Jam 10.00 pagi hari ini, hari pertama Iwan membuka bengkelnya. Dia mengenakan kaos oblong hitam dan celana jean. Laki-laki itu semakin bertambah usianya, makin terlihat aura ditubuhnya. Dengan memiliki tinggi badan proporsional sebagai laki-laki, wajah yang tertutup janggut dari mulai tulang pipi sampai rahangnya, menambah kharismanya sebagai lelaki. Kedewasaan Iwan dalam menyikapi setiap masalah hidup dengan santai dan selalu tersenyum, itulah yang telah membangkitkan aura pada wajahnya.Iwan menatap situasi lalu lintas didepan bengkel, lumayan ramai dan berisik sekali. Disitu terlihat banyak motor mundar mandir. Ada ojek online, ada tukang roti keliling, ada juga ibu-ibu yang mengantar anak-anaknya ke sekolah. Iwan menarik nafas lega. Dia lalu membereskan sebagian perlengkapan alat-alat, kaleng-kaleng oli baru, dan lainnya, yang kemarin dibelinya. Kemudian Iwan menata benda-benda itu pada rak-rak kecil yang terbuka yang disisipkan mengikuti garis cat batas anak tangga dengan warna ti
Suatu sore, di muka ruang tunggu fisioterapi terlihat beberapa pasien sedang duduk mengantri giliran masuk untuk melakukan rawat jalan. Alat fisioterapi di rumahsakit ini hanya ada tiga, sedangkan waktu bagi setiap pasien limabelas menit. Dewi berdiri disamping kursi roda Tia, karena tidak kebagian kursi di ruang tunggu. Melihat dari sisi pagar pembatas, di samping dan belakang ruang fisioterapi itu, tampak ada halaman terbuka, Dewi mendorong kursi roda Tia menuju kesitu. Ada pintu pagar dengan gembok bergelantung. Dewi mencoba mendekati pintu pagar tersebut, ternyata gemboknya tidak terkunci. Ia pun lalu membuka pintu itu dan mendorong kursi roda Tia masuk ke halaman samping ruang fisioterapi.Di halaman samping terlihat beberapa tanaman hias, ada pohon kamboja sedang bermekaran bunganya, kamboja Bali warna kuning, Tia suka sekali pada bunga kuning itu, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah bunga tersebut. Dewi pun memetiknya satu dan diberikan kepada Tia.Tanpa setahu Dewi, tak jauh dar
Dr Permana menutup pembicaraan pada handphonenya, lalu menoleh ke arah Dewi. Dia seolah dapat merasakan apa yang Dewi rasakan saat ini. Dengan perlakuan Iwan seperti itu, dan sebagian cerita yang sudah didengarnya dari pengakuan Dewi, tentang perselingkuhan Iwan dan Dini yang telah menghancurkan hatinya, Dr Permana malah jadi semakin sayang kepada Dewi.Saat itu Dewi masih memikirkan Iwan. Padahal pertemuan tersebut hanya suatu kebetulan. Sebelumnya, Iwan menitipkan bengkel kepada Maming,"Ming, saya keluar sebentar, ada urusan.. Kalo udah gelap, paling orang yang datang buat tambal ban, atau isi angin aja. Tolong kamu layani ya Ming,""Siap bang...,""Oya, pintu rolling doornya tutup separuh saja,"Maming mengangguk pelan.Iwan pergi tujuannya ke mall. Dia merasa perlu memberikan hadiah untuk putrinya, Tia, tapi dia masih bingung mainan apa yang Tia butuhkan saat usianya 5 tahun ini, dan dalam kondisi amnesia pula. Apakah Tia masih mengingatnya sebagai ayahnya, sedangkan Iwan sudah l
