"Orang yang memberi kami misi ini adalah Mr. X," kata si pengguna panah. "Mr. X? Siapa dia?" tanya Morgan. "Tak banyak yang kami tahu. Yang pasti, dia salah satu pebisnis terkaya di kota ini.""Kalian bekerja untuknya?""Tidak. Kami ini tentara bayaran. Kami bisa disewa siapa saja dan menjalankan misi di mana saja, tergantung besarnya bayaran.""Dan dia membayar kalian sangat mahal untuk datang ke kota ini dan menghabisiku. Begitu?""Ya. Begitulah.""Kalian tahu siapa aku?""Kami hanya tahu apa yang diinfokan Mr. X kepada kami. Dia bilang di kota ini ada Dewa Perang. Dan dia curiga orang itu kau.""Oh ya? Kenapa dia bisa berpikir begitu?""Entahlah. Kami tak menanyakan hal itu padanya. Selama kami dibayar, kami tak perlu tahu semuanya. Begitulah prinsip kami."Morgan kini tahu kalau si pengguna panah ini adalah pemimpin kawanan ini. Dan berbeda dengan yang lain, dia sepertinya cukup cerdik. Dia tahu kapan harus menyerang kapan harus menyerah. "Mr. X. Itu pasti nama samaran, kan? S
Dua mobil patroli polisi melaju di jalan raya yang sibuk.Joseph berada di mobil patroli yang satu, sedangkan Morgan berada di mobil yang satunya lagi.Keduanya sedang menuju ke kantor polisi Kota HK.Di mobil patroli polisi itu, Morgan sedang berpikir, mencari-cari cara bagaimana dia bisa segera menuju ke lokasi yang tertulis di kertas memo tadi.Dia tak tahu siapa musuhnya. Instingnya mengatakan, orang-orang ini lebih berbahaya daripada orang-orang yang tempo hari menculik Allina dan istrinya.Kedua tangan Morgan terborgol di depan. Sebenarnya berlebihan dia sampai diborgol seperti ini, sebab dia dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan, sebagai saksi.Tapi ini sama sekali tak aneh baginya. Joseph, kakak iparnya itu, selalu berusaha melakukan al buruk terhadapnya untuk menunjukkan kuasanya.Sayangnya, kali ini, kuasanya itu semu.Setelah cukup lama berpikir, sebuah ide akhirnya melintas di benak Morgan.Dia melirik ke kanan dan ke kiri. Dua orang polisi mengapitnya seakan-a
Orang-orang itu, ratusan jumlahnya, dengan cepat mengelilingi Morgan, membuatnya terjebak di dalam lingkaran yang semakin lama diameternya semakin mengecil.Tak seperti Miku, Morgan tak merasakan adanya ancaman berarti dari orang-orang ini.Hanya saja, satu pertanyaan muncul di benaknya: bagaimana Rudolf bisa menyusupkan orang sebanyak ini ke kota ini tanpa terdeteksi oleh aparat kepolisian maupun militer?"Hiyaaah!!"Raungan keluar dari mulut orang-orang itu ketika mereka berlari menerjang Morgan.Tak masalah. Morgan sudah dalam kondisi siap untuk bertarung. Dihajarnya orang-orang yang menerjangnya itu sehingga mereka terlempar ke berbagai arah.Beberapa dari mereka menghantam teman-temannya sendiri, membuat lingkaran itu cacat meski lekas tersambung lagi.Morgan meladeni orang-orang ini tanpa berpikir. Dia biarkan tubuhnya bergerak secara otomatis, dikendalikan oleh insting.Cara ini bisa menghemat energi, tapi sisi negatifnya: dia tak bisa mengatur daya hancur serangan-serangannya.
