Share

Bab 6

Penulis: Cucan_Apprilliaa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dengan wajah merah padam penuh kemurkaan, Lastri berjalan tergopoh-gopoh menggendong anaknya menghampiri kami. Yang membuatku miris, Lastri datang ke toko grosir Mas Wijaya hanya menggunakan baju daster yang terlihat tak enak di pandang mata.

Pantas saja Mas Wijaya mudah berpaling pada wanita lain, sebab Lastri tak bisa merawat diri. Melihat penampilan Lastri, aku jadi berkaca pada diriku sendiri saat masih menjadi istri Mas Wijaya dulu. Sebab seperti itulah penampilanku dulu.

Wajar saja jika aku dulu tak bisa merawat diri, sebab Mas Wijaya hanya seorang pengangguran. Aku tak memiliki banyak uang untuk membeli kebutuhan pribadi. Jangankan untuk kebutuhan pribadi, untuk makan saja kami susah. Itulah mengapa aku akhirnya memutuskan untuk pergi bekerja ke luar negeri.

Sebenarnya, Ibuku melarang keras aku untuk bekerja di luar negeri dan menyuruhku untuk menjual sebagian sawah milik Ibu. Tapi aku menolak, aku tak ingin menjadi beban untuk Ibuku. Apalagi kalau sampai Ibu mertuaku tahu Ibuku memiliki banyak sawah. Aku yakin, Ibu mertua pasti akan memaksaku untuk menjual sawah milik Ibuku. Sebab, Ibu mertua memang mata duitan.

Yang menjadi pertanyaanku saat ini adalah, kenapa Lastri tak bisa merawat dirinya? Sedangkan dari cerita Mas Wijaya, Lastri selalu minta uang banyak padanya. Harusnya, ia bisa menggunakan uang dari mas Wijaya untuk merawat dirinya. Tetapi, aku juga tak boleh terlalu percaya dengan omongan Mas Wijaya. Sebab, bisa saja Mas Wijaya membohongiku.

Aku tak menyangka, penampilan Lastri justru berubah drastis setelah menikah dengan Mas Wijaya. Wajah Lastri tampak kering dan juga kusam tak terawat. Bahkan tubuhnya terlihat sangat kurus. Terlihat tulang-tulang di tubuhnya menonjol. Padahal, dulu Lastri terlihat cukup cantik dengan badan yang cukup berisi.

Sebenarnya, Lastri dulu adalah tetangga baru kami. Aku tak pernah sedikitpun curiga padanya meskipun ia sering datang kerumah kami. Dan setelah aku memutuskan untuk bekerja ke luar negeri, aku tak tahu lagi apa yang terjadi diantara Mas Wijaya dan Lastri.

Hingga kepulanganku satu tahun lalu secara diam-diam untuk memberikan kejutan pada Mas Wijaya, nyatanya malah aku yang dikejutkan dengan perselingkuhan mereka berdua. Aku memergoki Mas Wijaya dan Lastri sedang ena-ena di rumah kami. Jika mengingat itu, dada ini kembali sesak. Bara api dendam semakin berkibar untuk dituntaskan.

"Mas Wijaya!" Lagi-lagi, Lastri berteriak memanggil Mas Wijaya meskipun ia kini telah berdiri di antara aku dan Mas Wijaya.

Meskipun wajah Lastri terlihat sangat garang seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya, aku tak merasa takut sedikitpun. Aku masih bersikap tenang. Aku ingin tahu, apa yang akan dilakukan Lastri padaku.

Aku menoleh ke arah Mas Wijaya, wajah Mas Wijaya terlihat biasa saja. Seperti tak ada takut-takutnya dengan Lastri. Malahan, Mas Wijaya terlihat mendesah kesal melihat kehadiran istrinya itu.

"Keterlaluan kamu, Mas! Aku suruh kamu jemput ke rumah, kamu malah asyik-asyikan dengan janda gatel ini!" oceh Lastri lalu menunjuk wajahku.

