Aku tersenyum miring melihat layar ponselku yang masih menampilkan nominal uang yang baru saja ditranfer oleh Mas Wijaya. Meskipun nominal uang ini belum sebanding dengan uang yang sudah ia ambil dariku, tapi ini sudah cukup lumayan. Setidaknya, ini awal yang baik. Aku akan pastikan, akan ada uang-uang yang lainnya yang akan aku dapatkan dari Mas Wijaya.Setelah semua uangku yang pernah diambil oleh Mas Wijaya sudah terkumpul semuanya, barulah aku akan pergi meninggalkannya. Aku jadi tak sabar, melihat reaksi Mas Wijaya seandainya ia tahu rencana licikku ini. Agar ia juga merasakan, bagaimana rasa sakit yang pernah aku rasakan dulu.Sebuah notif pesan masuk dalam ponselku. Ternyata pesan itu dari Mas Wijaya.["Al, aku udah kirim uangnya ke nomor rekening kamu.] Isi pesan dari Mas Wijaya. Benar dugaanku, uang masuk itu memang dari Mas Wijaya.["Terima kasih, Mas."] balasku. Aku menutup ponselku kembali dan memasukkannya dalam kecil yang aku bawa.Aku kembali berjalan ke area pasar yang
"Nana, Nana ...!" panggilku berulang kali. Tapi tak ada jawaban dari Nana.Aku berjalan menuju ruang makan, makanan untuk sarapan sudah tersaji di meja makan. Dapur juga sudah terlihat bersih dan rapi. Tak ada tumpukan cucian piring dan bekas perabot untuk memasak. Lantai rumah juga sudah bersih dan juga wangi seperti habis dipel. Lalu, kemana perginya Nana?Aku mendesah kesal, harusnya saat ini aku sudah siap untuk membuka toko. Jika Nana tak ada, siapa yang akan membantuku menurunkan barang belanjaan di mobil yang lumayan banyak? Aku sedikit khawatir dengan kepergian Nana. Entahlah, pikiran-pikiran buruk tiba-tiba membuat hati ini gusar.Aku berjalan menuju kamar Nana, ingin memastikan bahwa Nana tak pergi dari rumah. Sebab itulah yang aku pikirkan saat ini. Aku membuka lemari baju Nana. Semua baju Nana masih tersusun rapi di sana. Aku bernapas lega, ternyata, apa yang aku pikirkan salah. Mungkin saja saat ini Nana hanya keluar rumah sebentar. Sepertinya, pemikiranku terlalu berlebi
Aku menarik handle jendela yang berada di bagian bawah dengan sangat kuat. Hingga jari jemari tangan pria bermasker dan bertopi itu yang menyembul di bagian dalam terjepit di antara sela-sela kayu kusen dan kayu jendela. Pria itu berteriak kesakitan. Meskipun aku merasa sangat ketakutan, aku mencoba memberanikan diri untuk melawan. Untung saja, lampu kamar menyala terang. Sebab aku memang tak bisa tidur dalam keadaan gelap."Nana! Nana! Tolong!" teriakku memanggil Nana. Tanganku masih memegang kuat handle jendela.Pria itu masih berusaha untuk menarik tangannya sambil mengaduh kesakitan. Rasakan! Siapa suruh ia datang ke rumahku dengan cara seperti ini. Aku yakin, pria itu pasti punya niat jahat padaku.Tok! Tok! Tok!Nana mengetuk pintu kamarku. "Bu Alma! Bu Alma! Apa yang terjadi, Bu!" teriak suara Nana dari balik pintu kamarku.Aku baru ingat, pintu kamarku terkunci dari dalam. Hingga Nana tak bisa masuk untuk menolongku.Brak! Brak!Pria itu menggebrak kaca jendela kamarku dengan
