Di sisi lain kota, wanita bertopeng misterius itu tengah menikmati mandi di kamar mandinya yang sangat mewah. Uap air panas memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang nyaman. Cahaya lampu gantung kristal memantul di dinding marmer yang berkilauan. Wanita itu berdiri di bawah pancuran, air mengalir lembut di atas tubuhnya yang anggun. Ia menutup mata, menikmati setiap tetes air yang membasuh kulitnya.Setelah beberapa saat, seorang pengawal mengetuk pintu kamar mandi dengan sopan. "Madam, ada surat untuk Anda," katanya dengan hormat.Wanita itu meraih handuk lembut berwarna putih dan membungkus tubuhnya dengan anggun. Ia membuka pintu kamar mandi dan menerima surat serta kartu hitam berlogo Beruang. Dengan elegan, ia duduk di tepi bathtub dan membuka surat itu."Undangan pertemuan dari Brok di sebuah tempat rahasia di luar kota," ia membaca keras-keras, wajahnya menunjukkan ketertarikan yang dingin. Dengan gerakan anggun, ia menjatuhkan surat itu ke lantai dan menuju kamar tidur.Di ka
Pagi itu, Ziva dan Bu Kiki kembali sibuk mempersiapkan bahan untuk membuat kue dan roti di dapur baru mereka. Ziva memeriksa bahan-bahan, memastikan semua yang dibutuhkan sudah tersedia. Bu Kiki, dengan cekatan, mulai mencampur adonan sementara Ziva menyiapkan loyang dan peralatan lainnya."Kita harus pastikan semua kue dan roti selesai tepat waktu, Bu Kiki," kata Ziva dengan semangat."Tenang saja, Ziva. Kita pasti bisa," jawab Bu Kiki dengan senyum penuh keyakinan.Mereka bekerja sama dengan harmonis, saling membantu dan memberi semangat. Aroma kue dan roti yang sedang dipanggang mulai memenuhi dapur, membuat perut mereka keroncongan meski masih pagi.Setelah semua kue dan roti selesai dipanggang, mereka mengemasnya dengan hati-hati. Ziva dan Bu Kiki kemudian mengantar hasil karya mereka ke toko, menata kue dan roti di etalase dengan rapi."Semoga hari ini lebih baik dari kemarin," ujar Ziva penuh harap.Pagi itu mereka menunggu pelanggan dengan penuh semangat. Tak lama, pelanggan p
InggrisDi sisi lain dunia, Leon tengah bermain golf bersama teman-teman bulenya di Inggris. Ia mencoba menikmati hobinya, namun hari-hari terasa hambar tanpa Ziva. Teman-temannya mulai menyadari bahwa Leon sering terdiam di tengah permainan, tampak tak bersemangat."Hei, Leon, kamu baik-baik saja?" tanya salah satu temannya.Leon hanya mengangguk tanpa semangat. Melihat itu, teman-temannya memutuskan untuk mengajaknya ke bar, berharap bisa menghibur Leon dengan suasana yang lebih hidup.Di bar, Leon duduk di sudut ruangan, dikelilingi oleh perempuan yang mencoba menggodanya. Namun, bagi Leon, semua itu terasa kosong. Perempuan-perempuan itu, meskipun cantik, tak bisa menggantikan sosok Ziva di hatinya. Leon hanya memandangi minumannya, tenggelam dalam pikirannya.Malamnya, Leon menelepon ayahnya, Brok, dengan harapan bisa pulang."Ayah, aku ingin pulang. Aku sudah bosan di sini," kata Leon dengan nada putus asa.Namun, Brok menolak keinginannya. "Leon, saat ini aku sedang sibuk denga
Pagi itu, seperti biasa, Ziva mempersiapkan kue dan roti bersama Bu Kiki dan anaknya. Dapur yang penuh dengan aroma manis membuat suasana pagi menjadi hangat. Mereka bekerja dengan semangat, berharap hari ini akan lebih baik daripada kemarin."Ziva, hari ini aku yang jaga toko, ya. Kamu fokus kuliah saja," kata Bu Kiki sambil menggendong anaknya yang masih mengantuk."Iya, Bu. Terima kasih banyak," jawab Ziva dengan senyum.Setelah semua persiapan selesai, Ziva berangkat ke kampus.Di kampus, Ziva mengambil jadwal kuliah pagi. Saat ia tiba, terlihat kerumunan orang di sekitar gedung kampus. Ziva merasa ada sesuatu yang tidak beres."Ada apa ini?" tanya Ziva pada seorang mahasiswa yang berdiri di dekatnya."Seorang wanita jatuh dari lantai tiga gedung kampus," jawabnya dengan wajah panik.Ziva terkejut. Ia berusaha menerobos kerumunan untuk melihat lebih jelas. Di sana, terlihat beberapa orang sedang menggotong tubuh seorang wanita yang tidak bergerak, menuju ambulans. "Sari..." Ziva
Di tengah malam yang sunyi, rumah kosong tempat Ardi dan teman-temannya menyekap Raka tiba-tiba dikepung oleh banyak mobil hitam berlogo Paus. Itu adalah konvoi Echo, pasukan pribadi Raka, yang datang untuk menyelamatkan tuan mereka.Anggota Echo segera menyerbu masuk, membuat kekacauan di dalam rumah. Terjadi perkelahian sengit antara anggota Ardi dan anggota Echo. Pukulan dan bacokan bertebaran di mana-mana. Jeritan kesakitan memenuhi ruangan ketika kedua pihak bertarung habis-habisan.Raka hanya menonton pertarungan itu dengan ekspresi dingin di wajahnya. Ia melihat teman-temannya yang dulu kini saling bertarung karena dirinya. Pertarungan itu semakin intensif, dan anggota Echo mulai mendominasi. Meskipun Ardi dan teman-temannya berjuang dengan gigih, mereka kalah jumlah dan terpojok.Setelah pertarungan yang panjang dan brutal, anggota Echo berhasil mengalahkan anggota Ardi. Mereka menaklukkan satu per satu, membuat Ardi dan Dom terbaring lemah di lantai, penuh luka dan kelelahan.
