Riana menatap bayang dirinya di cermin. Dia menghela napas panjang sebelum beranjak keluar. Riana mulai bekerja hari ini. Setelah merenungi kejadian semalam, Riana memutuskan untuk menjalani kehidupannya sesuai keinginan Reyhan. Langkah Riana perlahan melambat saat pandangannya terkunci pada sosok Reyhan yang berdiri sigap menunggu di lantai bawah. Riana memutus kontak, mengalihkan pandangan melewati Reyhan dengan acuh menuju ruang makan.
"Ibu senang kau memutuskan pilihan dengan bekerja. Seharusnya sejak dulu saat ayahmu meminta untuk melakukannya," ujar Ivana.
Riana tidak menanggapi, dia mengambil tempat di sebelah Ivana, memakan roti panggang dengan diam.
"Lakukan perkerjaanmu sebaik mungkin. Ayah tidak ingin mendengar keluhan apa pun saat kau mulai bekerja!" Rudi menatap sejenak lalu beralih melanjutkan sarapan.
"Kata Tiara, Faldo akan datang menjemputmu," imbuh Ivana.
"Tidak perlu, Riana akan berangkat dengan Abimanyu!" Riana meneguk jus jeruknya sebelum beranjak pergi.
"Biarkan saja!" sergah Rudi saat Ivana hendak mencegah.
Ivana hanya diam menuruti. Dia kembali melanjutkan sarapan.
Reyhan membukakan pintu mobil. Riana tampak tenang tanpa mengatakan apa pun. Reyhan yang sudah duduk di kursi kemudi melirik sejenak dari balik spion. Selama perjalanan Riana diam saja, tatapannya terus mengarah ke luar kaca memandang bangunan-bangunan tinggi. Riana mencoba menahan diri untuk tidak berbicara dengan Reyhan. Lima menit berselang ponsel Riana berdering, nama Faldo tertera di layar.
"Ada apa?"
"Aku sudah berangkat."
"Makan siang?" Riana melirik ke arah Reyhan. "Baiklah, kau bisa menjemputku nanti!"
Riana menutup telepon. Pandangannya kembali mengarah ke luar. Reyhan mencoba fokus menyetir, dia sejak tadi sedikit terusik dengan perubahan Riana.
Setelah tiga puluh menit mengendara, mobil Riana memasuki halaman utama Kingdom Central yang menangani pusat belanja ritel modern dan hotel. Riana disambut baik oleh para pegawai dengan ramah. Riana melempar senyum hangat seiring langkahnya memasuki bangunan berlantai itu. Bukan hanya pegawai, para penyewa tempat juga menyapanya, mereka mulai berkumpul dan membahas mengenai Riana mengambil alih tempat itu yang sebelumnya ditangani oleh Riyadi, pria paling disiplin dan tegas terhadap masalah apa pun.
Riana memasuki ruangan kantor yang baru. Penataan serta furnitur minimalis sesuai dengan keinginannya.
Seorang wanita mendekat, menyapa Riana dengan santun. "Selamat pagi, Bu. Saya Ana, sebelumnya saya bekerja sebagai sekretaris Pak Riyadi."
"Iya, Ana. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu seperti sebelumnya. Namun, semua kebutuhanku akan ditangani langsung oleh Abimanyu, dia pegawal serta asisten pribadiku!"
Reyhan hanya menoleh diam, dia mengulas senyum tipis ke arah Ana. Ana sedikit tertegun, dia membungkuk seraya tersenyum simpul.
"Tolong bawakan laporan keuangan tahun sebelumnya serta data diri pegawai yang bekerja di sini. Aku ingin mengenali mereka agar bisa bekerja dengan baik."
"Baik, Bu!" Ana menoleh sekilas ke arah Reyhan sebelum beranjak pergi.
Riana merasa sedikit kesal melihat tatapan Ana yang terlihat jelas tertarik pada Reyhan. Riana mengalihkan pandangan membuka laptop kerjanya.
"Apa kau mau berdiri saja di situ? Kau bisa bergabung dengan tim keamanan sekarang!"
