Riana bergeming ketika melihat Reyhan berjalan mendekatinya dan Faldo dengan tatapan diam. Tanpa berkata apa pun Reyhan hanya membungkukkan kepala lalu berjalan begitu saja.
"Berarti aku benar 'kan soal kekasihmu?" Faldo kembali bertanya.
Riana tidak menjawab dan memilih beranjak pergi.
Riana membuang napas kasar. Dia memandang pantulan dirinya pada cermin, mengingat kejadian semalam dengan Faldo merusak mood Riana pagi ini. Riana menarik napas dalam, memastikan sekali lagi penampilannya lalu beranjak turun.
"Riana akan pergi ke kantor cabang, Ayah!" ucap Riana yang tengah berada di ruang makan.
"Apa kau memutuskan untuk bekerja?" Rudi balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan pada makanannya di piring.
"Iya, Ayah. Seperti yang Ayah inginkan. Riana akan mengembangkan pusat perbelanjaan di daerah Kenanga."
"Baguslah, kau boleh pergi."
Riana melirik ke arah Reyhan yang sudah berdiri sigap tak jauh dari posisinya.
Ini satu-satunya alasan agar aku bisa bicara denganmu, kata Riana dalam hati.
Reyhan lebih dulu membukakan pintu mobil untuk Riana. Hati Riana terasa sesak melihat Reyhan benar-benar melakukan tugasnya.
"Aku ingin Abimanyu yang menyetir mulai sekarang. Dia supir sekaligus pengawal pribadiku!"
Wawan yang merupakan supir keluarga hanya mengangguk patuh. Reyhan lantas mengambil alih kemudi.
Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, jalanan ibukota masih tampak lenggang. Reyhan memusatkan pandangan ke depan. Ini pertama kali baginya naik mobil bersama Riana. Waktu mereka berpacaran, Reyhan selalu membawa Riana bersama motor bututnya. Reyhan bisa menyetir saat dulu dia menjadi supir angkot sebelum mengenal Riana, itu juga tidak berlangsung lama karena pemilik angkot tiba-tiba menyuruh Reyhan berhenti tanpa alasan yang jelas.
"Apa alasanmu melakukannya?" Riana akhirnya bertanya setelah keheningan beberapa saat.
"Apa maksud Nona Riana?" Reyhan masih fokus menyetir.
Riana mendesah pelan, mencoba menahan emosi yang bergejolak mendengar Reyhan memanggilnya dengan sebutan 'nona'.
"Putar balik!"
Reyhan menatap Riana dari balik spion. "Bukankah kita harus pergi ke kantor cabang?"
"Kau tahu aku ingin pergi ke mana!"
"Maaf Nona, aku tetap mengantarkan Nona ke tempat tujuan!"
"Kau bawahanku jadi lakukan seperti perintahku!" Riana menegaskan kata-katanya. Dalam suaranya terdengar bergetar. Riana mencengkeram tas tangan yang ada di pangkuannya. Dia tidak punya pilihan lain untuk membuat Reyhan mengerti.
Reyhan lantas memutar kemudi, dan menginjak pedal gas menambah kecepatan. Tidak butuh waktu lama, mobil Riana berhenti di tempat yang Riana inginkan.
"Kau bahkan masih mengingat tempat ini!" Riana melempar pandangannya melihat sebuah danau dari balik pagar.
Itu adalah tempat kenangan Reyhan dan Riana.
"Aku hanya mengikuti perintah sesuai keinginanmu, Nona!"
Riana tertawa miris. "Benarkah? Kau bahkan benar-benar terlihat sebagai pengawalku."
"Seperti yang kau katakan tadi, Nona. Aku adalah bawahanmu, sudah sepantasnya aku mengikuti perintah majikanku."
"Itu tidak menjawab pertanyaanku!"
Riana menatap punggung Reyhan. Hatinya makin teriris melihat seragam pengawal yang Reyhan kenakan.
"Apa alasanmu melakukannya?" Riana kembali menanyakan hal yang sama.
