Aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengeringkan rambut yang masih basah. Kejadian pagi ini benar-benar membuat kepala ini sedikit sakit. Meskipun aku senang melihat keributan antara Mas Wijaya dan Lastri, tapi aku juga merasa malu karena pagi ini aku harus menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar rumahku. Ini semua terjadi karena kecerobohanku yang lupa mengunci pintu pagar rumah.
Bagaimanapun juga, aku harus menjaga nama baikku di kampung ini. Aku yakin, saat ini aku pasti sedang menjadi pusat pergunjingan warga sekitar. Apalagi, warga sekitar rumahku pasti tahu betul bahwa aku adalah mantan istri Mas Wijaya.Maka dari itu, aku harus tetap menjaga nama yang selama ini tak pernah tercoreng sekalipun. Sebab selama menikah dengan Mas Wijaya dulu, aku tak pernah membuat masalah apapun di kampung ini.Sebelum memulai usaha membuka toko sembako, aku harus segera mencari asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan rumah sekaligus menemaniku di rumah ini. Jika perlu, hari ini juga aku harus mendapatkan asisten rumah tangga. Aku jadi teringat pada sahabatku Rumi. Siapa tahu, ia bisa membantuku. Aku segera mengambil ponselku yang tergeletak di atas tempat tidur dan langsung mencari nomor Rumi dan langsung menghubunginya."Hallo, Rum," ucapku, setelah panggilan terhubung.["Iya, Al, ada apa? Oh ya, gimana, Lo jadi tinggal di depan rumah si pria tengik itu?"]Pria tengik yang Rumi maksud adalah Mas Wijaya. Rumi adalah temanku satu-satunya yang selalu menjadi tempatku berkeluh kesah. Aku mengenal Rumi saat kami sama-sama tinggal di penampungan sebelum berangkat bekerja ke luar negri. Sayangnya, negara tujuan kami berbeda. Namun komunikasi kami tetap berjalan baik hingga kini.Rumi juga telah pulang ke Indonesia bulan lalu. Ia baru pulang tahun ini karena ia menambah kontrak masa kerjanya. Dan yang membuatku senang, ia tinggal tak jauh dari perkampungan ini. Dengan begitu, aku bisa sering-sering bertemu dengannya."Iya, Rum, gue jadi tinggal di sini."["Terus, gimana reaksi pria tengik dan selingkuhannya itu?"]"Ya gitulah. Mereka semua terkejut. Terutama si Lastri. Kasian si Lastri, kayaknya cemburu banget sama gue."["Wah, bagus dong. Oh ya, Lo tadi mau minta tolong apaan sama gue?"]"Iya, Rum. Gue mau minta tolong sama Lo, Rum. Tolong carikan art buat gue," kataku.["Dih gegayaan Lo, Al, pakai art segala! Udah kayak nyonya aja,"] ucap Rumi sambil tertawa kecil.Rumi memang tipe orang yang suka ceplas-ceplos jika berbicara. Karena sudah tahu sifat dan wataknya, aku tak merasa sakit hati atau tersinggung dengan ucapannya. Rumi juga tipe orang yang supel dan suka bercanda. Itulah yang membuat ia pintar bergaul dengan semua orang. Diusia Rumi yang sudah menginjak dua puluh delapan tahun, ia belum juga menikah. Tetapi, ia terlihat enjoy dan menikmati hidupnya. Mungkin itu lebih baik, dibandingkan diriku yang justru malah mengalami kegagalan rumah tangga."Bukan gitu, Rum. Gue nyari art tuh niatnya buat nemenin gue tinggal di rumah. Lo tahu gak, baru semalam gue tinggal di rumah baru ini, pagi-pagi buta Mas Wijaya udah dateng nyamperin gue," jelasku.["Hah, seriusan? Wah, dasar laki buaya buntung! Gue yakin, si pria tengik itu tergoda sama kecantikan Lo."]"Sepertinya sih gitu, Rum. Makanya gue takut kalau sendirian di rumah."