Miku telah melepaskan dua tembakan yang menghasilkan dua ledakan hebat.Nomalnya, siapa pun yang terkena atau berada di area ledakan akan mati, atau paling tidak terluka parah.Tapi sosok yang dihadapinya kini memang berbeda. Bahkan setelah Miku berhasil mengejutkannya dengan tembakan dan ledakan pertama, orang itu masih bisa berdiri dan baik-baik saja."Tak salah dia dijuluki Dewa Perang," gumam Miku.Yang membuatnya geleng-geleng kepala adalah apa yang terjadi setelah ledakan kedua.Dia tak melihat sosok Morgan di antara orang-orang yang bergelimpangan di bawah sana.Tak mungkin Morgan hangus sampai tubuhnya tak tersisa sama sekali. Kemungkinan besar dia berhasil menghindar atau seseorang memindahkannya sebelum ledakan kedua terjadi.Miku kembali meneropong dengan senapan khususnya, mencari-cari di mana Morgan berada.Tapi dia tak juga menemukannya. Yang dia temukan malah seorang wanita berambut pendek sebahu, dengan seragam tentara yang membuatnya tampak gagah.Wanita itu menengada
Ledakan itu membuat Miku terlempar ke belakang, membuatnya batuk darah saat punggungnya membentur dinding.Senapan khususnya terlempar ke arah lain. Sudah pasti senjata itu tak bisa digunakan lagi.“A-apa… yang.. terjadi?” gumamnya saat mencoba bangkit.Kembali dia batuk darah. Dadanya terasa sakit. Tulang punggunnya terasa ngilu dan tangan kirinya kebas.Saat dia melirik tangan kirinya itu, dia mendapati darah mengucur deras dari sana.Dia nyaris tak bisa merasakan apa pun di tangannya itu.Zhappp!Tiba-tiba saja, seseorang mendarat di balkon tersebut, beberapa meter di samping kirinya.Tak salah lagi, dia dalah Morgan. Sosok Morgan kali ini tampak berbeda dari tadi. Melihatnya saja membuat bulu kuduk Miku berdiri.“Katakan padaku, senjata apa yang kau gunakan tadi? Dari mana kau mendapatkannya?” tanya Morgan langsung, berjalan menghampiri Miku.Miku hendak menghindar dengan menggeser tubuhnya ke kanan, tetapi sulit sekali baginya untuk bergerak.Rupanya, setelah dia mengecek lagi ko
Menjelang tengah malam, polisi-polisi tiba di gedung bekas sekolah di kawasan utara Kota HK. Joseph ikut turun ke lokasi. Dia tercengang mendapati ratusan orang bergelimpangan dan tinggal mayat. Kerusakan fisik di sekitar gedung juga tak biasa. 'Apa yang terjadi di sini?' pikir Joseph. Sementara anak-anak buahnya menelusuri petunjuk yang bisa membawa mereka ke titik terang, perhatian Joseph tertuju pada sebuah mobil patroli polisi yang terparkir di depan gedung. Mobil itu gosong bagian depan dan atasnya, tapi nomor polisi di bemper belakang masih utuh. "Tak salah lagi. Ini mobil yang membawa si keparat itu tadi!" katanya. Mobil itu memang mobil yang membawa Morgan. Dan Joseph pun menyimpulkan kalau Morgan tadi ada di sini. "Sialan kau, Morgan! Apalagi masalah yang kau timbulkan sekarang?" gumam Joseph. Firasatnya tak enak. Dia merasa sesuatu yang sangat buruk akan terjadi di kota ini. ... Di pelabuhan di kawasan utara Kota HK... Seorang pria turun dari kapal feri, mengenaka
Morgan ingin membalas provokasi Xavier tetapi Agnes menyenggol kakinya. Saat Morgan menoleh menatap Agnes, dilihatnya istrinya itu tampak kesal kepadanya.Morgan pun mengerti. Dia terpaksa menarik kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya. "Maafkan suami saya, Tuan Xavier. Mungkin kita bisa langsung ke topik yang ingin dibahas saja?" kata Agnes. "Oh, tak usah terburu-buru begitu, Nona Agnes. Malam masih panjang. Kita minum dan makan saja dulu. Sebentar lagi pelayan datang membawa hidangan," kata Xavier. Morgan tak senang dengan sikap Xavier yang sok ramah kepada istrinya. Tapi dia juga tak senang dengan sikap istrinya yang begitu menaruh hormat kepada Xavier. Seandainya saja Agnes tahu kalau Xavier sudah menyewa tentara bayaran untuk menghabisi suaminya, apakah dia masih akan bersikap hormat seperti itu pada Xavier? Morgan yakin tidak. Seratus persen tidak. Seperti yang dibilang Xavier, tak lama kemudian pelayan-pelayan masuk membawakan hidangan. Makanan-makanan mahal. Ang
Di sisa perjalanan pulang ke hotel, baik Agnes maupun Morgan tak mengatakan apa pun. Kekecewaan begitu jelas ditunjukkan oleh Agnes lewat raut muka dan bahasa tubuhnya. Morgan, sementara itu, sedang memikirkan rencana busuk apa yang kira-kira dimiliki Xavier. Tiba di depan hotel, Agnes langsung membuka pintu dan turun, berlalu begitu saja. Morgan mengamati istrinya itu menjauh. Tapi tiba-tiba, wanita itu berhenti, lantas balik badan dan mendekat. "Kau tak mau tahu kenapa dari tadi aku mendiamkanmu?" tanyanya, mencondongkan tubuhnya ke depan. Morgan mengerutkan kening. Sadari tadi dia memang penasaran, tapi dia tak mengira Agnes mengharapkan dia bertanya tentang itu. "Kenapa kau mendiamkanku tadi, nyaris di sepanjang waktu?" tanya Morgan. Agnes berdecak kesal. Saat ini agaknya apa pun yang dikatakan atau dilakukan Morgan akan dinilai buruk olehnya. "Nomor itu... tempo hari kau menghubungiku dengan nomor itu, bertingkah seolah-olah kau pemilik Charta Group. Sebenarnya itu nomor