Aku mencoba mengenali pria itu dari motornya. Sayangnya, aku belum lama tinggal di kampung ini. Motornya juga terlihat masih baru dan belum terpasang plat nomor polisi. Motor itu melaju duluan, ternyata ia juga sama-sama ingin menyeberangi jalan raya. Segera aku mengikuti motor itu. Siapa tahu, aku akan mendapatkan petunjuk.Untung saja, jalanan pagi ini cukup sepi. Jadi aku bisa dengan mudah mengikuti motor yang dikemudikan pria misterius itu. Setelah sampai di pertigaan, tiba-tiba saja pria itu berbelok arah ke kanan dan memancu motornya dengan kecepatan tinggi. Aku berusaha menambah kecepatan mobilku. Tapi sayangnya, aku kehilangan jejak. Apa mungkin, pria itu tahu aku mengikutinya?Aku semakin yakin bahwa pria itulah yang pernah datang ke rumahku malam itu dan mencoba masuk ke dalam kamarku. Aku mencoba tetap melajukan mobilku untuk menemukan pria itu. Tetapi tetap saja tak berhasil. Sial! Kemana perginya pria itu? Lain kali, aku pasti akan menemukannya. Sebab aku yakin, pria itu t
"Belanjaan kamu udah siap, Al," kata Mas Wijaya yang kini sudah duduk di depan meja kerjanya."Terima kasih, Mas. Jadi totalnya berapa, Mas?""Totalnya delapan juta. Tapi kamu gak usah bayar deh. Aku kasih gratis buat kamu.""Yang benar, Mas? Kamu baik banget deh, Mas. Sering sekali kasih aku gratisan," kataku dengan senyuman mengembang."Ini sih belum seberapa kali, Al. Coba kalau kamu mau jadi istriku lagi, apapun yang kamu mau, pasti aku turuti. Bahkan kalau kamu minta ambilkan bulan sekalipun, aku akan ambilkan untukmu.""Gombal deh kamu, Mas.""Kok gombal? Aku serius, Al. Kamu perlu apa, kasih tahu aku? Pasti aku akan kasih untuk kamu.""Kamu serius, Mas?""Iya, Alma Sayang ... duh, aku harus gimana lagi sih biar kamu percaya?"Mas Wijaya tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Lalu ia duduk di atas meja kerjanya di depanku."Iya deh, Mas, aku percaya kok.""Al, aku sayang banget sama kamu. Kamu mau ya, nikah lagi sama aku?" tanya Mas Wijaya lalu memegang tanganku. Membuat aku se
"Mas, apa kamu yang udah transfer uang ini?" tanyaku pada Mas Wijaya. Mataku masih memandang nominal uang di layar ponsel."Iya, Al. Itu sebagai tanda permintaan maaf aku buat kamu," jawab Mas Wijaya tersenyum."Tapi ini terlalu banyak, Mas.""Ya ampun, Al. Uang segitu gak ada artinya buat aku. Seandainya kamu mau jadi istri aku lagi. Aku akan kasih berapapun yang kamu mau. Kalau perlu, semua uang aku akan jadi milik kamu," kata Mas Wijaya dengan nada bicara terdengar sombong.Mas Wijaya selalu saja meninggi, seolah ia memiliki segalanya. Padahal, apa yang ia miliki saat ini tak lepas dari peranku. Aku yang dulu mati-matian bekerja, tapi ia yang saat ini menikmati hasilnya. Apakah ia tak merasa malu padaku? Atau mungkin, ia sudah amnesia dan melupakan perbuatan dzolimnya padaku.Biarlah, saat ini ia bersikap sombong. Tetapi, aku akan pastikan suatu hari nanti sikap sombongnya akan berubah dengan tangisan. Aku ingin lihat, bagaimana ia jatuh terpuruk hingga hancur sehancur-hancurnya ke
Ting!Sebuah suara notifikasi pesan membuyarkan aku dari lamunan. Ternyata pesan dari Mas Wijaya. Ia mengirim pesan padaku bahwa ia sebentar lagi akan tiba di pusat perbelanjaan tempat kami janjian bertemu. Setelah membalas pesan darinya, aku segera bersiap untuk pergi. Sebelum pergi, tak lupa aku mengunci pintu kamar. Hal ini aku lakukan untuk berjaga-jaga agar barang-barang milikku tak hilang lagi."Na, saya pergi dulu ya?" kataku pada Nana yang sedang duduk di depan televisi sambil melipat pakaian."Oh, iya, Bu, hati-hati di jalan.""Iya, Na. Oh ya, Na, apa sebelumnya kamu pernah membawa masuk teman ke rumah ini? Atau, ada tetangga yang pernah main ke rumah ini?" tanyaku, sebelum pergi."Enggak ada, Bu. Saya kan gak ada teman di sini. Gak ada juga tetangga yang pernah datang ke sini. Yang ada, saya yang suka main ke rumah tetangga. Memang kenapa, Bu?" jawab Nana sekaligus bertanya."Gak papa, Na. Saya cuma tanya aja kok. Ya sudah, saya pergi dulu.""Iya, Bu."Aku segera keluar dari
