Sampai pagi kembali datang lagi, Gery belum juga membicarakan tentang surat perjanjian yang sebelumnya sudah dibicarakan dengan Andy. Harusnya Gery berani, tapi entah kenapa masih ada sedikit keraguan.Rasa cinta yang telah tumbuh begitu dalam, membuat Gery takut akan kehilangan. Gery tidak mau sampai Amora pergi setelah perjanjian itu terhapuskan.“Kenapa melamun lagi?” tanya Amora.Gery tersenyum lalu memangku Amora. “Tidak, aku hanya sedang memandangimu.”Amora mengerutkan dahi. Amora memang melihat pandangan Gery ke arahnya saat sedang bercermin, tapi pikiran kosong tidak bisa dielakkan.“Kau mandi dulu, aku tunggu di bawah.” Amora bangkit dari pangkuan Gery. “Aku siapkan sarapan untukmu.”Pergi keluar dari kamar, Amora beranjak menuruni anak tangga. Di rumah ini tidak ada lagi yang mengganggu karena sosok Belva tidak ada. Sampai di lantai dasar, samar-samar Amora mulai mendengar ada percakapan.Langkah semakin dekat, Amora bisa mendengar dengan jelas apa yang sedang mereka
Sudah hampir tiga hari Belva tidak kembali ke rumah sang suami. Belva mulai sedikit frustasi karena tak kunjung bisa menemukan cara memisahkan Gery dan Amora. Kesialan Belva bertambah tatkala secara tidak sengaja berjumpa dengan mantan kekasih yang sempat menjalin hubungan sekitar dua bulan saja.Setelah berpisah dari pertemuan beberapa hari yang lalu, pria itu selalu mencoba menghubungi Belva beberapa kali. Karena menang sudah tidak ingin berhubungan, satu panggilan pun tak pernah Belva angkat.“Apa lagi sih!” dengus Belva ketika ponselnya berdering untuk yang ke lima belas kali.Sembari berdecak sebal, Belva menatap layar ponsel yang masih berdering—membuat tangannya ikut bergetar. Terpampang di sana, bukan nomor Nando, melainkan nomor sang suami. Wajah yang semula datar, perlahan menjadi biasa saja.Menggigit bibirnya, Belva belum juga menjawab panggilan tersebut. Entah kenapa ada rasa gugup dan bingung sendiri. Sudah beberapa hari tidak berjumpa, mungkin ada rasa rindu. Namun,
Amora tengah berjalan sendirian di trotoar. Amora hendak kembali ke tempat laundry usai membeli nasi bungkus untuk dimakan bersama dengan Lela.“Kemari kau!” tiba-tiba ada seseorang yang menarik lengan Amora.Amora yang terkejut hampir saja hilang kendali dan jatuh.“Belva?” pekik Amora kemudian.“Kita harus bicara!” Belva menarik lengan Amora dan mengajaknya ke tempat yang sedikit menjauh dari jalanan.“Ada apa sih?” salak Amora. “Kenapa menarikku ke sini?”“Diamlah!” hardik Belva.Amora sempat menaikkan kedua alisnya karena kaget dengan ucapan Belva yang meninggi.“Urusan kita belum selesai. Aku masih tidak terima kau mendapatkan Gery,” ujar Belva sambil menuding.Amora mendesah berat dan mengatupkan kedua matanya untuk sesaat. “Sebenarnya apa yang kau mau dariku?” tanya Amora kemudian.Belva mendecih sambil membuang muka. Kemudian Belva kembali terfokus. “Aku masih belum terima kekalahan. Kau tahu aku orangnya selalu menang bukan?”Amora akui perkataan Belva memang benar
