InggrisDi sisi lain dunia, Leon tengah bermain golf bersama teman-teman bulenya di Inggris. Ia mencoba menikmati hobinya, namun hari-hari terasa hambar tanpa Ziva. Teman-temannya mulai menyadari bahwa Leon sering terdiam di tengah permainan, tampak tak bersemangat."Hei, Leon, kamu baik-baik saja?" tanya salah satu temannya.Leon hanya mengangguk tanpa semangat. Melihat itu, teman-temannya memutuskan untuk mengajaknya ke bar, berharap bisa menghibur Leon dengan suasana yang lebih hidup.Di bar, Leon duduk di sudut ruangan, dikelilingi oleh perempuan yang mencoba menggodanya. Namun, bagi Leon, semua itu terasa kosong. Perempuan-perempuan itu, meskipun cantik, tak bisa menggantikan sosok Ziva di hatinya. Leon hanya memandangi minumannya, tenggelam dalam pikirannya.Malamnya, Leon menelepon ayahnya, Brok, dengan harapan bisa pulang."Ayah, aku ingin pulang. Aku sudah bosan di sini," kata Leon dengan nada putus asa.Namun, Brok menolak keinginannya. "Leon, saat ini aku sedang sibuk denga
Pagi itu, seperti biasa, Ziva mempersiapkan kue dan roti bersama Bu Kiki dan anaknya. Dapur yang penuh dengan aroma manis membuat suasana pagi menjadi hangat. Mereka bekerja dengan semangat, berharap hari ini akan lebih baik daripada kemarin."Ziva, hari ini aku yang jaga toko, ya. Kamu fokus kuliah saja," kata Bu Kiki sambil menggendong anaknya yang masih mengantuk."Iya, Bu. Terima kasih banyak," jawab Ziva dengan senyum.Setelah semua persiapan selesai, Ziva berangkat ke kampus.Di kampus, Ziva mengambil jadwal kuliah pagi. Saat ia tiba, terlihat kerumunan orang di sekitar gedung kampus. Ziva merasa ada sesuatu yang tidak beres."Ada apa ini?" tanya Ziva pada seorang mahasiswa yang berdiri di dekatnya."Seorang wanita jatuh dari lantai tiga gedung kampus," jawabnya dengan wajah panik.Ziva terkejut. Ia berusaha menerobos kerumunan untuk melihat lebih jelas. Di sana, terlihat beberapa orang sedang menggotong tubuh seorang wanita yang tidak bergerak, menuju ambulans. "Sari..." Ziva
Di tengah malam yang sunyi, rumah kosong tempat Ardi dan teman-temannya menyekap Raka tiba-tiba dikepung oleh banyak mobil hitam berlogo Paus. Itu adalah konvoi Echo, pasukan pribadi Raka, yang datang untuk menyelamatkan tuan mereka.Anggota Echo segera menyerbu masuk, membuat kekacauan di dalam rumah. Terjadi perkelahian sengit antara anggota Ardi dan anggota Echo. Pukulan dan bacokan bertebaran di mana-mana. Jeritan kesakitan memenuhi ruangan ketika kedua pihak bertarung habis-habisan.Raka hanya menonton pertarungan itu dengan ekspresi dingin di wajahnya. Ia melihat teman-temannya yang dulu kini saling bertarung karena dirinya. Pertarungan itu semakin intensif, dan anggota Echo mulai mendominasi. Meskipun Ardi dan teman-temannya berjuang dengan gigih, mereka kalah jumlah dan terpojok.Setelah pertarungan yang panjang dan brutal, anggota Echo berhasil mengalahkan anggota Ardi. Mereka menaklukkan satu per satu, membuat Ardi dan Dom terbaring lemah di lantai, penuh luka dan kelelahan.
