Menjelang tengah malam, polisi-polisi tiba di gedung bekas sekolah di kawasan utara Kota HK. Joseph ikut turun ke lokasi. Dia tercengang mendapati ratusan orang bergelimpangan dan tinggal mayat. Kerusakan fisik di sekitar gedung juga tak biasa. 'Apa yang terjadi di sini?' pikir Joseph. Sementara anak-anak buahnya menelusuri petunjuk yang bisa membawa mereka ke titik terang, perhatian Joseph tertuju pada sebuah mobil patroli polisi yang terparkir di depan gedung. Mobil itu gosong bagian depan dan atasnya, tapi nomor polisi di bemper belakang masih utuh. "Tak salah lagi. Ini mobil yang membawa si keparat itu tadi!" katanya. Mobil itu memang mobil yang membawa Morgan. Dan Joseph pun menyimpulkan kalau Morgan tadi ada di sini. "Sialan kau, Morgan! Apalagi masalah yang kau timbulkan sekarang?" gumam Joseph. Firasatnya tak enak. Dia merasa sesuatu yang sangat buruk akan terjadi di kota ini. ... Di pelabuhan di kawasan utara Kota HK... Seorang pria turun dari kapal feri, mengenaka
Morgan ingin membalas provokasi Xavier tetapi Agnes menyenggol kakinya. Saat Morgan menoleh menatap Agnes, dilihatnya istrinya itu tampak kesal kepadanya.Morgan pun mengerti. Dia terpaksa menarik kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya. "Maafkan suami saya, Tuan Xavier. Mungkin kita bisa langsung ke topik yang ingin dibahas saja?" kata Agnes. "Oh, tak usah terburu-buru begitu, Nona Agnes. Malam masih panjang. Kita minum dan makan saja dulu. Sebentar lagi pelayan datang membawa hidangan," kata Xavier. Morgan tak senang dengan sikap Xavier yang sok ramah kepada istrinya. Tapi dia juga tak senang dengan sikap istrinya yang begitu menaruh hormat kepada Xavier. Seandainya saja Agnes tahu kalau Xavier sudah menyewa tentara bayaran untuk menghabisi suaminya, apakah dia masih akan bersikap hormat seperti itu pada Xavier? Morgan yakin tidak. Seratus persen tidak. Seperti yang dibilang Xavier, tak lama kemudian pelayan-pelayan masuk membawakan hidangan. Makanan-makanan mahal. Ang
Di sisa perjalanan pulang ke hotel, baik Agnes maupun Morgan tak mengatakan apa pun. Kekecewaan begitu jelas ditunjukkan oleh Agnes lewat raut muka dan bahasa tubuhnya. Morgan, sementara itu, sedang memikirkan rencana busuk apa yang kira-kira dimiliki Xavier. Tiba di depan hotel, Agnes langsung membuka pintu dan turun, berlalu begitu saja. Morgan mengamati istrinya itu menjauh. Tapi tiba-tiba, wanita itu berhenti, lantas balik badan dan mendekat. "Kau tak mau tahu kenapa dari tadi aku mendiamkanmu?" tanyanya, mencondongkan tubuhnya ke depan. Morgan mengerutkan kening. Sadari tadi dia memang penasaran, tapi dia tak mengira Agnes mengharapkan dia bertanya tentang itu. "Kenapa kau mendiamkanku tadi, nyaris di sepanjang waktu?" tanya Morgan. Agnes berdecak kesal. Saat ini agaknya apa pun yang dikatakan atau dilakukan Morgan akan dinilai buruk olehnya. "Nomor itu... tempo hari kau menghubungiku dengan nomor itu, bertingkah seolah-olah kau pemilik Charta Group. Sebenarnya itu nomor
"Kau..."Sebelum Lemin menyelesaikan kata-katanya, Morgan memelintir tangan Lemin sehingga pistol di tangannya itu terlepas.Selanjutnya Morgan membanting Lemin.Bruakk!Bunyi keras itu terdengar saat tubuh gempal Lemin menghantam lantai, menyisakan retakan-retakan di sana.Anak-anak buahnya Lemin yang tengah mengeroyok Allina, seketika berhenti dan menoleh. Mereka tercengang melihat bos mereka terbaring tak bergerak.Allina, yang juga perhatiannya sempat teralihkan oleh apa yang dilakukan Morgan, mulai bergerak dan menghajar orang-orang yang mengeroyoknya.Situasi telah berbalik. Allina kini dengan mudah mengatasi orang-orang itu. Bahkan meski pandangannya sedikit terhalang oleh darah yang menetes-netes dari dahinya, dia bisa mengalahkan orang-orang itu.Dihantamnya sisa anak-anak buahnya Lemin hingga mereka semua terkapar. Allina menunjukkan kecakapan bertarungnya yang di atas rata-rata kepada Morgan.Setelah selesai, Allina menarik napas panjang, membuangnya perlahan.Orang-orang i
