Dini mengambil air wudhu dari kran di kamar mandi rumah pak Sidik. Perasaannya campur aduk, setelah mendengar semua kejadian yang diceritakan oleh pamannya Iwan.
”Neng Dini ga perlu temui Iwan dan neng Dewi lagi. Kasian mereka..”Dini mengangguk pelan.Dalam shalat, Dini mengadukan semua kepada Tuhannya. Tiba-tiba saja ia langsung menangis karena teringat akan dosanya yang begitu banyak terasa. Pikirannya yang kalut karena beranggapan bahwa salahnya itu banyak sekali, mungkin Tuhan juga tidak mudah memaafkan dirinya.Dini shalat dengan sangat khusyuk, disetiap gerakan shalat wanita itu tidak hentinya meneteskan air mata. Hingga diakhiri dengan salam. Dini memanjatkan doa, kesulitannya dia berkata, karena lidahnya kelu, dan hanya mampu menangis dengan hebat.
"Aku adalah pendosa, aku begitu buruk ya Allah, sekarang ini aku menghadap padaMu, dengan keadaanku yang seperti ini.
Ya Allah... Maukah Engkau memaafkan aku? Seorang wanita yang hina dan banyak menorehkan malu pada diri sendiri, ya Allah hukum aku jika engkau marah padaku, namun ampuni aku ya Allah, aku tidak memiliki tempat untuk mengadu, aku telah sadar akan kesalahanku, aku minta maaf dengan tulus padaMu ya robbi," kata batin Dini.Wanita itu sesenggukan menangis dalam sujudnya. Seluruh dosa yang telah diperbuatnya, kini muncul dalam ingatannya.Saat itu juga Dini mendadak teringat pada dosanya terhadap Dewi dan juga Iwan. Kontak rasa itu terasakan oleh Iwan, yang tiba-tiba ingin menengok pamannya ke Serang. Sedangkan Dewi, sering didatangi Dini dalam mimpinya,
”Maafkan saya non Dewi, maafkan saya..”Dini datang ke dalam mimpi Dewi sampai bersujud-sujud memohon ampunan dari Dewi.Kesalahan yang pernah wanita itu lakukan terhadap Dewi, membuat dirinya merasa malu dan hancur atas perbuatannya yang dahulu."Aku harus minta maaf kepada mereka, aku tidak boleh merasa semua baik-baik saja, padahal aku telah menyakiti perasaan seorang wanita yang begitu lemah, aku adalah wanita juga tapi aku begitu kejam dulu, astaghfirullah, sebaiknya aku segera mencari keberadaan Dewi dan Iwan, aku ingin meminta maaf, aku tidak tahu apakah diriku akan diterima atau tidak, aku sudah siap atas segala hal yang mungkin saja akan dilakukan Dewi padaku, ini adalah resiko yang harus aku tanggung dan terima." Wanita itu telah membulatkan tekadnya untuk menemui Dewi.**
Sementara itu, Iwan sudah dikontrak kerja di Kedai Kopi Para Mantan. Sekarang dia sudah berhasil mempertemukan Tia dengan ibunya. Waktunya Iwan menjaga diri sendiri dan berusaha berubah lebih baik.Di tempat pekerjaan Iwan diberi fasilitas tidur satu kamar bersama Robby, dengan kasur masing-masing. Robby sangat baik padanya, hanya saja Mytha, pacarnya Robby yang sering datang; jadi tidak bisa menginap disitu; karena ada Iwan.Mytha selalu mencari cara supaya Iwan pergi dari situ, tapi Robby selalu membela Iwan. Ada rasa kurang enak, atas perlakuan Mytha terhadap Iwan,
"Myt, kamu gak suka saya ada di sini ya?" tanya Iwan.
"Kok bang Iwan bisa ngomong begitu?" Mytha balik bertanya.
"Ya, saya cuma lihat kamu uring-uringan terus tiap hari sama Robby," kata Iwan.
"Itu kan urusan Mytha sama Robby bang. Gak ada kaitannya sama bang Iwan." Mytha bela diri.
