Suatu sore, di muka ruang tunggu fisioterapi terlihat beberapa pasien sedang duduk mengantri giliran masuk untuk melakukan rawat jalan. Alat fisioterapi di rumahsakit ini hanya ada tiga, sedangkan waktu bagi setiap pasien limabelas menit. Dewi berdiri disamping kursi roda Tia, karena tidak kebagian kursi di ruang tunggu. Melihat dari sisi pagar pembatas, di samping dan belakang ruang fisioterapi itu, tampak ada halaman terbuka, Dewi mendorong kursi roda Tia menuju kesitu. Ada pintu pagar dengan gembok bergelantung. Dewi mencoba mendekati pintu pagar tersebut, ternyata gemboknya tidak terkunci. Ia pun lalu membuka pintu itu dan mendorong kursi roda Tia masuk ke halaman samping ruang fisioterapi.Di halaman samping terlihat beberapa tanaman hias, ada pohon kamboja sedang bermekaran bunganya, kamboja Bali warna kuning, Tia suka sekali pada bunga kuning itu, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah bunga tersebut. Dewi pun memetiknya satu dan diberikan kepada Tia.Tanpa setahu Dewi, tak jauh dar
Dr Permana menutup pembicaraan pada handphonenya, lalu menoleh ke arah Dewi. Dia seolah dapat merasakan apa yang Dewi rasakan saat ini. Dengan perlakuan Iwan seperti itu, dan sebagian cerita yang sudah didengarnya dari pengakuan Dewi, tentang perselingkuhan Iwan dan Dini yang telah menghancurkan hatinya, Dr Permana malah jadi semakin sayang kepada Dewi.Saat itu Dewi masih memikirkan Iwan. Padahal pertemuan tersebut hanya suatu kebetulan. Sebelumnya, Iwan menitipkan bengkel kepada Maming,"Ming, saya keluar sebentar, ada urusan.. Kalo udah gelap, paling orang yang datang buat tambal ban, atau isi angin aja. Tolong kamu layani ya Ming,""Siap bang...,""Oya, pintu rolling doornya tutup separuh saja,"Maming mengangguk pelan.Iwan pergi tujuannya ke mall. Dia merasa perlu memberikan hadiah untuk putrinya, Tia, tapi dia masih bingung mainan apa yang Tia butuhkan saat usianya 5 tahun ini, dan dalam kondisi amnesia pula. Apakah Tia masih mengingatnya sebagai ayahnya, sedangkan Iwan sudah l
Kedai Kopi Para Mantan~Setibanya di kedai, motor Iwan langsung parkir di depan bengkel, dia mengambil kunci gembok pintu rolling door dari saku celananya, membuka gembok, lalu mendorong motornya masuk ke dalam ruang bengkel. Dia tahu persis Maming menutup bengkel, pasti karena sudah sibuk persiapan di dalam kedai.Iwan pun lalu jalan menuju ke tangga arah ke kamarnya.Sementara itu, di dalam ruang kerja bang Andy tampak Dr Permana dan Dewi masih bercengkerama, setelah Dewi menceritakan segala macam persoalannya kepada bang Andy, serta akibatnya Dr Permana malah jadi kena bogem mentah dari kepalan tangan Iwan."Ya sudah kamu gak perlu takut Dewi, karena rasa ketakutan itu akan memicu bermacam penyakit di dalam tubuh. Kasihan nanti anakmu siapa yang mengurusnya?.""Iya pak saya mengerti, ""Tetap fokus saja pada perawatan putrimu terutama menjaga kesehatan dirimu sendiri, nanti kalau ada apa-apa... kamu bisa hubungi ke no hape saya. Na, tolong kamu kasih no hape papah, soalnya pah gak h