Jika Amora sedang berkeluh kesah dengan Lela, Gery sedang berkeluh kesah dengan sepupunya yaitu Lina. Gery kabur dari kantor sampai sempat membuat Dion marah-marah tidak jelas hanya karena ingin menemui Lina. Pasalnya, jika rasa gundah terus ditahan, yang ada Gery bisa menggila.Tepat pukul dua siang, Gery sudah berada di taman belakang rumah Lina. Tiada siapapun di rumah besar ini terkecuali Lina dan satu pembantunya yang sedang menyetrika.Duduk di tepi kolam renang, Gery mencelupkan satu kakinya ke dalam air kolam, sementara punggungnya bersandar pada pondasi yang menjulang tinggi sampai ke balkon.Lina kemudian datang sambil membawa dua gelas jus mangga dengan campuran es batu di dalamnya.“Minum dulu,” tawar Lina. Satu gelas yang ia bawa diletakkan di dekat kaki kiri Gery yang selonjoran.Gery meraih gelas tersebut lalu meneguknya. Sesaat pandangannya tertuju pada pohon jeruk yang tiada buahnya dan hanya lebat daunnya saja. Gery kemudian meletakkan gelasnya kembali dan menol
Hampir semalaman Amora tidak tidur. Wanita itu duduk terjaga di samping sang suami yang masih terlelap tidak sadarkan diri. Beberapa kali mertuanya mengingatkan untuk tidur, akan tetapi Amora tetap memilih terjaga.Sampai pagi menjelang, bisa dikatakan Amora hanya melelapkan mata sekitar satu jam kurang. Itupun karena dia tertidur secara tidak sengaja.“Amora, kau sudah bangun?” kata Wenda yang baru datang. Wenda datang sambil membawakan sarapan untuk Amora.“Maaf, Bu, aku ketiduran,” kata Amora. Amora berdiri sambil mengucek kedua matanya yang terasa berat. Tubuhnya terasa letih saat digerakkan untuk beranjak.“Duduklah sini.” Wenda mengajak Amora duduk di sofa yang tersedia di kamar ini. “Kau pasti lapar kan?”Amora menggeleng. “Aku tidak ingin makan.”Wenda tersenyum dan mendengkus lirih. Dua tangannya sibuk membuka nasi box yang baru ia beli. “Tidak boleh begitu, kau harus makan. Semalam kau sudah tidak tidur. Jangan sampai kelelahan. Kalau kau ikut sakit, siapa yang menem
Suasana rumah sakit kembali panik setelah sebelumnya Gery yang mengalami kecelakaan. Sebagai sosok orangtua, Abraham dan Wenda kini sedang terpaku akan tetapi juga menjerit. Satu putranya belum sadarkan diri, dan kini sang putra sulung juga mengalami kecelakaan hebat.Bukan soal tangguh, tapi sebagai sosok ayah, Abraham tetap mencoba tenang. Apalagi melihat sang istri sudah menangis histeris usai sekilas melihat keadaan Theo sebelum diperiksa. Bahkan Wenda sempat beberapa kali pingsan.Tidak jauh dari mereka—di sebuah ruang periksa— ada juga Belva yang secara sadar diri sudah membuat Theo mengalami kecelakaan. Kalau bukan karena didorong oleh Theo, pastilah Belva yang sudah mengalami kecelakaan tersebut. Alhasil, Belva hanya mengalami luka di bagian kedua lututnya karena jatuh tersungkur usai didorong oleh Theo.“Ini bagaimana, suamiku?” isak Wenda. Wenda banjir air mata dan merengkuh tubuh sang suami.Abraham mencoba kuat, tapi sejujurnya hatinya begitu teriris. Dua putra kesayan
Penyesalan tiada yang pernah muncul di depan, ia selalu datang di akhir—di saat semua benar-benar tidak bisa diputar kembali. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Begitulah pepatah yang mungkin saat ini bisa menggambarkan sosok Belva.Satu minggu setelah kepergian Theo, Belva hampir tidak pernah keluar dari kamarnya. Beberapa kali Wenda membujuknya hanya untuk sekedar meneguk air putih, tapi Belva tetap acuh. Rumah besar ini mendadak sepi seperti tak berpenghuni.Sementara di kamar lain, Amora tengah menyuapi sang suami yang duduk bersandar di atas ranjang. Terlalu berisiko memang saat memberi tahu kepergian Theo pada Gery. Bagaimana tidak, tepat saat kepergian Theo, saat itu juga Gery tersadar dari tidur lelapnya yang hampir satu minggu.Ada kesenangan, tapi ada juga kesedihan.“Kau baik-baik saja kan?” tanya Amora saat satu suap berhasil masuk ke dalam mulut Gery.Gery mengangguk sambil mengunyah makanannya dengan pelan.“Bagaimana Theo bisa kecelakaan?” tanya Gery.Amora menyuap