["Iya juga ya. Ya udah, Lo tenang aja. Entar gue cari art yang bisa tinggal di rumah Lo."]"Jangan entar-entar dong, Rum. Kalau bisa mah, hari ini juga."["Lah, Lo kira nyari art kek nyari tahu bulet, digoreng dadakan? Gak semudah itu, Marimar!"]"Duh, udah deh gak usah kebanyakan drama. Lo mau nolongin gue gak, Maemunah?"["Iya iya, entar gue cari deh."]"Tapi inget, Lo harus cari art yang kudu orangnya baik, rajin, pengertian, bertanggung jawab, dan ...."["Tunggu-tunggu ... Lo nyari art, atau pendamping hidup? Banyak mamat kriterianya?"] potong Rumi cepat."Hehe, ya kan kalau ada. Intinya, gue mau art yang baik."["Oke deh, entar gue cari. Gue juga jadi takut Lo diapa-apain sama pria tengik itu."]"Nah itu. Makanya Lo harus bantuin gue cari art. Pokoknya, gue tunggu secepatnya ya?"["Oke, Al ...."]Aku menutup panggilan telepon Rumi. Untuk sementara waktu, sepertinya, aku harus berdiam diri di dalam rumah. Takut jika Mas Wijaya datang kemari lagi.******Sore ini, sebuah ketukan pintu terdengar dari depan rumah. Aku yang merasa takut karena kejadian pagi tadi tak mau gegabah langsung membukakan pintu. Aku takut, Mas Wijaya yang datang ke rumahku. Aku mengintip dari balik tirai gorden jendela rumah. Aku merasa lega, sebab yang datang ternyata adalah Rumi. Segera aku membukakan pintu untuknya."Lama amat sih, Al, buka pintunya?" oceh Rumi dengan wajah kesal. Di belakang Rumi, terlihat seorang perempuan muda yang tersenyum ramah padaku."Maaf, Rum, gue pikir siapa. Sini masuk," ajakku.Rumi ternyata datang membawakan seorang art bernama Nana. Tak sangka, Rumi bisa mendapatkan art secepat ini. Usia Nana baru menginjak delapan belas tahun, wajahnya manis khas wanita Jawa. Entah mengapa, aku langsung suka padanya. Nana masih gadis dan ternyata tinggal tak jauh dari rumah Rumi.Perjalanan kisah hidup Nana yang ternyata cukup berat membuat aku merasa iba. Nana memiliki seorang Ayah tiri yang mesum dan sudah beberapa kali berusaha untuk memperkosanya. Ia sering mengadu pada Ibunya, tapi Ibunya seolah tak percaya dengan cerita Nana. Karena sebab itulah, Nana memutuskan untuk langsung bekerja setelah lulus sekolah.Nana bilang, ia tak masalah jika harus menjadi art. Setidaknya, ia bisa tinggal menginap di rumahku tanpa harus pulang ke rumahnya. Dengan begitu, ia bisa merasa aman tanpa perlu takut lagi pada Ayah tirinya.Aku merasa miris dengan sikap Ibunya Nana yang kurang peduli pada keselamatan putrinya. Bahkan, ia sama sekali tak percaya dengan ucapan putrinya sendiri. Ini salah satu pelajaran berharga untukku. Seandainya aku menjadi seorang Ibu nanti, aku akan selalu melindungi anakku. Apalagi seorang anak perempuan yang memang harus bisa menjaga mahkota berharganya. Aku merasa bersyukur, dari cerita Nana, Ayah tirinya tak pernah berhasil memperkosanya. Setidaknya, Nana masih memiliki masa depan.Nana juga terlihat sangat sopan saat berbicara. Terlihat bahwa Nana adalah gadis yang baik. Tanpa banyak pertimbangan, akhirnya aku menerima Nana untuk bekerja di rumahku.