Mas Wijaya langsung menyerahkan kartu kreditnya pada sang karyawan untuk pembayaran kalung yang aku suka ini. Tanpa banyak berpikir dan tak ada sedikitpun rasa keberatan darinya. Seolah harga kalung ini tak ada artinya bagi Mas Wijaya. Aku yakin, uang Mas Wijaya pastilah sangat banyak. Hingga ia mampu membelanjakan aku pakaian serta perhiasan dan lainnya hingga mencapai lebih dari seratus juta rupiah hari ini. Angka yang cukup fantastis bagiku."Mas, kamu yakin mau belikan kalung ini untuk aku?" tanyaku pada Mas Wijaya. Aku masih memandang takjub kalung yang ada di tanganku saat ini."Yakinlah, Al. Anggap saja itu hadiah karena kamu udah nemenin aku belanja hari ini," jawab Mas Wijaya tersenyum."Terima kasih ya, Mas. Kamu baik banget. Udah belanjain aku, dan sekarang malah beliin aku kalung mahal," ucapku dengan binar mata seolah terharu. Agar Mas Wijaya merasa senang melihatku terharu menerima pemberiannya."Aku kan udah bilang sama kamu, Al, apapun akan aku berikan untuk kamu. Apal
"Permisi, Bu," ucapku pada pemilik warung yang sedang menata jajanan di depan warungnya. Pemilik warung itu seorang ibu-ibu paruh baya yang wajahnya terlihat teduh."Oh, iya, ada apa ya, Mbak?" tanyanya ramah."Maaf, saya mau tanya, apa Ibu tahu rumah Pak RT?" tanyaku sopan."Oh iya, Mbak, kebetulan ini rumah Pak RT. Saya istrinya. Tapi ngomong-ngomong, ada perlu apa ya, Mbak? Sepertinya, Mbak ini bukan warga sekitar sini?" tanyanya bingung."Iya, Bu. Saya memang bukan warga sini. Perkenalkan, saya Alma. Saya ingin tanya, apa Ibu tahu rumah kecil bercat biru itu milik siapa?" tanyaku sambil menunjuk rumah yang di dalamnya dihuni oleh Mas Adit dan Nana. Jarak dari sini ke rumah itu hanya berselang tiga rumah saja."Oh iya, Mbak, kebetulan rumah itu milik saya dan suami saya. Dan sekarang lagi dikontrakkan. Dan yang menempati rumah itu namanya Mas Adit, Mbak," jawab Bu RT.Benar dugaanku, pria itu memanglah Mas Adit. Tetapi, untuk apa ia mengontrak di rumah itu? Apa itu salah satu tempa
Aku segera berjalan ke depan toko ketika Nana telah masuk ke dalam rumah. Dan duduk di kursi yang berada di depan toko. Dari sini, aku bisa memantau dan melihat Nana saat keluar dari rumahku nanti. Setelah memastikan Nana keluar dari rumah, barulah aku akan mengikutinya. Lima belas menit kemudian, Nana terlihat keluar dari pagar rumahku. Nana terlihat sudah rapi menggunakan celana jeans panjang yang dipadukan dengan kaos berwarna putih dengan sweater tipis berwarna pink cerah. Aku berpura-pura bermain ponsel, seolah tak memperhatikan Nana. Setelah Nana mulai berjalan, barulah aku segera masuk untuk menutup toko dengan cepat.Setelah itu, aku segera menyambar kontak mobilku dan berjalan dengan tergesa ke luar rumah. Aku harus bisa keluar secepat mungkin agar tak kehilangan jejak Nana. Setelah mengunci pintu rumah dan pintu pagar, barulah aku segera mengendarai mobil yang kini sudah berada di depan rumahku. Tepat saat mobilku tiba di ujung gang arah rumahku, Nana terlihat baru masuk ke