Xavier beranjak dari kursinya, menghampiri Agnes yang sudah tak sadarkan diri. Seringai terbit di wajahnya. Tipu-dayanya akhirnya berhasil. "Baiklah, Manis. Sekarang dari mana sebaiknya aku mulai menikmatimu?" ujarnya, sambil menyingkap rambut Agnes yang menutupi wajahnya. Bahkan saat tak sadarkan diri sekalipun, Agnes tetap terlihat begitu cantik. Xavier merasakan hasrat liarnya bangkit. Perlahan, Xavier memangku Agnes, dan dia berdiri. Mendapati bibir Agnes sedikit terbuka, dia jadi ingin menciumnya. Tapi dia menahan diri. Dia masih punya banyak waktu. Saat ini dia berada di rumahnya. Tak akan ada yang mengganggunya. Buah dada Agnes bergoyang-goyang saat Xavier membawanya, membuat hasrat liar Xavier semakin kuat. Dia menelan ludahnya. Di kamarnya nanti dia akan melampiaskan semuanya. Kenapa Xavier mendadak mengincar Agnes? Semua bermula dari saat dia menghadiri perayaan ulang tahun Charta Group. Dia memenuhi undangan, menghadiri acara itu, sebab dia tertarik untuk meliha
Allina tak menduga akan ada tembakan dari dalam kamar.Untuk tembakan kedua hingga keempat, dia berhasil menghindarinya.Tapi tembakan pertama... peluru itu bersarang di bahunya."Sialan!" rutuknya, meringis kesakitan.Tapi dia tak boleh berhenti di sini. Dia yakin Agnes ada di dalam kamar. Tembakan-tembakan tadi membuktikan itu.Untuk berjaga-jaga, kalau-kalau seseorang di dalam sana itu akan kembali menembaknya jika dia berdiri di depan pintu, Allina menempelkan punggungnya ke dinding.Dia rogoh saku celananya, mengambil sesuatu. Itu adalah granat asap ukuran kecil. Dia sempat mengamankannya dulu sewaktu akan keluar dari militer, tentu saja secara ilegal.Sambil menekan luka tembak di bahunya, menahan rasa sakit, Allina berdiri dan menarik napas panjang."Kau bisa, Allina! Kau pasti bisa!" gumamnya, menyemangati dirinya sendiri.Alina lalu bergerak, mendobrak pintu itu dengan tendangan taekwondo dari samping.Memang pintu itu tak langsung roboh, tapi setidaknya ada celah yang terbuk
Besok harinya, pagi sekitar pukul tujuh…Agnes terbangun, mengerjap-ngerjapkan mata. Dia merasa seperti telah tertidur begitu lama.“Di mana aku?“ gumamnya, bangkit terduduk.Kepalanya keleyengan. Kerongkongannya juga kering.Dia memindai ruangan. Kamar ini benar-benar asing baginya.Klik…Gagang pintu kamar bergerak ke bawah, lalu pintu itu didorong ke dalam.Agnes melihat sosok yang dikenalnya.“Ah, kau sudah bangun. Kebetulan sekali. Ini, kubikinkan bubur. Sekalian sarapan sekarang saja, ya.”Yang masuk itu adalah Allina. Dia tersenyum berseri-seri, membawa nampan.Satu hal menarik perhatian Agnes: ada perban yang sepertinya membalut pundak Allina yang kiri, terlihat di balik kaus oversize-nya.“Bagaimana kondisimu? Perutmu sakit? Kau merasa lemas?’Allina mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan itu sembari menaruh nampan di nakas. Lalu dia mengambil meja lipat kecil dan menaruhnya di kasur, di depan Agnes.Dia sudah seperti seorang suster yang sedang merawat pasien.“Ini… rumahmu
Helikopter itu rupanya dilengkapi dengan senjata, dan kini ia menembaki orang-orang di sekitar perempatan tempat terjadinya kecelakan beruntun itu.Orang-orang panik, berlarian ke pinggir jalan. Ada juga yang kembali ke mobilnya dan mencoba kabur tapi malah menabrak mobil lain.Situasi benar-benar kacau. Beberapa orang tampak bergelimpangan di sana, terkena tembakan-tembakan itu.Bunyi sirene polisi. Mobil-mobil patroli polisi berdatangan.Helikopter itu mendadak menghentikan tembakan dan mengubah arah, menjauh dari perempatan.Saat mobil-mobil patroli itu tiba, polisi-polisi keluar dari sana, segera mengamankan area.Di antara mereka ada Joseph. Dia tercengang melihat banyaknya orang yang terkena tembakan dan mati di tempat."Ada apa sebenarnya ini? Siapa yang melakukannya?" Joseph bertanya kepada dirinya sendiri.Sementara anak-anak buahnya sibuk menyingkirkan mayat-mayat itu dari jalan, membawanya ke mobil-mobil ambulans yang baru saja datang, Joseph menengadah, mencari-cari si hel