“Bagaimana aku bisa ada di sini!” Gery terperanjat dan langsung terduduk begitu saja.Gery toleh kanan kiri lalu menunduk mengamati dirinya yang ternyata tengah bertelanjang dan hanya menyisakan celana bokser saja. Yang lebih mengejutkan lagi, di kamar ini Gery tidaklah sendirian. Ada seorang wanita yang masih tertidur lelap di sampingnya.“Ba-bagaimana mungkin ...” Gery mulai panik sendiri.“Kau sudah bangun?” suara lirih wanita yang masih berbalut selimut membuat Gery terhenyak.“Katakan! Bagaimana aku bisa bersamamu di kamar asing ini!” mata Gery menyala sempurna.Wanita di hadapannya mengucek kedua mata sambil menarik selimut untuk menutupi bagian dadanya yang hanya memakai bra saja.“Jadi ... kau tidak ingat?”“Belva!” tepis Gery saat Belva hendak mengusap lengannya. “Jangan menyentuhku!”Gery melompat dari atas ranjang lalu buru-buru memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Kemudian Gery segera memakainya dan kembali terfokus pada Belva.“Katakan, apa yang sudah
Setelah kejadian sudah berlalu, kini Gery dan Amora memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Mereka berdua berlibur ke bali dengan tujuan menenangkan pikiran dan memadu kasih. Keduanya sadar betul, kalau dalam rumah tangga terkadang memang selalu memiliki masalah. Entah itu masalah yang ringan maupun berat sekalipun. Dan kini semua sudah usai. Nomor satu adalah saling percaya. "Kau suka?" tanya Gery pada Amora yang sedang begitu lahap memakan makanan laut. Dengan mulut penuh, Amora mengangguk. "Ini sangat enak." Gery tertawa kecil. Di sebuah restoran yang tidak jauh dari pantai, memang sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Deburan ombak dan angin sepoi-sepoi yang terdengar, membuat suasana di sore hari begitu romantis. Selesai menyantap makanan, keduanya memutuskan untuk menuju bibir pantai. Berjalan menyusuri pasir yang basah, keduanya kini saling merangkul menunggu sang surya membenamkan diri untuk istirahat. "Aku senang karena semua sudah isai," kata Amora. Dua tanganny
Amora ingin marah dan pergi saja saat melihat adegan di dalam ponsel. Dadanya terasa terbakar dan ingin menangis. Namun, saat menoleh kearah Lina, Amora terpaksa tetap diam karena Lina menggenggam erat tangannya. Lina ingin Amora ada di sini sampai urusannya selesai.“Kau pikir dengan foto itu bisa membuktikan kalau Gery melakukan hal tak senonoh padamu?” cibir Lina. “Bagaimana mungkin ada orang yang mengambil gambar sedekat itu sementara kau dan Gery di sana? Ya, terkecuali kau sudah merencanakan dan menyuruh orang.”“Kau!” Belva melotot ke arah Belva.Menyadari Belva ketakutan, semakin membuat Lina ingin menyudutkannya. Wajah Belva yang mendadak gugup, juga membuat Wenda dan Abraham semakin yakin kalau Gery memang dijebak. Amora yang awalnya ingin sekali pergi, kini mulai penasaran dan ingin tahu kebenarannya.“Aku benar kan?” Lina tersenyum sambil mendengkus lirih.“Apanya yang benar!” salak Belva. “Apa kalian sedang mencoba mengeroyokku?” Belva bergantian menatap mereka semua
