Pagi hari tiba dengan suasana yang suram di rumah Ziva. Matahari terbit, namun sinarnya terasa redup bagi Ziva. Dia duduk di sudut kamar, memandangi cermin dengan mata bengkak akibat menangis semalaman. Pikirannya penuh dengan kecemasan dan rasa malu yang menghantui.Ziva tidak berselera makan, meskipun Bu Kiki sudah menyiapkan sarapan favoritnya. Bu Kiki, yang paham betul situasi Ziva, mencoba untuk mengajaknya bicara."Ziva, ayo makan sedikit. Kamu butuh tenaga," kata Bu Kiki dengan suara lembut.Ziva hanya menggeleng lemah, tidak sanggup menatap Bu Kiki. "Maaf, Bu Kiki. Aku benar-benar tidak bisa makan. Rasanya semua sudah hancur."Bu Kiki menghela napas, kemudian mendekati Ziva dan memeluknya erat. "Aku tahu ini berat, Ziva. Tapi kamu harus kuat. Kita akan mencari jalan keluar dari semua ini."Ziva membalas pelukan Bu Kiki dengan air mata yang mengalir deras. "Aku takut, Bu. Aku takut keluar rumah. Semua orang pasti akan mencemoohku. Aku tidak tahu harus bagaimana."Bu Kiki mengus
Suasana di ruang makan keluarga Raka pagi itu sangat tegang. Ayah Raka, seorang pria yang berwibawa namun keras, memandang putranya dengan sorot mata yang tajam."Raka," ucapnya dengan suara berat, "kalau bukan karena kekuasaan yang aku miliki, hari ini nama baikmu sudah tercemar. Bahkan, kamu mungkin sudah dikeluarkan dari kampus."Madam Maroon, ibu Raka, tanpa aba-aba, bangkit dari kursinya dan mengambil tas mewahnya. "Aku tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Aku akan menghancurkan hidup gadis itu karena berani bermain dengan Raka."Raka, yang menyadari niat ibunya, segera bangkit dan menghalangi jalan. "Mamah, jangan lakukan itu."Madam Maroon menatap putranya dengan mata dingin. "Kamu tidak bisa menghentikanku, Raka. Perempuan itu harus diberi pelajaran."Raka, yang mulai marah, membentak ibunya. "Ziva tidak bersalah! Kalian tidak bisa seenaknya menghancurkan hidup orang lain!"Ayah Raka segera berdiri, mendukung istrinya. "Dia pantas mendapatkannya. Siapa pun yang berani meng
Esok harinya, Ziva masih merasa cemas dan enggan untuk keluar rumah. Bu Kiki berpamitan untuk mengantar Kiki ke sekolah setelah menyiapkan kue dan roti di toko. Ziva, yang masih diskor dari kuliah, memberanikan diri untuk pergi ke toko dan mulai menjajakan dagangannya. Ia merasa malu-malu saat melayani pelanggan, namun tetap berusaha bersikap profesional.Tiba-tiba, seorang wanita bertopeng masuk dengan elegan. Penampilannya memukau dan penuh wibawa, membuat semua orang di toko terdiam. Wanita itu berjalan dengan anggun ke arah Ziva dan mulai melihat-lihat roti yang dijajakan."Apa ini roti buatanmu?" tanya wanita bertopeng itu sambil mencicipi sebuah kue.Ziva mengangguk, merasa sedikit gugup. "Iya, Bu."Wanita itu tersenyum, memberikan pujian. "Enak sekali. Aku ingin melihat cara pembuatannya."Ziva menolak secara halus, merasa aura wanita itu begitu kuat. "Maaf, Bu. Dapur kami tidak untuk umum."Wanita bertopeng itu mengerti dan tersenyum lembut. "Baiklah, suatu saat aku akan kemba
Esok pagi, Ziva sudah sibuk mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkan untuk naik gunung. Di ruang tamu rumahnya, dia menyusun matras, sleeping bag, dan tenda kecil yang akan mereka gunakan untuk bermalam di lereng gunung. Pakaian hangat, jaket tebal, serta sepatu hiking juga sudah disiapkan dengan teliti. Ziva memeriksa peralatan dapur portable yang akan mereka gunakan untuk memasak di atas gunung, lengkap dengan bahan makanan ringan dan air minum dalam botol khusus.Ziva merasa lega bahwa semua sudah siap untuk petualangan mereka. Dia mengenakan jaket hiking dan memasukkan perlengkapan ke dalam tas ranselnya, siap untuk bertemu dengan Raka.Di sisi lain Raka juga sibuk mempersiapkan segala perlengkapan. Dia mengambil ransel besar yang biasa digunakan untuk perjalanan jauh, memastikan semua perlengkapan camping seperti kompas, lampu senter, dan peta gunung tersedia. Raka juga membawa bekal makanan ringan dan air minum dalam jumlah cukup untuk perjalanan mereka.Setelah selesai me