Malam, di Kedai Kopi Para Mantan~Betul juga kata Iwan, kedai sudah banyak pengunjungnya. di halaman depan yang dijadikan tempat parkir motor, dan di pinggir jalan terlihat beberapa mobil parkir, termasuk mobil Dr. Permana. Mobil bang Andy lalu parkir di depan bengkel, Iwan dan bang Andy turun dari mobil, jalan menuju ke depan kedai, lalu masuk ke dalam.Baru beberapa langkah Iwan masuk, tiba-tiba dia dihadang oleh Dr Permana, yang mendorong dada Iwan, hingga hampir saja Iwan menabrak meja di dekatnya."He.. lu yang culik anaknya Dewi ya?""Enak aja lu ngomong gitu?" sahut Iwan.Bang Andy kaget melihat putranya menghadang Iwan,"Ada apa ini Na..?""Dia pah orangnya.. dia mantan suami Dewi,"Bang Andy kaget,"Betul Wan..?""Iya bang betul... tapi barusan dia menuduh saya culik anak saya sendiri, saya belum gila, kalau saya culik pun apa alasannya? saya gak punya waktu mengurus anak itu, tugas saya disini sudah full time"Bang Andy menatap Iwan dan lalu menoleh ke arah Dr Permana,"Bang
Diperjalanan pulang menuju ke kedai, dalam benaknya terbersit uang yang lima puluh juta dari bang Andy akan disimpannya dulu dibuku tabungannya, supaya suatu hari nanti bisa dia gunakan untuk biaya Tia selama di Panti Asuhan, serta berobat jalan. Tapi apa cukup dengan uang sejumlah itu?. Mengingat perawatan Tia sampai bisa sembuh total mungkin akan makan waktu yang cukup lama, sedangkan biaya perawatan rumahsakit sangat tinggi bagi kondisi keuangan Iwan saat ini. Sedikitnya Iwan harus menyimpan gaji dari kedai, dan sebagian keuntungan hasil pemasukan uang dari bengkel.Akan tetapi, dia merasa membutuhkan seseorang, ya seorang perempuan yang dapat membantunya untuk mengurus Tia. Mencari perempuan baru lagi? Pendekatan lagi.. huh sungguh merepotkan. Iya kalau perempuan itu benar-benar sayang kepada putrinya, kalau cuma sandiwara picisan?.Benak Iwan terasa penuh memikirkan jalan keluar, akibat mengikuti emosinya, membawa Tia keluar dari rumah Dewi, dan juga uang yang ada dalam tabunganny
Dini menatap airmata Iwan menetes disudut matanya, ia mengusap dengan jemari tangan. Pada akhirnya pecah juga tangis Dini, saat ia ingat bahwa laki-laki didepannya itu adalah orang yang pernah hadir dalam perjalanan hidupnya. Dini semakin sesegukan, Iwan memeluk erat kedadanya, seolah tak ingin melepasnya kembali.Iwan mengangkat kepala Dini hingga mendongak dibawah dagunya,"Ternyata kita masih dipertemukan ya Din," kata Iwan sambil memeluknya kembali."Waktu kejadian tsunami itu, kamu terdampar dimana? siapa yang menolong kamu Din?""Aki di karang,""Karang mana? cikarang maksudnya?"Dini menggeleng,"Kara kara ang," Dini berusaha mengingat rumah aki Jupri."Oooh.. karawang betul?. Kamu masih ingat alamatnya,?Dini mengangguk pelan.Pelayan warteg bengong dan terharu melihat pertemuan mereka berdua. "Keluarganya ya mas?" sapa bapak warteg."Iya pak, sudah tiga hari menghilang,""Iya mas.. saya juga kasihan sama dia, tiap ditanya, katanya sudah lupa,"Iwan menatap wajah laki-laki par
Badrun terkejut melihat kehadiran Dini, sosok wanita berhijab yang menutup wajahnya dengan cadar. Spontan dia tersenyum. Ada rasa aneh didalam dirinya, di lingkungan kehidupan yang bebas pada suasana di pesisir pantai, tiba-tiba ada wanita bercadar. Apakah wanita ini sangat alim, hingga menutupi wajah serta tubuhnya, atau hanya ikut-ikutan trend mode saja; atau bisa juga tulus melakukannya sebagai muslimah yang wajib menutup aurat pada tubuhnya.Bu haji Romlah terlihat sedang duduk di teras, ia menegur Dini. Anak lelakinya, Badrun menghampiri ibunya, seperti biasa mencium punggung telapak tangan bu Romlah."Neng Dini, kenalkan ini Badrun anak ibu yang bungsu."Dini menangkupkan kedua telapak tangan ke dadanya, Badrun pun spontan mengikutinya menangkupkan tangan ke dadanya, lalu jalan masuk ke dalam rumah."Anak ibu ada dua, yang nomer satu perempuan, sudah menjanda tapi tinggal di rumahnya sendiri. Dia hobby bisnis neng.. kalo mau ikutan bisinis sama si Ita, nanti ibu kenalin ya,""Te