"Kamu ini kenapa lagi sih, Las? Tiap hari kerjaannya marah-marah terus. Gak capek?" tanya Mas Wijaya dengan nada kesal.

"Kenapa kamu bilang? Kamu yang kenapa, Mas! Kamu bilang gak bisa jemput aku karena sibuk. Nyatanya kamu malah asyik ngobrol sama janda gatel ini," ucap Lastri sengit.

"Kamu jangan asal nuduh ya, Las? Aku memang sibuk. Lagian, kamu ngapain ke sini siang-siang begini bawa Zea? Kasian Zea kepanasan begitu!" ucap Mas Wijaya tak kalah sengit. Terlihat wajah polos anak perempuan mereka yang tertidur lelap di gendongan Lastri.

"Ini semua kan gara-gara kamu, Mas, Zea jadi kepanasan. Coba kalau kamu mau jemput aku, gak mungkin aku datang ke sini sama Zea naik angkot!" kata Lastri makin sengit.

"Lagian, siapa yang nyuruh kamu datang kemari? Aku tuh lagi kerja cari uang, bukan lagi santai-santai!" ucap Mas Wijaya membela diri.

"Kerja apa? Jelas-jelas kamu lagi asyik ngobrol sama Alma!" Lastri menoleh ke arahku dengan mata melotot tajam.

"Mas, tolong kamu jelaskan sama Lastri. Aku gak mau terus-terusan dituduh yang enggak-enggak sama istri kamu ini," ucapku dengan wajah dibuat sendu. Aku sengaja, agar Mas Wijaya merasa iba padaku.

"Iya, Al. Maaf ya, Al, atas sikap Lastri yang diluar kendali?" kata Mas Wijaya.

"Kamu ini apa-apaan sih, Mas! Kok malah minta maaf sama dia?"

"Cukup ya, Las, aku benar-benar capek menghadapi sikap egois kamu. Sedikit-sedikit cemburu. Mending sekarang kamu pulang. Jangan kamu buat keributan di toko aku. Itu sama saja kamu mencoreng wajah aku di depan para pelanggan dan karyawan aku!" ucap Mas Wijaya tegas tapi dengan suara pelan. Mungkin takut di dengar oleh karyawan-karyawan dan para pelanggannya di dalam toko.

Terlihat Mas Wijaya yang sepertinya malu dengan sikap istrinya itu. Jika dipikir, Lastri memang terlalu arogan. Ia tak memandang tempat untuk membuat keributan. Meskipun di tempat ramai sekalipun, ia tak mempunyai rasa malu.

"Makin hari kamu makin keterlaluan, Mas! Semenjak kehadiran Alma, kamu jadi berubah seperti ini!"

"Cukup, Las! Ini semua gak ada hubungannya sama Alma. Pulang kamu sekarang, kalau kamu gak mau menuruti perintahku, aku gak akan segan-segan menceraikan kamu!" ucap Mas Wijaya pelan namun penuh penekanan.

Mata Lastri terlihat membulat sempurna seolah benar-benar terkejut. Bibirnya pun terlihat sedikit terbuka. Pun dengan diriku. Tak sangka Mas Wijaya bisa mengancam Lastri sesadis itu.

"Ce-rai," gumam Lastri yang masih bisa aku dengar. Wajah Lastri tampak pucat dan juga pias.

"Pulanglah. Jangan buat kesabaran aku habis!" ucap Mas Wijaya.

"Maaf, Mas, aku permisi dulu," selaku. Sepertinya, sudah cukup melihat adegan keributan hari ini.

"Iya, Al. Maaf, kamu jadi harus melihat masalah rumah tangga aku dan Lastri," kata Mas Wijaya dengan wajah tak enak.

Aku mengangguk pelan dan menarik tangan Nana yang sedari tadi diam ikut menyaksikan keributan ini. Aku dan Nana segera masuk ke dalam mobil. Dari kaca spion mobil, aku melihat Mas Wijaya langsung masuk kembali ke dalam tokonya tanpa memperdulikan Lastri. Sedangkan Lastri masih berdiri mematung dengan menggendong anaknya.