"Ooh ya udah, gak apa-apa kalo gak ada kaitannya," kata Iwan merasa lega.
Kadang waktunya tidur, Iwan terpaksa pergi keluar karena ada Mytha di kamar Robby. Dia berkeliling pakai motornya. Sesekali, Iwan lewat di depan rumah Dewi, meski hanya melihat genteng rumah itu, rasanya dia sudah melihat Tia; yang aman dalam pelukan ibunya.
Sebenarnya dari lubuk hati Iwan yang terdalam, dia mau kembali menjalani hidup bersama Dewi. Tapi apakah itu mungkin?. Sedangkan Dewi sudah memusuhinya. Iwan butuh waktu panjang, untuk dapat mengembalikan kepercayaan Dewi terhadapnya. Meskipun hal itu, tidak semudah membalik telapak tangan.
Malam itu, bang Andy ingin mengajak Iwan pergi ke puncak, untuk buka kedai kopi yang baru di sana.
Bang Andy mengintip kamarnya, dari jendela nako yang terbuka. Dilihatnya Robby sedang asyik bercumbu dengan Mytha. Spontan bang Andy naik pitam.
"Hey Rob, keluar lu!" teriak bang Andy dari depan pintu kamar Robby.
Robby kaget, buru-buru mengenakan celana pendek, sedangkan Mytha hanya menutup tubuhnya dengan selimut.
"Lu lagi ngapain heh?" tanya bang Andy sambil mencolek pipi Robby dengan kepalan tangannya.
"Enggak. Itu, anu ... anu bang," jawab Robby terbata-bata.
"Gua gak mau tahu, keluar lu sekarang juga dari sini. Jorok amat permainan lu Rob.." kata bang Andy marah.
"Bang Iwan mana?" tanya bang Andy kasar.
"Ta tadi dia keluar, ga.. ga tau ke mana bang." Robby terbata-bata ketakutan.
"Ya jelas aja dia pergi, karena lu bawa cecunguk ke kamar. Sekarang juga lu pergi dari sini, sebelum gua habisin lu Rob," kata bang Andy sambil mengepalkan tangannya.
"I-iya bang, saya pergi," sahut Robby semakin ketakutan.
Bang Andy duduk di kursi yang ada disitu, sambil menggerutu.
"Lu pikir ini tempat penampungan jablai apa? Lu kayak kacang lupa sama kulit Rob. Udah bagus ditolongin, kurang apa gue sama lu." bang Andy makin kesal.
Robby di dalam kamar tampak membereskan baju-bajunya.
"Bawa keluar semua barang-barang lu!" bentak bang Andy sambil menendang ember yang ada disitu, lalu dia jalan menuju ke tangga.
"Gue tunggu lu 10 menit di bawah Rob. Dasar sial*n lu!" bentak bang Andy kasar, sambil menuruni anak tangga ke bawah.
Setelah selesai, Robby buru-buru turun bersama Mytha. Di garasi bang Andi menunggu mereka. Ketika Mytha sudah berada di depan bang Andy, tubuhnya ditendang oleh kaki bang Andy, hingga Mytha jatuh tersungkur.
"Pergi jauh-jauh lu," bentak bang Andy.
Robby baru saja hendak menolong Mytha.
"Eh, belom selesai urusan lu sama gua Rob," bentak bang Andy kepada Robby. Amarah yang tidak terelakkan berhasil membuat suasana jadi makin ricuh.
Robby menghampiri bang Andy, sementara Mytha buru-buru pergi dari situ dengan terpincang-pincang, dan sambil memegangi pinggangnya yang sakit kena tendang."Iya bang, ada apa lagi?" tanya Robby.
"Dasar anji*g," bentak bang Andy kasar.
Bang Andy tidak bisa menahan amarahnya, dihajarnya muka Robby. Hingga hidungnya berdarah.
"Gue udah kasih kepercayaan sama lu, malah lu sendiri yang ancurin. Lu udah sering bawa jablai itu kesini 'kan?" bentak bang Andy lagi.
Tangan bang Andy mendarat di dada Robby.