******"Na, siang nanti temenin saya belanja ya?" kataku pada Nana.Aku dan Nana saat ini sedang memasak untuk sarapan pagi bersama. Aku membuat bumbu masakan, sedangkan Nana memotong sayur mayur dan membersihkan ikan yang akan kami masak nanti."Iya, Bu. Oh ya, Bu, maaf mulai besok, biar saya aja yang memasak. Saya malah gak enak kalau Ibu ikutan memasak di dapur. Ini kan tugas saya, Bu," kata Nana.Aku memang menyuruh Nana untuk memanggilku Ibu. Sebab, meskipun ia hanya seorang art, aku ingin menganggap Nana sebagai seorang anak. Apalagi, perbedaan usia kami yang berbeda dua belas tahun. Aku juga sengaja memakai bahasa baku jika berbicara dengan Nana. Agar Nana lebih menghormatiku sebagai orang tua."Kalau kamu ngerjain semuanya, terus saya ngapain, Na?""Bu Alma gak perlu ngapa-ngapain. Biar saya saja yang kerjakan.""Saya gak biasa menganggur, Na. Bahkan, dulu saya juga sama seperti kamu. Saya pernah kerja di luar negri jadi TKW dan jadi art.""Hah, yang benar, Bu?" Nana bertanya dengan wajah terkejut."Benar, Na. Masa' saya bohong.""Apa Ibu bisa punya rumah sebagus ini karena bekerja di luar negri? Kalau iya, saya juga mau kerja di luar negeri, Bu," kata Nana dengan wajah tersenyum polos."Bukan, Na. Ini rumah saya beli dari uang Ibu saya. Kamu masih terlalu muda, Na. Lagipula, untuk apa kamu jauh-jauh kerja di luar negri?""Saya ingin jadi orang sukses, Bu. Biar gak jadi beban buat Ibu saya," kata Nana dengan wajah sendu.Nana bercerita padaku bahwa ia ingin melanjutkan pendidikannya. Ia ingin kuliah seperti teman-temannya yang lain. Jujur saja, aku merasa iba. Sebenarnya, aku bisa saja menguliahkan Nana, tapi, aku baru mengenal Nana. Aku tak bisa sembarang langsung percaya begitu saja padanya. Aku masih merasa trauma. Teringat akan masa lalu yang dikhianati oleh Mas Wijaya. Aku yang bekerja menjadi TKW di luar negri selama tiga tahun, nyatanya, uang yang aku kirim malah disalahkan gunakan untuk bersenang-senang dengan selingkuhannya.*****Siang ini, aku mengajak Nana untuk pergi berbelanja kebutuhan toko sembako milikku, yang rencananya besok akan mulai aku buka. Aku dan Nana pergi ke pasar terbesar di kampung ini. Tujuanku hanya satu, yaitu datang ke toko grosir milik Mas Wijaya. Ia memang membuka toko grosir sembako besar di pasar itu. Untuk itu, aku akan memanfaatkannya. Aku bersyukur, hari ini tak melihat keberadaan Mas Wijaya di sekitar rumahku. Mungkin, Lastri melarang keras Mas Wijaya untuk kembali datang ke rumahku.Setelah tiba di depan toko grosir milik Mas Wijaya, aku memarkirkan mobil yang aku kemudikan. Aku menyuruh Nana untuk menungguku di luar toko saja. Sebab, aku tak ingin Nana tahu apa yang akan aku lakukan di dalam sana. Nana masih terlalu muda untuk mengetahui permasalahan hidupku.Suasana toko grosir milik Mas Wijaya tampak ramai. Pantas saja, ia terlihat semakin sukses saat ini. Ada rasa sesak di hati ini, aku yakin, toko grosir ini dibangun menggunakan uang yang aku kirim setiap bulan dari hasilku bekerja di luar negeri. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan mengambil semua hakku yang ia curi dengan cara licik. Jika ia bisa bisa berbuat licik, kenapa aku tidak?