Sambil menyalakan mesin mobil, netra ini masih memperhatikan keberadaan Lastri. Aku melihat wajah Lastri berubah sedih. Tak lama, air mata jatuh dari sudut matanya. Entah mengapa, bukannya senang, justru aku merasa iba padanya. Sebagai seorang wanita, tentu saja aku tahu apa yang

dirasakan oleh Lastri saat ini. Apalagi, sudah ada anak dari hasil buah cinta mereka. Pastilah, anak itu akan menjadi korban apabila orang tuanya sampai benar-benar berpisah.

Aku menggeleng cepat dan mulai menyadarkan diri. Aku tak boleh larut dengan perasaan iba. Sebab, apa yang dirasakan oleh Lastri saat ini tak sebanding dengan apa yang aku rasakan dulu.

Aku segera memacu mobilku dengan kecepatan sedang menuju pulang ke rumah. Tak kupedulikan Lastri yang masih berdiri di depan toko Mas Wijaya. Sebenarnya, bisa saja aku memberikan tumpangan padanya. Tapi melihat sikap buruk Lastri, aku tak sudi mobilku dikotori oleh perempuan laknat seperti dirinya.

"Bu, mereka tadi itu siapa? Apa Bu Alma kenal?" tanya Nana yang membuatku tersadar dari lamunan.

Nana memang belum mengenal Mas Wijaya dan Lastri. Sebab, Nana baru sehari tinggal di rumahku. Aku juga bingung harus menjelaskan tentang mereka pada Nana. Nana masih terlalu muda untuk mengetahui permasalahan pelikku di masa lalu.

"Mereka tetangga kita, Na," jawabku singkat.

"Sepertinya, wanita itu membenci Bu Alma?"

"Entahlah, Na. Saya juga gak ngerti," jawabku pelan.

Nana langsung terdiam dan tak banyak bertanya lagi. Mungkin Nana tak enak padaku sebab aku lebih banyak diam. Biarlah, tanpa perlu banyak bercerita, suatu saat, Nana pasti akan mengetahui permasalahan ini.

********

Bab terkait

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 7

    Aku mematut diri di depan cermin. Wajah putih glowing, hidung mancung dan dagu yang sedikit lancip, menambah sempurnanya paras dan bentuk wajah ini. Belum lagi, leher jenjang dan tubuh langsing membuat aku semakin percaya diri. Tapi merawat tubuh hingga seperti ini tidaklah mudah. Aku butuh waktu satu tahun untuk mendapatkan tubuh seideal ini. Aku bahkan sampai harus jatuh sakit karena menjalani diet ketat. Mungkin jika tak ingat ambisiku untuk bisa langsing, aku tak akan melakukan diet itu.Dulu, saat aku masih menjadi istri Mas Wijaya, jangankan merawat diri, ingin makan enak saja aku tak pernah bisa. Jika ingin makan enak, aku harus pulang dulu ke rumah ibuku. Itupun harus menempuh perjalanan jauh dari kampung ini. Aku masih ingat jelas, bagaimana menderitanya diriku saat menjadi istri Mas Wijaya. Setiap hari, aku hanya makan lauk pauk seadanya. Sambal terasi dan ikan asin adalah menu andalanku. Meskipun tak pernah makan enak, anehnya, tubuhku semakin bertambah gemuk. Mungkin kare

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 8

    Lastri langsung memukul lengan Mas Wijaya karena aksinya meyapaku. Lalu menarik kasar tangan Mas Wijaya untuk masuk ke dalam rumah. Mereka terlihat adu mulut sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa dengan jelas mendengarnya. Wajar saja, istri mana yang tak marah bila suaminya malah menyapa wanita lain di depan istrinya sendiri. Bahkan, keberadaan Lastri seolah tak dianggap oleh Mas Wijaya.Aku segera menutup rolling door toko dan segera masuk untuk mandi dan membersihkan diri. Aku sedikit bingung dengan hubungan rumah tangga Lastri dan Mas Wijaya. Aku merasa, hubungan mereka memang tak harmonis. Aku pikir, selama ini mereka hidup bahagia. Tapi nyatanya tidak, bisa jadi itu memang sebuah karma yang Tuhan berikan untuk mereka karena pernah mendzolimi aku."Bu Alma, makan malam udah siap," kata Nana yang berpapasan denganku."Iya, Na. Nanti saja kita makan bersama setelah sholat magrib. Aku mau mandi dulu.""Iya, Bu."Aku bergegas masuk ke dal

