Keesokan harinya, Ziva memutuskan untuk mengunjungi rumah Bu Surti. Saat ia sampai di depan rumah, ia memanggil beberapa kali, namun tidak ada yang merespons. Ia terus menunggu di luar dengan sabar hingga akhirnya Ardi muncul dari pintu dengan wajah marah."Apa yang kamu lakukan di sini, Ziva?" tanyanya dengan suara keras dan tajam."Aku hanya ingin memastikan Bu Surti baik-baik saja. Dan apakah toko bisa kita buk-""Setelah semua yang terjadi? Kamu masih sanggup membahas toko? Kamu sudah gila?""Ardi, apa-apaan kamu? Aku cuma bertanya tentang toko kapan dibuka. Kenapa kamu begitu?""Kau tahu, semua ini terjadi karena kamu! Kamu membawa sial bagi kami! Pergi dari sini sebelum aku benar-benar marah," bentaknya.Ziva terkejut dan terluka oleh kata-kata Ardi. Ia tidak mengerti mengapa Ardi begitu marah padanya, tapi ia tahu bahwa tidak ada gunanya memperpanjang percakapan ini. Dengan kecewa, Ziva berbalik dan pergi dari rumah itu.Berjalan di kota tanpa tujuan yang jelas, Ziva merasa put
Pagi itu, Ziva tiba di kampus dengan semangat baru. Ia membawa kotak berisi kue bolu dan roti hasil buatannya semalam. Ia ingin berbagi dengan Sari, berharap dukungan dari temannya tersebut.Di kafetaria, Ziva menemukan Sari sedang duduk sendirian. "Sari, aku bawa sesuatu untukmu," kata Ziva dengan senyum."Apa itu?" tanya Sari dengan penasaran.Ziva membuka kotak kue dan menawarkan sepotong bolu kepada Sari. Sari mencicipi kue itu dan matanya berbinar."Ziva, ini enak sekali! Kamu punya bakat luar biasa," puji Sari.Mereka berdua berbincang santai, membahas rencana Ziva untuk membuka toko roti baru. Sari memberikan banyak dukungan dan ide-ide untuk mengembangkan usahanya.Namun, tiba-tiba terdengar keributan dari salah satu sudut kampus. Ziva dan Sari melihat ke arah kerumunan yang mulai berkumpul."Ada apa di sana?" tanya Ziva.Mereka berdua mendekat dan melihat Raka dan Ardi saling menantang satu sama lain. Wajah keduanya penuh kemarahan."Ayo, Ardi! Kalau kamu memang berani, kita
Ziva bangun pagi dengan kepala pusing, memikirkan bagaimana ia bisa mendapatkan modal untuk membuka toko roti. "Seandainya Leon di sini," pikirnya, "aku bisa memanfaatkan pria itu." Dengan perasaan yang campur aduk, Ziva bersiap-siap untuk pergi ke kampus.Di kampus, suasana terasa aneh. Banyak mahasiswa melihat ponsel mereka dengan kaget. Ziva mendengar bisik-bisik bahwa Ardi telah dipindahkan ke kampus lain oleh ayah Raka. Sementara itu, Raka masih dirawat di rumah sakit.Ziva mencoba fokus pada pelajarannya, namun pikirannya terus berkelana. Ia merasa ada sesuatu yang besar sedang terjadi di balik layar.***Di sebuah perlelangan barang mewah, suasana sangat ramai. Berpuluh-puluh orang kaya dari berbagai kota datang untuk membeli lukisan dan perhiasan. Di antara mereka, ada Madam Maroon dan suaminya, Rob. Ayah Leon, Brok, juga hadir bersama pengawal tertingginya. Namun, yang paling mencolok adalah seorang wanita misterius berusia sekitar 30 tahun yang mengenakan topeng hitam dan pa
Pagi itu, Ziva kembali ke ruang rahasia dengan hati-hati. Ia merasa ada sesuatu yang belum ia temukan. Di salah satu sudut ruangan, ia melihat sebuah brankas kecil yang tertutup debu. Ziva merogoh sakunya dan mengambil kunci yang sebelumnya digunakan untuk membuka pintu rahasia. Dengan tangan gemetar, ia mencoba kunci tersebut pada brankas, dan ternyata cocok.Brankas terbuka perlahan, memperlihatkan isi di dalamnya. Ziva menemukan beberapa ikat uang yang rapi tersusun dan sebuah pistol kecil yang terlihat sudah tua namun masih terawat baik. Ziva mengambil pistol itu dengan hati-hati, merasa ketakutan dan gemetaran saat memegangnya. Ini adalah senjata Black D, mungkin untuk berjaga-jaga dalam situasi darurat. Ziva menelan ludah, lalu menyimpan pistol itu kembali di brankas.Dengan uang yang ditemukan, Ziva merencanakan untuk memulai bisnis toko rotinya. Ia menghubungi istri Johnson dan mengajaknya ke barbershop untuk membantu memulai perombakan dan persiapan. Bersama anaknya, mereka m