******Aku memandang sebuah spanduk besar yang terpasang tepat di depan pintu masuk toko grosir Mas Wijaya. Tertera nama toko grosir ini—Grosir Wijaya. Dari luar toko aku bisa melihat betapa banyaknya isi di dalam toko tersebut. Kardus-kardus yang berisi kebutuhan pokok memenuhi dalam toko hingga sampai batas pintu masuk.Aku berjalan dengan santai memasuki area toko grosir itu. Setelah masuk, aku sedikit terpukau sebab dalam toko ini ternyata jauh lebih luas dibandingkan dilihat dari luar. Mungkin, banyaknya barang yang memadati isi toko ini membuat toko ini nampak sempit.Aku melihat Mas Wijaya sedang sibuk di meja kasir membantu karyawannya yang seorang wanita untuk melayani pembeli yang sepertinya sedang membayar barang belanjaan. Saking sibuknya, Mas Wijaya sepertinya tak menyadari kehadiranku di sini."Cari apa, Mbak?" tanya seorang karyawan pria dengan ramah padaku."Oh, saya mau belanja barang-barang sembako untuk isi toko, Mas," jawabku."Apa Mbak punya catatan barang-barang apa saj
Dengan wajah merah padam penuh kemurkaan, Lastri berjalan tergopoh-gopoh menggendong anaknya menghampiri kami. Yang membuatku miris, Lastri datang ke toko grosir Mas Wijaya hanya menggunakan baju daster yang terlihat tak enak di pandang mata.Pantas saja Mas Wijaya mudah berpaling pada wanita lain, sebab Lastri tak bisa merawat diri. Melihat penampilan Lastri, aku jadi berkaca pada diriku sendiri saat masih menjadi istri Mas Wijaya dulu. Sebab seperti itulah penampilanku dulu.Wajar saja jika aku dulu tak bisa merawat diri, sebab Mas Wijaya hanya seorang pengangguran. Aku tak memiliki banyak uang untuk membeli kebutuhan pribadi. Jangankan untuk kebutuhan pribadi, untuk makan saja kami susah. Itulah mengapa aku akhirnya memutuskan untuk pergi bekerja ke luar negeri.Sebenarnya, Ibuku melarang keras aku untuk bekerja di luar negeri dan menyuruhku untuk menjual sebagian sawah milik Ibu. Tapi aku menolak, aku tak ingin menjadi beban untuk Ibuku. Apalagi kalau sampai Ibu mertuaku tahu Ibuk
Aku mematut diri di depan cermin. Wajah putih glowing, hidung mancung dan dagu yang sedikit lancip, menambah sempurnanya paras dan bentuk wajah ini. Belum lagi, leher jenjang dan tubuh langsing membuat aku semakin percaya diri. Tapi merawat tubuh hingga seperti ini tidaklah mudah. Aku butuh waktu satu tahun untuk mendapatkan tubuh seideal ini. Aku bahkan sampai harus jatuh sakit karena menjalani diet ketat. Mungkin jika tak ingat ambisiku untuk bisa langsing, aku tak akan melakukan diet itu.Dulu, saat aku masih menjadi istri Mas Wijaya, jangankan merawat diri, ingin makan enak saja aku tak pernah bisa. Jika ingin makan enak, aku harus pulang dulu ke rumah ibuku. Itupun harus menempuh perjalanan jauh dari kampung ini. Aku masih ingat jelas, bagaimana menderitanya diriku saat menjadi istri Mas Wijaya. Setiap hari, aku hanya makan lauk pauk seadanya. Sambal terasi dan ikan asin adalah menu andalanku. Meskipun tak pernah makan enak, anehnya, tubuhku semakin bertambah gemuk. Mungkin kare
Lastri langsung memukul lengan Mas Wijaya karena aksinya meyapaku. Lalu menarik kasar tangan Mas Wijaya untuk masuk ke dalam rumah. Mereka terlihat adu mulut sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa dengan jelas mendengarnya. Wajar saja, istri mana yang tak marah bila suaminya malah menyapa wanita lain di depan istrinya sendiri. Bahkan, keberadaan Lastri seolah tak dianggap oleh Mas Wijaya.Aku segera menutup rolling door toko dan segera masuk untuk mandi dan membersihkan diri. Aku sedikit bingung dengan hubungan rumah tangga Lastri dan Mas Wijaya. Aku merasa, hubungan mereka memang tak harmonis. Aku pikir, selama ini mereka hidup bahagia. Tapi nyatanya tidak, bisa jadi itu memang sebuah karma yang Tuhan berikan untuk mereka karena pernah mendzolimi aku."Bu Alma, makan malam udah siap," kata Nana yang berpapasan denganku."Iya, Na. Nanti saja kita makan bersama setelah sholat magrib. Aku mau mandi dulu.""Iya, Bu."Aku bergegas masuk ke dal