Robby menerima pukulan bang Andy, tubuhnya jatuh tersungkur menabrak dinding garasi, lalu dia bangun lagi. Robby tidak berani melawan, karena dia merasa bersalah, dan tak mampu untuk melawan.
"Maafin Robby bang Andy, maafin Robby," kata Robby meminta dikasihani.
Robby dihajar lagi oleh pukulan bang Andy. Dia jengkel pada ulah Robby, yang seenaknya bawa perempuan masuk ke kamarnya. Sebenarnya bang Andy sudah lama dengar tentang hal itu, dari Maming bagian kebersihan di kedai, bahwa Robby suka bawa perempuan ke kamarnya. Tapi bang Andy tidak menyangka jika Robby sampai melakukan hal yang kurang pantas; karena perempuan itu cuma berstatus sebagai pacar saja.
Bang Andy masih terus menghajar tubuh Robby, sampai Iwan muncul disitu.
Iwan kaget, langsung turun dari motornya.
"Bang Andy, stop bang, ada apa ini?" Iwan berusaha melerai tangan bang Andy.
"Lu juga Wan, kenapa gak lapor ke gue, kalo dia bawa jablai ke kamar." Bang Andy melotot ke arah Iwan.
"Ya maafin gue bang, gue di sini, kan, masih baru," sahut Iwan.
"Sana lu pergi Rob, gue gak mau liat muka lu lagi," bentak bang Andy.
Robby jalan dengan terhuyung-huyung lemah, dadanya sakit, hidung dan bibirnya berdarah. Bang Andy tidak peduli.
"Dia gak tau siapa gue kali ya. Macan lagi tidur, malah dibangunin. Dasar goblok." Bang Andy masih menggerutu.
Iwan memasukan motornya ke garasi.
Baru saja Iwan hendak masuk ke arah dalam.
"Wan, lu bisa bawa mobil?" tanya bang Andi.
"Bisa bang," sahut Iwan.
"Anter gue ke puncak sekarang," kata bang Andy.
"Iya bang," sahut Iwan lagi.
Mereka pun lalu naik ke mobil.
Mobil bang Andy meluncur meninggalkan kedai itu.
Setelah mobil menjauh dari kedai, bang Andy bicara.
"Wan, gue dulu juga pernah bandel, tapi kagak berani kalo bawa perempuan ke kamar. Lu tau, kan, kamar itu tempat privasi kita, apalagi sekarang ada lu di situ. Lu juga ngapain pake pergi, jadi ngasih kesempatan buat mereka," kata bang Andy.
Seketika Iwan terdiam. Dia merasa memiliki masalah yang sama. Di masa lalu, dia pernah berbuat salah yang sama. Dia juga bukan orang suci, tubuh asistennya sendiri dinikmati. Semua pernah dilakukan Iwan, sehingga dia hanya diam saat Bang Andy bicara.
"Iwan, lu dengar apa yang gue bilang ini 'kan?"
"I-iiya Bang. Dengar."