"Mas Adit yang tadi pagi sempat mukuli istrinya loh, Na. Itu namanya Mas Adit, kalau istrinya namanya Mbak Rossi," jawabku."Oh, saya gak kenal kok, Bu.""Saya pikir, kamu kenal. Kasian ya, Na, Mbak Rossi sampai dipukuli dan dianiaya seperti itu. Kalau saya jadi Mbak Rossi, sudah pasti saya akan laporkan Mas Adit ke polisi. Biar dia dipenjara sekalian!" kataku dengan nada kesal."Di-dipenjara, Bu? Apa mungkin bisa?" tanya Nana seolah penasaran."Ya bisa dong, Na. Itukan udah masuk pasal KDRT dan penganiayaan. Mereka kan masih suami istri. Apalagi, saksinya juga banyak kan? Saya kesal deh, Na," jawabku."Apa kemungkinan besar Mas Adit akan dipenjara kalau sampai Mbak Rossi melaporkan Mas Adit ke polisi, Bu?""Tentu saja.""Lalu, bagaimana caranya supaya Mas Adit gak dipenjara, Bu?""Ya itu tergantung Mbak Rossi lah, Na. Kalau dia mau berdamai dengan Mas Adit dan tidak melaporkan kasus ini ke polisi, Mas Adit akan aman. Tapi saya gak yakin, Na, kalau Mbak Rossi mau berdamai. Apa lagi, M
POV AlmaAku merasa iba dengan keadaan Mbak Rossi yang terlihat babak belur karena dipukuli Mas Adit. Aku tak menyangka, Mas Adit begitu tega melakukan itu pada istrinya sendiri. Sebab yang kutahu, Mas Adit tipe pria yang pendiam dan tak banyak bicara. Dan setahuku, Mas Adit juga termasuk pria baik yang tak pernah membuat ulah.Aku juga merasa terkejut, ketika mendengar kasak-kusuk dari warga sekitar yang membicarakan bahwa Mas Adit selingkuh. Aku tak tahu berita itu benar atau tidak, tapi yang jelas, aku sangat terkejut. Tak sangka, diam-diam Mas Adit berselingkuh di belakang Mbak Rossi. Entah aku harus merasa iba, atau malah justru sebaliknya. Aku merasa, ini adalah sebuah karma yang diterima oleh Mbak Rossi.Aku jadi teringat akan kejadian masa lalu, dimana Mbak Rossi dan mantan ibu mertua mendukung perselingkuhan Mas Wijaya dan Lastri. Hatiku sangat hancur dan terluka saat itu atas ulah mereka semua. Dan kini, Mbak Rossi juga merasakan bagaimana sakitnya diselingkuhi. Bedanya, Mas
"Apa Ibu tahu Adit sial*n itu sekarang ada di mana?""Ibu gak tahu, tadi warga sekitar rumah kita sempat mengamankan dia. Ibu hanya fokus membawa Rossi ke rumah sakit karena kamu bisa lihat sendiri bagaimana kondisi Rossi saat ini," jelas Ibu."Ya sudah, Bu, kalau begitu aku mau pulang sekarang. Aku mau cari si Adit sampai dapat!" kataku kesal."Iya, Wijaya. Tapi sebelum kamu pulang, tolong kamu bayar dulu biaya administrasi rumah sakit. Ibu gak ada uang banyak," kata Ibu."Iya, Bu. Ya sudah, nanti aku mampir dulu ke kasir. Ibu bisa kan jagain Mbak Rossi sendirian? Kalau ada apa-apa, Ibu langsung hubungi aku saja," kataku."Iya, Ibu bisa kok.""Ya sudah, aku pulang dulu, Bu.""Iya, kamu hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setelah pamit pada Ibu, aku segera berjalan ke kasir untuk membayar biaya administrasi perawatan Mbak Rossi. Setelah selesai, aku segera menuju parkiran rumah sakit untuk pulang ke rumah.Isi kepala ini rasanya begitu panas, belum puas rasanya jika belum memberi pelajara
"Mbak, kenapa kamu jadi menyalahkan aku? Mbak Rosi gak ingat, bukankah dulu, Mbak Rosi juga ikut mendukung perselingkuhanku dengan Lastri? Apa Mbak Rosi sudah lupa?" tanyaku penuh penekanan.Aku tak terima jika Mbak Rosi hanya menyalahkan aku semata. Seolah hanya aku saja yang bersalah. Padahal jelas, ia dan Ibu juga terlibat dalam perselingkuhanku. Bahkan, Ibu dan Mbak Rosi yang menyuruhku untuk menceraikan Alma. Padahal sebenarnya, meskipun aku dulu selingkuh dengan Lastri, aku tak ada niat untuk menceraikan Alma.Karena Ibu dan Mbak Rosi selalu mengompor-ngomporiku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengusir dan menceraikan Alma. Meskipun penampilan Alma buruk rupa, tetapi aku masih memiliki perasaan padanya. Aku sebenarnya tak tega, sebab berkat Alma lah aku bisa sukses seperti sekarang ini.Jika membicarakan tentang karma, itu juga bukan sepenuhnya kesalahanku. Bisa jadi, karma itu datang karena ulah Mbak Rosi sendiri. Sebagai sesama wanita, harusnya Mbak Rossi tahu bagaimana
