Esok harinya, Ziva masih merasa cemas dan enggan untuk keluar rumah. Bu Kiki berpamitan untuk mengantar Kiki ke sekolah setelah menyiapkan kue dan roti di toko. Ziva, yang masih diskor dari kuliah, memberanikan diri untuk pergi ke toko dan mulai menjajakan dagangannya. Ia merasa malu-malu saat melayani pelanggan, namun tetap berusaha bersikap profesional.Tiba-tiba, seorang wanita bertopeng masuk dengan elegan. Penampilannya memukau dan penuh wibawa, membuat semua orang di toko terdiam. Wanita itu berjalan dengan anggun ke arah Ziva dan mulai melihat-lihat roti yang dijajakan."Apa ini roti buatanmu?" tanya wanita bertopeng itu sambil mencicipi sebuah kue.Ziva mengangguk, merasa sedikit gugup. "Iya, Bu."Wanita itu tersenyum, memberikan pujian. "Enak sekali. Aku ingin melihat cara pembuatannya."Ziva menolak secara halus, merasa aura wanita itu begitu kuat. "Maaf, Bu. Dapur kami tidak untuk umum."Wanita bertopeng itu mengerti dan tersenyum lembut. "Baiklah, suatu saat aku akan kemba
Esok pagi, Ziva sudah sibuk mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkan untuk naik gunung. Di ruang tamu rumahnya, dia menyusun matras, sleeping bag, dan tenda kecil yang akan mereka gunakan untuk bermalam di lereng gunung. Pakaian hangat, jaket tebal, serta sepatu hiking juga sudah disiapkan dengan teliti. Ziva memeriksa peralatan dapur portable yang akan mereka gunakan untuk memasak di atas gunung, lengkap dengan bahan makanan ringan dan air minum dalam botol khusus.Ziva merasa lega bahwa semua sudah siap untuk petualangan mereka. Dia mengenakan jaket hiking dan memasukkan perlengkapan ke dalam tas ranselnya, siap untuk bertemu dengan Raka.Di sisi lain Raka juga sibuk mempersiapkan segala perlengkapan. Dia mengambil ransel besar yang biasa digunakan untuk perjalanan jauh, memastikan semua perlengkapan camping seperti kompas, lampu senter, dan peta gunung tersedia. Raka juga membawa bekal makanan ringan dan air minum dalam jumlah cukup untuk perjalanan mereka.Setelah selesai me
Setelah momen di puncak gunung, Raka dan Ziva mulai menuruni jalur pendakian, membawa serta kenangan pagi itu. Sepanjang perjalanan pulang, suasana di mobil terasa canggung. Raka sesekali melirik Ziva dengan senyum malu-malu, tetapi Ziva lebih sering melihat ke luar jendela, tenggelam dalam pikirannya.Sesampainya di rumah Ziva, Raka membantunya menurunkan barang-barang. "Terima kasih sudah mau ikut denganku hari ini," kata Raka dengan suara pelan, hampir berbisik.Ziva memaksakan senyum, "Iya, sama-sama. Hati-hati di jalan, ya."Raka mengangguk, merasa sedikit canggung. Dia kembali ke mobil, jantungnya berdebar kencang. Ketika menyalakan mesin dan mulai mengemudi, perasaan bahagia membanjiri hatinya. Dia terus tersenyum sendiri di sepanjang perjalanan, merasa seakan berada di puncak dunia.Di rumah, Raka langsung menuju kamarnya. Ia bersenandung pelan, ekspresi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang meluap-luap. Bahkan ketika seorang pembantu datang membawa air hangat, R
Setelah mengantar Ziva pulang, Raka kembali ke rumah dengan hati yang berdebar. Di kamarnya, dia mondar-mandir, memikirkan cara untuk membujuk ayahnya, Brok, agar mengizinkan Ziva kembali ke kampus. Namun, dia tahu betapa ayahnya sangat membenci Ziva karena berita viral yang memalukan itu.Raka akhirnya mendapatkan ide. Dia memutuskan untuk meminta bantuan asisten pribadi ayahnya yang paling setia, Pak Ahmad. Dengan cepat, Raka menghubungi Pak Ahmad."Halo, Pak Ahmad," sapa Raka ketika telepon diangkat. "Saya butuh bantuan besar dari Anda."Pak Ahmad, yang sangat menghormati Raka, menjawab dengan sopan, "Apa yang bisa saya bantu, Tuan Raka?"Raka menarik napas dalam-dalam. "Saya ingin Anda menggunakan nama perusahaan diam-diam atas nama ayah untuk mencabut hukuman Ziva dari kampus. Jika Anda bisa melakukan ini, saya akan memastikan Anda mendapatkan kenaikan gaji dan saya akan selalu memuji Anda di depan ayah.""Ziva? Siapa itu Tuan?""Anda pasti kenal! Apakah anda tidak melihat video
