Xavier beranjak dari kursinya, menghampiri Agnes yang sudah tak sadarkan diri. Seringai terbit di wajahnya. Tipu-dayanya akhirnya berhasil. "Baiklah, Manis. Sekarang dari mana sebaiknya aku mulai menikmatimu?" ujarnya, sambil menyingkap rambut Agnes yang menutupi wajahnya. Bahkan saat tak sadarkan diri sekalipun, Agnes tetap terlihat begitu cantik. Xavier merasakan hasrat liarnya bangkit. Perlahan, Xavier memangku Agnes, dan dia berdiri. Mendapati bibir Agnes sedikit terbuka, dia jadi ingin menciumnya. Tapi dia menahan diri. Dia masih punya banyak waktu. Saat ini dia berada di rumahnya. Tak akan ada yang mengganggunya. Buah dada Agnes bergoyang-goyang saat Xavier membawanya, membuat hasrat liar Xavier semakin kuat. Dia menelan ludahnya. Di kamarnya nanti dia akan melampiaskan semuanya. Kenapa Xavier mendadak mengincar Agnes? Semua bermula dari saat dia menghadiri perayaan ulang tahun Charta Group. Dia memenuhi undangan, menghadiri acara itu, sebab dia tertarik untuk meliha
Allina tak menduga akan ada tembakan dari dalam kamar.Untuk tembakan kedua hingga keempat, dia berhasil menghindarinya.Tapi tembakan pertama... peluru itu bersarang di bahunya."Sialan!" rutuknya, meringis kesakitan.Tapi dia tak boleh berhenti di sini. Dia yakin Agnes ada di dalam kamar. Tembakan-tembakan tadi membuktikan itu.Untuk berjaga-jaga, kalau-kalau seseorang di dalam sana itu akan kembali menembaknya jika dia berdiri di depan pintu, Allina menempelkan punggungnya ke dinding.Dia rogoh saku celananya, mengambil sesuatu. Itu adalah granat asap ukuran kecil. Dia sempat mengamankannya dulu sewaktu akan keluar dari militer, tentu saja secara ilegal.Sambil menekan luka tembak di bahunya, menahan rasa sakit, Allina berdiri dan menarik napas panjang."Kau bisa, Allina! Kau pasti bisa!" gumamnya, menyemangati dirinya sendiri.Alina lalu bergerak, mendobrak pintu itu dengan tendangan taekwondo dari samping.Memang pintu itu tak langsung roboh, tapi setidaknya ada celah yang terbuk
Besok harinya, pagi sekitar pukul tujuh…Agnes terbangun, mengerjap-ngerjapkan mata. Dia merasa seperti telah tertidur begitu lama.“Di mana aku?“ gumamnya, bangkit terduduk.Kepalanya keleyengan. Kerongkongannya juga kering.Dia memindai ruangan. Kamar ini benar-benar asing baginya.Klik…Gagang pintu kamar bergerak ke bawah, lalu pintu itu didorong ke dalam.Agnes melihat sosok yang dikenalnya.“Ah, kau sudah bangun. Kebetulan sekali. Ini, kubikinkan bubur. Sekalian sarapan sekarang saja, ya.”Yang masuk itu adalah Allina. Dia tersenyum berseri-seri, membawa nampan.Satu hal menarik perhatian Agnes: ada perban yang sepertinya membalut pundak Allina yang kiri, terlihat di balik kaus oversize-nya.“Bagaimana kondisimu? Perutmu sakit? Kau merasa lemas?’Allina mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan itu sembari menaruh nampan di nakas. Lalu dia mengambil meja lipat kecil dan menaruhnya di kasur, di depan Agnes.Dia sudah seperti seorang suster yang sedang merawat pasien.“Ini… rumahmu
Helikopter itu rupanya dilengkapi dengan senjata, dan kini ia menembaki orang-orang di sekitar perempatan tempat terjadinya kecelakan beruntun itu.Orang-orang panik, berlarian ke pinggir jalan. Ada juga yang kembali ke mobilnya dan mencoba kabur tapi malah menabrak mobil lain.Situasi benar-benar kacau. Beberapa orang tampak bergelimpangan di sana, terkena tembakan-tembakan itu.Bunyi sirene polisi. Mobil-mobil patroli polisi berdatangan.Helikopter itu mendadak menghentikan tembakan dan mengubah arah, menjauh dari perempatan.Saat mobil-mobil patroli itu tiba, polisi-polisi keluar dari sana, segera mengamankan area.Di antara mereka ada Joseph. Dia tercengang melihat banyaknya orang yang terkena tembakan dan mati di tempat."Ada apa sebenarnya ini? Siapa yang melakukannya?" Joseph bertanya kepada dirinya sendiri.Sementara anak-anak buahnya sibuk menyingkirkan mayat-mayat itu dari jalan, membawanya ke mobil-mobil ambulans yang baru saja datang, Joseph menengadah, mencari-cari si hel