Setelah sampai di parkiran rumah sakit, aku bergegas menuju ruangan tempat Mbak Rosi dirawat. Setelah sampai, ake segera masuk dan menemui Ibu dan Mbak Rosi. Aku merasa terkejut ketika melihat keadaan Mbak Rosi. Terlihat banyak memar dan lebam di wajahnya. Di keningnya juga tertempel perban kecil menandakan bahwa keningnya terluka.Di dalam ruangan, hanya ada Ibu seorang diri. Tak kulihat ada Mas Adit ataupun Vira anak mereka. Melihat kehadiranku, Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan Mbak Rosi sama sekali tak menoleh. Ia terlihat diam, sambil matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Jujur saja, hatiku langsung sesak melihat kondisi Mbak Rossi."A-apa yang terjadi, Bu? Di mana Mas Adit?" tanyaku pada Ibu. Aku saat ini telah berada di samping Ibu.Ibu hanya diam tak mau menjawab pertanyaan dariku. Justru, Ibu malah terlihat menangis terisak. Aku jadi makin bingung. Melihat luka Mbak Rosi, aku yakin ini bukan luka kecelakaan. Melainkan luka pukulan ataupun peng
["Mas, mana uangnya? Kok belum ditransfer?"] Sebuah pesan masuk dari Lastri.Aku hanya membaca pesan dari Lastri tanpa ada niat untuk membalasnya. Aku sendiri sedang pusing memikirkan keuanganku yang mulai menipis, tetapi Lastri tahunya hanya minta uang saja. Aku heran dengannya, jika dihitung-hitung, setiap bulan aku selalu memberikan uang sebesar lima belas hingga dua puluh jutaan lebih setiap bulannya. Tetapi, Lastri seolah tak pernah cukup dengan uang yang aku beri.Mulai sekarang, aku tak ingin lagi memanjakan uang untuk Lastri. Aku harus benar-benar memperhitungkan jumlah uang yang aku berikan padanya. Agar aku bisa mengontrol pengeluaranku. Dering ponsel membuyarkan aku dari lamunan. Terlihat panggilan telepon dari Lastri. Aku berusaha mengabaikan telepon dari Lastri, tapi sepertinya Lastri tak menyerah untuk terus menghubungiku. Mau tak mau, aku mengangkat panggilan telepon darinya.["Mas, kok kamu cuma baca pesan dari aku sih? Mana uangnya? Kenapa belum kamu transfer?"] oceh
"Kamu lagi ngapain, Mas? Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Lastri."Aku lagi chatan sama teman," jawabku singkat."Hmm ... ini, Mas, mienya. Katanya laper," kata Lastri memberikan semangkuk mie padaku."Kok cuma satu, kamu gak makan?""Enggak, Mas, aku udah makan tadi. Oh ya, Mas, besok aku minta uang lagi dong," kata Lastri dengan nada manja. Aku yang sedang menikmati mie buatannya seketika menoleh."Uang lagi? Untuk apa?""Ya buat perawatan lagi lah, Mas. Aku pengen gemukin badan. Biar kamu tambah sayang sama aku, Mas," jawab Lastri."Enggak perlu lah, Las. Kamu udah cantik kok. Ngapain pakai gemukin badan?""Kan biar lebih gemoy, Mas. Biar gak kalah saing sama si Alma.""Duh, udah deh, Las. Percuma kamu mau nyaingin si Alma. Mau kamu gemuk juga tetap cantikan Alma," kataku."Kok kamu gitu sih, Mas! Aku udah perawatan maksimal gini malah kamu banding-bandingin sama Alma!""Lah, bukannya kamu sendiri tadi yang mau saingan sama Alma?""Tau ah! Kamu benar-benar suami yang gak punya per