"Aku butuh pekerjaan!"
"Kau memutuskan hubungan denganku dan memilih menjadi pengawal pribadiku karena butuh pekerjaan?" Mata Riana sudah berkaca-kaca, berharap Reyhan membalikkan badan padanya.
"Nona Riana sudah menemukan jawabannya!"
Perkataan Reyhan meluruhkan air mata Riana. Riana menggigit bibir agar suara tangisnya tidak terdengar.
"Tatap aku dan katakan yang sejujurnya, Rey!"
"Maaf Nona, posisi kita berbeda. Aku tidak bisa melewati batas!"
"Tolong Nona, aku tidak ingin kehilangan pekerjaanku!" Tangan Riana mengudara, dia hendak menyentuh bahu Reyhan, menurunkan kembali tangannya.
"Kau tahu ayahku tidak mengenal wajahmu, karena itukah kau memakai nama depanmu sebagai Abimanyu?"
"Itu separuh dari kebenaran. Nama Reyhan di kartu tanda pengenalku memang hanya disingkat dengan huruf R."
Riana menundukkan wajah, dia mencoba menguatkan hati. Tanpa sepengetahuan Riana, Reyhan memerhatikan dari balik spion. Ada duka di mata Reyhan. Tangannya memegang erat kemudi mobil.
"Kenapa kau tidak pergi jauh dari hidupku? Merelakanmu saja butuh waktu bagiku. Haruskah kau menyiksaku dengan kehadiranmu sebagai pengawal pribadiku?" Riana mengalihkan pandangan ke luar jendela. Air matanya terus mengalir tanpa henti.
"Lupakan saja aku. Nona Riana harus memulai hidup bersama orang yang sudah dijodohkan denganmu karena kita tidak pernah di takdirkan untuk bersama."
"Jangan memanggilku nona di saat kita sedang berdua aku tidak sanggup mendengarnya. Berhentilah dari pekerjaanmu, dengan begitu aku akan mencoba melupakanmu!"
"Aku tidak bisa?"
"Kenapa tidak?"
"Jika ingin aku berhenti, maka katakanlah sendiri pada ayahmu!"
Reyhan kembali menyalahkan mobil. Dia melihat dari balik spion ada mobil sedan hitam yang berada tak jauh dari posisi mereka.
"Bahkan ayahmu menyuruh orang untuk mengikuti kita."
"Jangan melihat ke belakang!" kata Reyhan lagi. Riana yang hendak berbalik menahan diri. Dia mengusap air matanya dan mengambil napas dalam untuk menenangkan diri.
"Sebaiknya kau punya alasan untuk menjelaskan pada ayahmu nanti!"
Reyhan menginjak dalam pedal gas. Dia memastikan mobil sedan itu tidak lagi mengikuti mereka.
Ayah kau benar-benar luar biasa! Bahkan di luar rumah pun aku tidak sepenuhnya bebas, batin Riana.
***
"Sepertinya kau meremehkan peringatan ayahmu!"
Riana yang baru saja menginjakkan kakinya ke dalam rumah mendapat sambutan tidak mengenakkan dari ayahnya.
"Apa maksud Ayah?" Riana pura-pura bertanya.
"Kau masih belum melupakan pemuda miskin itu?" Rudi meninggikan suaranya.
Riana melirik ke arah Reyhan yang tengah membawa tas belanjaannya.
"Taruh saja di situ dan pergilah!"
"Kau tetap di situ Abimanyu!" putus Rudi dengan penuh penekanan.
"Katakan, apa Riana memintamu mengantarnya untuk bertemu dengan mantan kekasihnya?"
"Kenapa bertanya padanya Ayah? Apa Ayah bahkan memata-mataiku?" Riana menyela, dia sedikit takut jika sampai Rudi curiga.
"Saya—"
"Jangan salahkan dia, dia hanya mengikuti perintah." Riana menyergah.
PRAKS!
Riana terperanjat melihat Rudi melayangkan tamparan keras di pipi Reyhan.