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 9

    Aku tersenyum miring melihat layar ponselku yang masih menampilkan nominal uang yang baru saja ditranfer oleh Mas Wijaya. Meskipun nominal uang ini belum sebanding dengan uang yang sudah ia ambil dariku, tapi ini sudah cukup lumayan. Setidaknya, ini awal yang baik. Aku akan pastikan, akan ada uang-uang yang lainnya yang akan aku dapatkan dari Mas Wijaya.Setelah semua uangku yang pernah diambil oleh Mas Wijaya sudah terkumpul semuanya, barulah aku akan pergi meninggalkannya. Aku jadi tak sabar, melihat reaksi Mas Wijaya seandainya ia tahu rencana licikku ini. Agar ia juga merasakan, bagaimana rasa sakit yang pernah aku rasakan dulu.Sebuah notif pesan masuk dalam ponselku. Ternyata pesan itu dari Mas Wijaya.["Al, aku udah kirim uangnya ke nomor rekening kamu.] Isi pesan dari Mas Wijaya. Benar dugaanku, uang masuk itu memang dari Mas Wijaya.["Terima kasih, Mas."] balasku. Aku menutup ponselku kembali dan memasukkannya dalam kecil yang aku bawa.Aku kembali berjalan ke area pasar yang

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 10

    "Nana, Nana ...!" panggilku berulang kali. Tapi tak ada jawaban dari Nana.Aku berjalan menuju ruang makan, makanan untuk sarapan sudah tersaji di meja makan. Dapur juga sudah terlihat bersih dan rapi. Tak ada tumpukan cucian piring dan bekas perabot untuk memasak. Lantai rumah juga sudah bersih dan juga wangi seperti habis dipel. Lalu, kemana perginya Nana?Aku mendesah kesal, harusnya saat ini aku sudah siap untuk membuka toko. Jika Nana tak ada, siapa yang akan membantuku menurunkan barang belanjaan di mobil yang lumayan banyak? Aku sedikit khawatir dengan kepergian Nana. Entahlah, pikiran-pikiran buruk tiba-tiba membuat hati ini gusar.Aku berjalan menuju kamar Nana, ingin memastikan bahwa Nana tak pergi dari rumah. Sebab itulah yang aku pikirkan saat ini. Aku membuka lemari baju Nana. Semua baju Nana masih tersusun rapi di sana. Aku bernapas lega, ternyata, apa yang aku pikirkan salah. Mungkin saja saat ini Nana hanya keluar rumah sebentar. Sepertinya, pemikiranku terlalu berlebi

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 11

    Aku menarik handle jendela yang berada di bagian bawah dengan sangat kuat. Hingga jari jemari tangan pria bermasker dan bertopi itu yang menyembul di bagian dalam terjepit di antara sela-sela kayu kusen dan kayu jendela. Pria itu berteriak kesakitan. Meskipun aku merasa sangat ketakutan, aku mencoba memberanikan diri untuk melawan. Untung saja, lampu kamar menyala terang. Sebab aku memang tak bisa tidur dalam keadaan gelap."Nana! Nana! Tolong!" teriakku memanggil Nana. Tanganku masih memegang kuat handle jendela.Pria itu masih berusaha untuk menarik tangannya sambil mengaduh kesakitan. Rasakan! Siapa suruh ia datang ke rumahku dengan cara seperti ini. Aku yakin, pria itu pasti punya niat jahat padaku.Tok! Tok! Tok!Nana mengetuk pintu kamarku. "Bu Alma! Bu Alma! Apa yang terjadi, Bu!" teriak suara Nana dari balik pintu kamarku.Aku baru ingat, pintu kamarku terkunci dari dalam. Hingga Nana tak bisa masuk untuk menolongku.Brak! Brak!Pria itu menggebrak kaca jendela kamarku dengan