***Dalam hati, Iwan merasa menyesal sudah melukai hati Dewi dengan berselingkuh. Walaupun itu masa lalu, Iwan tetap merasa berdosa. Dia berjanji akan menemui Dewi saat sudah kembali dari puncak. Dia sekaligus ingin bertemu Tia. Lalu muncul inisiatif untuk Iwan mengajak Dewi rujuk, tetapi apa Dewi mau menerima ajakannya. ** Pagi itu, setelah kembali dari puncak, Iwan langsung menuju ke rumah Dewi dan berniat mewujudkan rencananya dari awal. Kedatangannya kali ini akan dibuat lebih baik. Ia ingin bicara serius dengan Dewi, mengajaknya untuk kembali rujuk. Jika Tuhan saja masih mau memaafkan kesalahan hambanya, Iwan yakin Dewi akan memaafkan kesalahannya. Ia tidak pernah menganggap jika Dewi akan mengusirnya saat Iwan mengatakan tentang perasaannya sekarang. Tok! Tok! Pintu rumah Dewi diketuk. Saat itu Dewi masih asyik mengajak Tia berbicara dan mencoba mengembalikan ingatan puterinya, ia lalu menghentikan terlebih dahulu. "Nanti ya. Ibu mau lihat siapa yang datang." Dengan langkah p
Dewi mengunci pintu kamarnya, diatas kursi roda, tubuh Tia gemetaran, ketakutan."Ibu, apa mereka orang jahat?"Degh !Pertanyaan Tia membuat Dewi bingung merangkai kata jawabannya, ia berjongkok disamping kursi roda Tia, menggenggam tangan Tia dengan kelembutan, akhirnya Dewi harus mengatakan apa yang sebenarnya dulu pernah terjadi. "Dulu, mereka berdua pernah jahat pada ibu. Mereka membawa Tia pergi sampai jauh dari ibu, tapi sekarang Tia sudah dikembalikan lagi kepada ibu. Ibu senang sekali." kata Dewi sambil menciumi pipi Tia.Tia belum paham apa yang dibicarakan Dewi. Namun melihat airmata yang menetes dipipi Dewi, Tia lalu menghapus lembut dengan jemarinya." Ibu jangan nangis, Tia ga tau.. Tia ga tau buu... "Dewi memeluk Tia, mengelus-elus rambut dikepalanya. Meskipun Dewi tahu persis kesadaran Tia belum pulih, tapi ia sudah mau berbicara dengan ibunya, walaupun masih menganggap ibu hanya sebuah panggilan tanpa makna yang jelas baginya. Kamar Dewi tidak terlalu luas, tapi dis
Dalam perjalanan menuju ke kedai Kopi Para Mantan, hati Iwan masih galau. Pada satu sisi dia tidak mau kehilangan Dewi dan Tia, tapi disisi lain dia membayangkan lelaki lain, yaitu sang psikiater, yang bakal hadir kedalam hidup Dewi dan Tia. Apalagi dari pembicaraan dr Finka tadi, mereka satu sekolah di SMA, masa muda yang penuh nostalgia. Ditambah lagi ingatannya pada Dini yang masih tak sadarkan diri di rumahsakit. Apakah dia bisa setega itu dengan membiarkan nasib Dini yang harus menghadapi kenyataan hidupnya sendirian?. Iwan tahu persis masa lalu Dini di kampungnya. Dini diperlakukan semena-mena oleh kedua orangtuanya, bahkan telah beberapa kali diperkosa oleh ayahnya sendiri. Itu sebabnya Dini kabur dari rumah, berusaha hidup mandiri; sampai akhirnya nasib membawanya ke kota Jakarta."Woiii.. lu mau belok kanan atau ke kiri, itu sen yang bener dong!" bentak seseorang dari sebuah motor yang tiba-tiba muncul di samping kirinya.Iwan tersentak dari lamunannya, dia lalu minta maaf k