"Ayah!"
"Ini peringatan terakhir! Setiap kesalahan yang kaulakukan, orang lain yang akan menerima hukumannya. Jadi berpikirlah sebelum melakukan sesuatu!"
Amarah di mata Rudi begitu membara. Riana bisa melihat itu. Rudi tidak main-main dengan kata-katanya.
Riana menatap Reyhan dengan hati yang hancur. Dia berusaha menahan genangan air matanya yang hendak menetes. Riana tidak bisa berbuat apa-apa. Di hadapan Rudi, Riana harus berpura-pura tidak peduli. Dengan perasaan bercampur aduk, Riana melangkahkan kaki tanpa menoleh ke belakang.
Maafkan aku, Rey!
Riana terus berjalan hingga mencapai koridor menuju kamarnya. Dia memutuskan berlari dan mengunci diri di kamar.
Riana menangis sejadi-jadinya. Riana tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Reyhan saat ini. Riana mengeluarkan ponsel, mencari nomor Reyhan. Dia menatap lama isi pesan yang hendak dikirim. Riana menggeleng, membatalkan niatnya. Bisa saja Rudi sudah meretas ponsel Riana. Rudi sanggup melakukan apa pun. Riana menekuk kedua lutut, menelengkupkan wajahnya di atas lipatan tangan.
"Ayah kau benar-benar kejam!"
Faldo memarkirkan mobilnya di parkiran mansion megah Rudi. Riana yang sudah bersiap, beranjak keluar dengan dress elegan membuat Riana tampak anggun. Untuk sesaat Faldo tertegun saat hendak menemui Riana. Reyhan bahkan sempat menatapnya, dia lebih dulu memutus kontak saat pandangan mereka bertemu. Riana dengan acuh berjalan melewati Reyhan dan menyambut tangan Faldo."Kau tampak cantik hari ini!" Faldo memuji seraya membukakan pintu mobil."Aku memang cantik dari lahir!" Riana melepaskan tangannya dari genggaman Faldo. Dia sengaja melakukan itu di hadapan Reyhan.Riana menatap Reyhan dari balik kaca lalu beralih pandang saat Faldo duduk di kursi kemudi."Kita mau ke mana Tuan Putri?""Restoran paling mahal. Hari ini aku ingin menghabiskan uangmu. Jadi bersikaplah sebagai calon suami yang baik!"Faldo tersenyum. "Dengan senang hati."Riana kembali melihat ke arah Reyhan sebelum mobil Faldo keluar dan melesat per
Riana menatap bayang dirinya di cermin. Dia menghela napas panjang sebelum beranjak keluar. Riana mulai bekerja hari ini. Setelah merenungi kejadian semalam, Riana memutuskan untuk menjalani kehidupannya sesuai keinginan Reyhan. Langkah Riana perlahan melambat saat pandangannya terkunci pada sosok Reyhan yang berdiri sigap menunggu di lantai bawah. Riana memutus kontak, mengalihkan pandangan melewati Reyhan dengan acuh menuju ruang makan. "Ibu senang kau memutuskan pilihan dengan bekerja. Seharusnya sejak dulu saat ayahmu meminta untuk melakukannya," ujar Ivana. Riana tidak menanggapi, dia mengambil tempat di sebelah Ivana, memakan roti panggang dengan diam. "Lakukan perkerjaanmu sebaik mungkin. Ayah tidak ingin mendengar keluhan apa pun saat kau mulai bekerja!" Rudi menatap sejenak lalu beralih melanjutkan sarapan. "Kata Tiara, Faldo akan datang menjemputmu," imbuh Ivana. "Tidak perlu, Riana akan berangkat dengan Abimanyu!" Riana meneguk jus
Faldo dan Riana sampai di rumah makan yang terletak di pinggir jalan. Faldo segera menyusul setelah memarkirkan mobilnya."Apa tidak salah kita akan makan di sini?" tanya Faldo ragu-ragu, melirik ke arah Riana yang bahkan enggan untuk menoleh, dia tengah sibuk mencari tempat kosong.Faldo ikut memanjangkan lehernya, dia melihat satu meja kosong yang berada di depan stand pemilik rumah makan. Faldo lantas menarik tangan Riana membawanya masuk."Kau tidak suka dengan tempatnya? Katanya terserah aku mau makan di mana?!" Riana menatap ke arah Faldo yang masih melihat ke sekeliling. Sangat jelas Faldo merasa tidak nyaman. Ini pertama kali baginya makan selain di restoran mahal."Di sini tidak jauh beda dengan makanan restoran. Malah lebih enak makan di sini!" kata Riana lagi.Faldo tersenyum kecut. "Aku hanya tidak terbiasa. Tapi bukan masalah, selama makan denganmu."Riana berdecih, memanggil pelayan mendekat."Mau makan apa?"