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 12

    Aku mencoba mengenali pria itu dari motornya. Sayangnya, aku belum lama tinggal di kampung ini. Motornya juga terlihat masih baru dan belum terpasang plat nomor polisi. Motor itu melaju duluan, ternyata ia juga sama-sama ingin menyeberangi jalan raya. Segera aku mengikuti motor itu. Siapa tahu, aku akan mendapatkan petunjuk.Untung saja, jalanan pagi ini cukup sepi. Jadi aku bisa dengan mudah mengikuti motor yang dikemudikan pria misterius itu. Setelah sampai di pertigaan, tiba-tiba saja pria itu berbelok arah ke kanan dan memancu motornya dengan kecepatan tinggi. Aku berusaha menambah kecepatan mobilku. Tapi sayangnya, aku kehilangan jejak. Apa mungkin, pria itu tahu aku mengikutinya?Aku semakin yakin bahwa pria itulah yang pernah datang ke rumahku malam itu dan mencoba masuk ke dalam kamarku. Aku mencoba tetap melajukan mobilku untuk menemukan pria itu. Tetapi tetap saja tak berhasil. Sial! Kemana perginya pria itu? Lain kali, aku pasti akan menemukannya. Sebab aku yakin, pria itu t

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 13

    "Belanjaan kamu udah siap, Al," kata Mas Wijaya yang kini sudah duduk di depan meja kerjanya."Terima kasih, Mas. Jadi totalnya berapa, Mas?""Totalnya delapan juta. Tapi kamu gak usah bayar deh. Aku kasih gratis buat kamu.""Yang benar, Mas? Kamu baik banget deh, Mas. Sering sekali kasih aku gratisan," kataku dengan senyuman mengembang."Ini sih belum seberapa kali, Al. Coba kalau kamu mau jadi istriku lagi, apapun yang kamu mau, pasti aku turuti. Bahkan kalau kamu minta ambilkan bulan sekalipun, aku akan ambilkan untukmu.""Gombal deh kamu, Mas.""Kok gombal? Aku serius, Al. Kamu perlu apa, kasih tahu aku? Pasti aku akan kasih untuk kamu.""Kamu serius, Mas?""Iya, Alma Sayang ... duh, aku harus gimana lagi sih biar kamu percaya?"Mas Wijaya tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Lalu ia duduk di atas meja kerjanya di depanku."Iya deh, Mas, aku percaya kok.""Al, aku sayang banget sama kamu. Kamu mau ya, nikah lagi sama aku?" tanya Mas Wijaya lalu memegang tanganku. Membuat aku se

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 14

    "Mas, apa kamu yang udah transfer uang ini?" tanyaku pada Mas Wijaya. Mataku masih memandang nominal uang di layar ponsel."Iya, Al. Itu sebagai tanda permintaan maaf aku buat kamu," jawab Mas Wijaya tersenyum."Tapi ini terlalu banyak, Mas.""Ya ampun, Al. Uang segitu gak ada artinya buat aku. Seandainya kamu mau jadi istri aku lagi. Aku akan kasih berapapun yang kamu mau. Kalau perlu, semua uang aku akan jadi milik kamu," kata Mas Wijaya dengan nada bicara terdengar sombong.Mas Wijaya selalu saja meninggi, seolah ia memiliki segalanya. Padahal, apa yang ia miliki saat ini tak lepas dari peranku. Aku yang dulu mati-matian bekerja, tapi ia yang saat ini menikmati hasilnya. Apakah ia tak merasa malu padaku? Atau mungkin, ia sudah amnesia dan melupakan perbuatan dzolimnya padaku.Biarlah, saat ini ia bersikap sombong. Tetapi, aku akan pastikan suatu hari nanti sikap sombongnya akan berubah dengan tangisan. Aku ingin lihat, bagaimana ia jatuh terpuruk hingga hancur sehancur-hancurnya ke