Pagi hari di toko roti, Ziva sedang bersiap untuk memasak bersama Bu Kiki. Terdengar ketukan di pintu. Bu Kiki pergi membukanya dan ternyata itu adalah Raka."Ziva, ayo berangkat kuliah. Aku jemput kamu," kata Raka dengan senyum lebar.Ziva mengangguk, menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk menjalankan rencananya. "Bu Kiki, aku pergi kuliah dulu ya," ucap Ziva sambil bersiap-siap."Lho, ambil jadwal pagi toh?""Iya Bu. Aku nyusul nanti malam ya, Bu. Ibu bisa kan sendiri?""Jangan khawatir, Ziva. Aku yang akan urus toko," jawab Bu Kiki sambil tersenyum.Di kampus, Raka bersikap romantis, mencoba menarik perhatian Ziva. Namun, isu tentang keterlibatan Raka dalam kematian Sari telah tersebar luas. Banyak orang yang menghindarinya, namun tak ada yang berani menunjukkan kecurigaan mereka secara terang-terangan karena status Raka sebagai orang berpengaruh di kampus.Ziva yang sadar akan suasana ini, memanfaatkan momen di perpustakaan untuk memancing Raka berbicara tentang hubungannya d
Bu Kiki akhirnya siuman di ruang rawat inap. Ziva dan anaknya segera menghampiri dengan wajah penuh kekhawatiran."Bu Kiki, bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Ziva dengan suara lembut.Bu Kiki tersenyum lemah. "Aku sudah lebih baik, Ziva. Tadi, Ardi dan ibunya datang mencari-cari kamu. Mereka marah-marah dan mendorongku hingga terjatuh."Ziva menggertakkan giginya, merasa amarah membara di dadanya. "Mereka tidak akan lolos begitu saja," gumamnya.Raka yang mendengar percakapan itu ikut merasakan kemarahan, namun dia tidak ingin menunjukkannya terlalu jelas di depan Ziva. "Ziva, aku harus pulang sekarang. Jaga Bu Kiki baik-baik. Ziva mengangguk, mencoba tersenyum meski hatinya penuh dengan kegelisahan. "Terima kasih, Raka."Setelah keluar dari rumah sakit, Raka tidak langsung pulang. Dia merasa perlu memberi pelajaran kepada Ardi. Sambil mengemudi di jalanan sepi, dia menelepon manajer ayahnya yang setia, Pak Hendra."Halo, Pak Hendra. Saya butuh bantuan Anda," kata Raka dengan sua
Pagi hari tiba dengan suasana yang suram di rumah Ziva. Matahari terbit, namun sinarnya terasa redup bagi Ziva. Dia duduk di sudut kamar, memandangi cermin dengan mata bengkak akibat menangis semalaman. Pikirannya penuh dengan kecemasan dan rasa malu yang menghantui.Ziva tidak berselera makan, meskipun Bu Kiki sudah menyiapkan sarapan favoritnya. Bu Kiki, yang paham betul situasi Ziva, mencoba untuk mengajaknya bicara."Ziva, ayo makan sedikit. Kamu butuh tenaga," kata Bu Kiki dengan suara lembut.Ziva hanya menggeleng lemah, tidak sanggup menatap Bu Kiki. "Maaf, Bu Kiki. Aku benar-benar tidak bisa makan. Rasanya semua sudah hancur."Bu Kiki menghela napas, kemudian mendekati Ziva dan memeluknya erat. "Aku tahu ini berat, Ziva. Tapi kamu harus kuat. Kita akan mencari jalan keluar dari semua ini."Ziva membalas pelukan Bu Kiki dengan air mata yang mengalir deras. "Aku takut, Bu. Aku takut keluar rumah. Semua orang pasti akan mencemoohku. Aku tidak tahu harus bagaimana."Bu Kiki mengus