PRAKS!
Bunyi tamparan keras menggema di langit-langit ruangan menjeda aktivitas para pelayan yang tengah menyajikan makanan di atas meja.
Tatapan Rudi Mahardika, menyorot murka pada putri semata wayangnya yang kini tengah berdiri di hadapannya dengan pandangan tertunduk.
"Jangan ikut campur!" hardik Rudi, mendelik tajam ke arah Ivana yang hendak mendekati putrinya. Riana.
Para pelayan beringsut mundur mengambil tempat di belakang dengan berjejer rapi tanpa berani mengangkat muka.
Riana mencengkeram ujung bajunya, menahan rasa perih yang kian menjalar. Cairan bening mulai menggenangi kedua iris karamel itu. Sebisa mungkin Riana menahan diri untuk tidak menangis.
"Apa kau masih ingin membantah ayahmu?" Tatapan Rudi menusuk tajam.
Riana memberanikan diri mengangkat muka, menatap wajah ayahnya yang kini diliputi amarah.
"Aku butuh penjelasan, Ayah! Kenapa Ayah tega melakukan itu?"
Rudi mengangkat sudut bibirnya. "Dia pantas menerimanya!"
"Itu tidak adil! Ayah menutup semua lapangan pekerjaan untuknya, apa itu masih belum cukup? Haruskah Ayah mengusik mata pencarian keluarganya juga?"
"Semua itu agar kau mengakhiri hubungan kalian!" Nada Rudi meninggi, penuh penekanan.
"Apa yang salah dengan Reyhan? Sesulit itukah Ayah menerimanya?"
Air mata Riana kini telah membasahi kedua pipi. Dia tidak habis pikir dengan sikap Rudi yang bisa sekejam itu sampai mempersulit kehidupan Reyhan.
"Sampai kapan pun ayah tidak akan menerima Reyhan!"
"Riana mencintainya, Ayah!"
"Cinta saja tidak cukup untuk memenuhi gaya hidupmu yang mewah. Apa kau akan kenyang hanya dengan cinta, hah?!" Rudi makin emosi, garis-garis halus kemerahan terlihat jelas di matanya.
"Harta juga tidak menjamin kebahagiaan jika tidak ada cinta, Ayah. Ayah hanya tidak bisa melihat itu, setidaknya beri Reyhan kesempatan untuk membuktikan diri."
"Heh! Apa yang bisa dibuktikan dari pemuda miskin itu?! Dia bahkan tidak layak menjadi pendampingmu!" cerca Rudi. Kedua tangannya menongkak pinggang.
"Jika bukan Reyhan, Riana tidak akan menikah, apalagi dengan pria pilihan Ayah!" balas Riana menantang. Dia tidak akan mengalah, sekalipun Rudi menamparnya lagi.
Rudi hendak melayangkan tangannya, lebih dulu dicegah Ivana.
"Cukup, Pa! Apa kau akan terus menamparnya hanya karena pemuda itu?"
Ivana mendekap Riana, mengelus surai hitam legam Riana yang tergerai.
Rudi menghela napas, mencoba meredam amarahnya.
"Kau terlalu memanjakannya, karena itu dia berbuat sesuka hati!"
Riana melepaskan diri dari dekapan Ivana, dia mengusap air matanya.
"Riana tetap pada keputusan Riana, Ayah. Sampai kapan pun Riana tidak akan mengakhiri hubungan Riana dengan Reyhan!"
Riana berbalik pergi. Rudi makin murka, dia berteriak dengan keras meminta Riana untuk berhenti. Riana tidak peduli, dia mempercepat langkah untuk segera menemui Reyhan.
***
Mobil Riana melaju kencang, speedometer mobil menyentuh angka 150 km/jam melesat di atas jalan bebas hambatan.
Kedua tangan Riana memegang kemudi dengan erat, kakinya terus menginjak pedal gas menambah kecepatan. Tangisan Riana tumpah ruah. Dadanya sesak, rasa sakit mulai menusuk. Riana memutar kemudi keluar dari jalan tol. Hiruk pikuk kendaraan memadati jalanan ibu kota di kala senja berganti malam. Riana tak tahu harus ke mana, dia perlu tempat untuk menenangkan diri.
