayan datang membawa hidangan," kata Xavier. Morgan tak senang dengan sikap Xavier yang sok ramah kepada istrinya. Tapi dia juga tak senang dengan sikap istrinya yang begitu menaruh hormat kepada Xavier. Seandainya saja Agnes tahu kalau Xavier sudah menyewa tentara bayaran untuk menghabisi suaminya, apakah dia masih akan bersikap hormat seperti itu pada Xavier? Morgan yakin tidak. Seratus persen tidak. Seperti yang dibilang Xavier, tak lama kemudian pelayan-pelayan masuk membawakan hidangan. Makanan-makanan mahal. Ang
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat