"Kamu yakin mau kembali ke sana lagi, Nduk?" Ibu bertanya dengan ragu.
Aku menutup mataku, mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskan secara perlahan. Kembali membuka mata dan menatap wajah Ibu. Kami berdua saat ini sedang duduk di gubuk pinggir sawah, menikmati makan siang yang sengaja aku bawa untuk Ibu."Yakinlah, Bu. Masa lalu itu terbayang-bayang terus. Rasanya belum lega dan ikhlas kalau belum bisa memberikan pembalasan pada mereka semua," jawabku penuh keyakinan.Ibu mendesah panjang. "Ibu udah gak bisa lagi mencegah kamu. Ibu harap, kamu gak melakukan sesuatu yang ujungnya bisa membahayakan diri kamu sendiri, Nduk. Ibu takut, kamu malah yang nantinya bisa dalam bahaya kalau mereka sadar dengan niat buruk kamu.""Ibu tenang saja, aku gak mungkin bertindak gegabah. Aku sudah siapkan banyak rencana. Semua sudah aku susun dengan rapi dan cantik. Jadi, Ibu gak perlu khawatir. Aku bisa jaga diri, Bu.""Iya, Nduk. Ibu hanya bisa mendoakan kamu. Semoga, Allah melindungi setiap langkah kamu. Ambillah yang menjadi hakmu, Nduk. Doa Ibu selalu bersamamu.""Iya, Bu, aamiin ... terima kasih juga, Bu, karena Ibu sudah memberikan segalanya untuk aku," ucapku, lalu memeluk tubuh Ibu."Kamu anak Ibu satu-satunya, itu sudah jadi kewajiban Ibu," ucap Ibu. Ibu membalas pelukanku. Bisa kurasakan, kasih sayang tulus dari Ibu.*****Pagi ini, aku memacu mobil yang aku kemudikan dengan kecepatan sedang menuju rumah yang baru aku beli Minggu lalu. Sebuah rumah yang cukup besar yang bertepatan di depan rumah mantan suamiku. Setelah sempat terpuruk satu tahun yang lalu karena perceraian, aku memutuskan untuk kembali bangkit. Menjadi orang baru dengan perubahan baru.Aku mencoba bangun dari mimpi buruk yang selalu menghantuiku. Masih teringat jelas, bagaimana rasa sakit yang ditorehkan oleh mantan suamiku dan selingkuhannya. Juga mantan mertua dan juga kakak ipar yang ikut mendukung perselingkuhan mereka. Akan kubalas semua perbuatan mereka satu persatu, agar mereka juga merasakan, bagaimana sakitnya hati ini.Aku bersyukur, masih memiliki seorang Ibu yang begitu menyayangiku. Ibu rela menjual sawahnya untuk memberikan modal padaku untuk melancarkan aksi balas dendam ku. Dari hasil penjualan sawah Ibu itulah, aku bisa membeli sebuah mobil dan juga rumah. Serta uang untuk dijadikan modal membangun sebuah usaha yang telah aku rencanakan.Tepat pukul 16.00 sore, aku telah tiba di sebuah perkampungan padat penduduk di pinggir kota. Sebuah perkampungan yang menjadi tempat tinggalku dan menjadi saksi bagaimana perjalanan rumah tanggaku dulu. Tak lama, mobil yang aku kemudikan berhenti tepat di depan pagar sebuah rumah yang telah aku beli Minggu lalu. Netra ini memandang sebuah bangunan yang berada tepat di sebrang rumahku. Pas sekali, wajah-wajah orang yang menjadi incaranku ada di sana.Seperti yang aku inginkan, mereka semua menatap mobilku dan saling berbisik. Ini adalah waktu yang tepat untuk turun dari mobil dan memperlihatkan pada mereka, bahwa aku telah datang kembali. Aku membuka pintu mobil dengan perlahan, lalu menurunkan kaki putih jenjangku yang terlihat jelas karena aku memakai dres dibawah lutut. Sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah cerah aku pakai untuk memadukan dress putih yang aku pakai.Setelah turun dari mobil, aku membuka kaca mata hitam yang menempel di hidung bangirku. Lalu menatap orang-orang yang sedang memandangku dengan wajah terkejut. Siapa lagi kalau bukan Mas Wijaya, juga Lastri selingkuhannya yang kini telah menjadi istrinya. Juga mantan Ibu mertua dan mantan kakak iparku Mbak Rosi."Alma ...." Terdengar suara Mas Wijaya yang menyebut namaku lirih. Begitu juga dengan ketiga wanita yang berada di sampingnya.Aku tersenyum lebar menatap mereka semua. Mas Wijaya terlihat memandangku tanpa berkedip dengan mata berbinar. Menyadari itu, Lastri langsung memukul lengan Mas Wijaya yang membuat aku menahan tawa. Terlihat wajah kesal Lastri melihat suaminya memandang diriku.Dan lucunya, Mas Wijaya tak memperdulikan Lastri dan malah berdiri dan berjalan menghampiriku."Alma ... kamu Alma kan?" tanya Mas Wijaya ketika ia telah berada di hadapanku."Iya, Mas, aku Alma," jawabku dengan senyum semanis mungkin."Ka-kamu cantik sekali sekarang, Al?" ucap Mas Wijaya dengan wajah penuh kekaguman."Iya, ternyata kamu beneran Alma? Ya ampun ... Ibu gak nyangka kamu sekarang secantik ini? Apa kamu jadi wanita sukses, Al?" serobot mantan Ibu mertua yang kini ikut menghampiriku."Alhamdulillah, Bu," jawabku setenang mungkin. Meskipun dalam hati, aku ingin sekali menertawakan mereka."Kalian apa-apaan sih, Mas, Bu. Ayo pulang!" ucap Lastri menarik tangan Mas Wijaya dengan kasar."Kamu itu yang apa-apaan sih, Las! Sibuk aja. Kamu gak lihat, kami lagi bicara sama Alma?" ujar Ibu sewot. Bertambah kesal saja wajah Lastri mendengar ocehan Ibu."Kok Ibu malah marahin aku?" Raut wajah Lastri semakin merah padam."Eh, Alma! Ngapain kamu datang kemari lagi? Kamu mau ganggu rumah tangga aku dan Mas Wijaya, hah!" bentak Lastri padaku."Kamu ini kenapa sih, Las! Tiba-tiba aja marah-marah gak jelas!" oceh Mas Wijaya pada Lastri. Terlihat Mas Wijaya menarik lengannya dari tangan Lastri. Wajah Lastri tampak terlihat terkejut dengan mulut ternganga melihat Mas Wijaya suaminya justru terlihat membelaku.Aku sangat suka melihat drama ini. Drama pertengkaran antara Lastri dan Mas Wijaya. Baru beberapa menit aku tiba di sini saja, sudah terjadi pertengkaran diantara mereka. Apalagi melihat wajah kesal Lastri, membuat aku merasa sangat senang. Kita lihat saja, bagaimana reaksi Lastri jika tahu bahwa aku akan tinggal di depan rumah mereka. Rumah mereka? Bukan! Lebih tepatnya, rumahku yang mereka rebut dengan cara licik.******"Kok kamu malah jadi marahin aku sih, Mas!" Lastri bicara dengan nada tinggi. Wajahnya merah, mungkin ia merasa malu sekaligus marah.Wanita mana yang tak malu diperlakukan kasar seperti itu oleh suaminya sendiri? Dan yang lebih menyakitkan, di depan mantan istri suaminya yaitu diriku. Aku tetap berusaha setenang mungkin menyaksikan drama ini."Lastri! Kamu ini apa-apaan sih? Sama suami kok gak ada sopan-sopannya. Ngomong pakai teriak-teriak. Gak malu kamu!" Kini giliran mantan Ibu mertua yang memarahi Lastri. Bertambah merah padam saja wajah Lastri saat ini. Apalagi, mantan Ibu mertua bicara dengan nada ketus."Kok Ibu malah jadi ikut-ikutan Mas Wijaya sih? Ibu gak ingat, bukankah, Ibu dulu sangat membenci Alma?!""Jaga mulut kamu ya, Lastri! Jadi perempuan kok bawel banget. Suka-suka Ibu dong. Sana masuk!" Ibu berkata dengan marah dan malah mengusir Lastri untuk masuk ke dalam rumah."Keterlaluan! Kenapa kalian jadi bersikap begini hanya gara-gara kedatangan wanita tak tahu malu ini
"Assalamualaikum ...."Terdengar suara salam dari depan rumahku. Aku yang baru selesai mandi dan berganti pakaian segera bergegas menuju ke depan. Aku menoleh ke arah jam dinding besar yang terpasang di ruang tengah rumahku. Waktu masih menunjukkan pukul 06.30 pagi. Aku bingung, siapa orang yang bertamu ke rumahku sepagi ini?Jika dipikir, aku juga baru menempati rumah ini malam tadi. Aku juga belum sempat bertemu dengan tetangga sekitar rumah, kecuali keluarga Mas Wijaya."Waalaikumsalam ...," jawabku, setelah pintu ruang tamu terbuka.Aku sedikit tersentak dan terkejut, sebab yang datang bertamu sepagi ini adalah Mas Wijaya. Aku tak menyangka, pria yang berstatus mantan suamiku itu datang ke rumahku sepagi ini. Jujur saja, aku sedikit merasa takut. Sebab, aku hanya tinggal seorang diri di rumah ini. Suasana pagi ini juga tampak sepi. Tak kulihat ada orang yang berlalu-lalang di depan rumah.Mas Wijaya berulang kali memandangku dari atas hingga bawah. Membuat aku merasa sangat risih
Aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengeringkan rambut yang masih basah. Kejadian pagi ini benar-benar membuat kepala ini sedikit sakit. Meskipun aku senang melihat keributan antara Mas Wijaya dan Lastri, tapi aku juga merasa malu karena pagi ini aku harus menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar rumahku. Ini semua terjadi karena kecerobohanku yang lupa mengunci pintu pagar rumah.Bagaimanapun juga, aku harus menjaga nama baikku di kampung ini. Aku yakin, saat ini aku pasti sedang menjadi pusat pergunjingan warga sekitar. Apalagi, warga sekitar rumahku pasti tahu betul bahwa aku adalah mantan istri Mas Wijaya.Maka dari itu, aku harus tetap menjaga nama yang selama ini tak pernah tercoreng sekalipun. Sebab selama menikah dengan Mas Wijaya dulu, aku tak pernah membuat masalah apapun di kampung ini.Sebelum memulai usaha membuka toko sembako, aku harus segera mencari asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan rumah sekaligus menemaniku di rumah ini. Jika perlu, hari ini jug
Aku memandang sebuah spanduk besar yang terpasang tepat di depan pintu masuk toko grosir Mas Wijaya. Tertera nama toko grosir ini—Grosir Wijaya. Dari luar toko aku bisa melihat betapa banyaknya isi di dalam toko tersebut. Kardus-kardus yang berisi kebutuhan pokok memenuhi dalam toko hingga sampai batas pintu masuk.Aku berjalan dengan santai memasuki area toko grosir itu. Setelah masuk, aku sedikit terpukau sebab dalam toko ini ternyata jauh lebih luas dibandingkan dilihat dari luar. Mungkin, banyaknya barang yang memadati isi toko ini membuat toko ini nampak sempit.Aku melihat Mas Wijaya sedang sibuk di meja kasir membantu karyawannya yang seorang wanita untuk melayani pembeli yang sepertinya sedang membayar barang belanjaan. Saking sibuknya, Mas Wijaya sepertinya tak menyadari kehadiranku di sini."Cari apa, Mbak?" tanya seorang karyawan pria dengan ramah padaku."Oh, saya mau belanja barang-barang sembako untuk isi toko, Mas," jawabku."Apa Mbak punya catatan barang-barang apa saj
Dengan wajah merah padam penuh kemurkaan, Lastri berjalan tergopoh-gopoh menggendong anaknya menghampiri kami. Yang membuatku miris, Lastri datang ke toko grosir Mas Wijaya hanya menggunakan baju daster yang terlihat tak enak di pandang mata.Pantas saja Mas Wijaya mudah berpaling pada wanita lain, sebab Lastri tak bisa merawat diri. Melihat penampilan Lastri, aku jadi berkaca pada diriku sendiri saat masih menjadi istri Mas Wijaya dulu. Sebab seperti itulah penampilanku dulu.Wajar saja jika aku dulu tak bisa merawat diri, sebab Mas Wijaya hanya seorang pengangguran. Aku tak memiliki banyak uang untuk membeli kebutuhan pribadi. Jangankan untuk kebutuhan pribadi, untuk makan saja kami susah. Itulah mengapa aku akhirnya memutuskan untuk pergi bekerja ke luar negeri.Sebenarnya, Ibuku melarang keras aku untuk bekerja di luar negeri dan menyuruhku untuk menjual sebagian sawah milik Ibu. Tapi aku menolak, aku tak ingin menjadi beban untuk Ibuku. Apalagi kalau sampai Ibu mertuaku tahu Ibuk
Aku mematut diri di depan cermin. Wajah putih glowing, hidung mancung dan dagu yang sedikit lancip, menambah sempurnanya paras dan bentuk wajah ini. Belum lagi, leher jenjang dan tubuh langsing membuat aku semakin percaya diri. Tapi merawat tubuh hingga seperti ini tidaklah mudah. Aku butuh waktu satu tahun untuk mendapatkan tubuh seideal ini. Aku bahkan sampai harus jatuh sakit karena menjalani diet ketat. Mungkin jika tak ingat ambisiku untuk bisa langsing, aku tak akan melakukan diet itu.Dulu, saat aku masih menjadi istri Mas Wijaya, jangankan merawat diri, ingin makan enak saja aku tak pernah bisa. Jika ingin makan enak, aku harus pulang dulu ke rumah ibuku. Itupun harus menempuh perjalanan jauh dari kampung ini. Aku masih ingat jelas, bagaimana menderitanya diriku saat menjadi istri Mas Wijaya. Setiap hari, aku hanya makan lauk pauk seadanya. Sambal terasi dan ikan asin adalah menu andalanku. Meskipun tak pernah makan enak, anehnya, tubuhku semakin bertambah gemuk. Mungkin kare
Lastri langsung memukul lengan Mas Wijaya karena aksinya meyapaku. Lalu menarik kasar tangan Mas Wijaya untuk masuk ke dalam rumah. Mereka terlihat adu mulut sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa dengan jelas mendengarnya. Wajar saja, istri mana yang tak marah bila suaminya malah menyapa wanita lain di depan istrinya sendiri. Bahkan, keberadaan Lastri seolah tak dianggap oleh Mas Wijaya.Aku segera menutup rolling door toko dan segera masuk untuk mandi dan membersihkan diri. Aku sedikit bingung dengan hubungan rumah tangga Lastri dan Mas Wijaya. Aku merasa, hubungan mereka memang tak harmonis. Aku pikir, selama ini mereka hidup bahagia. Tapi nyatanya tidak, bisa jadi itu memang sebuah karma yang Tuhan berikan untuk mereka karena pernah mendzolimi aku."Bu Alma, makan malam udah siap," kata Nana yang berpapasan denganku."Iya, Na. Nanti saja kita makan bersama setelah sholat magrib. Aku mau mandi dulu.""Iya, Bu."Aku bergegas masuk ke dal
Aku tersenyum miring melihat layar ponselku yang masih menampilkan nominal uang yang baru saja ditranfer oleh Mas Wijaya. Meskipun nominal uang ini belum sebanding dengan uang yang sudah ia ambil dariku, tapi ini sudah cukup lumayan. Setidaknya, ini awal yang baik. Aku akan pastikan, akan ada uang-uang yang lainnya yang akan aku dapatkan dari Mas Wijaya.Setelah semua uangku yang pernah diambil oleh Mas Wijaya sudah terkumpul semuanya, barulah aku akan pergi meninggalkannya. Aku jadi tak sabar, melihat reaksi Mas Wijaya seandainya ia tahu rencana licikku ini. Agar ia juga merasakan, bagaimana rasa sakit yang pernah aku rasakan dulu.Sebuah notif pesan masuk dalam ponselku. Ternyata pesan itu dari Mas Wijaya.["Al, aku udah kirim uangnya ke nomor rekening kamu.] Isi pesan dari Mas Wijaya. Benar dugaanku, uang masuk itu memang dari Mas Wijaya.["Terima kasih, Mas."] balasku. Aku menutup ponselku kembali dan memasukkannya dalam kecil yang aku bawa.Aku kembali berjalan ke area pasar yang
"Permisi, Bu," ucapku pada pemilik warung yang sedang menata jajanan di depan warungnya. Pemilik warung itu seorang ibu-ibu paruh baya yang wajahnya terlihat teduh."Oh, iya, ada apa ya, Mbak?" tanyanya ramah."Maaf, saya mau tanya, apa Ibu tahu rumah Pak RT?" tanyaku sopan."Oh iya, Mbak, kebetulan ini rumah Pak RT. Saya istrinya. Tapi ngomong-ngomong, ada perlu apa ya, Mbak? Sepertinya, Mbak ini bukan warga sekitar sini?" tanyanya bingung."Iya, Bu. Saya memang bukan warga sini. Perkenalkan, saya Alma. Saya ingin tanya, apa Ibu tahu rumah kecil bercat biru itu milik siapa?" tanyaku sambil menunjuk rumah yang di dalamnya dihuni oleh Mas Adit dan Nana. Jarak dari sini ke rumah itu hanya berselang tiga rumah saja."Oh iya, Mbak, kebetulan rumah itu milik saya dan suami saya. Dan sekarang lagi dikontrakkan. Dan yang menempati rumah itu namanya Mas Adit, Mbak," jawab Bu RT.Benar dugaanku, pria itu memanglah Mas Adit. Tetapi, untuk apa ia mengontrak di rumah itu? Apa itu salah satu tempa
Aku segera berjalan ke depan toko ketika Nana telah masuk ke dalam rumah. Dan duduk di kursi yang berada di depan toko. Dari sini, aku bisa memantau dan melihat Nana saat keluar dari rumahku nanti. Setelah memastikan Nana keluar dari rumah, barulah aku akan mengikutinya. Lima belas menit kemudian, Nana terlihat keluar dari pagar rumahku. Nana terlihat sudah rapi menggunakan celana jeans panjang yang dipadukan dengan kaos berwarna putih dengan sweater tipis berwarna pink cerah. Aku berpura-pura bermain ponsel, seolah tak memperhatikan Nana. Setelah Nana mulai berjalan, barulah aku segera masuk untuk menutup toko dengan cepat.Setelah itu, aku segera menyambar kontak mobilku dan berjalan dengan tergesa ke luar rumah. Aku harus bisa keluar secepat mungkin agar tak kehilangan jejak Nana. Setelah mengunci pintu rumah dan pintu pagar, barulah aku segera mengendarai mobil yang kini sudah berada di depan rumahku. Tepat saat mobilku tiba di ujung gang arah rumahku, Nana terlihat baru masuk ke
"Mas Adit yang tadi pagi sempat mukuli istrinya loh, Na. Itu namanya Mas Adit, kalau istrinya namanya Mbak Rossi," jawabku."Oh, saya gak kenal kok, Bu.""Saya pikir, kamu kenal. Kasian ya, Na, Mbak Rossi sampai dipukuli dan dianiaya seperti itu. Kalau saya jadi Mbak Rossi, sudah pasti saya akan laporkan Mas Adit ke polisi. Biar dia dipenjara sekalian!" kataku dengan nada kesal."Di-dipenjara, Bu? Apa mungkin bisa?" tanya Nana seolah penasaran."Ya bisa dong, Na. Itukan udah masuk pasal KDRT dan penganiayaan. Mereka kan masih suami istri. Apalagi, saksinya juga banyak kan? Saya kesal deh, Na," jawabku."Apa kemungkinan besar Mas Adit akan dipenjara kalau sampai Mbak Rossi melaporkan Mas Adit ke polisi, Bu?""Tentu saja.""Lalu, bagaimana caranya supaya Mas Adit gak dipenjara, Bu?""Ya itu tergantung Mbak Rossi lah, Na. Kalau dia mau berdamai dengan Mas Adit dan tidak melaporkan kasus ini ke polisi, Mas Adit akan aman. Tapi saya gak yakin, Na, kalau Mbak Rossi mau berdamai. Apa lagi, M
POV AlmaAku merasa iba dengan keadaan Mbak Rossi yang terlihat babak belur karena dipukuli Mas Adit. Aku tak menyangka, Mas Adit begitu tega melakukan itu pada istrinya sendiri. Sebab yang kutahu, Mas Adit tipe pria yang pendiam dan tak banyak bicara. Dan setahuku, Mas Adit juga termasuk pria baik yang tak pernah membuat ulah.Aku juga merasa terkejut, ketika mendengar kasak-kusuk dari warga sekitar yang membicarakan bahwa Mas Adit selingkuh. Aku tak tahu berita itu benar atau tidak, tapi yang jelas, aku sangat terkejut. Tak sangka, diam-diam Mas Adit berselingkuh di belakang Mbak Rossi. Entah aku harus merasa iba, atau malah justru sebaliknya. Aku merasa, ini adalah sebuah karma yang diterima oleh Mbak Rossi.Aku jadi teringat akan kejadian masa lalu, dimana Mbak Rossi dan mantan ibu mertua mendukung perselingkuhan Mas Wijaya dan Lastri. Hatiku sangat hancur dan terluka saat itu atas ulah mereka semua. Dan kini, Mbak Rossi juga merasakan bagaimana sakitnya diselingkuhi. Bedanya, Mas
"Apa Ibu tahu Adit sial*n itu sekarang ada di mana?""Ibu gak tahu, tadi warga sekitar rumah kita sempat mengamankan dia. Ibu hanya fokus membawa Rossi ke rumah sakit karena kamu bisa lihat sendiri bagaimana kondisi Rossi saat ini," jelas Ibu."Ya sudah, Bu, kalau begitu aku mau pulang sekarang. Aku mau cari si Adit sampai dapat!" kataku kesal."Iya, Wijaya. Tapi sebelum kamu pulang, tolong kamu bayar dulu biaya administrasi rumah sakit. Ibu gak ada uang banyak," kata Ibu."Iya, Bu. Ya sudah, nanti aku mampir dulu ke kasir. Ibu bisa kan jagain Mbak Rossi sendirian? Kalau ada apa-apa, Ibu langsung hubungi aku saja," kataku."Iya, Ibu bisa kok.""Ya sudah, aku pulang dulu, Bu.""Iya, kamu hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setelah pamit pada Ibu, aku segera berjalan ke kasir untuk membayar biaya administrasi perawatan Mbak Rossi. Setelah selesai, aku segera menuju parkiran rumah sakit untuk pulang ke rumah.Isi kepala ini rasanya begitu panas, belum puas rasanya jika belum memberi pelajara
"Mbak, kenapa kamu jadi menyalahkan aku? Mbak Rosi gak ingat, bukankah dulu, Mbak Rosi juga ikut mendukung perselingkuhanku dengan Lastri? Apa Mbak Rosi sudah lupa?" tanyaku penuh penekanan.Aku tak terima jika Mbak Rosi hanya menyalahkan aku semata. Seolah hanya aku saja yang bersalah. Padahal jelas, ia dan Ibu juga terlibat dalam perselingkuhanku. Bahkan, Ibu dan Mbak Rosi yang menyuruhku untuk menceraikan Alma. Padahal sebenarnya, meskipun aku dulu selingkuh dengan Lastri, aku tak ada niat untuk menceraikan Alma.Karena Ibu dan Mbak Rosi selalu mengompor-ngomporiku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengusir dan menceraikan Alma. Meskipun penampilan Alma buruk rupa, tetapi aku masih memiliki perasaan padanya. Aku sebenarnya tak tega, sebab berkat Alma lah aku bisa sukses seperti sekarang ini.Jika membicarakan tentang karma, itu juga bukan sepenuhnya kesalahanku. Bisa jadi, karma itu datang karena ulah Mbak Rosi sendiri. Sebagai sesama wanita, harusnya Mbak Rossi tahu bagaimana
Setelah sampai di parkiran rumah sakit, aku bergegas menuju ruangan tempat Mbak Rosi dirawat. Setelah sampai, ake segera masuk dan menemui Ibu dan Mbak Rosi. Aku merasa terkejut ketika melihat keadaan Mbak Rosi. Terlihat banyak memar dan lebam di wajahnya. Di keningnya juga tertempel perban kecil menandakan bahwa keningnya terluka.Di dalam ruangan, hanya ada Ibu seorang diri. Tak kulihat ada Mas Adit ataupun Vira anak mereka. Melihat kehadiranku, Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan Mbak Rosi sama sekali tak menoleh. Ia terlihat diam, sambil matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Jujur saja, hatiku langsung sesak melihat kondisi Mbak Rossi."A-apa yang terjadi, Bu? Di mana Mas Adit?" tanyaku pada Ibu. Aku saat ini telah berada di samping Ibu.Ibu hanya diam tak mau menjawab pertanyaan dariku. Justru, Ibu malah terlihat menangis terisak. Aku jadi makin bingung. Melihat luka Mbak Rosi, aku yakin ini bukan luka kecelakaan. Melainkan luka pukulan ataupun peng
["Mas, mana uangnya? Kok belum ditransfer?"] Sebuah pesan masuk dari Lastri.Aku hanya membaca pesan dari Lastri tanpa ada niat untuk membalasnya. Aku sendiri sedang pusing memikirkan keuanganku yang mulai menipis, tetapi Lastri tahunya hanya minta uang saja. Aku heran dengannya, jika dihitung-hitung, setiap bulan aku selalu memberikan uang sebesar lima belas hingga dua puluh jutaan lebih setiap bulannya. Tetapi, Lastri seolah tak pernah cukup dengan uang yang aku beri.Mulai sekarang, aku tak ingin lagi memanjakan uang untuk Lastri. Aku harus benar-benar memperhitungkan jumlah uang yang aku berikan padanya. Agar aku bisa mengontrol pengeluaranku. Dering ponsel membuyarkan aku dari lamunan. Terlihat panggilan telepon dari Lastri. Aku berusaha mengabaikan telepon dari Lastri, tapi sepertinya Lastri tak menyerah untuk terus menghubungiku. Mau tak mau, aku mengangkat panggilan telepon darinya.["Mas, kok kamu cuma baca pesan dari aku sih? Mana uangnya? Kenapa belum kamu transfer?"] oceh
"Kamu lagi ngapain, Mas? Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Lastri."Aku lagi chatan sama teman," jawabku singkat."Hmm ... ini, Mas, mienya. Katanya laper," kata Lastri memberikan semangkuk mie padaku."Kok cuma satu, kamu gak makan?""Enggak, Mas, aku udah makan tadi. Oh ya, Mas, besok aku minta uang lagi dong," kata Lastri dengan nada manja. Aku yang sedang menikmati mie buatannya seketika menoleh."Uang lagi? Untuk apa?""Ya buat perawatan lagi lah, Mas. Aku pengen gemukin badan. Biar kamu tambah sayang sama aku, Mas," jawab Lastri."Enggak perlu lah, Las. Kamu udah cantik kok. Ngapain pakai gemukin badan?""Kan biar lebih gemoy, Mas. Biar gak kalah saing sama si Alma.""Duh, udah deh, Las. Percuma kamu mau nyaingin si Alma. Mau kamu gemuk juga tetap cantikan Alma," kataku."Kok kamu gitu sih, Mas! Aku udah perawatan maksimal gini malah kamu banding-bandingin sama Alma!""Lah, bukannya kamu sendiri tadi yang mau saingan sama Alma?""Tau ah! Kamu benar-benar suami yang gak punya per