"Bukankah tugasku selalu berada di dekatmu? Apa di sini juga terpasang CCTV?" Reyhan memeriksa setiap sudut.
"Lakukan saja pekerjaanmu. Aku tidak akan fokus jika kau terus berdiri di hadapanku! Lagi pula, ini wilayah pribadiku tidak perlu memakai CCTV."
"Tapi bagaimana jika sampai terjadi sesuatu padamu?! Aku tidak bisa membiarkan itu!"
Riana mendesah pelan. "Bukan hakmu mencemaskanku. Kau bisa memantau CCTV yang ada di depan ruanganku. Jadi, pergi saja dari ruanganku agar aku bisa bekerja. Jika ada yang kubutuhkan aku akan memanggilmu!"
Tatapan Riana membuat Reyhan mendadak diam. Riana memalingkan muka, mengalihkan pandangan pada layar laptop—beharap Reyhan segera menjauh agar Riana tidak sampai lepas kendali.
"Baik, Nona, sesuai keinginanmu!"
Riana mengigit bibir, menahan diri untuk tidak menangis hingga punggung Reyhan hilang dari pandangannya.
Air mata Riana seketika luruh seiring pintu ruangan tertutup rapat. Riana belum baik-baik saja, justru dia makin terluka.
"Aku melakukannya seperti keinginanmu, Rey!" lirihnya sedih.
Reyhan tak lantas pergi, dia masih berdiri diam di balik pintu. Pandangannya tertunduk, mencoba mengendalikan diri. Bukan hanya Riana, Reyhan juga berjuang menahan hatinya untuk tidak melewati batas. Reyhan menarik napas panjang lalu beranjak dari sana.
***
Riana baru saja memeriksa laporan keuangan lima tahun terakhir. Dia sedikit memuji hasil kerja Riyadi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Suara ketukan pintu terdengar. Ana menyembul meminta izin masuk.
"Ada tamu yang mencari, Ibu!"
"Siapa?"
"Aku!" Faldo menerobos masuk dengan senyum mengembang.
"Maaf, Pak, Anda tidak bisa masuk begitu saja!" sergah Ana
"Biarkan saja. Dia—"
"Calon masa depan Ibu Riana!" Faldo menyela, mengulurkan tangan memperkenalkan diri."
"Maaf, Pak. Saya tidak tahu!" Ana beringsut mundur seraya membungkuk.
Faldo menarik tangan, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Riana menyunggingkan senyum. "Kasihan sekali kau diabaikan!"
Faldo mendengus, berjalan mendekat ke arah depan meja.
"Ruanganmu lumayan juga. Sepertinya aku akan sering berkunjung kemari." Faldo mengedarkan pandangan sedikit memuji dengan selera Riana.
"Kau mau makan di mana? Apa ada tempat yang kau suka?"
Belum sempat Riana menjawab, derik pintu terdengar. Reyhan segera masuk membawa makanan cepat saji untuk Riana.
"Ini makan siangmu, Nona!"
Apa dia sengaja membelikan makan siang untukku karena tahu aku akan pergi dengan Faldo?! Riana tertawa miris dalam hati.
"Untukmu saja. Aku akan pergi dengan Faldo!" Riana meraih tas tangan dan ponsel seraya bangkit dari duduknya.
"Kau boleh ikut jika mau!" ucap Faldo, "berikan saja makan siang ini untuk pegawai lain. Kau pengawal Riana tidak masalah bagiku, kita bertiga bisa makan siang bersama."
"Aku hanya akan makan denganmu, tidak perlu mengajaknya!" Riana menatap tajam, melirik ke arah Reyhan yang tampak diam.
"Baiklah jika itu maumu." Faldo mempersilakan Riana berjalan lebih dulu.
"Mungkin lain kali kita bisa makan siang bersama!" Faldo menepuk bahu Reyhan.