Kedai Kopi Para Mantan~Setibanya di kedai, motor Iwan langsung parkir di depan bengkel, dia mengambil kunci gembok pintu rolling door dari saku celananya, membuka gembok, lalu mendorong motornya masuk ke dalam ruang bengkel. Dia tahu persis Maming menutup bengkel, pasti karena sudah sibuk persiapan di dalam kedai.Iwan pun lalu jalan menuju ke tangga arah ke kamarnya.Sementara itu, di dalam ruang kerja bang Andy tampak Dr Permana dan Dewi masih bercengkerama, setelah Dewi menceritakan segala macam persoalannya kepada bang Andy, serta akibatnya Dr Permana malah jadi kena bogem mentah dari kepalan tangan Iwan."Ya sudah kamu gak perlu takut Dewi, karena rasa ketakutan itu akan memicu bermacam penyakit di dalam tubuh. Kasihan nanti anakmu siapa yang mengurusnya?.""Iya pak saya mengerti, ""Tetap fokus saja pada perawatan putrimu terutama menjaga kesehatan dirimu sendiri, nanti kalau ada apa-apa... kamu bisa hubungi ke no hape saya. Na, tolong kamu kasih no hape papah, soalnya pah gak h
Malam, di Kedai Kopi Para Mantan~Betul juga kata Iwan, kedai sudah banyak pengunjungnya. di halaman depan yang dijadikan tempat parkir motor, dan di pinggir jalan terlihat beberapa mobil parkir, termasuk mobil Dr. Permana. Mobil bang Andy lalu parkir di depan bengkel, Iwan dan bang Andy turun dari mobil, jalan menuju ke depan kedai, lalu masuk ke dalam.Baru beberapa langkah Iwan masuk, tiba-tiba dia dihadang oleh Dr Permana, yang mendorong dada Iwan, hingga hampir saja Iwan menabrak meja di dekatnya."He.. lu yang culik anaknya Dewi ya?""Enak aja lu ngomong gitu?" sahut Iwan.Bang Andy kaget melihat putranya menghadang Iwan,"Ada apa ini Na..?""Dia pah orangnya.. dia mantan suami Dewi,"Bang Andy kaget,"Betul Wan..?""Iya bang betul... tapi barusan dia menuduh saya culik anak saya sendiri, saya belum gila, kalau saya culik pun apa alasannya? saya gak punya waktu mengurus anak itu, tugas saya disini sudah full time"Bang Andy menatap Iwan dan lalu menoleh ke arah Dr Permana,"Bang
Diperjalanan pulang menuju ke kedai, dalam benaknya terbersit uang yang lima puluh juta dari bang Andy akan disimpannya dulu dibuku tabungannya, supaya suatu hari nanti bisa dia gunakan untuk biaya Tia selama di Panti Asuhan, serta berobat jalan. Tapi apa cukup dengan uang sejumlah itu?. Mengingat perawatan Tia sampai bisa sembuh total mungkin akan makan waktu yang cukup lama, sedangkan biaya perawatan rumahsakit sangat tinggi bagi kondisi keuangan Iwan saat ini. Sedikitnya Iwan harus menyimpan gaji dari kedai, dan sebagian keuntungan hasil pemasukan uang dari bengkel.Akan tetapi, dia merasa membutuhkan seseorang, ya seorang perempuan yang dapat membantunya untuk mengurus Tia. Mencari perempuan baru lagi? Pendekatan lagi.. huh sungguh merepotkan. Iya kalau perempuan itu benar-benar sayang kepada putrinya, kalau cuma sandiwara picisan?.Benak Iwan terasa penuh memikirkan jalan keluar, akibat mengikuti emosinya, membawa Tia keluar dari rumah Dewi, dan juga uang yang ada dalam tabunganny
Dini menatap airmata Iwan menetes disudut matanya, ia mengusap dengan jemari tangan. Pada akhirnya pecah juga tangis Dini, saat ia ingat bahwa laki-laki didepannya itu adalah orang yang pernah hadir dalam perjalanan hidupnya. Dini semakin sesegukan, Iwan memeluk erat kedadanya, seolah tak ingin melepasnya kembali.Iwan mengangkat kepala Dini hingga mendongak dibawah dagunya,"Ternyata kita masih dipertemukan ya Din," kata Iwan sambil memeluknya kembali."Waktu kejadian tsunami itu, kamu terdampar dimana? siapa yang menolong kamu Din?""Aki di karang,""Karang mana? cikarang maksudnya?"Dini menggeleng,"Kara kara ang," Dini berusaha mengingat rumah aki Jupri."Oooh.. karawang betul?. Kamu masih ingat alamatnya,?Dini mengangguk pelan.Pelayan warteg bengong dan terharu melihat pertemuan mereka berdua. "Keluarganya ya mas?" sapa bapak warteg."Iya pak, sudah tiga hari menghilang,""Iya mas.. saya juga kasihan sama dia, tiap ditanya, katanya sudah lupa,"Iwan menatap wajah laki-laki par