Bab terbaru

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 39

    "Permisi, Bu," ucapku pada pemilik warung yang sedang menata jajanan di depan warungnya. Pemilik warung itu seorang ibu-ibu paruh baya yang wajahnya terlihat teduh."Oh, iya, ada apa ya, Mbak?" tanyanya ramah."Maaf, saya mau tanya, apa Ibu tahu rumah Pak RT?" tanyaku sopan."Oh iya, Mbak, kebetulan ini rumah Pak RT. Saya istrinya. Tapi ngomong-ngomong, ada perlu apa ya, Mbak? Sepertinya, Mbak ini bukan warga sekitar sini?" tanyanya bingung."Iya, Bu. Saya memang bukan warga sini. Perkenalkan, saya Alma. Saya ingin tanya, apa Ibu tahu rumah kecil bercat biru itu milik siapa?" tanyaku sambil menunjuk rumah yang di dalamnya dihuni oleh Mas Adit dan Nana. Jarak dari sini ke rumah itu hanya berselang tiga rumah saja."Oh iya, Mbak, kebetulan rumah itu milik saya dan suami saya. Dan sekarang lagi dikontrakkan. Dan yang menempati rumah itu namanya Mas Adit, Mbak," jawab Bu RT.Benar dugaanku, pria itu memanglah Mas Adit. Tetapi, untuk apa ia mengontrak di rumah itu? Apa itu salah satu tempa

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 38

    Aku segera berjalan ke depan toko ketika Nana telah masuk ke dalam rumah. Dan duduk di kursi yang berada di depan toko. Dari sini, aku bisa memantau dan melihat Nana saat keluar dari rumahku nanti. Setelah memastikan Nana keluar dari rumah, barulah aku akan mengikutinya. Lima belas menit kemudian, Nana terlihat keluar dari pagar rumahku. Nana terlihat sudah rapi menggunakan celana jeans panjang yang dipadukan dengan kaos berwarna putih dengan sweater tipis berwarna pink cerah. Aku berpura-pura bermain ponsel, seolah tak memperhatikan Nana. Setelah Nana mulai berjalan, barulah aku segera masuk untuk menutup toko dengan cepat.Setelah itu, aku segera menyambar kontak mobilku dan berjalan dengan tergesa ke luar rumah. Aku harus bisa keluar secepat mungkin agar tak kehilangan jejak Nana. Setelah mengunci pintu rumah dan pintu pagar, barulah aku segera mengendarai mobil yang kini sudah berada di depan rumahku. Tepat saat mobilku tiba di ujung gang arah rumahku, Nana terlihat baru masuk ke

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 37

    "Mas Adit yang tadi pagi sempat mukuli istrinya loh, Na. Itu namanya Mas Adit, kalau istrinya namanya Mbak Rossi," jawabku."Oh, saya gak kenal kok, Bu.""Saya pikir, kamu kenal. Kasian ya, Na, Mbak Rossi sampai dipukuli dan dianiaya seperti itu. Kalau saya jadi Mbak Rossi, sudah pasti saya akan laporkan Mas Adit ke polisi. Biar dia dipenjara sekalian!" kataku dengan nada kesal."Di-dipenjara, Bu? Apa mungkin bisa?" tanya Nana seolah penasaran."Ya bisa dong, Na. Itukan udah masuk pasal KDRT dan penganiayaan. Mereka kan masih suami istri. Apalagi, saksinya juga banyak kan? Saya kesal deh, Na," jawabku."Apa kemungkinan besar Mas Adit akan dipenjara kalau sampai Mbak Rossi melaporkan Mas Adit ke polisi, Bu?""Tentu saja.""Lalu, bagaimana caranya supaya Mas Adit gak dipenjara, Bu?""Ya itu tergantung Mbak Rossi lah, Na. Kalau dia mau berdamai dengan Mas Adit dan tidak melaporkan kasus ini ke polisi, Mas Adit akan aman. Tapi saya gak yakin, Na, kalau Mbak Rossi mau berdamai. Apa lagi, M