Riana menepikan mobilnya di bahu jalan tak jauh dari sebuah taman. Malam kelam menyelimuti, rembulan bahkan enggan untuk menampakkan diri yang menyingkap di balik awan.
Riana perlahan turun dari mobil, dia butuh udara segar untuk meredam emosi yang kian memuncak. Rasa sakit itu makin mendera, kejadian beberapa saat lalu membuat dirinya jatuh dalam kesedihan yang tak bertepi. Keputusan sepihak yang dilontarkan Reyhan membuat Riana tak kuasa menahan air mata yang kini tengah membendung.
Pijakan Riana seketika lemas, dia duduk di atas trotoar dengan tangis yang sudah pecah. Tak peduli dengan beberapa pejalan kaki yang berseliweran memerhatikan dirinya. Riana terus menangis, menelungkupkan wajah di atas lipatan tangan, mengingat kembali kejadian beberapa saat lalu....
***
Riana sampai di sebuah danau yang menjadi tempat favoritnya dengan Reyhan. Di sana Reyhan sudah menunggu. Riana mengambil napas dalam sebelum melangkah. Dia tidak ingin Reyhan melihat wajahnya diliputi kesedihan. Senyum Riana mengembang, berlari cepat menghampiri Reyhan dan memeluk dari belakang.
"Apa kau menunggu lama?"
Reyhan berbalik, mengulas senyum manis lalu mengecup singkat puncak kepala Riana.
"Aku baru saja sampai!"
Reyhan membawa Riana ke bangku kayu yang tak jauh dari posisi mereka.
Reyhan masih terdiam, menatap lurus ke arah danau. Riana mengerutkan alis, menangkap sikap Reyhan yang tidak seperti biasanya selalu cerewet dan bersemangat. Sudah lima menit berlalu, tidak ada pembicaraan sama sekali. Riana memilih menunggu, dia tahu saat ini Reyhan banyak pikiran karena ulah ayahnya.
"Apa kau benar-benar mencintaiku?" Kalimat pertama yang Reyhan ucapkan setelah diam beberapa saat.
"Tanpa menjawab pun kau tahu jawabannya, Sayang." Riana lantas menyandarkan kepala di bahu Reyhan.
"Tapi aku tidak!"
Riana terkejut. Menarik diri, menatap bingung padanya.
"Kenapa berkata begitu?"
"Kita akhiri saja hubungan ini!" Reyhan menoleh. Tidak ada senyuman. Tatapannya sedingin es.
Riana menatap diam, mencoba mencerna ucapan Reyhan.
"Gurauanmu tidak lucu, Rey!" Riana menepuk punggung tangan Reyhan seraya tersenyum.
"Aku serius! Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Tak ada lagi cinta yang tersisa di hatiku sejak melihat ibuku menangis di hari itu." Reyhan menegaskan ucapannya. Dia memalingkan muka, kembali menatap lurus ke arah danau.
Tubuh Riana seketika lemas. Dia memegang ujung bangku kayu dengan erat.
Hari itu, Riana dan Reyhan hendak mampir ke kedai makan milik orang tua Reyhan. Hubungan Riana dengan orang tua Reyhan makin dekat. Reyhan mengenalkan Riana pada orang tuanya setelah menjalin enam bulan berpacaran.
Saat mereka tiba di sana, orang suruhan ayah Riana datang dan memporak-porandakan kedai makan itu setelah beberapa kali peringatan ayahnya diabaikan Riana. Rudi bahkan memanfaatkan koneksinya agar tidak ada yang menerima Reyhan di perusahaan mana pun. Semua akses telah dicegat Rudi demi membuat Riana memutuskan hubungan dengan Reyhan.
Reyhan mencoba menghentikan beberapa pria berbadan kekar yang terus saja menghancurkan kedai milik orang tuanya. Dia kewalahan melawan mereka yang menyerangnya secara bersamaan. Riana bahkan sempat menghadang saat Reyhan hendak dipukuli. Setelah merasa cukup dengan yang mereka lakukan, keenam pria itu pergi begitu saja dengan acuh.