Badrun terkejut melihat kehadiran Dini, sosok wanita berhijab yang menutup wajahnya dengan cadar. Spontan dia tersenyum. Ada rasa aneh didalam dirinya, di lingkungan kehidupan yang bebas pada suasana di pesisir pantai, tiba-tiba ada wanita bercadar. Apakah wanita ini sangat alim, hingga menutupi wajah serta tubuhnya, atau hanya ikut-ikutan trend mode saja; atau bisa juga tulus melakukannya sebagai muslimah yang wajib menutup aurat pada tubuhnya.Bu haji Romlah terlihat sedang duduk di teras, ia menegur Dini. Anak lelakinya, Badrun menghampiri ibunya, seperti biasa mencium punggung telapak tangan bu Romlah."Neng Dini, kenalkan ini Badrun anak ibu yang bungsu."Dini menangkupkan kedua telapak tangan ke dadanya, Badrun pun spontan mengikutinya menangkupkan tangan ke dadanya, lalu jalan masuk ke dalam rumah."Anak ibu ada dua, yang nomer satu perempuan, sudah menjanda tapi tinggal di rumahnya sendiri. Dia hobby bisnis neng.. kalo mau ikutan bisinis sama si Ita, nanti ibu kenalin ya,""Te
Di dalam kamarnya, Iwan merenung. Tak lama kemudian, dia mengambil handphonenya, dan menghubungi Badrun, "Assalamu'alaikum kang Badrun..." "Wa alaikum salam kang Iwan.. gimana? jadi besok kesini?" "Justru saya mau kasih kabar, besok belum bisa kesitu. Mendadak di kedai tempat pekerjaan saya, bossnya ngadain pesta pernikahan anaknya kang Badrun," "Wadduh gimana ya kang Iwan?" "Iya saya juga bingung kang... gak enak ninggalin boss pas lagi ada acara keluarga. Masa saya gak bantuin?" "Iya sih.." sahut Badrun tak semangat, lemas. "Ya sudah kalau begitu, bagaimana kalau saya cari orang lain kang Iwan?" "Ya boleh aja kang Badrun, berarti saya gak jadi keluar dari pekerjaan saya disini ya kang?" Badrum diam, merenung. "Gimana kang Badrun?" "Itu mah terserah kang Iwan aja...Anak buah saya juga pada butuh kerja kang Iwan, kalau libur melaut kel;amaan, nanti mereka cari kerja ke kapal lain.. Mereka gak mau makan gaji buta tanpa kerja" "Ya sudah kalau begitu, nanti gampanglah saya a
Beberapa saat, pak haji Mahmud terdiam. Baru saja Iwan hendak bicara, pak haji Mahmud memotongnya dengan pertanyaan, "Cacatnya sejak lahir atauu......" "Musibah pak haji.." "Ya tentu saja musibah bang Iwan, tapi jangan dijadikan aib bagi keluarga," Deg! Iwan tahu kemana arah pembicaraan pak haji Mahmud, dia lalu menjelaskan garis besarnya. "Maksud saya, putri saya cacat karena korban dari musibah pak haji. Bukan cacat sejak lahir... Waktu itu, kami sekeluarga terseret ombak di pantai, sewaktu peristiwa bencana tsunami di selat sunda," "Astaghfirullah... astaghfirullah... Maafkan saya, bang Iwan" ucap pak haji Mahmud pelan, dia merasa bersalah sudah berprasangka buruk, sebelum dijelaskan oleh Iwan. Pak haji Mahmud pun diam, membisu. "Gak apa-apa pak haji.. saya memakluminya. Sekarang putri saya sudah sembuh, dia mulai belajar jalan lagi. Dua tahun kemarin, anak saya lumpuh total, dan tidak bisa bicara... Tatapan matanya kosong... mungkin saking shocknya" "Alhamdulillah kala