Reyhan menarik napas dalam, dia tidak berhak untuk marah. Reyhan mengambil kantong berisi makanan keluar dari ruangan. Ana yang melihat Reyhan berjalan melewati meja kerjanya, segera menyusul dengan cepat.
"Kau juga akan makan siang?" tanya Ana basa-basi.
Reyhan yang tengah berdiri di pintu lift hanya mengangguk, mengiyakan.
Ana tersenyum canggung, dia melirik ke arah kantong kresek yang dipegang Reyhan. Dari labelnya, Ana tahu itu makanan siap saji.
"Apa kau akan makan siang dengan itu?" tanya Ana lagi.
Reyhan lagi-lagi mengangguk. Ana sedikit kesal melihat Reyhan hanya menjawab dengan anggukan. Ana masuk ke dalam lift lebih dulu. Dia sedikit terkejut melihat Reyhan tidak mengikutinya.
"Kau tidak masuk?"
"Ada yang tertinggal, Nona Ana silakan pergi lebih dulu."
Ana termangu. Pintu lift tertutup rapat. Reyhan sengaja menghindar, dia merasa tidak nyaman dengan Ana yang mencoba akrab dengannya.
Riana dan Faldo sudah sampai di lantai satu. Dari kejauhan Reyhan memperhatikan Riana yang sedang berbicara dengan Faldo. Senyum Riana terus terukir seiring langkah menuju pintu keluar. Reyhan mencengkeram erat kantong kresek yang ia pegang. Hatinya memanas memandang punggung Riana sudah hilang di balik pintu.
"Aku tidak punya hak untuk cemburu jika dia tersenyum untuk lelaki lain!"
Faldo dan Riana sampai di rumah makan yang terletak di pinggir jalan. Faldo segera menyusul setelah memarkirkan mobilnya."Apa tidak salah kita akan makan di sini?" tanya Faldo ragu-ragu, melirik ke arah Riana yang bahkan enggan untuk menoleh, dia tengah sibuk mencari tempat kosong.Faldo ikut memanjangkan lehernya, dia melihat satu meja kosong yang berada di depan stand pemilik rumah makan. Faldo lantas menarik tangan Riana membawanya masuk."Kau tidak suka dengan tempatnya? Katanya terserah aku mau makan di mana?!" Riana menatap ke arah Faldo yang masih melihat ke sekeliling. Sangat jelas Faldo merasa tidak nyaman. Ini pertama kali baginya makan selain di restoran mahal."Di sini tidak jauh beda dengan makanan restoran. Malah lebih enak makan di sini!" kata Riana lagi.Faldo tersenyum kecut. "Aku hanya tidak terbiasa. Tapi bukan masalah, selama makan denganmu."Riana berdecih, memanggil pelayan mendekat."Mau makan apa?"
PRAKS! Bunyi tamparan keras menggema di langit-langit ruangan menjeda aktivitas para pelayan yang tengah menyajikan makanan di atas meja. Tatapan Rudi Mahardika, menyorot murka pada putri semata wayangnya yang kini tengah berdiri di hadapannya dengan pandangan tertunduk. "Jangan ikut campur!" hardik Rudi, mendelik tajam ke arah Ivana yang hendak mendekati putrinya. Riana. Para pelayan beringsut mundur mengambil tempat di belakang dengan berjejer rapi tanpa berani mengangkat muka. Riana mencengkeram ujung bajunya, menahan rasa perih yang kian menjalar. Cairan bening mulai menggenangi kedua iris karamel itu. Sebisa mungkin Riana menahan diri untuk tidak menangis. "Apa kau masih ingin membantah ayahmu?" Tatapan Rudi menusuk tajam. Riana memberanikan diri mengangkat muka, menatap wajah ayahnya yang kini diliputi amarah. "Aku butuh penjelasan, Ayah! Kenapa Ayah tega melakukan itu?"