Aku tersenyum miring melihat layar ponselku yang masih menampilkan nominal uang yang baru saja ditranfer oleh Mas Wijaya. Meskipun nominal uang ini belum sebanding dengan uang yang sudah ia ambil dariku, tapi ini sudah cukup lumayan. Setidaknya, ini awal yang baik. Aku akan pastikan, akan ada uang-uang yang lainnya yang akan aku dapatkan dari Mas Wijaya.Setelah semua uangku yang pernah diambil oleh Mas Wijaya sudah terkumpul semuanya, barulah aku akan pergi meninggalkannya. Aku jadi tak sabar, melihat reaksi Mas Wijaya seandainya ia tahu rencana licikku ini. Agar ia juga merasakan, bagaimana rasa sakit yang pernah aku rasakan dulu.Sebuah notif pesan masuk dalam ponselku. Ternyata pesan itu dari Mas Wijaya.["Al, aku udah kirim uangnya ke nomor rekening kamu.] Isi pesan dari Mas Wijaya. Benar dugaanku, uang masuk itu memang dari Mas Wijaya.["Terima kasih, Mas."] balasku. Aku menutup ponselku kembali dan memasukkannya dalam kecil yang aku bawa.Aku kembali berjalan ke area pasar yang
"Nana, Nana ...!" panggilku berulang kali. Tapi tak ada jawaban dari Nana.Aku berjalan menuju ruang makan, makanan untuk sarapan sudah tersaji di meja makan. Dapur juga sudah terlihat bersih dan rapi. Tak ada tumpukan cucian piring dan bekas perabot untuk memasak. Lantai rumah juga sudah bersih dan juga wangi seperti habis dipel. Lalu, kemana perginya Nana?Aku mendesah kesal, harusnya saat ini aku sudah siap untuk membuka toko. Jika Nana tak ada, siapa yang akan membantuku menurunkan barang belanjaan di mobil yang lumayan banyak? Aku sedikit khawatir dengan kepergian Nana. Entahlah, pikiran-pikiran buruk tiba-tiba membuat hati ini gusar.Aku berjalan menuju kamar Nana, ingin memastikan bahwa Nana tak pergi dari rumah. Sebab itulah yang aku pikirkan saat ini. Aku membuka lemari baju Nana. Semua baju Nana masih tersusun rapi di sana. Aku bernapas lega, ternyata, apa yang aku pikirkan salah. Mungkin saja saat ini Nana hanya keluar rumah sebentar. Sepertinya, pemikiranku terlalu berlebi
Aku menarik handle jendela yang berada di bagian bawah dengan sangat kuat. Hingga jari jemari tangan pria bermasker dan bertopi itu yang menyembul di bagian dalam terjepit di antara sela-sela kayu kusen dan kayu jendela. Pria itu berteriak kesakitan. Meskipun aku merasa sangat ketakutan, aku mencoba memberanikan diri untuk melawan. Untung saja, lampu kamar menyala terang. Sebab aku memang tak bisa tidur dalam keadaan gelap."Nana! Nana! Tolong!" teriakku memanggil Nana. Tanganku masih memegang kuat handle jendela.Pria itu masih berusaha untuk menarik tangannya sambil mengaduh kesakitan. Rasakan! Siapa suruh ia datang ke rumahku dengan cara seperti ini. Aku yakin, pria itu pasti punya niat jahat padaku.Tok! Tok! Tok!Nana mengetuk pintu kamarku. "Bu Alma! Bu Alma! Apa yang terjadi, Bu!" teriak suara Nana dari balik pintu kamarku.Aku baru ingat, pintu kamarku terkunci dari dalam. Hingga Nana tak bisa masuk untuk menolongku.Brak! Brak!Pria itu menggebrak kaca jendela kamarku dengan