Riana menahan sesak di dada ketika mengingat kejadian itu. Reyhan kembali menoleh, dia benar-benar serius dengan ucapannya. Suara Riana tercekat di tenggorakan, dia tidak membenarkan perbuatan Rudi, tetapi perkataan Reyhan tadi membuat Riana tak mampu mengatakan apa-apa.
Riana menahan tangan Reyhan yang hendak beranjak. "Apa kau akan menyerah semudah itu?" Riana menghela napas, mengumpulkan sisa tenaga yang bisa menguatkan hatinya. "Katamu kita akan berjuang, apakah ini akhirnya?"
Reyhan melepaskan tangan Riana.
"Apa yang kauharapkan dari hubungan ini? Kita hanya akan sama-sama terluka."
Riana menggeleng.
"Aku tidak bisa Rey, aku mencintaimu tulus dan ingin berjuang mempertahankan hubungan kita. Tarik kembali keputusanmu!"
Riana kembali memegang kedua tangan Reyhan, isak tangisnya terdengar pilu.
Reyhan memalingkan muka, hatinya bergetar mencoba menahan diri. Dia menepis tangan Riana, menyusut gumpalan bening di sudut matanya.
"Hubungan kita selesai, jaga dirimu!" Reyhan berbalik pergi, meninggalkan Riana yang tengah menangis terisak di atas bangku kayu itu.
Ini yang terbaik untukmu, Riana!
Riana mengangkat muka, deringan ponsel di dashboard mobil membuat Riana berlari cepat mengambil ponsel, berharap Reyhan berubah pikiran dan meneleponnya.
Riana mendesah lemah. Nama Bi Amina tertera di layar. Riana menolak panggilan, memilih tidak mengangkat dan menaruh ponselnya kembali.
"Kau menang ayah! Selamat, ayah telah berhasil merenggut kebahagiaan putrimu," lirihnya.
Setahun yang lalu....Hari itu, senja tak terlihat—mendung kelam menyelimuti langit sejauh mata memandang. Riana duduk di balik kaca dengan segelas susu hangat yang menjadi teman sepinya. Perlahan-lahan bulir bening menitik hingga kian deras. Baru saja Riana hendak beranjak, sebuah motor butut menepi di depan toko. Riana mengusap kaca yang berembun. Pemuda itu turun dan berlari kecil menuju ke arah pintu. Suara bel terdengar nyaring. Dia baru saja masuk dengan mengibas-ngibas jaket miliknya yang sedikit basah. Riana masih terdiam di tempat, menunggu ia membalikan badannya yang saat ini sedang memunggungi Riana. Lantas pemuda itu berbalik, membuat Riana seketika membeku. Pandangan mereka bertemu, senyuman pemuda itu mengembang. Riana lebih dulu beralih pandangan. Jantung Riana berdebar, detaknya tak kalah cepat seperti ikut lomba lari. Pemuda itu mendekat, hingga jaraknya benar-benar dekat—sangat dekat."Hai! Kau yang berjaga di sini?" tanyanya ramah.