Setelah momen di puncak gunung, Raka dan Ziva mulai menuruni jalur pendakian, membawa serta kenangan pagi itu. Sepanjang perjalanan pulang, suasana di mobil terasa canggung. Raka sesekali melirik Ziva dengan senyum malu-malu, tetapi Ziva lebih sering melihat ke luar jendela, tenggelam dalam pikirannya.Sesampainya di rumah Ziva, Raka membantunya menurunkan barang-barang. "Terima kasih sudah mau ikut denganku hari ini," kata Raka dengan suara pelan, hampir berbisik.Ziva memaksakan senyum, "Iya, sama-sama. Hati-hati di jalan, ya."Raka mengangguk, merasa sedikit canggung. Dia kembali ke mobil, jantungnya berdebar kencang. Ketika menyalakan mesin dan mulai mengemudi, perasaan bahagia membanjiri hatinya. Dia terus tersenyum sendiri di sepanjang perjalanan, merasa seakan berada di puncak dunia.Di rumah, Raka langsung menuju kamarnya. Ia bersenandung pelan, ekspresi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang meluap-luap. Bahkan ketika seorang pembantu datang membawa air hangat, R
Setelah mengantar Ziva pulang, Raka kembali ke rumah dengan hati yang berdebar. Di kamarnya, dia mondar-mandir, memikirkan cara untuk membujuk ayahnya, Brok, agar mengizinkan Ziva kembali ke kampus. Namun, dia tahu betapa ayahnya sangat membenci Ziva karena berita viral yang memalukan itu.Raka akhirnya mendapatkan ide. Dia memutuskan untuk meminta bantuan asisten pribadi ayahnya yang paling setia, Pak Ahmad. Dengan cepat, Raka menghubungi Pak Ahmad."Halo, Pak Ahmad," sapa Raka ketika telepon diangkat. "Saya butuh bantuan besar dari Anda."Pak Ahmad, yang sangat menghormati Raka, menjawab dengan sopan, "Apa yang bisa saya bantu, Tuan Raka?"Raka menarik napas dalam-dalam. "Saya ingin Anda menggunakan nama perusahaan diam-diam atas nama ayah untuk mencabut hukuman Ziva dari kampus. Jika Anda bisa melakukan ini, saya akan memastikan Anda mendapatkan kenaikan gaji dan saya akan selalu memuji Anda di depan ayah.""Ziva? Siapa itu Tuan?""Anda pasti kenal! Apakah anda tidak melihat video
Setelah kelas selesai, Raka mengantar Ziva kembali ke toko roti. Di sana, Ziva segera melanjutkan pekerjaannya, melayani pelanggan dengan senyuman palsu dan sikap ramah. Raka membantu semampunya, menikmati setiap momen yang bisa dia habiskan bersama Ziva.Malam itu, Raka mengajak Ziva keluar. Mereka berjalan-jalan di kota, mengunjungi sebuah tempat yang teduh dan romantis. Hanya ada pejalan kaki di sekitar mereka, menambah suasana tenang dan damai. Mereka tiba di sebuah jembatan dengan kolam air kecil yang indah, penuh bunga dan lampu-lampu yang berkelap-kelip, menciptakan suasana magis.Raka menggenggam tangan Ziva dengan lembut. "Indah sekali, ya? Tempat ini selalu membuatku merasa tenang."Ziva memandang sekeliling, mencoba menampilkan senyum yang tulus. "Ya, tempat ini memang cantik. Terima kasih sudah membawaku ke sini, Raka."Raka mendekat, memandang mata Ziva dengan penuh cinta. "Ziva, aku benar-benar bahagia bisa bersamamu. Aku ingin kita selalu seperti ini."Ziva, meskipun ha
Saat pulang, hati Raka selalu senang. Meskipun ibunya, Madam Maroon, selalu menunjukkan kecurigaan, ia berusaha menutupinya. Madam Maroon menyapa putranya dengan nada hangat namun tajam, "Bagaimana harimu, Raka?"Namun, sebelum Raka bisa menjawab, pintu rumah terbuka dengan keras. Ayahnya, Rob Echo, bersama anak buahnya, masuk ke dalam rumah dengan tubuh bersimbah darah. Madam Maroon panik namun tetap menjaga keanggunannya. Ia segera mengikuti suaminya ke kamar, meninggalkan Raka yang terbiasa melihat kekerasan ini tidak peduli. Pikirannya hanya terpusat pada hubungannya dengan Ziva.Di kamar, Rob diobati oleh dokter spesialis yang selalu siaga di rumah mereka. Madam Maroon berdiri di samping suaminya, wajahnya dipenuhi amarah yang tertahan."Aku akan membuat Eleanor membayar untuk ini," geram Madam Maroon.Rob mengangguk dengan marah. "Dia dan semua orang yang berani mengusik kita akan merasakan balas dendam kita."Sementara itu, di kamarnya, Raka memegang foto Ziva sambil menciumi-c