Amora hampir saja menjerit saat menyadari ada Gery di dalam mobil. Lina yang sudah mengira ini akan terjadi, segera menutup mulut Amora dengan telapak tangannya.“Tenang Amora,” pinta Lina.“Aku tidak bisa ikut,” kata Amora.Amora sudah hampir berbalik, tapi dengan cepat Lina menghalangi. “Kumohon Amora. Ikutlah dengan kami, kau harus tahu kebenarannya.”“Kau baik-baik saja Amora?” panggil Andy yang merasa curiga dengan keadaan di dalam mobil itu.Masih beruntung kaca mobil tidak terlalu terang di bagian luar, jadi posisi Gery di dalam mobil tidak terlalu terlihat jika kurang jeli.“Kumohon Amora.” Gery memohon sebelum Andy berjalan mendekat karena penasaran.“Aku baik-baik saja.” Amora menatap Andy. “Aku pergi dulu.”Andy yang memang merasa aneh, pada akhirnya berhenti dan membiarkan Amora masuk ke dalam mobil.Amora sudah duduk di jok belakang, sementara Gery menyetir. Beberapa kali Lina melirik kaca spion untuk melihat Amora yang duduk sambil bersandar dan membuang pandang
Keesokan harinya, Gery sudah bangun lebih awal. Dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dan menjemput sang istri pulang. Melihat wajah Gery yang sumringah saat di ruang makan, tentu membuat Abraham dan Wenda terheran-heran.“Kau sepertinya sedang bahagia, Ger?” tanya Wenda.Belum sempat Gery menjawab, Belva datang. Dia menyapa kedua mertuanya dan juga Gery. Wenda dan Abraham tersenyum tipis, sementara Gery acuh.“Aku mendadak kenyang,” kata Gery tiba-tiba. Gery hanya meneguk air putih lalu berdiri.Belva sudah mulai merasa tidak nyaman melihat sikap Gery pagi ini. Ditambah tentang ancaman Lina tadi malam. Ini pasti ada sesuatu yang sudah Gery tahu.“Sarapan dulu, Ger,” pinta Wenda.Gery berhenti melangkah lalu menoleh. “Aku tidak suka berdekatan dengan seorang pembohong!” tegas Gery. “Dan untuk ayah, Ibu, jangan percaya dengan omongan wanita itu. Dia hanya menjebakku.”Degh! Kini Belva yakin kalau Gery sudah tahu tentang kejadian malam itu yang sebenarnya memang tidak terjad
Lina sudah sampai di dalam kamar Gery. Ia masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Amora sampai jatuh sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.“Kau bertengkar dengan Amora?” tanya Lina.Gery melempar kemeja ke sembarang tempat lalu beralih memakai kaos oblong. “Tidak bertengkar, tapi ... ah, entahlah!” Gery nampak frustasi.Lina berdecak lalu mendorong Gery supaya segera duduk. “Tenangkan dirimu dulu. Bicaralah dengan tenang, mungkin aku bisa membantu.”Gery meraup wajah sambil mendesah. “Ini semua salahku. Mungkin ini karma karena aku dulu sudah membuat Amora menderita.”Lina tiba-tiba mendecih dan membuang muka. “Bukan dulu, tapi sekarang pun kau masih membuatnya menderita.”“Hey!” teriak Gery tiba-tiba. Lina sampai membelalak. “Kau datang mau memberiku solusi atau mau menyalahkanku.”“Ya, ya, maaf. Aku hanya kesal padamu,” sahut Lina.“Aku harus bagaimana sekarang?” Gery menengadah lalu tertunduk pasrah. “Aku tidak mau kehilangan Amora. Dan jug
Dokter mengatakan kalau keadaan Amora sudah baik-baik saja. Janin dalam kandungannya pun juga baik-baik saja. Menurut pemeriksaan dokter, Amora mengalami syok hingga perutnya terasa kram.Usai mendengar penjelasan dokter, Gery merasakan sekujur tubuhnya seolah sudah dihantam badai. Rasa bersalah muncul dan membuat dirinya seolah merasa tiada artinya.Hanya karena merasa takut kehilangan, Gery sampai membuang rasa percaya pada sang istri. Ini sangat salah. Sungguh salah.“Apa yang kau pikirkan sampai berbuat buruk pada Amora?” tanya Abraham.Di ruangan di mana Amora tengah berbaring, Gery tengah diinterogasi oleh ayah dan ibunya.“Aku hanya takut kehilangan dia, Ayah.” Jawab Gery seadanya. “Aku sangat takut sampai tidak tahu harus berbuat apa.”“Apa dengan begitu kau bisa tidur dengan Belva seenaknya?” salak Wenda. “Kau bilang mencintai Amora, tapi kau main di belakang bersama Belva. Astaga, Gery! Ibu tidak habis pikir kenapa kau bisa melakukan hal keji seperti itu.”Beberapa ka