"Riana!" Alina yang baru saja datang berlari masuk ke kamar Riana dengan tergesa-gesa."Ada apa?" Riana yang baru habis mandi bertanya bingung.Alina masih mengatur napas, memegang kedua tangan Riana dengan mimik serius."Reyhan, dia ada di sini!"Riana terkejut. Alina pasti berbohong. Mana mungkin Reyhan diizinkan masuk ke rumah."Tidak mungkin Reyhan kemari, Alina!" Riana menghadap cermin, menyisir rambutnya."Aku tidak berbohong. Aku benar-benar melihat Reyhan. Dia memakai pakaian sangat rapi. Apa mungkin dia memberanikan diri datang untuk melamarmu?"Riana menggeleng tidak percaya. Tanpa berpikir lagi, Riana berlari keluar dari kamar, jantungnya berdetak kencang. Riana terus berlari melewati koridor panjang. Beberapa pelayan yang melihatnya membungkuk memberi hormat.Riana harus berlari memutar untuk mencapai tangga karena letak kamarnya berada di ujung koridor.Satu pe
Riana bergeming ketika melihat Reyhan berjalan mendekatinya dan Faldo dengan tatapan diam. Tanpa berkata apa pun Reyhan hanya membungkukkan kepala lalu berjalan begitu saja."Berarti aku benar 'kan soal kekasihmu?" Faldo kembali bertanya.Riana tidak menjawab dan memilih beranjak pergi.Riana membuang napas kasar. Dia memandang pantulan dirinya pada cermin, mengingat kejadian semalam dengan Faldo merusak mood Riana pagi ini. Riana menarik napas dalam, memastikan sekali lagi penampilannya lalu beranjak turun."Riana akan pergi ke kantor cabang, Ayah!" ucap Riana yang tengah berada di ruang makan."Apa kau memutuskan untuk bekerja?" Rudi balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan pada makanannya di piring."Iya, Ayah. Seperti yang Ayah inginkan. Riana akan mengembangkan pusat perbelanjaan di daerah Kenanga.""Baguslah, kau boleh pergi."Riana melirik ke arah Reyhan yang sudah berdiri siga
Faldo memarkirkan mobilnya di parkiran mansion megah Rudi. Riana yang sudah bersiap, beranjak keluar dengan dress elegan membuat Riana tampak anggun. Untuk sesaat Faldo tertegun saat hendak menemui Riana. Reyhan bahkan sempat menatapnya, dia lebih dulu memutus kontak saat pandangan mereka bertemu. Riana dengan acuh berjalan melewati Reyhan dan menyambut tangan Faldo."Kau tampak cantik hari ini!" Faldo memuji seraya membukakan pintu mobil."Aku memang cantik dari lahir!" Riana melepaskan tangannya dari genggaman Faldo. Dia sengaja melakukan itu di hadapan Reyhan.Riana menatap Reyhan dari balik kaca lalu beralih pandang saat Faldo duduk di kursi kemudi."Kita mau ke mana Tuan Putri?""Restoran paling mahal. Hari ini aku ingin menghabiskan uangmu. Jadi bersikaplah sebagai calon suami yang baik!"Faldo tersenyum. "Dengan senang hati."Riana kembali melihat ke arah Reyhan sebelum mobil Faldo keluar dan melesat per
Riana menatap bayang dirinya di cermin. Dia menghela napas panjang sebelum beranjak keluar. Riana mulai bekerja hari ini. Setelah merenungi kejadian semalam, Riana memutuskan untuk menjalani kehidupannya sesuai keinginan Reyhan. Langkah Riana perlahan melambat saat pandangannya terkunci pada sosok Reyhan yang berdiri sigap menunggu di lantai bawah. Riana memutus kontak, mengalihkan pandangan melewati Reyhan dengan acuh menuju ruang makan. "Ibu senang kau memutuskan pilihan dengan bekerja. Seharusnya sejak dulu saat ayahmu meminta untuk melakukannya," ujar Ivana. Riana tidak menanggapi, dia mengambil tempat di sebelah Ivana, memakan roti panggang dengan diam. "Lakukan perkerjaanmu sebaik mungkin. Ayah tidak ingin mendengar keluhan apa pun saat kau mulai bekerja!" Rudi menatap sejenak lalu beralih melanjutkan sarapan. "Kata Tiara, Faldo akan datang menjemputmu," imbuh Ivana. "Tidak perlu, Riana akan berangkat dengan Abimanyu!" Riana meneguk jus
Faldo dan Riana sampai di rumah makan yang terletak di pinggir jalan. Faldo segera menyusul setelah memarkirkan mobilnya."Apa tidak salah kita akan makan di sini?" tanya Faldo ragu-ragu, melirik ke arah Riana yang bahkan enggan untuk menoleh, dia tengah sibuk mencari tempat kosong.Faldo ikut memanjangkan lehernya, dia melihat satu meja kosong yang berada di depan stand pemilik rumah makan. Faldo lantas menarik tangan Riana membawanya masuk."Kau tidak suka dengan tempatnya? Katanya terserah aku mau makan di mana?!" Riana menatap ke arah Faldo yang masih melihat ke sekeliling. Sangat jelas Faldo merasa tidak nyaman. Ini pertama kali baginya makan selain di restoran mahal."Di sini tidak jauh beda dengan makanan restoran. Malah lebih enak makan di sini!" kata Riana lagi.Faldo tersenyum kecut. "Aku hanya tidak terbiasa. Tapi bukan masalah, selama makan denganmu."Riana berdecih, memanggil pelayan mendekat."Mau makan apa?"