Masa-masa menjalani pendidikan di SMA, hanya ada tiga orang di sekolah yang selalu bersaing untuk jadi juara kelas dan dapat nilai tertinggi. Selain berharap bisa mendapatkan bea siswa untuk melanjutkan kuliah keluar negeri, ada kepuasan tersendiri bila masuk ke ranking teratas diantara teman-teman lainnya di satu sekolah. Mereka itu adalah Dewi, Permana, dan Intan.Permana sudah pernah bertemu dengan Intan, sewaktu dia meneruskan pendidikan S3 di luar negeri. Akan tetapi sikap Intan kurang bersahabat. Intan membuat jarak komunikasi dengannya, mungkin karena jabatan yang dipegang Intan di kota itu, banyak didatangi orang yang butuh tandatangannya, terutama pada musim pendaftaran mahasiswa/siswi baru di negeri tersebut. Begitulah adanya. Setiap orang, tentu punya karakter dan sikap hidup yang berbeda. Atau, menjadi berubah sikap hidupnya, ketika interaksi antar ruang hidupnya berubah.** Setiba di rumahsakit, Dr Permana langsung menuju ke ruang ICU yang telah diberitahukan oleh dr Fink
Bang Andy menatap langkah Iwan menuju panggung kecil di pojok ruangan kedai itu. Dia merasa bersyukur dapat dipertemukan dengan Iwan, sosok yang tidak neko-neko. Obrolannya selalu nyambung tentang apapun. Kalau bukan karena ada isteri dan anak yang menunggu di rumah, rasanya bang Andy lebih suka ngobrol dengan Iwan ngalor ngidul soal perjalanan hidupnya, setiap malam sampai pagi.Tiba-tiba Maming lewat dari koridor ruang belakang disamping bang Andy,"E eeh Ming.. sini, duduk dulu.""Ada apa Boss?" sahut Maming sambil duduk di sebelah bang Andy."Besok pagi, lu bersihin garasi samping. Gue kurang suka kalau lama-lama garasi itu berubah jadi gudang. Pokoknya lu kosongin ruangan itu, bersihin, trus cat ulang."Bang Andy mengeluarkan dompetnya, lalu memberikan beberapa lembaran uang merah kepada Maming."Nih buat beli catnya.. Beli 1 galon yang besar trus sekalian sama roll, gak usah pake kuas ngecatnya, ntar kelamaan,""Oke boss. " sahut Maming. "Eh warna catnya apa boss?" tanya Maming
Dr Permana tidak tega melihat kondisi Dini. Bagaimana pun ia seorang perempuan. Dari hasil diskusi yang telah diadakan bersama, Pihak pemilik rumahsakit memutuskan satu solusi. Dini tetap dirawat disitu tapi tidak ditangani Dr Permana, dan tidak di ruang isolasi khusus, karena masih banyak pasien lain, terutama pasien yang sedang dalam kondisi terpapar wabah covid dan mempunyai catatan komorbid. Dalam situasi seperti itu, ruangan tersebut sangat dibutuhkan."Mendengar laporan-laporan medis, mengamati seluruh catatan, maka jalan keluar bagi masalah pasien tanpa nama itu, sebaiknya, bukan lagi merupakan tanggung jawab Dr Permana. Depresi berat seperti itu, akan semakin sulit disembuhkan, kalau kita melayani gejolak dari pengaruh halusinasi sipasien.""Terimakasih prof.. saya sepakat," ucap Dr Inggrid."Kita pindahkan pasien saat dia dalam pengaruh obat penenang dan tertidur pulas. Taruh di ruang rawat inap yang sudah tidak dipakai, di dekat kamar jenazah. Lepaskan ikatan tangannya, biark
Pinggir jalan raya pantai Pelabuhan Ratu. Dr Permana turun dari mobil, lalu mengambil kursi roda Tia dari dalam bagasi. Kemudian membukakan pintu mobil dan membantu Dewi menggendong Tia turun dari mobil.Dewi menghirup udara pantai dengan lembut, menatap laut lepas yang dirasakannya turut melepas seluruh sendi permasalahan hidup yang sedang dihadapinya. Dr Permana mendorong kursi roda Tia mendekat ke arah tepi pantai. Dewi dan Dr Permana sengaja tidak mengenakan alas kaki agar dapat menikmati kehalusan pasir di tepi pesisir pantai itu.Gulungan gelombang ombak dari arah laut lepas berkejaran menuju ke pantai. Sorot mata Tia tampak mulai gelisah, tubuhnya bergerak seolah-olah menghindari air laut yang sedang menuju ke pantai. Lama kelamaan tubuh Tia semakin berguncang, ia terlihat ketakutan,"Ayaaah.. ibuuu tollooong, ayaaah..... ibuuu toolloooong,"Dewi panik, mendekat ke arah Tia, tapi sebelum Dewi menyentuh tubuh Tia, tangannya ditahan oleh Dr Permana,"Ssstt.. jangan ganggu, Tia ga