Hari berganti hari, Iwan hanya sempat satu hari menginap di Karawang, karena tugasnya belum dapat digantikan oleh siapapun. Akan tetapi hatinya berontak, rasanya ingin setiap hari dia bersama dengan Dini dan merawat Tia, namun dia tidak berani senekad itu meninggalkan peluang baik bersama orang baik yang bernama bang Andy. Dua bulan telah berlalu, Iwan kembali menengok Dini dan Tia ke Karawang. Tidak ada perubahan dari perlakuan Dini terhadap Iwan, ia tetap bersikap manis, dan melayani Iwan sebagaimana halnya istri kepada suaminya.Suatu malam, saat Dini sudah tertidur, Iwan keluar dari kamar lalu duduk di teras rumah bu haji Romlah. Badrun baru saja pulang, mendorong motornya masuk ke ruang dalam. Lalu menghampiri Iwan, Badrun dengan keramahannya, menemani Iwan duduk disitu.”Belum tidur kang..?””Iya, kebiasaan tidur tengah malam,” ”Kalau boleh tahu, Kang Iwan tugasnya dimana?” tanya Badrun.”Malam hari, saya nyanyi di kedai dan siang ngurus bengkel boss kedai,” ”Ooh, berarti kang
Mobil pajero hitam milik pak haji Mahmud melaju meninggalkan pinggir jalan depan warung Wahyu.Iwan mengenalkan Dini dan Tia pada keluarga Wahyu. Mereka pun saling bersalaman, mengenalkan diri masing-masing,"Wahyu... ini Nuning istri saya, itu nek Warni ibunya Nuning. Nah yang ini Nana teh..""Nanti Tia main sama Nana disini ya?" sela Iwan."Iya ayah.." Tia bersalaman dengan Nana."Yuuk kita main di sana, ada ayunan lho.."Nana mengajak Tia.Iwan terperangah mendengar ucapan Nana."Dimana ayunannya Na?""Di samping rumah om.. kemarin Bapak dan Aki yang buatkan.. ayoo"Nana dan Tia tampak langsung akrab. Mereka berlari menuju ke arah halaman samping rumah Iwan.Iwan, Dini, pak Sidik, Wahyu dan Nuning, saling bersitatap, dan tersenyum lebar."Alhamdulillah... makasih Yu..""Iya bang.. saya tahu mereka butuh tempat bermain, jadi kemarin saya cari ban bekas dan trus diikat ke pohon di samping belakang rumah abang..""Tapi kuat ya Yu..?""Kuat bang.."Iwan menoleh ke arah Dini."Ayo Din, k
Mereka tampak menikmati makan siang di satu warung makan di pinggir jalan raya itu. Setelah perutnya terisi makanan, wajah Dini terlihat segar. Iwan lalu menyuruhnya menelan pil anti mabuk. "Obat anti mabuknya diminum Din, kita bakal naik kapal feri.. nanti kalau mabuk lagi gimana?" "Iya bu diminum," celetuk Tia. "Iya Tia," jawab Dini sambil mengambil obat tersebut dari dalam tasnya. Dini pun lalu menelan pil anti mabuk tersebut. Tak lama kemudian, setelah Iwan merasa sudah cukup waktu istirahat bagi mereka, dia membayar makanan dan mengajak istri dan anaknya menuju ke mobil. Pak Hasan menyalakan mesin mobil, dan mobil melaju kembali. ** Pelabuhan Merak sudah terlihat. Matahari mulai bergeser ke tengah. Diantara teriknya panas matahari, tampak kesibukan kendaraan yang hendak menyeberang menuju Pelabuhan Bakauhuni. Suasana kesibukan di Pelabuhan Merak, tidak begitu padat, mungkin karena hari ini bukan hari liburan anak-anak sekolah dan bukan hari besar juga. Setelah menga