Setahun yang lalu....Hari itu, senja tak terlihat—mendung kelam menyelimuti langit sejauh mata memandang. Riana duduk di balik kaca dengan segelas susu hangat yang menjadi teman sepinya. Perlahan-lahan bulir bening menitik hingga kian deras. Baru saja Riana hendak beranjak, sebuah motor butut menepi di depan toko. Riana mengusap kaca yang berembun. Pemuda itu turun dan berlari kecil menuju ke arah pintu. Suara bel terdengar nyaring. Dia baru saja masuk dengan mengibas-ngibas jaket miliknya yang sedikit basah. Riana masih terdiam di tempat, menunggu ia membalikan badannya yang saat ini sedang memunggungi Riana. Lantas pemuda itu berbalik, membuat Riana seketika membeku. Pandangan mereka bertemu, senyuman pemuda itu mengembang. Riana lebih dulu beralih pandangan. Jantung Riana berdebar, detaknya tak kalah cepat seperti ikut lomba lari. Pemuda itu mendekat, hingga jaraknya benar-benar dekat—sangat dekat."Hai! Kau yang berjaga di sini?" tanyanya ramah.
"Riana!" Alina yang baru saja datang berlari masuk ke kamar Riana dengan tergesa-gesa."Ada apa?" Riana yang baru habis mandi bertanya bingung.Alina masih mengatur napas, memegang kedua tangan Riana dengan mimik serius."Reyhan, dia ada di sini!"Riana terkejut. Alina pasti berbohong. Mana mungkin Reyhan diizinkan masuk ke rumah."Tidak mungkin Reyhan kemari, Alina!" Riana menghadap cermin, menyisir rambutnya."Aku tidak berbohong. Aku benar-benar melihat Reyhan. Dia memakai pakaian sangat rapi. Apa mungkin dia memberanikan diri datang untuk melamarmu?"Riana menggeleng tidak percaya. Tanpa berpikir lagi, Riana berlari keluar dari kamar, jantungnya berdetak kencang. Riana terus berlari melewati koridor panjang. Beberapa pelayan yang melihatnya membungkuk memberi hormat.Riana harus berlari memutar untuk mencapai tangga karena letak kamarnya berada di ujung koridor.Satu pe
Riana bergeming ketika melihat Reyhan berjalan mendekatinya dan Faldo dengan tatapan diam. Tanpa berkata apa pun Reyhan hanya membungkukkan kepala lalu berjalan begitu saja."Berarti aku benar 'kan soal kekasihmu?" Faldo kembali bertanya.Riana tidak menjawab dan memilih beranjak pergi.Riana membuang napas kasar. Dia memandang pantulan dirinya pada cermin, mengingat kejadian semalam dengan Faldo merusak mood Riana pagi ini. Riana menarik napas dalam, memastikan sekali lagi penampilannya lalu beranjak turun."Riana akan pergi ke kantor cabang, Ayah!" ucap Riana yang tengah berada di ruang makan."Apa kau memutuskan untuk bekerja?" Rudi balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan pada makanannya di piring."Iya, Ayah. Seperti yang Ayah inginkan. Riana akan mengembangkan pusat perbelanjaan di daerah Kenanga.""Baguslah, kau boleh pergi."Riana melirik ke arah Reyhan yang sudah berdiri siga
Faldo memarkirkan mobilnya di parkiran mansion megah Rudi. Riana yang sudah bersiap, beranjak keluar dengan dress elegan membuat Riana tampak anggun. Untuk sesaat Faldo tertegun saat hendak menemui Riana. Reyhan bahkan sempat menatapnya, dia lebih dulu memutus kontak saat pandangan mereka bertemu. Riana dengan acuh berjalan melewati Reyhan dan menyambut tangan Faldo."Kau tampak cantik hari ini!" Faldo memuji seraya membukakan pintu mobil."Aku memang cantik dari lahir!" Riana melepaskan tangannya dari genggaman Faldo. Dia sengaja melakukan itu di hadapan Reyhan.Riana menatap Reyhan dari balik kaca lalu beralih pandang saat Faldo duduk di kursi kemudi."Kita mau ke mana Tuan Putri?""Restoran paling mahal. Hari ini aku ingin menghabiskan uangmu. Jadi bersikaplah sebagai calon suami yang baik!"Faldo tersenyum. "Dengan senang hati."Riana kembali melihat ke arah Reyhan sebelum mobil Faldo keluar dan melesat per