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 36

    POV AlmaAku merasa iba dengan keadaan Mbak Rossi yang terlihat babak belur karena dipukuli Mas Adit. Aku tak menyangka, Mas Adit begitu tega melakukan itu pada istrinya sendiri. Sebab yang kutahu, Mas Adit tipe pria yang pendiam dan tak banyak bicara. Dan setahuku, Mas Adit juga termasuk pria baik yang tak pernah membuat ulah.Aku juga merasa terkejut, ketika mendengar kasak-kusuk dari warga sekitar yang membicarakan bahwa Mas Adit selingkuh. Aku tak tahu berita itu benar atau tidak, tapi yang jelas, aku sangat terkejut. Tak sangka, diam-diam Mas Adit berselingkuh di belakang Mbak Rossi. Entah aku harus merasa iba, atau malah justru sebaliknya. Aku merasa, ini adalah sebuah karma yang diterima oleh Mbak Rossi.Aku jadi teringat akan kejadian masa lalu, dimana Mbak Rossi dan mantan ibu mertua mendukung perselingkuhan Mas Wijaya dan Lastri. Hatiku sangat hancur dan terluka saat itu atas ulah mereka semua. Dan kini, Mbak Rossi juga merasakan bagaimana sakitnya diselingkuhi. Bedanya, Mas

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 35

    "Apa Ibu tahu Adit sial*n itu sekarang ada di mana?""Ibu gak tahu, tadi warga sekitar rumah kita sempat mengamankan dia. Ibu hanya fokus membawa Rossi ke rumah sakit karena kamu bisa lihat sendiri bagaimana kondisi Rossi saat ini," jelas Ibu."Ya sudah, Bu, kalau begitu aku mau pulang sekarang. Aku mau cari si Adit sampai dapat!" kataku kesal."Iya, Wijaya. Tapi sebelum kamu pulang, tolong kamu bayar dulu biaya administrasi rumah sakit. Ibu gak ada uang banyak," kata Ibu."Iya, Bu. Ya sudah, nanti aku mampir dulu ke kasir. Ibu bisa kan jagain Mbak Rossi sendirian? Kalau ada apa-apa, Ibu langsung hubungi aku saja," kataku."Iya, Ibu bisa kok.""Ya sudah, aku pulang dulu, Bu.""Iya, kamu hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setelah pamit pada Ibu, aku segera berjalan ke kasir untuk membayar biaya administrasi perawatan Mbak Rossi. Setelah selesai, aku segera menuju parkiran rumah sakit untuk pulang ke rumah.Isi kepala ini rasanya begitu panas, belum puas rasanya jika belum memberi pelajara

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 34

    "Mbak, kenapa kamu jadi menyalahkan aku? Mbak Rosi gak ingat, bukankah dulu, Mbak Rosi juga ikut mendukung perselingkuhanku dengan Lastri? Apa Mbak Rosi sudah lupa?" tanyaku penuh penekanan.Aku tak terima jika Mbak Rosi hanya menyalahkan aku semata. Seolah hanya aku saja yang bersalah. Padahal jelas, ia dan Ibu juga terlibat dalam perselingkuhanku. Bahkan, Ibu dan Mbak Rosi yang menyuruhku untuk menceraikan Alma. Padahal sebenarnya, meskipun aku dulu selingkuh dengan Lastri, aku tak ada niat untuk menceraikan Alma.Karena Ibu dan Mbak Rosi selalu mengompor-ngomporiku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengusir dan menceraikan Alma. Meskipun penampilan Alma buruk rupa, tetapi aku masih memiliki perasaan padanya. Aku sebenarnya tak tega, sebab berkat Alma lah aku bisa sukses seperti sekarang ini.Jika membicarakan tentang karma, itu juga bukan sepenuhnya kesalahanku. Bisa jadi, karma itu datang karena ulah Mbak Rosi sendiri. Sebagai sesama wanita, harusnya Mbak Rossi tahu bagaimana