Baru saja Belva duduk, Gery dan Amora datang. Wajah keduanya begitu sumringah, membuat Wenda dan Abraham saling pandang sesaat dan merasa penasaran.“Sepertinya kalian sedang bahagia sekali pagi ini?” tanya Wenda dengan nada menyindir. Wajahnya mengulum senyum menahan rasa penasaran. “Ibu jadi ingin tahu.”Gery dan Amora bergandengan tangan kemudian duduk berdampingan.“Apa ada sesuatu?” tanya Abraham.Wajah Gery dan Amora sungguh membuat Ayah dan Ibu penasaran.Tidak melepas genggaman tangan, Gery menatap Amora sesaat sebelum kemudian beralih menatap Ayah dan ibu.“Berhubung kalian semua sedang di sini, aku ingin mengatakan sesuatu.” Gery kembali menoleh ke arah Amora sambil tersenyum.Ayah dan ibu saling pandang dan semakin penasaran, sosok Belva yang sebenarnya sudah tahu memilih pura-pura mendengarkan saja.“Ada apa, Sih? Ibu jadi penasaran,” kata Wenda.“Amora hamil.”Dua kata saja berhasil membuat ayah dan ibu membelalakkan mata. Mereka berdua terdiam sesaat tanpa berk
Satu bulan berlalu, kandungan dalam perut Belva mulai sedikit membuncit. Namun, tiada yang tahu kalau dia hamil karena memang sudah berniat disembunyikan selama dua bulan ini. Tepatnya tak lama setelah kepergian Theo.Belva tengah sibuk mempersiapkan sesuatu, di kamar lain juga tak berbeda. Amora tengah berganti pakaian sebelum kemudian menyiapkan pakaian untuk sang suami.Sambil menata pakaian, sesekali Amora menengok ke arah pintu kamar mandi. Amora sudah tidak sabar memberi kejutan yang selama ini ia simpan dengan rapi. Amora sudah berniat memberitahu, tapi lebih dulu menunggu kepastian dari dokter.Sambil tersenyum, Amora meletakkan testpack dan surat keterangan dari dokter di atas baju ganti Gery. Setelah itu, Amora mundur dan sibuk membereskan kamar yang berantakan karena pertempuran keringat semalam.Ceklek!Amora membulatkan mata sesaat ketika sedang menyapu sudut ruangan. Amora gemetaran dan gugup sendiri.“Tenang Amora, semua akan baik-baik saja.” Amora mengusap dada
Amora tersadar saat gedoran pintu kian kencang. Amora juga dapat mendengar suara sang suami beberapa kali memanggilnya. Dalam situasi yang remang-remang seperti ini, Amora pikir panggilan itu hanya sebatas ilusi atau mimpi. Namun, begitu Amora sempoyongan berjalan dan membuka pintu, barulah Amora sadar kalau suaminya memang ada di sini.“Ka-kau?” mata sayu, Amora masih belum yakin kalau orang yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Gery.Gery tidak langsung menyerobot melainkan lebih dulu menatap lekat-lekat wajah sang istri yang tersorot lampu penerangan di bagian teras.Matanya bengkak, wajahnya sayu. Benarkah begitu? Gery tengah membatin.“Kenapa kau di sini?” tanya Gery. “kenapa tidak pulang?”Amora mengucek matanya yang terasa berat untuk terbuka. Kemudian masuk kembali tanpa bicara apapun. Gery berdecak mengikuti di belakang.“Jawab!” pinta Gery.“Tunggulah sebentar, nyawaku belum terkumpul,” sahut Amora jengkel.Amora menuju ruang belakang sementara Gery menunggu di