Kehangatan suasana keluarga itu membuat Iwan merasakan kedamaian. Ada laki-laki tua yaitu pak Sidik, dan ada ibu-ibu yang juga sudah tua, nek Warni. Iwan berharap kehadiran mereka semuanya dapat membuat Dini betah tinggal di rumah yang sudah jadi milik Iwan. Sedangkan malam itu, pak haji Mahmud dilanda kebingungan. Dia memikirkan putrinya Wardah Fatimah yang naksir kepada Iwan. Dia tahu persis bagaimana perasaan jatuh hati atau naksir dari gadis usia belasan tahun. Seperti orang lupa diri, dan mabuk kepayang. Dalam tatapan matanya yang ada hanya bayang-bayang wajah Iwan. Ia selalu mengharapkan kehadiran pujaan hatinya itu, berada disisinya. Wardah Fatimah seorang gadis yang penurut. Sejak kematian ibunya, dia hanya diasuh oleh bapaknya. Pernah pak haji Mahmud menggaji seorang Pengasuh dan juga Pembantu rumah tangga, tapi pekerja-pekerja itu pengabdiannya tidak maksimal, alias asal-asalan. Padahal pak haji Mahmud menggaji mereka melebihi gaji ART di daerah tersebut. Begitu pula Penga
Suara "uuh" yang keluar dari mulut Wardah Fatimah, mengejutkan pak haji Mahmud, yang sedang jalan di depan kamar putrinya. "Wardah, kamu kenapa... ?" Pak haji Mahmud mengetuk pintu kamarnya, pintu itu tidak terkunci. Pak haji Mahmud langsung masuk, dilihatnya tubuh anak gadisnya jatuh di lantai dengan kedua kaki masih menyangkut pada kursi kecil meja riasnya. "Kamu lagi ngapain.. kok sampai bisa begini sih?" Wardah Fatimah tak menjawab. Pak haji Mahmud lalu mengangkat tubuh putrinya, membopongnya dan meletakkannya diatas kasur. "Kok ketawa sendirian? Ada apa? Ayoo cerita ke bapak..." Wardah Fatimah menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, sekarang kita makan malam dulu yuuk.." kata pak haji Mahmud mengajak putrinya. Wardah kembali menggelengkan kepalanya. "Heii.. jatuh cinta itu butuh tenaga, kalau kamu gak makan, nanti bisa sakit... mau?" Wardah menggelengkan kepalanya kembali. "Bapak suapin ya..?" Putrinya mengangguk pelan dan tersenyum. "Dasar anak manja," gerutu pak haji
Wardah Fatimah dengan tatapan mata yang ceria, membawa toples berisi kue kering buatannya diatas nampan. Ketika langkahnya masuk ke ruang tamu, dilihatnya Iwan sudah tak ada disitu. Ia meletakkan baki tersebut diatas meja, lalu melangkah ke arah pintu keluar. Dilihatnya motor Iwan sudah melaju di halaman rumah pak haji Mahmud. Sekilas Iwan menengok ke arah pak haji Mahmud dan menganggukkan kepalanya, selintas tampak Wardah Fatimah menyender ke pintu menatap kepergian Iwan. Ia melambaikan tangan dengan ragu-ragu, namun ia melempar sesungging senyum mengantar kepergian Iwan dari situ. Motor Iwan menjauh, Wardah Fatimah terpaku, membisu, disisi pintu. Butiran lembut, mengkilat, tersirat pada manik matanya, hingga mengaburkan pandangan. Perih terasa air yang keluar pada ruang bola retinanya. Sudah lama ia tak menangis. Wardah pun menutup kedua matanya. Pak haji Mahmud melihat hal ini, jadi terharu. "Kamu kenapa Wardah?... suka sama pak Iwan ya ?" tanya pak haji Mahmud. Wardah mengan
Iwan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, dilihatnya kasur dan barang-barang milik Wahyu sudah terkumpul disitu. Dia pun masuk ke dalam kamar, sudah kosong. Iwan menghela nafas panjang, "Alhamdulillah.. ternyata tahu diri juga mereka." Dia lalu menelpon pemilik toko perabotan yang tadi di pasar. Agak lama Iwan menunggu diangkat hubungan telpon itu, sampai dua kali dia mengulang kembali nomornya, dan akhirnya.. "Hallo.. ada yang bisa saya bantu?" suara Enci dari sana yang mengangkat telpon. "Hallo Enci, saya mau tanya.. apa sudah dikirim barang yang tadi saya beli?" "Ini siapa ya?" "saya Iwan" "Oh pak Iwan.. sudah, itu mobil angkutannya baru saja jalan. Sebentar lagi juga sampai kesitu," "Baik Ci.. saya tunggu." ** Selang beberapa saat mobil pick up yang mengantar perabot pesanan Iwan datang, lalu parkir di halaman tanah kosong. Melihat hal itu, Wahyu mengajak dua orang pengemudi ojek untuk membantu mengangkat perabotan, "Eh, kita bantuin bang Iwan tuh.." Iwan menoleh k