Pagi hari di toko roti, Ziva sedang bersiap untuk memasak bersama Bu Kiki. Terdengar ketukan di pintu. Bu Kiki pergi membukanya dan ternyata itu adalah Raka."Ziva, ayo berangkat kuliah. Aku jemput kamu," kata Raka dengan senyum lebar.Ziva mengangguk, menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk menjalankan rencananya. "Bu Kiki, aku pergi kuliah dulu ya," ucap Ziva sambil bersiap-siap."Lho, ambil jadwal pagi toh?""Iya Bu. Aku nyusul nanti malam ya, Bu. Ibu bisa kan sendiri?""Jangan khawatir, Ziva. Aku yang akan urus toko," jawab Bu Kiki sambil tersenyum.Di kampus, Raka bersikap romantis, mencoba menarik perhatian Ziva. Namun, isu tentang keterlibatan Raka dalam kematian Sari telah tersebar luas. Banyak orang yang menghindarinya, namun tak ada yang berani menunjukkan kecurigaan mereka secara terang-terangan karena status Raka sebagai orang berpengaruh di kampus.Ziva yang sadar akan suasana ini, memanfaatkan momen di perpustakaan untuk memancing Raka berbicara tentang hubungannya d
Bu Kiki akhirnya siuman di ruang rawat inap. Ziva dan anaknya segera menghampiri dengan wajah penuh kekhawatiran."Bu Kiki, bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Ziva dengan suara lembut.Bu Kiki tersenyum lemah. "Aku sudah lebih baik, Ziva. Tadi, Ardi dan ibunya datang mencari-cari kamu. Mereka marah-marah dan mendorongku hingga terjatuh."Ziva menggertakkan giginya, merasa amarah membara di dadanya. "Mereka tidak akan lolos begitu saja," gumamnya.Raka yang mendengar percakapan itu ikut merasakan kemarahan, namun dia tidak ingin menunjukkannya terlalu jelas di depan Ziva. "Ziva, aku harus pulang sekarang. Jaga Bu Kiki baik-baik. Ziva mengangguk, mencoba tersenyum meski hatinya penuh dengan kegelisahan. "Terima kasih, Raka."Setelah keluar dari rumah sakit, Raka tidak langsung pulang. Dia merasa perlu memberi pelajaran kepada Ardi. Sambil mengemudi di jalanan sepi, dia menelepon manajer ayahnya yang setia, Pak Hendra."Halo, Pak Hendra. Saya butuh bantuan Anda," kata Raka dengan sua
Pagi hari tiba dengan suasana yang suram di rumah Ziva. Matahari terbit, namun sinarnya terasa redup bagi Ziva. Dia duduk di sudut kamar, memandangi cermin dengan mata bengkak akibat menangis semalaman. Pikirannya penuh dengan kecemasan dan rasa malu yang menghantui.Ziva tidak berselera makan, meskipun Bu Kiki sudah menyiapkan sarapan favoritnya. Bu Kiki, yang paham betul situasi Ziva, mencoba untuk mengajaknya bicara."Ziva, ayo makan sedikit. Kamu butuh tenaga," kata Bu Kiki dengan suara lembut.Ziva hanya menggeleng lemah, tidak sanggup menatap Bu Kiki. "Maaf, Bu Kiki. Aku benar-benar tidak bisa makan. Rasanya semua sudah hancur."Bu Kiki menghela napas, kemudian mendekati Ziva dan memeluknya erat. "Aku tahu ini berat, Ziva. Tapi kamu harus kuat. Kita akan mencari jalan keluar dari semua ini."Ziva membalas pelukan Bu Kiki dengan air mata yang mengalir deras. "Aku takut, Bu. Aku takut keluar rumah. Semua orang pasti akan mencemoohku. Aku tidak tahu harus bagaimana."Bu Kiki mengus
Suasana di ruang makan keluarga Raka pagi itu sangat tegang. Ayah Raka, seorang pria yang berwibawa namun keras, memandang putranya dengan sorot mata yang tajam."Raka," ucapnya dengan suara berat, "kalau bukan karena kekuasaan yang aku miliki, hari ini nama baikmu sudah tercemar. Bahkan, kamu mungkin sudah dikeluarkan dari kampus."Madam Maroon, ibu Raka, tanpa aba-aba, bangkit dari kursinya dan mengambil tas mewahnya. "Aku tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Aku akan menghancurkan hidup gadis itu karena berani bermain dengan Raka."Raka, yang menyadari niat ibunya, segera bangkit dan menghalangi jalan. "Mamah, jangan lakukan itu."Madam Maroon menatap putranya dengan mata dingin. "Kamu tidak bisa menghentikanku, Raka. Perempuan itu harus diberi pelajaran."Raka, yang mulai marah, membentak ibunya. "Ziva tidak bersalah! Kalian tidak bisa seenaknya menghancurkan hidup orang lain!"Ayah Raka segera berdiri, mendukung istrinya. "Dia pantas mendapatkannya. Siapa pun yang berani meng
Esok harinya, Ziva masih merasa cemas dan enggan untuk keluar rumah. Bu Kiki berpamitan untuk mengantar Kiki ke sekolah setelah menyiapkan kue dan roti di toko. Ziva, yang masih diskor dari kuliah, memberanikan diri untuk pergi ke toko dan mulai menjajakan dagangannya. Ia merasa malu-malu saat melayani pelanggan, namun tetap berusaha bersikap profesional.Tiba-tiba, seorang wanita bertopeng masuk dengan elegan. Penampilannya memukau dan penuh wibawa, membuat semua orang di toko terdiam. Wanita itu berjalan dengan anggun ke arah Ziva dan mulai melihat-lihat roti yang dijajakan."Apa ini roti buatanmu?" tanya wanita bertopeng itu sambil mencicipi sebuah kue.Ziva mengangguk, merasa sedikit gugup. "Iya, Bu."Wanita itu tersenyum, memberikan pujian. "Enak sekali. Aku ingin melihat cara pembuatannya."Ziva menolak secara halus, merasa aura wanita itu begitu kuat. "Maaf, Bu. Dapur kami tidak untuk umum."Wanita bertopeng itu mengerti dan tersenyum lembut. "Baiklah, suatu saat aku akan kemba
Pagi itu, Ziva berolahraga di taman dekat rumahnya, mencoba untuk menghilangkan stres yang membelenggu pikirannya. Dengan napas teratur dan tubuh bergerak mengikuti irama, ia mencoba menenangkan diri. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk. Ziva berhenti sejenak dan membuka ponselnya, melihat pesan dari Raka. Isi pesannya singkat tapi jelas: "Ziva, aku minta tolong, bisa kita bertemu?"Ziva ragu, namun entah mengapa, dorongan untuk menyelesaikan masalah membuatnya setuju. Mereka sepakat untuk bertemu di taman kota, tempat yang cukup ramai sehingga Ziva merasa aman. Ketika tiba, Ziva melihat Raka sudah menunggunya di bangku taman, wajahnya kusut dan penuh penyesalan."Maaf, Ziva," ucap Raka, suaranya serak. "Aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam. Aku… aku hanya tidak bisa mengendalikan perasaanku. Kamu tahu betapa aku mencintaimu. Itu menghancurkanku melihatmu bersama orang lain…"Ziva menatap Raka dengan sorot mata yang penuh ketegasan. “Raka, kita suda
Pagi hari, kota itu dipenuhi dengan suasana yang meriah dan glamor. Di sebuah gedung megah yang sering digunakan untuk acara-acara besar, sebuah pesta diadakan untuk merayakan kehamilan anak seorang pengusaha kaya. Pesta ini merupakan acara besar, yang menandai pengumuman jenis kelamin anak tersebut. Ruang pesta dihiasi dengan lampu kristal berkilauan dan bunga-bunga eksotis. Tenda putih yang elegan menutupi area luar, sementara di dalam, meja-meja panjang dipenuhi dengan berbagai hidangan mewah. Musik orkestra lembut mengalun, menambah suasana yang berkelas dan penuh kehangatan. Para tamu berpakaian formal, mengenakan gaun-gaun mewah dan jas-jas elegan, menikmati hidangan dan bersosialisasi.Brok, Leon, dan Ziva diundang ke acara tersebut. Namun, hanya Ziva dan Leon yang hadir. Raka dan Nanda juga hadir, meski suasana antara mereka terasa canggung. Raka, yang tidak bisa menahan emosinya, terus memandang Ziva dari kejauhan. Pesta semakin meriah saat pengumuman tentang jenis kelamin