Aku mencoba mengenali pria itu dari motornya. Sayangnya, aku belum lama tinggal di kampung ini. Motornya juga terlihat masih baru dan belum terpasang plat nomor polisi. Motor itu melaju duluan, ternyata ia juga sama-sama ingin menyeberangi jalan raya. Segera aku mengikuti motor itu. Siapa tahu, aku akan mendapatkan petunjuk.Untung saja, jalanan pagi ini cukup sepi. Jadi aku bisa dengan mudah mengikuti motor yang dikemudikan pria misterius itu. Setelah sampai di pertigaan, tiba-tiba saja pria itu berbelok arah ke kanan dan memancu motornya dengan kecepatan tinggi. Aku berusaha menambah kecepatan mobilku. Tapi sayangnya, aku kehilangan jejak. Apa mungkin, pria itu tahu aku mengikutinya?Aku semakin yakin bahwa pria itulah yang pernah datang ke rumahku malam itu dan mencoba masuk ke dalam kamarku. Aku mencoba tetap melajukan mobilku untuk menemukan pria itu. Tetapi tetap saja tak berhasil. Sial! Kemana perginya pria itu? Lain kali, aku pasti akan menemukannya. Sebab aku yakin, pria itu t
"Permisi, Bu," ucapku pada pemilik warung yang sedang menata jajanan di depan warungnya. Pemilik warung itu seorang ibu-ibu paruh baya yang wajahnya terlihat teduh."Oh, iya, ada apa ya, Mbak?" tanyanya ramah."Maaf, saya mau tanya, apa Ibu tahu rumah Pak RT?" tanyaku sopan."Oh iya, Mbak, kebetulan ini rumah Pak RT. Saya istrinya. Tapi ngomong-ngomong, ada perlu apa ya, Mbak? Sepertinya, Mbak ini bukan warga sekitar sini?" tanyanya bingung."Iya, Bu. Saya memang bukan warga sini. Perkenalkan, saya Alma. Saya ingin tanya, apa Ibu tahu rumah kecil bercat biru itu milik siapa?" tanyaku sambil menunjuk rumah yang di dalamnya dihuni oleh Mas Adit dan Nana. Jarak dari sini ke rumah itu hanya berselang tiga rumah saja."Oh iya, Mbak, kebetulan rumah itu milik saya dan suami saya. Dan sekarang lagi dikontrakkan. Dan yang menempati rumah itu namanya Mas Adit, Mbak," jawab Bu RT.Benar dugaanku, pria itu memanglah Mas Adit. Tetapi, untuk apa ia mengontrak di rumah itu? Apa itu salah satu tempa
Aku segera berjalan ke depan toko ketika Nana telah masuk ke dalam rumah. Dan duduk di kursi yang berada di depan toko. Dari sini, aku bisa memantau dan melihat Nana saat keluar dari rumahku nanti. Setelah memastikan Nana keluar dari rumah, barulah aku akan mengikutinya. Lima belas menit kemudian, Nana terlihat keluar dari pagar rumahku. Nana terlihat sudah rapi menggunakan celana jeans panjang yang dipadukan dengan kaos berwarna putih dengan sweater tipis berwarna pink cerah. Aku berpura-pura bermain ponsel, seolah tak memperhatikan Nana. Setelah Nana mulai berjalan, barulah aku segera masuk untuk menutup toko dengan cepat.Setelah itu, aku segera menyambar kontak mobilku dan berjalan dengan tergesa ke luar rumah. Aku harus bisa keluar secepat mungkin agar tak kehilangan jejak Nana. Setelah mengunci pintu rumah dan pintu pagar, barulah aku segera mengendarai mobil yang kini sudah berada di depan rumahku. Tepat saat mobilku tiba di ujung gang arah rumahku, Nana terlihat baru masuk ke