PRAKS! Bunyi tamparan keras menggema di langit-langit ruangan menjeda aktivitas para pelayan yang tengah menyajikan makanan di atas meja. Tatapan Rudi Mahardika, menyorot murka pada putri semata wayangnya yang kini tengah berdiri di hadapannya dengan pandangan tertunduk. "Jangan ikut campur!" hardik Rudi, mendelik tajam ke arah Ivana yang hendak mendekati putrinya. Riana. Para pelayan beringsut mundur mengambil tempat di belakang dengan berjejer rapi tanpa berani mengangkat muka. Riana mencengkeram ujung bajunya, menahan rasa perih yang kian menjalar. Cairan bening mulai menggenangi kedua iris karamel itu. Sebisa mungkin Riana menahan diri untuk tidak menangis. "Apa kau masih ingin membantah ayahmu?" Tatapan Rudi menusuk tajam. Riana memberanikan diri mengangkat muka, menatap wajah ayahnya yang kini diliputi amarah. "Aku butuh penjelasan, Ayah! Kenapa Ayah tega melakukan itu?"
Setahun yang lalu....Hari itu, senja tak terlihat—mendung kelam menyelimuti langit sejauh mata memandang. Riana duduk di balik kaca dengan segelas susu hangat yang menjadi teman sepinya. Perlahan-lahan bulir bening menitik hingga kian deras. Baru saja Riana hendak beranjak, sebuah motor butut menepi di depan toko. Riana mengusap kaca yang berembun. Pemuda itu turun dan berlari kecil menuju ke arah pintu. Suara bel terdengar nyaring. Dia baru saja masuk dengan mengibas-ngibas jaket miliknya yang sedikit basah. Riana masih terdiam di tempat, menunggu ia membalikan badannya yang saat ini sedang memunggungi Riana. Lantas pemuda itu berbalik, membuat Riana seketika membeku. Pandangan mereka bertemu, senyuman pemuda itu mengembang. Riana lebih dulu beralih pandangan. Jantung Riana berdebar, detaknya tak kalah cepat seperti ikut lomba lari. Pemuda itu mendekat, hingga jaraknya benar-benar dekat—sangat dekat."Hai! Kau yang berjaga di sini?" tanyanya ramah.