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 33

    Setelah sampai di parkiran rumah sakit, aku bergegas menuju ruangan tempat Mbak Rosi dirawat. Setelah sampai, ake segera masuk dan menemui Ibu dan Mbak Rosi. Aku merasa terkejut ketika melihat keadaan Mbak Rosi. Terlihat banyak memar dan lebam di wajahnya. Di keningnya juga tertempel perban kecil menandakan bahwa keningnya terluka.Di dalam ruangan, hanya ada Ibu seorang diri. Tak kulihat ada Mas Adit ataupun Vira anak mereka. Melihat kehadiranku, Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan Mbak Rosi sama sekali tak menoleh. Ia terlihat diam, sambil matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Jujur saja, hatiku langsung sesak melihat kondisi Mbak Rossi."A-apa yang terjadi, Bu? Di mana Mas Adit?" tanyaku pada Ibu. Aku saat ini telah berada di samping Ibu.Ibu hanya diam tak mau menjawab pertanyaan dariku. Justru, Ibu malah terlihat menangis terisak. Aku jadi makin bingung. Melihat luka Mbak Rosi, aku yakin ini bukan luka kecelakaan. Melainkan luka pukulan ataupun peng

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 32

    ["Mas, mana uangnya? Kok belum ditransfer?"] Sebuah pesan masuk dari Lastri.Aku hanya membaca pesan dari Lastri tanpa ada niat untuk membalasnya. Aku sendiri sedang pusing memikirkan keuanganku yang mulai menipis, tetapi Lastri tahunya hanya minta uang saja. Aku heran dengannya, jika dihitung-hitung, setiap bulan aku selalu memberikan uang sebesar lima belas hingga dua puluh jutaan lebih setiap bulannya. Tetapi, Lastri seolah tak pernah cukup dengan uang yang aku beri.Mulai sekarang, aku tak ingin lagi memanjakan uang untuk Lastri. Aku harus benar-benar memperhitungkan jumlah uang yang aku berikan padanya. Agar aku bisa mengontrol pengeluaranku. Dering ponsel membuyarkan aku dari lamunan. Terlihat panggilan telepon dari Lastri. Aku berusaha mengabaikan telepon dari Lastri, tapi sepertinya Lastri tak menyerah untuk terus menghubungiku. Mau tak mau, aku mengangkat panggilan telepon darinya.["Mas, kok kamu cuma baca pesan dari aku sih? Mana uangnya? Kenapa belum kamu transfer?"] oceh

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 31

    "Kamu lagi ngapain, Mas? Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Lastri."Aku lagi chatan sama teman," jawabku singkat."Hmm ... ini, Mas, mienya. Katanya laper," kata Lastri memberikan semangkuk mie padaku."Kok cuma satu, kamu gak makan?""Enggak, Mas, aku udah makan tadi. Oh ya, Mas, besok aku minta uang lagi dong," kata Lastri dengan nada manja. Aku yang sedang menikmati mie buatannya seketika menoleh."Uang lagi? Untuk apa?""Ya buat perawatan lagi lah, Mas. Aku pengen gemukin badan. Biar kamu tambah sayang sama aku, Mas," jawab Lastri."Enggak perlu lah, Las. Kamu udah cantik kok. Ngapain pakai gemukin badan?""Kan biar lebih gemoy, Mas. Biar gak kalah saing sama si Alma.""Duh, udah deh, Las. Percuma kamu mau nyaingin si Alma. Mau kamu gemuk juga tetap cantikan Alma," kataku."Kok kamu gitu sih, Mas! Aku udah perawatan maksimal gini malah kamu banding-bandingin sama Alma!""Lah, bukannya kamu sendiri tadi yang mau saingan sama Alma?""Tau ah! Kamu benar-benar suami yang gak punya per

DMCA.com Protection Status