Faldo dan Riana sampai di rumah makan yang terletak di pinggir jalan. Faldo segera menyusul setelah memarkirkan mobilnya."Apa tidak salah kita akan makan di sini?" tanya Faldo ragu-ragu, melirik ke arah Riana yang bahkan enggan untuk menoleh, dia tengah sibuk mencari tempat kosong.Faldo ikut memanjangkan lehernya, dia melihat satu meja kosong yang berada di depan stand pemilik rumah makan. Faldo lantas menarik tangan Riana membawanya masuk."Kau tidak suka dengan tempatnya? Katanya terserah aku mau makan di mana?!" Riana menatap ke arah Faldo yang masih melihat ke sekeliling. Sangat jelas Faldo merasa tidak nyaman. Ini pertama kali baginya makan selain di restoran mahal."Di sini tidak jauh beda dengan makanan restoran. Malah lebih enak makan di sini!" kata Riana lagi.Faldo tersenyum kecut. "Aku hanya tidak terbiasa. Tapi bukan masalah, selama makan denganmu."Riana berdecih, memanggil pelayan mendekat."Mau makan apa?"
Riana menatap bayang dirinya di cermin. Dia menghela napas panjang sebelum beranjak keluar. Riana mulai bekerja hari ini. Setelah merenungi kejadian semalam, Riana memutuskan untuk menjalani kehidupannya sesuai keinginan Reyhan. Langkah Riana perlahan melambat saat pandangannya terkunci pada sosok Reyhan yang berdiri sigap menunggu di lantai bawah. Riana memutus kontak, mengalihkan pandangan melewati Reyhan dengan acuh menuju ruang makan. "Ibu senang kau memutuskan pilihan dengan bekerja. Seharusnya sejak dulu saat ayahmu meminta untuk melakukannya," ujar Ivana. Riana tidak menanggapi, dia mengambil tempat di sebelah Ivana, memakan roti panggang dengan diam. "Lakukan perkerjaanmu sebaik mungkin. Ayah tidak ingin mendengar keluhan apa pun saat kau mulai bekerja!" Rudi menatap sejenak lalu beralih melanjutkan sarapan. "Kata Tiara, Faldo akan datang menjemputmu," imbuh Ivana. "Tidak perlu, Riana akan berangkat dengan Abimanyu!" Riana meneguk jus
Faldo memarkirkan mobilnya di parkiran mansion megah Rudi. Riana yang sudah bersiap, beranjak keluar dengan dress elegan membuat Riana tampak anggun. Untuk sesaat Faldo tertegun saat hendak menemui Riana. Reyhan bahkan sempat menatapnya, dia lebih dulu memutus kontak saat pandangan mereka bertemu. Riana dengan acuh berjalan melewati Reyhan dan menyambut tangan Faldo."Kau tampak cantik hari ini!" Faldo memuji seraya membukakan pintu mobil."Aku memang cantik dari lahir!" Riana melepaskan tangannya dari genggaman Faldo. Dia sengaja melakukan itu di hadapan Reyhan.Riana menatap Reyhan dari balik kaca lalu beralih pandang saat Faldo duduk di kursi kemudi."Kita mau ke mana Tuan Putri?""Restoran paling mahal. Hari ini aku ingin menghabiskan uangmu. Jadi bersikaplah sebagai calon suami yang baik!"Faldo tersenyum. "Dengan senang hati."Riana kembali melihat ke arah Reyhan sebelum mobil Faldo keluar dan melesat per