"Mas Adit yang tadi pagi sempat mukuli istrinya loh, Na. Itu namanya Mas Adit, kalau istrinya namanya Mbak Rossi," jawabku."Oh, saya gak kenal kok, Bu.""Saya pikir, kamu kenal. Kasian ya, Na, Mbak Rossi sampai dipukuli dan dianiaya seperti itu. Kalau saya jadi Mbak Rossi, sudah pasti saya akan laporkan Mas Adit ke polisi. Biar dia dipenjara sekalian!" kataku dengan nada kesal."Di-dipenjara, Bu? Apa mungkin bisa?" tanya Nana seolah penasaran."Ya bisa dong, Na. Itukan udah masuk pasal KDRT dan penganiayaan. Mereka kan masih suami istri. Apalagi, saksinya juga banyak kan? Saya kesal deh, Na," jawabku."Apa kemungkinan besar Mas Adit akan dipenjara kalau sampai Mbak Rossi melaporkan Mas Adit ke polisi, Bu?""Tentu saja.""Lalu, bagaimana caranya supaya Mas Adit gak dipenjara, Bu?""Ya itu tergantung Mbak Rossi lah, Na. Kalau dia mau berdamai dengan Mas Adit dan tidak melaporkan kasus ini ke polisi, Mas Adit akan aman. Tapi saya gak yakin, Na, kalau Mbak Rossi mau berdamai. Apa lagi, M
POV AlmaAku merasa iba dengan keadaan Mbak Rossi yang terlihat babak belur karena dipukuli Mas Adit. Aku tak menyangka, Mas Adit begitu tega melakukan itu pada istrinya sendiri. Sebab yang kutahu, Mas Adit tipe pria yang pendiam dan tak banyak bicara. Dan setahuku, Mas Adit juga termasuk pria baik yang tak pernah membuat ulah.Aku juga merasa terkejut, ketika mendengar kasak-kusuk dari warga sekitar yang membicarakan bahwa Mas Adit selingkuh. Aku tak tahu berita itu benar atau tidak, tapi yang jelas, aku sangat terkejut. Tak sangka, diam-diam Mas Adit berselingkuh di belakang Mbak Rossi. Entah aku harus merasa iba, atau malah justru sebaliknya. Aku merasa, ini adalah sebuah karma yang diterima oleh Mbak Rossi.Aku jadi teringat akan kejadian masa lalu, dimana Mbak Rossi dan mantan ibu mertua mendukung perselingkuhan Mas Wijaya dan Lastri. Hatiku sangat hancur dan terluka saat itu atas ulah mereka semua. Dan kini, Mbak Rossi juga merasakan bagaimana sakitnya diselingkuhi. Bedanya, Mas
"Apa Ibu tahu Adit sial*n itu sekarang ada di mana?""Ibu gak tahu, tadi warga sekitar rumah kita sempat mengamankan dia. Ibu hanya fokus membawa Rossi ke rumah sakit karena kamu bisa lihat sendiri bagaimana kondisi Rossi saat ini," jelas Ibu."Ya sudah, Bu, kalau begitu aku mau pulang sekarang. Aku mau cari si Adit sampai dapat!" kataku kesal."Iya, Wijaya. Tapi sebelum kamu pulang, tolong kamu bayar dulu biaya administrasi rumah sakit. Ibu gak ada uang banyak," kata Ibu."Iya, Bu. Ya sudah, nanti aku mampir dulu ke kasir. Ibu bisa kan jagain Mbak Rossi sendirian? Kalau ada apa-apa, Ibu langsung hubungi aku saja," kataku."Iya, Ibu bisa kok.""Ya sudah, aku pulang dulu, Bu.""Iya, kamu hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setelah pamit pada Ibu, aku segera berjalan ke kasir untuk membayar biaya administrasi perawatan Mbak Rossi. Setelah selesai, aku segera menuju parkiran rumah sakit untuk pulang ke rumah.Isi kepala ini rasanya begitu panas, belum puas rasanya jika belum memberi pelajara
"Mbak, kenapa kamu jadi menyalahkan aku? Mbak Rosi gak ingat, bukankah dulu, Mbak Rosi juga ikut mendukung perselingkuhanku dengan Lastri? Apa Mbak Rosi sudah lupa?" tanyaku penuh penekanan.Aku tak terima jika Mbak Rosi hanya menyalahkan aku semata. Seolah hanya aku saja yang bersalah. Padahal jelas, ia dan Ibu juga terlibat dalam perselingkuhanku. Bahkan, Ibu dan Mbak Rosi yang menyuruhku untuk menceraikan Alma. Padahal sebenarnya, meskipun aku dulu selingkuh dengan Lastri, aku tak ada niat untuk menceraikan Alma.Karena Ibu dan Mbak Rosi selalu mengompor-ngomporiku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengusir dan menceraikan Alma. Meskipun penampilan Alma buruk rupa, tetapi aku masih memiliki perasaan padanya. Aku sebenarnya tak tega, sebab berkat Alma lah aku bisa sukses seperti sekarang ini.Jika membicarakan tentang karma, itu juga bukan sepenuhnya kesalahanku. Bisa jadi, karma itu datang karena ulah Mbak Rosi sendiri. Sebagai sesama wanita, harusnya Mbak Rossi tahu bagaimana