Faldo dan Riana sampai di rumah makan yang terletak di pinggir jalan. Faldo segera menyusul setelah memarkirkan mobilnya."Apa tidak salah kita akan makan di sini?" tanya Faldo ragu-ragu, melirik ke arah Riana yang bahkan enggan untuk menoleh, dia tengah sibuk mencari tempat kosong.Faldo ikut memanjangkan lehernya, dia melihat satu meja kosong yang berada di depan stand pemilik rumah makan. Faldo lantas menarik tangan Riana membawanya masuk."Kau tidak suka dengan tempatnya? Katanya terserah aku mau makan di mana?!" Riana menatap ke arah Faldo yang masih melihat ke sekeliling. Sangat jelas Faldo merasa tidak nyaman. Ini pertama kali baginya makan selain di restoran mahal."Di sini tidak jauh beda dengan makanan restoran. Malah lebih enak makan di sini!" kata Riana lagi.Faldo tersenyum kecut. "Aku hanya tidak terbiasa. Tapi bukan masalah, selama makan denganmu."Riana berdecih, memanggil pelayan mendekat."Mau makan apa?"
Riana menatap bayang dirinya di cermin. Dia menghela napas panjang sebelum beranjak keluar. Riana mulai bekerja hari ini. Setelah merenungi kejadian semalam, Riana memutuskan untuk menjalani kehidupannya sesuai keinginan Reyhan. Langkah Riana perlahan melambat saat pandangannya terkunci pada sosok Reyhan yang berdiri sigap menunggu di lantai bawah. Riana memutus kontak, mengalihkan pandangan melewati Reyhan dengan acuh menuju ruang makan. "Ibu senang kau memutuskan pilihan dengan bekerja. Seharusnya sejak dulu saat ayahmu meminta untuk melakukannya," ujar Ivana. Riana tidak menanggapi, dia mengambil tempat di sebelah Ivana, memakan roti panggang dengan diam. "Lakukan perkerjaanmu sebaik mungkin. Ayah tidak ingin mendengar keluhan apa pun saat kau mulai bekerja!" Rudi menatap sejenak lalu beralih melanjutkan sarapan. "Kata Tiara, Faldo akan datang menjemputmu," imbuh Ivana. "Tidak perlu, Riana akan berangkat dengan Abimanyu!" Riana meneguk jus
Faldo memarkirkan mobilnya di parkiran mansion megah Rudi. Riana yang sudah bersiap, beranjak keluar dengan dress elegan membuat Riana tampak anggun. Untuk sesaat Faldo tertegun saat hendak menemui Riana. Reyhan bahkan sempat menatapnya, dia lebih dulu memutus kontak saat pandangan mereka bertemu. Riana dengan acuh berjalan melewati Reyhan dan menyambut tangan Faldo."Kau tampak cantik hari ini!" Faldo memuji seraya membukakan pintu mobil."Aku memang cantik dari lahir!" Riana melepaskan tangannya dari genggaman Faldo. Dia sengaja melakukan itu di hadapan Reyhan.Riana menatap Reyhan dari balik kaca lalu beralih pandang saat Faldo duduk di kursi kemudi."Kita mau ke mana Tuan Putri?""Restoran paling mahal. Hari ini aku ingin menghabiskan uangmu. Jadi bersikaplah sebagai calon suami yang baik!"Faldo tersenyum. "Dengan senang hati."Riana kembali melihat ke arah Reyhan sebelum mobil Faldo keluar dan melesat per