Pagi itu ditengah perjalanan, tiba-tiba Dini merasa mual pingin muntah. Ia menduga, mungkin karena dirinya tak terbiasa perjalanan jauh dengan mobil pribadi, bukan kendaraan umum. Jendela mobil yang tertutup rapat, air conditioning yang menebar hingga tercium harum lemon dari pewangi ruangan, itulah yang memicu rasa mualnya. "Okh, owegh.." "Astaghfirullah.." ucap Iwan spontan menengok ke arah Dini yang duduk di jok belakang bersama Tia. "Kamu mabuk Din?" Dini mengangguk pelan. Tia yang baru saja hampir tertidur karena asyik menatap pemandangan di luar mobil, langsung terbangun. Tia menatap ke arah wajah Dini, kemudian memeluk tangan ibunya, "Ibu kenapa... ibu sakit ya?... ibu jangan sakit..." "Ibu gak sakit Tia, ini namanya mabuk darat.. ibu gak kuat dalam mobil dengan jendela tertutup dan ac nya terlalu dingin." Iwan meminta pak Hasan untuk parkir ke pinggir jalan. "Pak Hasan, kita berhenti dulu sebentar," "Baik pak Iwan. Itu ada warung kecil.. dekat situ saj
Tiba-tiba Iwan teringat pada oleh-oleh yang dibelinya untuk ki Jupri."Oh iya, saya bawakan oleh-oleh untuk ki Jupri dan juga kang Badrun,""Waduh.. kok repot-repot kang Iwan,""Ayok kita ambil dulu di mobil,"Tia mau ikut ke mobil tapi dicegah oleh Iwan,"Tia gak usah ikut ya.. ayah sebentar kok.."Iwan lalu jalan keluar diikuti oleh ki Jupri dan Badrun.Setelah menjauh dari rumah ki Jupri, dia mengambil dua buah amplop dari saku jaketnya, yang sudah disiapkan tadi sewaktu Iwan mengambil uang dari atm. Satu untuk Badrun dan satunya lagi untuk ki Jupri,"Maaf ya kang Badrun, anak dan istri saya pasti sudah merepotkan akang. Ini ada rezeki buat kang Badrun, dan ini untuk ki Jupri,""Eh kang Iwan apa-apaan inih, saya kan bantunya ikhlas,""Iya aki juga ikhlas," celetuk ki Jupri."Gak apa-apa kang Badrun, ki Jupri, saya juga ikhlas.. diterima ya. Supaya rezeki kita ke depan sama-sama lancar nantinya,"Akhirnya Badrun dan ki Jupri menerima amplop tersebut."Alhamdulillah.." sahut Badrun.
Di ruang makan, seperti biasanya pak haji Mahmud menyantap sarapan pagi yang disediakan oleh putrinya. Bedanya dengan hari-hari kemarin, adanya kehadiran sosok menantunya, yaitu Iwan Suganda. Lelaki yang baru dikenalnya seumur jagung, tapi ada keterkaitan kepentingan emosional yang bertemu keinginannya, bagai gayung bersambut, nyambung, hingga jadi bagian dari keluarganya. Sambil mengunyah makanan, pak haji menyampaikan jadwal pekerjaan hari ini kepada Iwan. "Selesai sarapan, kita ke toko material, nanti bang Iwan bisa langsung kerja disitu." "Baik pak haji..., tapi minggu depan saya minta waktu untuk jemput istri dan putri saya, sekaligus harus mengundurkan diri dulu dari bengkel yang di Jakarta," "Iya saya tahu.. itu bisa diatur nanti," "Terimakasih pak haji..." Wardah Fatimah bertanya kepada ayahnya, apakah masakannya cocok buat selera lidah suaminya..? Pak haji Mahmud pun bertanya pada Iwan, "Bang Iwan, Wardah tanya.. katanya apa cocok masakan Wardah buat bang Iwan..?" Iwan
Dini melangkah dengan pikiran yang berkecamuk, campur aduk.Ada rasa segan ketika diberikan uang oleh Badrun, tapi ia terpaksa harus menerimanya. Apakah laki-laki seperti kang Badrun ini tidak mengharapkan imbalan? apakah kang Bardun benar-benar setulus hati membantu dirinya?. Dini berusaha menepis pikiran negatif yang muncul, namun semakin ia berusaha melupakan kenyataan yang ada dihadapannya, justru ia bertambah galau.Dalam perjalanan menuju ke rumah ki Jupri, ia banyak melamun. Dini tidak mau kembali ke dunia hitam yang dulu pernah ia jalani. Betapa pahitnya... betapa lama rasanya waktu bergulir, sampai ia dengan berani memutuskan untuk putar haluan. Meninggalkan keluarganya yang hanya membawa mudharat bagi perjalanan hidupnya. Apakah semua perempuan di dunia ini nasibnya sama? Hanya dijadikan boneka pemuas kebutuhan biologis bagi kaum laki-laki saja?. Bagaimana kalau Iwan meninggalkan dirinya bersama Tia disitu?. Apakah ia akan terdampar kembali pada dunia malam pesisir pantai y