Di ruangan rapat di rumahsakit.Dr Sumiyati, tampak membuka pintu lalu masuk, ia sudah rapi dengan kostum gaya simbok. Mengenakan daster batik lama/warna pudar ala rumahan, ditutupi oleh jaket putih seragam khas seorang dokter. Rambut terikat asal kebelakang, wajah tanpa make up, dan memakai alas kaki sendal jepit.Di ruangan itu sudah menunggu Dr Permana, Dr Seno, Prof. DR Tagor pemilik saham terbesar pada rumahsakit tersebut."Nah ini dia artis kita sudah siap..""Selamat pagi prof, dokter Seno, dokter Permana,"Dr Permana dan Dr Seno spontan menoleh kearah kedatangan Dr Sumiyati."Pagi dokter Sumiyati,"Dr Sumiyati langsung duduk dekat Dr Seno."Prof, sepertinya ada yang pasang cctv di kamar itu ya?" tanya Dr Sumiyati."Iya, kemarin saya suruh tehnisi kesitu, tapi itu cctv lama, gak bisa rekam suara, makanya Dr Sumi saya minta datang kesini. Hape Dr Sumiyati jadi merekam suaranya..?""Jadi prof... Ini," jawab Dr Sumiyati sambil mengambil hape dan menaruhnya diatas meja."Coba tolong
Matahari mulai merangkak perlahan menyapa selimut jingga sang senja. Sinarnya memerah condong ke barat. Alangkah indah semburat jingga berlapis kemerahan. Demikian pula rasa yang sedang berbunga-bunga didasar hati Iwan Suganda. Dia merasakan seolah-olah bagaikan mimpi yang hadir sepintas namun nyata dalam perjalanan hidupnya. Menikah dengan Wardah Fatimah. Gadis cantik nan rupawan, perawan asli, tingting pastinya, hmm..... Tatapan mata coklat yang melankolis, bibir mungil yang memerah tanpa polesan lipstik, menggoda hasrat Iwan sejak pertemuan pertamanya. Iwan tampak masih mengemudikan setir jeep pajero milik pak haji Mahmud. Seperti biasanya, jalan raya ini untuk sementara mulai sepi, dan akan kembali ramai oleh lalu lalang kendaraan setelah senja sembunyi kedalam pelukan malam. Mobil yang dikemudikan oleh Iwan, terlihat tiba di pinggir jalan raya depan warung, Iwan langsung parkir disitu. Para Ojek pangkalan sepi, tak terlihat seorangpun yang duduk di tempat kumpulnya. Baran
Motor yang dikendarai oleh Wahyu terlihat keluar dari halaman rumah pak haji Mahmud. "Beruntung ya bang Iwan, dapat gadis cantik, bapaknya orang kaya pula di kampung ini," "Gak usah iri Yu.. keberuntungan orang itu beda-beda. Eh, ingat ya.. ini rahasia yang harus kita tutup selamanya , jangan sampai nanti kamu kelepasan cerita ke Nuning," "Ya enggaklah Wak.." Disitulah perbedaan laki-laki dengan perempuan. Laki-laki pandai menjaga rahasia. Apalagi menyangkut keluarga sendiri. Walaupun begitu tentu ada juga laki-laki yang mulutnya comel, selalu ingin tahu tentang rahasia orang lain; kemudian menggosipkan di tempat kumpul bersama kawan-kawan yang sefrekuensi atau sesama penggosip sambil bercanda, lalu tertawa terbahak-bahak. ** Setiba di halaman warung, Nana menghampiri Wahyu, "Bapak bawa makanan ya? " Wahyu memarkir motornya, lalu menenteng plastik kresek berwarna merah yang berisi beberapa kotak dus makanan tersebut. Dua orang sopir ojek yang sedang mangkal disitu, cuma menole