Esok paginya, Ziva bangun dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah sarapan sederhana, ia bersama Ibu Kiki, istri Johnson, menuju dapur baru mereka di D' CAKE. Dapur tersebut masih sederhana dengan peralatan yang seadanya, namun Ziva yakin mereka bisa menghasilkan kue dan roti yang lezat.Dengan penuh semangat, Ziva mulai mengaduk adonan, mengukur bahan-bahan, dan memanggang kue serta roti sesuai dengan resep yang telah ia buat. Ibu Kiki membantu menyiapkan bahan-bahan, mengawasi oven, dan menata kue-kue yang sudah jadi. Aroma manis dari kue dan roti yang baru dipanggang memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan.Setelah semuanya selesai, Ziva dan Ibu Kiki menata kue dan roti di etalase dengan rapi. Setiap kue dan roti dipajang dengan hati-hati, memastikan tampilan yang menggugah selera. Mereka bersiap untuk menyambut pelanggan pertama mereka dengan penuh harapan.Namun, waktu berlalu dan tidak ada satu pun pelanggan yang datang. Jam demi jam berlalu, dan or
Di sisi lain kota, wanita bertopeng misterius itu tengah menikmati mandi di kamar mandinya yang sangat mewah. Uap air panas memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang nyaman. Cahaya lampu gantung kristal memantul di dinding marmer yang berkilauan. Wanita itu berdiri di bawah pancuran, air mengalir lembut di atas tubuhnya yang anggun. Ia menutup mata, menikmati setiap tetes air yang membasuh kulitnya.Setelah beberapa saat, seorang pengawal mengetuk pintu kamar mandi dengan sopan. "Madam, ada surat untuk Anda," katanya dengan hormat.Wanita itu meraih handuk lembut berwarna putih dan membungkus tubuhnya dengan anggun. Ia membuka pintu kamar mandi dan menerima surat serta kartu hitam berlogo Beruang. Dengan elegan, ia duduk di tepi bathtub dan membuka surat itu."Undangan pertemuan dari Brok di sebuah tempat rahasia di luar kota," ia membaca keras-keras, wajahnya menunjukkan ketertarikan yang dingin. Dengan gerakan anggun, ia menjatuhkan surat itu ke lantai dan menuju kamar tidur.Di ka
Pagi itu, Ziva dan Bu Kiki kembali sibuk mempersiapkan bahan untuk membuat kue dan roti di dapur baru mereka. Ziva memeriksa bahan-bahan, memastikan semua yang dibutuhkan sudah tersedia. Bu Kiki, dengan cekatan, mulai mencampur adonan sementara Ziva menyiapkan loyang dan peralatan lainnya."Kita harus pastikan semua kue dan roti selesai tepat waktu, Bu Kiki," kata Ziva dengan semangat."Tenang saja, Ziva. Kita pasti bisa," jawab Bu Kiki dengan senyum penuh keyakinan.Mereka bekerja sama dengan harmonis, saling membantu dan memberi semangat. Aroma kue dan roti yang sedang dipanggang mulai memenuhi dapur, membuat perut mereka keroncongan meski masih pagi.Setelah semua kue dan roti selesai dipanggang, mereka mengemasnya dengan hati-hati. Ziva dan Bu Kiki kemudian mengantar hasil karya mereka ke toko, menata kue dan roti di etalase dengan rapi."Semoga hari ini lebih baik dari kemarin," ujar Ziva penuh harap.Pagi itu mereka menunggu pelanggan dengan penuh semangat. Tak lama, pelanggan p
InggrisDi sisi lain dunia, Leon tengah bermain golf bersama teman-teman bulenya di Inggris. Ia mencoba menikmati hobinya, namun hari-hari terasa hambar tanpa Ziva. Teman-temannya mulai menyadari bahwa Leon sering terdiam di tengah permainan, tampak tak bersemangat."Hei, Leon, kamu baik-baik saja?" tanya salah satu temannya.Leon hanya mengangguk tanpa semangat. Melihat itu, teman-temannya memutuskan untuk mengajaknya ke bar, berharap bisa menghibur Leon dengan suasana yang lebih hidup.Di bar, Leon duduk di sudut ruangan, dikelilingi oleh perempuan yang mencoba menggodanya. Namun, bagi Leon, semua itu terasa kosong. Perempuan-perempuan itu, meskipun cantik, tak bisa menggantikan sosok Ziva di hatinya. Leon hanya memandangi minumannya, tenggelam dalam pikirannya.Malamnya, Leon menelepon ayahnya, Brok, dengan harapan bisa pulang."Ayah, aku ingin pulang. Aku sudah bosan di sini," kata Leon dengan nada putus asa.Namun, Brok menolak keinginannya. "Leon, saat ini aku sedang sibuk denga