Iwan jadi teringat kembali pada Badrun. Lelaki muda berparas tampan dengan sikap yang menawan. Apakah dia tidak tergoda pada Dini? Wanita sholeha yang menutup seluruh auratnya. Sebagai sesama lelaki, Iwan meragukan kebaikan Badrun. Hatinya menjelajah, mengingat kembali sewaktu mereka terlibat perkelahian di pantai. Padahal waktu itu, bisa saja Badrun mematahkan tangan atau kakinya; tapi dia tidak melakukannya. Apalagi ternyata Badrun adalah murid Ki Jupri. Akan tetapi kejadian pagi itu, sewaktu Dini jatuh dalam pelukan Badrun karena terpeleset, untuk sekedar melupakanya saja; hatinya sangat sulit. Bayangan itu masih terus membekas.Lamunannya terhenti ketika nek Warni menaruh secangkir kopi dengan kue dan gorengan."Bang, ini kopinya, masih panas. Yang di rumah sana sudah dingin, jadi nek ganti yang baru.. itu gorengannya juga masih hangat.. dicicipi bang..,""Iya nek... Terimakasih ya,"Nek Warni mengangguk pelan, lalu jalan menuju ke arah rumah Iwan lagi.Tak lama kemudian, bebera
Motor yang dikendarai oleh pak Syam dan pak Soenarto menjauh dari depan warung, Wahyu buru-buru menghampiri Iwan, mendekat, dan sangat dekat sekali, setengah berbisik Wahyu bertanya, "Bang, apa petugas itu minta uang?" Iwan menoleh ke wajah Wahyu, "Iya Yu, tapi abang bilang nanti kalau semua sudah selesai." sahut Iwan sambil jalan menuju ke kursi di warung. Wahyu mengikuti jalan disampingnya. Iwan duduk, Wahyu pun ikut duduk di kursi di sebelah Iwan. "Kebiasaan petugas itu bang.. apa-apa dijadikan uang" celoteh Wahyu. "Gak apa-apalah Yu, dia kan cuma cari uang tambahan buat anak istrinya. Mungkin gajinya kurang mencukupi untuk kebutuhan keluarganya," "Mending kalau buat keluarganya, buat disco dangdutan Bang," "Itulah budaya yang sudah melenceng Yu," Iwan menarik nafas panjang. "Tapi gak semua petugas seperti itu kan Yu?" "Ya gak sih Bang. Hanya beberapa aja yang ikut-ikutan begitu. Biasanya dia ngajak tetangganya, apalagi kalau bapak tetangganya itu satu aliran" ujar
Ingatan tentang Robby dan Iwan perlahan pupus dari benaknya. Bang Andy menatap Maming dengan penuh harap. "Oke Ming.. terimakasih atas masukan lu.. Oya, bisa secepatnya gak Yana dipanggil kesini? Biar gue tau selera musiknya. Lagipula sepi banget kalo ga ada live musik disini yah.." "Iya Boss, kayaknya power kedai ini rohnya disajian musik deh.. hehehe" "Ho oh Ming, gue juga baru ngeh.. hahahaha..." bang Andy tertawa. "Sekarang juga kalo saya panggil, Yana bisa langsung meluncur kesini," "Ah yang bener lu...?!" "Iya Boss... dia kemarin sudah ada di Jakarta, katanya malam ini nginep di rumah sodaranya," "Ooooh.. gercep juga lu Ming... " "Iya gitulah boss... sayang aja tu bengkel kalo ga ada yang ngurusin," "Ya udah suruh kesini aja sekarang.. Eh, sekalian bawa baju-bajunya.. jadi gak mundar-mandir ke rumah sodaranya.." "Siap Boss" Bang Andy merasa, Iwan dapat menerima Yana yang akan menggantikan dirinya sebagai teman kerja satu profesi. Dalam pikirannya, mereka berdua b