"Katakan padaku di mana Rudolf, dan kau akan kubiarkan hidup."Morgan mengatakannya dengan dingin. Tatapannya setajam pedang. Di hadapannya, Selly mencoba menjauh. Peluru di pistolnya sudah habis. Betis kanannya terasa ngilu. "Kau akan mati! Rudolf akan menghabisimu!" rutuk Selly. Plak! Morgan menamparnya, keras sekali, sampai-sampai satu giginya tanggal. "Aku tanya sekali lagi: di mana Rudolf? Dan apa yang kalian rencanakan?" ucap Morgan. Saat Selly menatap Morgan lagi, dia malah menyeringai lebar. "Kau tak akan bisa menghentikan Rudolf. Kota ini akan hancur," ujarnya. Lalu tangannya bergerak cepat, mengambil pisau dari salah satu saku celananya. Morgan bersiap-siap menangkis serangan mendadak dari Selly ketika dilihatnya wanita itu justru mengarahkan mata pisau ke lehernya sendiri. Jleb! "Akh..."Selly baru saja mengakhiri hidupnya sendiri. Dia terkulai ambruk dengan mata membelalak dan leher menyemburkan darah. "Cih!"Morgan kesal. Orang-orangnya Rudolf susah sekali dia
Morgan membiarkan aura Dewa Perang-nya keluar, membuat Boni, si pria ber-hoodie itu, tak bisa bergerak.Suhu dalam sekejap turun beberapa derajat. Lampu-lampu di depan minimarket berkedip-kedip.“Kalian mengincarku, kan? Hadapi aku saja langsung! Tak usah libatkan orang-orang tak bersalah!” ucap Morgan, geram.Saat dia melangkah, tekanan udara yang berat dirasakan oleh Boni. Pria tinggi itu tadinya hendak mengambil pistol tetapi kini dia bahkan sulit sekali menggerakkan jari-jari tangannya.Bugh!“Argh…”Morgan meninju Boni tepat di perutnya, membuatnya muntah darah.Boni jatuh berlutut. Morgan lantas mencengkeram tudung hoodie-nya dan memaksanya berdiri, lalu meninjunya lagi di titik yang sama.“Ugh…”Darah muncrat lagi dari mulutnya. Bola matanya seperti hampir mau terlempar dari tempatnya.Belajar dari pengalaman, Morgan tak lagi menginterogasi anak buahnya Rudolf ini.Satu-satunya cara untuk mengorek informasi tentang rencana busuk mereka adalah masuk ke pikiran mereka, menggaliny
Morgan merentangkan kedua tangan dan kakinya sementara tubuhnya jatuh menghadap ke bahu jalan.Di saat yang sama, dia menarik sebuah napas panjang dan membangkitkan energi murninya. Dia bermaksud melindungi seluruh tubuhnya dari kerusakan yang mungkin muncul akibat benturan keras saat dia mendarat nanti.Butuh beberapa detik bagi Morgan hingga dia akhirnya mendarat di bahu jalan, dengan kedua kakinya lebih dulu.Pada saat itu, Wagner sudah berada belasan meter dari sana.Namun, bunyi keras yang disebabkan oleh benturan keras saat kedua kaki Morgan mendarat itu, yang menciptakan retakan-retakan di situ, membuat Wagner seketika menghentikan langkah dan menoleh.Kini dia menatap Morgan sambil memicingkan mata.Morgan sendiri, perlahan-lahan, bangkit menegakkan punggungnya.Hawa panas menguar dari tubuhnya, membuat sosoknya itu seperti bersinar di kegelapan malam.Wagner mulai waspada. Dia memutar tubuhnya hingga kini menghadap Morgan. Tangannya yang kiri memegangi tas punggung yang dia
Siapa pun yang melihat ledakan itu pasti mengira Morgan tewas.Bagaimana tidak? Bom itu sedang dibawanya saat ledakan itu terjadi, dan daya ledaknya mampu menghanguskan siapa pun yan memegangnya hingga benar-benar gosong.Hal itu pula yang ada di benak Wagner. Dia berdiri tegap, memandangi ledakan itu dengan senyum terkembang.“Sialan kau. Kau membuat satu bomku terbuang sia-sia,” ucap Wagner.Dia hanya membawa tiga bom saja, tadinya ketiganya mau dia pasang di tiga titik kritis di mall itu.Kini, setelah dua ledakan terjadi, sudah tak mungkin dia masuk ke mall tanpa dicurigai.Bom ketiga pun agaknya terpaksa dia lemparkan seperti yang dua sebelumnya, tapi kali ini dia akan memastikan bom itu meledak di titik yang diinginkannya.Sambil mengusap darah di ujung bibirnya, Wagner berjalan sambil memegangi bom ketiganya.Dipandanginya mall yang lobi depannya sudah tak keruan itu. Dia tengah mengukur, melakukan perhitungan, di titik mana dan ke arah mana, dan sekuat apa, dia harus melempar