Setelah sampai di parkiran rumah sakit, aku bergegas menuju ruangan tempat Mbak Rosi dirawat. Setelah sampai, ake segera masuk dan menemui Ibu dan Mbak Rosi. Aku merasa terkejut ketika melihat keadaan Mbak Rosi. Terlihat banyak memar dan lebam di wajahnya. Di keningnya juga tertempel perban kecil menandakan bahwa keningnya terluka.Di dalam ruangan, hanya ada Ibu seorang diri. Tak kulihat ada Mas Adit ataupun Vira anak mereka. Melihat kehadiranku, Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan Mbak Rosi sama sekali tak menoleh. Ia terlihat diam, sambil matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Jujur saja, hatiku langsung sesak melihat kondisi Mbak Rossi."A-apa yang terjadi, Bu? Di mana Mas Adit?" tanyaku pada Ibu. Aku saat ini telah berada di samping Ibu.Ibu hanya diam tak mau menjawab pertanyaan dariku. Justru, Ibu malah terlihat menangis terisak. Aku jadi makin bingung. Melihat luka Mbak Rosi, aku yakin ini bukan luka kecelakaan. Melainkan luka pukulan ataupun peng
["Mas, mana uangnya? Kok belum ditransfer?"] Sebuah pesan masuk dari Lastri.Aku hanya membaca pesan dari Lastri tanpa ada niat untuk membalasnya. Aku sendiri sedang pusing memikirkan keuanganku yang mulai menipis, tetapi Lastri tahunya hanya minta uang saja. Aku heran dengannya, jika dihitung-hitung, setiap bulan aku selalu memberikan uang sebesar lima belas hingga dua puluh jutaan lebih setiap bulannya. Tetapi, Lastri seolah tak pernah cukup dengan uang yang aku beri.Mulai sekarang, aku tak ingin lagi memanjakan uang untuk Lastri. Aku harus benar-benar memperhitungkan jumlah uang yang aku berikan padanya. Agar aku bisa mengontrol pengeluaranku. Dering ponsel membuyarkan aku dari lamunan. Terlihat panggilan telepon dari Lastri. Aku berusaha mengabaikan telepon dari Lastri, tapi sepertinya Lastri tak menyerah untuk terus menghubungiku. Mau tak mau, aku mengangkat panggilan telepon darinya.["Mas, kok kamu cuma baca pesan dari aku sih? Mana uangnya? Kenapa belum kamu transfer?"] oceh
"Kamu lagi ngapain, Mas? Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Lastri."Aku lagi chatan sama teman," jawabku singkat."Hmm ... ini, Mas, mienya. Katanya laper," kata Lastri memberikan semangkuk mie padaku."Kok cuma satu, kamu gak makan?""Enggak, Mas, aku udah makan tadi. Oh ya, Mas, besok aku minta uang lagi dong," kata Lastri dengan nada manja. Aku yang sedang menikmati mie buatannya seketika menoleh."Uang lagi? Untuk apa?""Ya buat perawatan lagi lah, Mas. Aku pengen gemukin badan. Biar kamu tambah sayang sama aku, Mas," jawab Lastri."Enggak perlu lah, Las. Kamu udah cantik kok. Ngapain pakai gemukin badan?""Kan biar lebih gemoy, Mas. Biar gak kalah saing sama si Alma.""Duh, udah deh, Las. Percuma kamu mau nyaingin si Alma. Mau kamu gemuk juga tetap cantikan Alma," kataku."Kok kamu gitu sih, Mas! Aku udah perawatan maksimal gini malah kamu banding-bandingin sama Alma!""Lah, bukannya kamu sendiri tadi yang mau saingan sama Alma?""Tau ah! Kamu benar-benar suami yang gak punya per