Matahari mulai merangkak perlahan menyapa selimut jingga sang senja. Sinarnya memerah condong ke barat. Alangkah indah semburat jingga berlapis kemerahan. Demikian pula rasa yang sedang berbunga-bunga didasar hati Iwan Suganda. Dia merasakan seolah-olah bagaikan mimpi yang hadir sepintas namun nyata dalam perjalanan hidupnya. Menikah dengan Wardah Fatimah. Gadis cantik nan rupawan, perawan asli, tingting pastinya, hmm..... Tatapan mata coklat yang melankolis, bibir mungil yang memerah tanpa polesan lipstik, menggoda hasrat Iwan sejak pertemuan pertamanya. Iwan tampak masih mengemudikan jeep pajero milik pak haji Mahmud. Seperti biasanya, jalan raya ini untuk sementara mulai sepi, dan akan kembali ramai oleh lalu lalang kendaraan setelah senja sembunyi kedalam pelukan malam. Mobil yang dikemudikan oleh Iwan, terlihat tiba di pinggir jalan raya depan warung, Iwan langsung parkir disitu. Para Tukang Ojek pangkalan sepi, tak terlihat seorangpun yang duduk di tempat kumpulnya. Barangk
Motor yang dikendarai oleh Wahyu terlihat keluar dari halaman rumah pak haji Mahmud. "Beruntung ya bang Iwan, dapat gadis cantik, bapaknya orang kaya pula di kampung ini," "Gak usah iri Yu.. keberuntungan orang itu beda-beda. Eh, ingat ya.. ini rahasia yang harus kita tutup selamanya , jangan sampai nanti kamu kelepasan cerita ke Nuning," "Ya enggaklah Wak.." Disitulah perbedaan laki-laki dengan perempuan. Laki-laki pandai menjaga rahasia. Apalagi menyangkut keluarga sendiri. Walaupun begitu tentu ada juga laki-laki yang mulutnya comel, selalu ingin tahu tentang rahasia orang lain; kemudian menggosipkan di tempat kumpul bersama kawan-kawan yang sefrekuensi atau sesama penggosip sambil bercanda, lalu tertawa terbahak-bahak. ** Setiba di halaman warung, Nana menghampiri Wahyu, "Bapak bawa makanan ya? " Wahyu memarkir motornya, lalu menenteng plastik kresek berwarna merah yang berisi beberapa kotak dus makanan tersebut. Dua orang sopir ojek yang sedang mangkal disitu, cuma menole
Di dalam kamarnya, Iwan merenung. Tak lama kemudian, dia mengambil handphonenya, dan menghubungi Badrun, "Assalamu'alaikum kang Badrun..." "Wa alaikum salam kang Iwan.. gimana? jadi besok kesini?" "Justru saya mau kasih kabar, besok belum bisa kesitu. Mendadak di kedai tempat pekerjaan saya, bossnya ngadain pesta pernikahan anaknya kang Badrun," "Wadduh gimana ya kang Iwan?" "Iya saya juga bingung kang... gak enak ninggalin boss pas lagi ada acara keluarga. Masa saya gak bantuin?" "Iya sih.." sahut Badrun tak semangat, lemas. "Ya sudah kalau begitu, bagaimana kalau saya cari orang lain kang Iwan?" "Ya boleh aja kang Badrun, berarti saya gak jadi keluar dari pekerjaan saya disini ya kang?" Badrum diam, merenung. "Gimana kang Badrun?" "Itu mah terserah kang Iwan aja...Anak buah saya juga pada butuh kerja kang Iwan, kalau libur melaut kelamaan, nanti mereka cari kerja ke kapal lain.. Mereka gak mau makan gaji buta tanpa kerja" "Ya sudah kalau begitu, nanti gampanglah saya at