Pagi itu, Ziva bangun lebih awal dari Leon, merasakan udara segar yang masuk melalui jendela kamar mereka yang besar. Perasaan gelisah yang selalu ada sejak pernikahannya dengan Leon kembali menghantuinya. Dengan hati-hati, dia keluar dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkan Leon, lalu berjalan menuju kamar mandi.Sesampainya di sana, Ziva membuka seluruh pakaiannya, membiarkan air hangat dari shower mengalir di atas tubuhnya. Dia mencoba menenangkan pikirannya, merenungkan langkah-langkah yang harus dia ambil selanjutnya. Namun, ketika dia mendengar pintu kamar mandi terbuka, jantungnya langsung berdegup kencang.Leon masuk, matanya masih sedikit mengantuk, namun senyum kecil terlihat di wajahnya. "Pagi, sayang," katanya dengan suara lembut. Dia mendekati Ziva, niatnya jelas untuk bergabung dengannya di kamar mandi. Namun, ekspresi Ziva berubah seketika, tubuhnya menegang dan refleks menutupi dirinya dengan tangan.Leon berhenti di tempat, terkejut dengan reaksi Ziva. "Ad
Malam itu, setelah makan malam yang hangat namun sarat dengan keheningan penuh makna, Brok memanggil Ziva dan Leon untuk ikut dengannya ke sebuah tempat yang tak pernah mereka duga. Ziva, yang sudah mulai terbiasa dengan kejutan-kejutan dari Brok, mengikuti Leon dengan tenang namun penuh antisipasi. Mereka berjalan menuju perpustakaan pribadi Brok, sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan buku-buku kuno dan artefak antik. Di sini, suasana terasa tenang, hampir mistis, dengan cahaya lampu gantung yang memancarkan sinar lembut di ruangan. Brok berhenti di depan salah satu rak buku yang tampak biasa saja. Namun, saat dia menyentuh sebuah buku tua dengan sampul kulit, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Rak buku itu bergeser perlahan, memperlihatkan sebuah pintu rahasia di baliknya. Ziva menatap dengan takjub, sementara Leon tersenyum tipis, seolah sudah terbiasa dengan rahasia-rahasia ayahnya."Masuklah," kata Brok dengan nada tegas, mengisyaratkan mereka untuk mengikuti.Mereka melangk
Seiring berjalannya waktu, Ziva semakin mengukuhkan posisinya sebagai istri Leon yang perhatian dan penuh dedikasi. Setiap pagi, Ziva bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, mengurus keperluan rumah, dan memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan lancar. Brok semakin menyukai menantunya, merasa yakin bahwa Ziva adalah pilihan yang tepat untuk putranya.Leon dan Ziva sering menghabiskan waktu bersama, baik di rumah maupun di luar. Leon mengajak Ziva untuk berkenalan dengan para pengusaha dan rekan-rekannya, memperluas jaringan sosial mereka. Ziva selalu tampil anggun dan cerdas, memenangkan hati banyak orang dengan kepribadiannya yang menawan.Suatu hari, Leon mengajak Ziva untuk menghadiri sebuah pertemuan bisnis penting di sebuah hotel mewah. Di sana, mereka bertemu dengan banyak orang berpengaruh, termasuk beberapa mitra bisnis Brok. Leon merasa bangga memiliki Ziva di sisinya, melihat betapa mudahnya Ziva bergaul dengan semua orang."Ziva, kau benar-benar luar biasa. Kau membu
Acara pernikahan yang meriah telah usai, dan para tamu sudah mulai pulang. Leon dan Ziva akhirnya berada di kamar pengantin mereka. Ruangan itu dihias dengan indah, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan kelopak bunga mawar tersebar di seluruh tempat tidur.Leon masuk ke dalam kamar, sedikit gugup namun penuh harapan. Ia menutup pintu perlahan, membiarkan Ziva masuk terlebih dahulu. Ziva tampak cantik dalam gaun tidurnya yang sederhana namun elegan. Mereka berdua berdiri canggung di tengah ruangan, merasakan ketegangan yang manis namun aneh."Ziva, ini... adalah malam yang sangat spesial bagi kita," kata Leon dengan suara lembut.Ziva tersenyum, namun ada kelelahan yang jelas terlihat di matanya. "Leon, aku benar-benar lelah. Hari ini sangat melelahkan, dan aku butuh istirahat."Leon mengangguk, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Tentu, aku mengerti. Kita bisa beristirahat malam ini."Mereka berdua naik ke tempat tidur, berbaring berdampingan namun dengan jarak yang terasa. Le