"Riana!" Alina yang baru saja datang berlari masuk ke kamar Riana dengan tergesa-gesa."Ada apa?" Riana yang baru habis mandi bertanya bingung.Alina masih mengatur napas, memegang kedua tangan Riana dengan mimik serius."Reyhan, dia ada di sini!"Riana terkejut. Alina pasti berbohong. Mana mungkin Reyhan diizinkan masuk ke rumah."Tidak mungkin Reyhan kemari, Alina!" Riana menghadap cermin, menyisir rambutnya."Aku tidak berbohong. Aku benar-benar melihat Reyhan. Dia memakai pakaian sangat rapi. Apa mungkin dia memberanikan diri datang untuk melamarmu?"Riana menggeleng tidak percaya. Tanpa berpikir lagi, Riana berlari keluar dari kamar, jantungnya berdetak kencang. Riana terus berlari melewati koridor panjang. Beberapa pelayan yang melihatnya membungkuk memberi hormat.Riana harus berlari memutar untuk mencapai tangga karena letak kamarnya berada di ujung koridor.Satu pe
Faldo dan Riana sampai di rumah makan yang terletak di pinggir jalan. Faldo segera menyusul setelah memarkirkan mobilnya."Apa tidak salah kita akan makan di sini?" tanya Faldo ragu-ragu, melirik ke arah Riana yang bahkan enggan untuk menoleh, dia tengah sibuk mencari tempat kosong.Faldo ikut memanjangkan lehernya, dia melihat satu meja kosong yang berada di depan stand pemilik rumah makan. Faldo lantas menarik tangan Riana membawanya masuk."Kau tidak suka dengan tempatnya? Katanya terserah aku mau makan di mana?!" Riana menatap ke arah Faldo yang masih melihat ke sekeliling. Sangat jelas Faldo merasa tidak nyaman. Ini pertama kali baginya makan selain di restoran mahal."Di sini tidak jauh beda dengan makanan restoran. Malah lebih enak makan di sini!" kata Riana lagi.Faldo tersenyum kecut. "Aku hanya tidak terbiasa. Tapi bukan masalah, selama makan denganmu."Riana berdecih, memanggil pelayan mendekat."Mau makan apa?"
Riana menatap bayang dirinya di cermin. Dia menghela napas panjang sebelum beranjak keluar. Riana mulai bekerja hari ini. Setelah merenungi kejadian semalam, Riana memutuskan untuk menjalani kehidupannya sesuai keinginan Reyhan. Langkah Riana perlahan melambat saat pandangannya terkunci pada sosok Reyhan yang berdiri sigap menunggu di lantai bawah. Riana memutus kontak, mengalihkan pandangan melewati Reyhan dengan acuh menuju ruang makan. "Ibu senang kau memutuskan pilihan dengan bekerja. Seharusnya sejak dulu saat ayahmu meminta untuk melakukannya," ujar Ivana. Riana tidak menanggapi, dia mengambil tempat di sebelah Ivana, memakan roti panggang dengan diam. "Lakukan perkerjaanmu sebaik mungkin. Ayah tidak ingin mendengar keluhan apa pun saat kau mulai bekerja!" Rudi menatap sejenak lalu beralih melanjutkan sarapan. "Kata Tiara, Faldo akan datang menjemputmu," imbuh Ivana. "Tidak perlu, Riana akan berangkat dengan Abimanyu!" Riana meneguk jus
Faldo memarkirkan mobilnya di parkiran mansion megah Rudi. Riana yang sudah bersiap, beranjak keluar dengan dress elegan membuat Riana tampak anggun. Untuk sesaat Faldo tertegun saat hendak menemui Riana. Reyhan bahkan sempat menatapnya, dia lebih dulu memutus kontak saat pandangan mereka bertemu. Riana dengan acuh berjalan melewati Reyhan dan menyambut tangan Faldo."Kau tampak cantik hari ini!" Faldo memuji seraya membukakan pintu mobil."Aku memang cantik dari lahir!" Riana melepaskan tangannya dari genggaman Faldo. Dia sengaja melakukan itu di hadapan Reyhan.Riana menatap Reyhan dari balik kaca lalu beralih pandang saat Faldo duduk di kursi kemudi."Kita mau ke mana Tuan Putri?""Restoran paling mahal. Hari ini aku ingin menghabiskan uangmu. Jadi bersikaplah sebagai calon suami yang baik!"Faldo tersenyum. "Dengan senang hati."Riana kembali melihat ke arah Reyhan sebelum mobil Faldo keluar dan melesat per