Riana bergeming ketika melihat Reyhan berjalan mendekatinya dan Faldo dengan tatapan diam. Tanpa berkata apa pun Reyhan hanya membungkukkan kepala lalu berjalan begitu saja."Berarti aku benar 'kan soal kekasihmu?" Faldo kembali bertanya.Riana tidak menjawab dan memilih beranjak pergi.Riana membuang napas kasar. Dia memandang pantulan dirinya pada cermin, mengingat kejadian semalam dengan Faldo merusak mood Riana pagi ini. Riana menarik napas dalam, memastikan sekali lagi penampilannya lalu beranjak turun."Riana akan pergi ke kantor cabang, Ayah!" ucap Riana yang tengah berada di ruang makan."Apa kau memutuskan untuk bekerja?" Rudi balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan pada makanannya di piring."Iya, Ayah. Seperti yang Ayah inginkan. Riana akan mengembangkan pusat perbelanjaan di daerah Kenanga.""Baguslah, kau boleh pergi."Riana melirik ke arah Reyhan yang sudah berdiri siga
"Riana!" Alina yang baru saja datang berlari masuk ke kamar Riana dengan tergesa-gesa."Ada apa?" Riana yang baru habis mandi bertanya bingung.Alina masih mengatur napas, memegang kedua tangan Riana dengan mimik serius."Reyhan, dia ada di sini!"Riana terkejut. Alina pasti berbohong. Mana mungkin Reyhan diizinkan masuk ke rumah."Tidak mungkin Reyhan kemari, Alina!" Riana menghadap cermin, menyisir rambutnya."Aku tidak berbohong. Aku benar-benar melihat Reyhan. Dia memakai pakaian sangat rapi. Apa mungkin dia memberanikan diri datang untuk melamarmu?"Riana menggeleng tidak percaya. Tanpa berpikir lagi, Riana berlari keluar dari kamar, jantungnya berdetak kencang. Riana terus berlari melewati koridor panjang. Beberapa pelayan yang melihatnya membungkuk memberi hormat.Riana harus berlari memutar untuk mencapai tangga karena letak kamarnya berada di ujung koridor.Satu pe
Setahun yang lalu....Hari itu, senja tak terlihat—mendung kelam menyelimuti langit sejauh mata memandang. Riana duduk di balik kaca dengan segelas susu hangat yang menjadi teman sepinya. Perlahan-lahan bulir bening menitik hingga kian deras. Baru saja Riana hendak beranjak, sebuah motor butut menepi di depan toko. Riana mengusap kaca yang berembun. Pemuda itu turun dan berlari kecil menuju ke arah pintu. Suara bel terdengar nyaring. Dia baru saja masuk dengan mengibas-ngibas jaket miliknya yang sedikit basah. Riana masih terdiam di tempat, menunggu ia membalikan badannya yang saat ini sedang memunggungi Riana. Lantas pemuda itu berbalik, membuat Riana seketika membeku. Pandangan mereka bertemu, senyuman pemuda itu mengembang. Riana lebih dulu beralih pandangan. Jantung Riana berdebar, detaknya tak kalah cepat seperti ikut lomba lari. Pemuda itu mendekat, hingga jaraknya benar-benar dekat—sangat dekat."Hai! Kau yang berjaga di sini?" tanyanya ramah.
PRAKS! Bunyi tamparan keras menggema di langit-langit ruangan menjeda aktivitas para pelayan yang tengah menyajikan makanan di atas meja. Tatapan Rudi Mahardika, menyorot murka pada putri semata wayangnya yang kini tengah berdiri di hadapannya dengan pandangan tertunduk. "Jangan ikut campur!" hardik Rudi, mendelik tajam ke arah Ivana yang hendak mendekati putrinya. Riana. Para pelayan beringsut mundur mengambil tempat di belakang dengan berjejer rapi tanpa berani mengangkat muka. Riana mencengkeram ujung bajunya, menahan rasa perih yang kian menjalar. Cairan bening mulai menggenangi kedua iris karamel itu. Sebisa mungkin Riana menahan diri untuk tidak menangis. "Apa kau masih ingin membantah ayahmu?" Tatapan Rudi menusuk tajam. Riana memberanikan diri mengangkat muka, menatap wajah ayahnya yang kini diliputi amarah. "Aku butuh penjelasan, Ayah! Kenapa Ayah tega melakukan itu?"