Pagi yang cerah di hari pernikahan Ziva dan Leon. Di rumah Ziva, suasana sibuk dan penuh kegembiraan. Ziva duduk di depan cermin besar di kamarnya. Seorang makeup artist profesional sedang merias wajahnya dengan teliti. Di sekitar Ziva, beberapa asisten membantu mengenakan gaun pengantin putih yang indah, lengkap dengan detail renda dan kristal. Bu Kiki dan beberapa teman dekat Ziva memberikan dukungan moral, membuat Ziva merasa lebih tenang."Ini adalah hari yang luar biasa, Ziva. Kau terlihat sangat cantik," kata Bu Kiki dengan senyum penuh kasih.Ziva tersenyum, meski ada sedikit kegugupan di matanya. "Terima kasih, Bu Kiki. Aku tidak bisa melakukan ini tanpa dukunganmu."Setelah selesai berdandan, Ziva berdiri dan melihat dirinya di cermin. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Gaun pengantin itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, dan riasan wajahnya menonjolkan kecantikannya yang alami.Di sisi lain, Leon sedang bersiap di rumahnya. Ayahnya, Brok Bearpo, yang biasanya tampak
Di sebuah ruangan yang penuh dengan kemewahan dan aura kekuasaan, Brok Bearpo, dengan tongkat emasnya, berdiri di depan Eleanor. Eleanor, seorang mafia kakap dengan aura yang tak kalah menakutkan, berdiri dengan anggun di hadapannya. Mereka saling menatap dengan mata penuh kewaspadaan.Brok membuka pembicaraan dengan nada sedikit meninggi, “Eleanor, meskipun kita memiliki perbedaan, aku ingin tetap profesional. Ini undangan pernikahan Leon dan Ziva.” Ia menyerahkan kartu undangan mewah itu dengan tangan kokohnya.Eleanor, yang sudah mengetahui rencana pernikahan ini melalui mata-matanya, menerima undangan itu dengan elegan. Ia membaca sekilas undangan tersebut sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke Brok. “Terima kasih, Brok. Aku sudah mendengar tentang rencana ini. Kau tahu, dunia kita memang kecil, ya?” ucap Eleanor dengan senyum tipis yang penuh arti.Brok mengangguk, walau matanya tetap tajam. “Memang, Eleanor. Aku harap kau bisa hadir dan melihat bahwa kita bisa menjalin hub
Hari itu dimulai dengan sinar matahari yang cerah menerangi kota. Leon dan Ziva memulai persiapan pernikahan mereka dengan penuh semangat. Mereka berdua pergi ke berbagai tempat untuk memastikan semua kebutuhan pernikahan terpenuhi. Leon, yang tampak sangat antusias, memastikan bahwa Ziva mendapatkan semua yang diinginkannya.Leon membawa Ziva ke sebuah butik gaun pengantin terkenal di kota. Di sana, Ziva mencoba beberapa gaun, dengan Leon yang memberikan pendapatnya dengan tulus.“Aku suka yang ini,” kata Leon, sambil menunjuk pada gaun putih sederhana dengan hiasan renda yang elegan. “Kau terlihat sangat cantik.”Ziva tersenyum malu-malu. “Terima kasih, Leon. Aku juga suka gaun ini.”Setelah memilih gaun, mereka juga memilih pakaian untuk Leon, memastikan semuanya serasi. Leon memilih setelan hitam klasik dengan dasi perak, yang membuatnya tampak gagah dan elegan.Selanjutnya, mereka pergi ke sebuah kafe untuk mendiskusikan tema pernikahan. Ziva menginginkan pernikahan yang sederhan