Di dalam kamarnya, Iwan merenung. Tak lama kemudian, dia mengambil handphonenya, dan menghubungi Badrun, "Assalamu'alaikum kang Badrun..." "Wa alaikum salam kang Iwan.. gimana? jadi besok kesini?" "Justru saya mau kasih kabar, besok belum bisa kesitu. Mendadak di kedai tempat pekerjaan saya, bossnya ngadain pesta pernikahan anaknya kang Badrun," "Wadduh gimana ya kang Iwan?" "Iya saya juga bingung kang... gak enak ninggalin boss pas lagi ada acara keluarga. Masa saya gak bantuin?" "Iya sih.." sahut Badrun tak semangat, lemas. "Ya sudah kalau begitu, bagaimana kalau saya cari orang lain kang Iwan?" "Ya boleh aja kang Badrun, berarti saya gak jadi keluar dari pekerjaan saya disini ya kang?" Badrum diam, merenung. "Gimana kang Badrun?" "Itu mah terserah kang Iwan aja...Anak buah saya juga pada butuh kerja kang Iwan, kalau libur melaut kel;amaan, nanti mereka cari kerja ke kapal lain.. Mereka gak mau makan gaji buta tanpa kerja" "Ya sudah kalau begitu, nanti gampanglah saya a
Beberapa saat, pak haji Mahmud terdiam. Baru saja Iwan hendak bicara, pak haji Mahmud memotongnya dengan pertanyaan, "Cacatnya sejak lahir atauu......" "Musibah pak haji.." "Ya tentu saja musibah bang Iwan, tapi jangan dijadikan aib bagi keluarga," Deg! Iwan tahu kemana arah pembicaraan pak haji Mahmud, dia lalu menjelaskan garis besarnya. "Maksud saya, putri saya cacat karena korban dari musibah pak haji. Bukan cacat sejak lahir... Waktu itu, kami sekeluarga terseret ombak di pantai, sewaktu peristiwa bencana tsunami di selat sunda," "Astaghfirullah... astaghfirullah... Maafkan saya, bang Iwan" ucap pak haji Mahmud pelan, dia merasa bersalah sudah berprasangka buruk, sebelum dijelaskan oleh Iwan. Pak haji Mahmud pun diam, membisu. "Gak apa-apa pak haji.. saya memakluminya. Sekarang putri saya sudah sembuh, dia mulai belajar jalan lagi. Dua tahun kemarin, anak saya lumpuh total, dan tidak bisa bicara... Tatapan matanya kosong... mungkin saking shocknya" "Alhamdulillah kala
Kehangatan suasana keluarga itu membuat Iwan merasakan kedamaian. Ada laki-laki tua yaitu pak Sidik, dan ada ibu-ibu yang juga sudah tua, nek Warni. Iwan berharap kehadiran mereka semuanya dapat membuat Dini betah tinggal di rumah yang sudah jadi milik Iwan. Sedangkan malam itu, pak haji Mahmud dilanda kebingungan. Dia memikirkan putrinya Wardah Fatimah yang naksir kepada Iwan. Dia tahu persis bagaimana perasaan jatuh hati atau naksir dari gadis usia belasan tahun. Seperti orang lupa diri, dan mabuk kepayang. Dalam tatapan matanya yang ada hanya bayang-bayang wajah Iwan. Ia selalu mengharapkan kehadiran pujaan hatinya itu, berada disisinya. Wardah Fatimah seorang gadis yang penurut. Sejak kematian ibunya, dia hanya diasuh oleh bapaknya. Pernah pak haji Mahmud menggaji seorang Pengasuh dan juga Pembantu rumah tangga, tapi pekerja-pekerja itu pengabdiannya tidak maksimal, alias asal-asalan. Padahal pak haji Mahmud menggaji mereka melebihi gaji ART di daerah tersebut. Begitu pula Penga
Suara "uuh" yang keluar dari mulut Wardah Fatimah, mengejutkan pak haji Mahmud, yang sedang jalan di depan kamar putrinya. "Wardah, kamu kenapa... ?" Pak haji Mahmud mengetuk pintu kamarnya, pintu itu tidak terkunci. Pak haji Mahmud langsung masuk, dilihatnya tubuh anak gadisnya jatuh di lantai dengan kedua kaki masih menyangkut pada kursi kecil meja riasnya. "Kamu lagi ngapain.. kok sampai bisa begini sih?" Wardah Fatimah tak menjawab. Pak haji Mahmud lalu mengangkat tubuh putrinya, membopongnya dan meletakkannya diatas kasur. "Kok ketawa sendirian? Ada apa? Ayoo cerita ke bapak..." Wardah Fatimah menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, sekarang kita makan malam dulu yuuk.." kata pak haji Mahmud mengajak putrinya. Wardah kembali menggelengkan kepalanya. "Heii.. jatuh cinta itu butuh tenaga, kalau kamu gak makan, nanti bisa sakit... mau?" Wardah menggelengkan kepalanya kembali. "Bapak suapin ya..?" Putrinya mengangguk pelan dan tersenyum. "Dasar anak manja," gerutu pak haji