Setelah kelas selesai, Raka mengantar Ziva kembali ke toko roti. Di sana, Ziva segera melanjutkan pekerjaannya, melayani pelanggan dengan senyuman palsu dan sikap ramah. Raka membantu semampunya, menikmati setiap momen yang bisa dia habiskan bersama Ziva.Malam itu, Raka mengajak Ziva keluar. Mereka berjalan-jalan di kota, mengunjungi sebuah tempat yang teduh dan romantis. Hanya ada pejalan kaki di sekitar mereka, menambah suasana tenang dan damai. Mereka tiba di sebuah jembatan dengan kolam air kecil yang indah, penuh bunga dan lampu-lampu yang berkelap-kelip, menciptakan suasana magis.Raka menggenggam tangan Ziva dengan lembut. "Indah sekali, ya? Tempat ini selalu membuatku merasa tenang."Ziva memandang sekeliling, mencoba menampilkan senyum yang tulus. "Ya, tempat ini memang cantik. Terima kasih sudah membawaku ke sini, Raka."Raka mendekat, memandang mata Ziva dengan penuh cinta. "Ziva, aku benar-benar bahagia bisa bersamamu. Aku ingin kita selalu seperti ini."Ziva, meskipun ha
Saat pulang, hati Raka selalu senang. Meskipun ibunya, Madam Maroon, selalu menunjukkan kecurigaan, ia berusaha menutupinya. Madam Maroon menyapa putranya dengan nada hangat namun tajam, "Bagaimana harimu, Raka?"Namun, sebelum Raka bisa menjawab, pintu rumah terbuka dengan keras. Ayahnya, Rob Echo, bersama anak buahnya, masuk ke dalam rumah dengan tubuh bersimbah darah. Madam Maroon panik namun tetap menjaga keanggunannya. Ia segera mengikuti suaminya ke kamar, meninggalkan Raka yang terbiasa melihat kekerasan ini tidak peduli. Pikirannya hanya terpusat pada hubungannya dengan Ziva.Di kamar, Rob diobati oleh dokter spesialis yang selalu siaga di rumah mereka. Madam Maroon berdiri di samping suaminya, wajahnya dipenuhi amarah yang tertahan."Aku akan membuat Eleanor membayar untuk ini," geram Madam Maroon.Rob mengangguk dengan marah. "Dia dan semua orang yang berani mengusik kita akan merasakan balas dendam kita."Sementara itu, di kamarnya, Raka memegang foto Ziva sambil menciumi-c
Madam Maroon sedang memilih baju mahal di sebuah butik mewah. Sambil memeriksa kain sutra dan renda, auranya yang anggun dan berwibawa memancarkan kharisma yang membuat pelayan butik enggan mendekat. Saat ia sibuk dengan pilihannya, seorang wanita elegan dengan topeng hitam masuk ke butik tersebut. Itu adalah Eleanor.Dengan langkah yang penuh percaya diri, Eleanor mendekati Madam Maroon. Ia mengambil sebuah gaun dan mengamatinya dengan teliti, lalu berkata dengan nada halus namun penuh ancaman, "Perlahan-lahan, suamimu akan kehilangan kekuasaannya. Jangan bermain-main dengan elang."Madam Maroon mendengar ancaman itu dan berbalik menghadap Eleanor dengan tatapan tajam. "Kamu pikir kamu bisa menakut-nakuti aku dengan kata-katamu, Eleanor? Aku tidak gentar sedikit pun."Eleanor tersenyum tipis di balik topeng hitamnya, matanya bersinar dengan kejahatan. "Kita lihat saja siapa yang bertahan lebih lama, Madam Maroon."Kedua wanita itu saling berhadapan, aura dingin dan kuat masing-masing
Madam Maroon dan Raka sedang duduk di ruang keluarga yang megah, dipenuhi dengan furnitur antik dan lukisan-lukisan mahal. Madam Maroon membuka percakapan dengan nada tenang namun tegas.Raka mengernyitkan dahi, menolak dengan tegas. "Ibu, aku tidak tertarik dengan perjodohan ini. Aku sudah punya seseorang yang kucintai."Madam Maroon menatap putranya dengan tajam. "Raka, ini demi kebaikanmu. Nanda berasal dari keluarga terhormat, dan ini akan memperkuat posisi kita."Raka berdiri, memperlihatkan penolakannya secara jelas. "Ibu, aku tidak peduli tentang posisi atau kekuasaan. Aku mencintai Ziva dan tidak ada yang bisa mengubah itu."Ketegangan di ruangan semakin meningkat. Pada saat itu, ayah Raka, Rob Echo, masuk ke ruang keluarga. Melihat situasi yang tegang, ia mencoba menenangkan keadaan."Raka, dengarkan Ibumu. Ayah kenal baik dengan keluarga Nanda. Ini akan menjadi aliansi yang kuat," bujuk Rob dengan nada yang lebih lembut.Raka menggelengkan kepala, semakin menunjukkan ketegas