Riana bergeming ketika melihat Reyhan berjalan mendekatinya dan Faldo dengan tatapan diam. Tanpa berkata apa pun Reyhan hanya membungkukkan kepala lalu berjalan begitu saja."Berarti aku benar 'kan soal kekasihmu?" Faldo kembali bertanya.Riana tidak menjawab dan memilih beranjak pergi.Riana membuang napas kasar. Dia memandang pantulan dirinya pada cermin, mengingat kejadian semalam dengan Faldo merusak mood Riana pagi ini. Riana menarik napas dalam, memastikan sekali lagi penampilannya lalu beranjak turun."Riana akan pergi ke kantor cabang, Ayah!" ucap Riana yang tengah berada di ruang makan."Apa kau memutuskan untuk bekerja?" Rudi balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan pada makanannya di piring."Iya, Ayah. Seperti yang Ayah inginkan. Riana akan mengembangkan pusat perbelanjaan di daerah Kenanga.""Baguslah, kau boleh pergi."Riana melirik ke arah Reyhan yang sudah berdiri siga
"Riana!" Alina yang baru saja datang berlari masuk ke kamar Riana dengan tergesa-gesa."Ada apa?" Riana yang baru habis mandi bertanya bingung.Alina masih mengatur napas, memegang kedua tangan Riana dengan mimik serius."Reyhan, dia ada di sini!"Riana terkejut. Alina pasti berbohong. Mana mungkin Reyhan diizinkan masuk ke rumah."Tidak mungkin Reyhan kemari, Alina!" Riana menghadap cermin, menyisir rambutnya."Aku tidak berbohong. Aku benar-benar melihat Reyhan. Dia memakai pakaian sangat rapi. Apa mungkin dia memberanikan diri datang untuk melamarmu?"Riana menggeleng tidak percaya. Tanpa berpikir lagi, Riana berlari keluar dari kamar, jantungnya berdetak kencang. Riana terus berlari melewati koridor panjang. Beberapa pelayan yang melihatnya membungkuk memberi hormat.Riana harus berlari memutar untuk mencapai tangga karena letak kamarnya berada di ujung koridor.Satu pe
Setahun yang lalu....Hari itu, senja tak terlihat—mendung kelam menyelimuti langit sejauh mata memandang. Riana duduk di balik kaca dengan segelas susu hangat yang menjadi teman sepinya. Perlahan-lahan bulir bening menitik hingga kian deras. Baru saja Riana hendak beranjak, sebuah motor butut menepi di depan toko. Riana mengusap kaca yang berembun. Pemuda itu turun dan berlari kecil menuju ke arah pintu. Suara bel terdengar nyaring. Dia baru saja masuk dengan mengibas-ngibas jaket miliknya yang sedikit basah. Riana masih terdiam di tempat, menunggu ia membalikan badannya yang saat ini sedang memunggungi Riana. Lantas pemuda itu berbalik, membuat Riana seketika membeku. Pandangan mereka bertemu, senyuman pemuda itu mengembang. Riana lebih dulu beralih pandangan. Jantung Riana berdebar, detaknya tak kalah cepat seperti ikut lomba lari. Pemuda itu mendekat, hingga jaraknya benar-benar dekat—sangat dekat."Hai! Kau yang berjaga di sini?" tanyanya ramah.
PRAKS! Bunyi tamparan keras menggema di langit-langit ruangan menjeda aktivitas para pelayan yang tengah menyajikan makanan di atas meja. Tatapan Rudi Mahardika, menyorot murka pada putri semata wayangnya yang kini tengah berdiri di hadapannya dengan pandangan tertunduk. "Jangan ikut campur!" hardik Rudi, mendelik tajam ke arah Ivana yang hendak mendekati putrinya. Riana. Para pelayan beringsut mundur mengambil tempat di belakang dengan berjejer rapi tanpa berani mengangkat muka. Riana mencengkeram ujung bajunya, menahan rasa perih yang kian menjalar. Cairan bening mulai menggenangi kedua iris karamel itu. Sebisa mungkin Riana menahan diri untuk tidak menangis. "Apa kau masih ingin membantah ayahmu?" Tatapan Rudi menusuk tajam. Riana memberanikan diri mengangkat muka, menatap wajah ayahnya yang kini diliputi amarah. "Aku butuh penjelasan, Ayah! Kenapa Ayah tega melakukan itu?"