Wardah Fatimah dengan tatapan mata yang ceria, membawa toples berisi kue kering buatannya diatas nampan. Ketika langkahnya masuk ke ruang tamu, dilihatnya Iwan sudah tak ada disitu. Ia meletakkan baki tersebut diatas meja, lalu melangkah ke arah pintu keluar. Dilihatnya motor Iwan sudah melaju di halaman rumah pak haji Mahmud. Sekilas Iwan menengok ke arah pak haji Mahmud dan menganggukkan kepalanya, selintas tampak Wardah Fatimah menyender ke pintu menatap kepergian Iwan. Ia melambaikan tangan dengan ragu-ragu, namun ia melempar sesungging senyum mengantar kepergian Iwan dari situ. Motor Iwan menjauh, Wardah Fatimah terpaku, membisu, disisi pintu. Butiran lembut, mengkilat, tersirat pada manik matanya, hingga mengaburkan pandangan. Perih terasa air yang keluar pada ruang bola retinanya. Sudah lama ia tak menangis. Wardah pun menutup kedua matanya. Pak haji Mahmud melihat hal ini, jadi terharu. "Kamu kenapa Wardah?... suka sama pak Iwan ya ?" tanya pak haji Mahmud. Wardah mengan
Iwan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, dilihatnya kasur dan barang-barang milik Wahyu sudah terkumpul disitu. Dia pun masuk ke dalam kamar, sudah kosong. Iwan menghela nafas panjang, "Alhamdulillah.. ternyata tahu diri juga mereka." Dia lalu menelpon pemilik toko perabotan yang tadi di pasar. Agak lama Iwan menunggu diangkat hubungan telpon itu, sampai dua kali dia mengulang kembali nomornya, dan akhirnya.. "Hallo.. ada yang bisa saya bantu?" suara Enci dari sana yang mengangkat telpon. "Hallo Enci, saya mau tanya.. apa sudah dikirim barang yang tadi saya beli?" "Ini siapa ya?" "saya Iwan" "Oh pak Iwan.. sudah, itu mobil angkutannya baru saja jalan. Sebentar lagi juga sampai kesitu," "Baik Ci.. saya tunggu." ** Selang beberapa saat mobil pick up yang mengantar perabot pesanan Iwan datang, lalu parkir di halaman tanah kosong. Melihat hal itu, Wahyu mengajak dua orang pengemudi ojek untuk membantu mengangkat perabotan, "Eh, kita bantuin bang Iwan tuh.." Iwan menoleh k
Iwan jadi teringat kembali pada Badrun. Lelaki muda berparas tampan dengan sikap yang menawan. Apakah dia tidak tergoda pada Dini? Wanita sholeha yang menutup seluruh auratnya. Sebagai sesama lelaki, Iwan meragukan kebaikan Badrun. Hatinya menjelajah, mengingat kembali sewaktu mereka terlibat perkelahian di pantai. Padahal waktu itu, bisa saja Badrun mematahkan tangan atau kakinya; tapi dia tidak melakukannya. Apalagi ternyata Badrun adalah murid Ki Jupri. Akan tetapi kejadian pagi itu, sewaktu Dini jatuh dalam pelukan Badrun karena terpeleset, untuk sekedar melupakanya saja; hatinya sangat sulit. Bayangan itu masih terus membekas.Lamunannya terhenti ketika nek Warni menaruh secangkir kopi dengan kue dan gorengan."Bang, ini kopinya, masih panas. Yang di rumah sana sudah dingin, jadi nek ganti yang baru.. itu gorengannya juga masih hangat.. dicicipi bang..,""Iya nek... Terimakasih ya,"Nek Warni mengangguk pelan, lalu jalan menuju ke arah rumah Iwan lagi.Tak lama kemudian, bebera