Riana bergeming ketika melihat Reyhan berjalan mendekatinya dan Faldo dengan tatapan diam. Tanpa berkata apa pun Reyhan hanya membungkukkan kepala lalu berjalan begitu saja."Berarti aku benar 'kan soal kekasihmu?" Faldo kembali bertanya.Riana tidak menjawab dan memilih beranjak pergi.Riana membuang napas kasar. Dia memandang pantulan dirinya pada cermin, mengingat kejadian semalam dengan Faldo merusak mood Riana pagi ini. Riana menarik napas dalam, memastikan sekali lagi penampilannya lalu beranjak turun."Riana akan pergi ke kantor cabang, Ayah!" ucap Riana yang tengah berada di ruang makan."Apa kau memutuskan untuk bekerja?" Rudi balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan pada makanannya di piring."Iya, Ayah. Seperti yang Ayah inginkan. Riana akan mengembangkan pusat perbelanjaan di daerah Kenanga.""Baguslah, kau boleh pergi."Riana melirik ke arah Reyhan yang sudah berdiri siga
"Riana!" Alina yang baru saja datang berlari masuk ke kamar Riana dengan tergesa-gesa."Ada apa?" Riana yang baru habis mandi bertanya bingung.Alina masih mengatur napas, memegang kedua tangan Riana dengan mimik serius."Reyhan, dia ada di sini!"Riana terkejut. Alina pasti berbohong. Mana mungkin Reyhan diizinkan masuk ke rumah."Tidak mungkin Reyhan kemari, Alina!" Riana menghadap cermin, menyisir rambutnya."Aku tidak berbohong. Aku benar-benar melihat Reyhan. Dia memakai pakaian sangat rapi. Apa mungkin dia memberanikan diri datang untuk melamarmu?"Riana menggeleng tidak percaya. Tanpa berpikir lagi, Riana berlari keluar dari kamar, jantungnya berdetak kencang. Riana terus berlari melewati koridor panjang. Beberapa pelayan yang melihatnya membungkuk memberi hormat.Riana harus berlari memutar untuk mencapai tangga karena letak kamarnya berada di ujung koridor.Satu pe
Setahun yang lalu....Hari itu, senja tak terlihat—mendung kelam menyelimuti langit sejauh mata memandang. Riana duduk di balik kaca dengan segelas susu hangat yang menjadi teman sepinya. Perlahan-lahan bulir bening menitik hingga kian deras. Baru saja Riana hendak beranjak, sebuah motor butut menepi di depan toko. Riana mengusap kaca yang berembun. Pemuda itu turun dan berlari kecil menuju ke arah pintu. Suara bel terdengar nyaring. Dia baru saja masuk dengan mengibas-ngibas jaket miliknya yang sedikit basah. Riana masih terdiam di tempat, menunggu ia membalikan badannya yang saat ini sedang memunggungi Riana. Lantas pemuda itu berbalik, membuat Riana seketika membeku. Pandangan mereka bertemu, senyuman pemuda itu mengembang. Riana lebih dulu beralih pandangan. Jantung Riana berdebar, detaknya tak kalah cepat seperti ikut lomba lari. Pemuda itu mendekat, hingga jaraknya benar-benar dekat—sangat dekat."Hai! Kau yang berjaga di sini?" tanyanya ramah.
PRAKS! Bunyi tamparan keras menggema di langit-langit ruangan menjeda aktivitas para pelayan yang tengah menyajikan makanan di atas meja. Tatapan Rudi Mahardika, menyorot murka pada putri semata wayangnya yang kini tengah berdiri di hadapannya dengan pandangan tertunduk. "Jangan ikut campur!" hardik Rudi, mendelik tajam ke arah Ivana yang hendak mendekati putrinya. Riana. Para pelayan beringsut mundur mengambil tempat di belakang dengan berjejer rapi tanpa berani mengangkat muka. Riana mencengkeram ujung bajunya, menahan rasa perih yang kian menjalar. Cairan bening mulai menggenangi kedua iris karamel itu. Sebisa mungkin Riana menahan diri untuk tidak menangis. "Apa kau masih ingin membantah ayahmu?" Tatapan Rudi menusuk tajam. Riana memberanikan diri mengangkat muka, menatap wajah ayahnya yang kini diliputi amarah. "Aku butuh penjelasan, Ayah! Kenapa Ayah tega melakukan itu?"