Dalam perjalanan menuju ke kedai Kopi Para Mantan, hati Iwan masih galau. Pada satu sisi dia tidak mau kehilangan Dewi dan Tia, tapi disisi lain dia membayangkan lelaki lain, yaitu sang psikiater, yang bakal hadir kedalam hidup Dewi dan Tia. Apalagi dari pembicaraan dr Finka tadi, mereka satu sekolah di SMA, masa muda yang penuh nostalgia.
Ditambah lagi ingatannya pada Dini yang masih tak sadarkan diri di rumahsakit. Apakah dia bisa setega itu dengan membiarkan nasib Dini yang harus menghadapi kenyataan hidupnya sendirian?. Iwan tahu persis masa lalu Dini di kampungnya. Dini diperlakukan semena-mena oleh kedua orangtuanya, bahkan telah beberapa kali diperkosa oleh ayahnya sendiri. Itu sebabnya Dini kabur dari rumah, berusaha hidup mandiri; sampai akhirnya nasib membawanya ke kota Jakarta."Woiii.. lu mau belok kanan atau ke kiri, itu sen yang bener dong!" bentak seseorang dari sebuah motor yang tiba-tiba muncul di samping kirinya.Iwan tersentak dari lamunannya, dia lalu minta maaf kepada orang itu, dengan menangkup kedua telapak tangan didadanya."Maaf pak.."Pengendara motor tersebut tidak peduli, dia meneruskan perjalanannya. Sedangkan Iwan membelokkan motornya ke kiri.**Sore harinya di rumah Dewi.Dr Permana menatap Dewi dengan sorot mata yang tajam, Dewi jadi salah tingkah; tapi ia juga membalas tatapan tersebut. Sebenarnya, Dr Permana ingin membaca tingkat stress wanita itu, dengan menatap kedalam respon jiwanya. Karena tatapan mata bisa juga merupakan cermin bagi ekspresi jiwa. "Kamu dapat no hapeku dari dr Finka ya Wi?" kata Dr Permana memecah sepi."Iya. Waktu itu Tia baru saja aku bawa ke rumah ini, tengah malam teriak-teriak trus muntah-muntah. Aku ke rumahsakit, eh.. ketemu dr Finka. Ternyata dunia ini sempit ya dok,""Iya karena kamu masih tinggal di satu kota,"Dr Permana kembali diam, dia masih menatap Dewi lekat."Jangan lama-lama lihatnya, ntar jatuh cinta lho?"kata Dewi."Lho lho.. kamu ga tau ya..? sejak dulu itu aku sudah jatuh cinta sama kamu, hahaha.. jadi buka kartu deh.." Dr Permana terkekeh-kekeh.Dewi tidak menggubris ucapan Dr Permana, dihatinya masih menyimpan luka akibat goresan duka dari perilaku Iwan dan Dini. Ia bahkan menganggap pengakuan Dr Permana yang keceplosan itu hanya sebagai lawakannya saja. Duka dan luka yang dalam tersebut terungkap dari ekspresi Dewi, dan amat terasa dihati Dr Permana, Dia pun lalu mengalihkan pembicaraan pada topik inti."Oke, aku serius sekarang ya.. coba tolong kamu ceritakan kronologi peristiwa yang menimpa puteri kamu?"Dewi lalu menceritakan seluruhnya kepada Dr Permana, ia tidak mau menutupi masalah tentang hubungan Iwan dengan Dini, karena itu merupakan suatu penyebab atau informasi penting yang harus disampaikan. Memperhatikan gejolak kondisi emosional dari cerita yang disampaikan Dewi, Dr Permana mendapatkan satu kesimpulan bahwa keduanya, Dewi dan Tia, adalah korban dari konflik kejiwaan yang berbeda."Gimana kalau besok kita jalan-jalan ke pantai.. aku mau lihat reaksi Tia?""Maaf dok, besok aku banyak kerjaan, bagaimana kalau hari libur saja. Tiga hari lagi kan?""Oke, itu ide bagus.. karena hari libur di pantai pasti banyak pengunjung,"Mereka berdua terdiam sesaat hanya saling tatap."Kamu ga kenalin aku sama Tia ?""Oh iya, sebentar ya.." Dewi lalu bangkit dari kursi, jalan ke kamarnya.Tak lama kemudian, Dewi keluar dari kamar bersama Tia yang masih menggunakan kursi roda. Dewi lalu duduk kembali ke kursi di sebelah kursi roda Tia."Hallo Tia.." sapa Dr Permana.Tia tak menjawab, ia seakan tidak peduli. Tatapan matanya kadang-kadang masih kosong. Seperti ada jeda, diantara melihat kenyataan, dan ketidaksadaran pada kenyataan yang ada dihadapannya."Ini Dr Permana teman ibu. Tia nanti diobati sama dokter supaya lekas sembuh ya,"Tia menoleh ke Dewi. "Boleh aku periksa Wi?""Silahkan dok.."Dr Permana memeriksa otot kaki Tia, tangannya, sorot matanya, untuk memastikan respon saraf motorik pada tubuhnya."Oke, cukup. Tia sekarang mau minum apa?"Dewi tersentak, ia menyadari sudah sekian lama Dr Permana duduk, tapi belum menyediakan minuman. Sedangkan mbak Surti tidak ada, tadi dia ijin membantu kakaknya yang mau hajatan."Oh iya, maaf dok.. aku lupa, pembantu sedang ijin pulang. Dokter mau minum apa?""Teh hangat tawar saja Wi, dan teh hangat manis buat Tia ya.. mau kan?"Tia hanya menatap wajah Dr Permana tanpa berkedip. Dewi melangkah ke dapur meninggalkan mereka berdua."Coba Tia lihat jari om dokter ya. Ini berapa?"Dr Permana menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Tia tak menjawab, tapi dahinya mengernyit seolah-olah berusaha mengingat sesuatu."Oke, kalau Tia belum ingat ga apa-apa ya.." Tia mencoba menggerakkan jarinya mengikuti jari yang ditunjukkan Dr Permana tadi, tanpa ekspresi sedikitpun diwajahnya. Dr Permana menatapnya. Tia mengangkat jari telunjuk dan jari tengah, lalu melipat kedua jarinya, dan mulai membuka lagi dari ibu jari sampai kelingking. Dr Permana serius memperhatikan tingkah Tia itu."Anak yang cerdas, ia berusaha mengingatnya kembali, itu artinya sel-sel saraf didalam otaknya masih aktif.." kata hati Dr Permana.Sore itu sampai menjelang maghrib, Dr Permana berusaha menjalin komunikasi yang baik dengan Dewi dan juga Tia. Hingga tiba-tiba handphone dalam tas kecil yang menggantung ditubuhnya bunyi,"Hallo, disini Dr Permana? ada yang bisa saya bantu?""Ini dok ada pasien ngamuk,""Sudah kamu kasih obat penenang?""Sudah dok, aku beri suntikan, sekarang dia tertidur,""Oke, kalau begitu saya kesitu sekarang,"Dr Permana memasukkan kembali hapenya, lalu menatap ke wajah Dewi dan Tia, dia merasa iba, tidak tega meninggalkan ibu dan anak yang kondisi mentalnya mendekati labil. Akan tetapi panggilan tugas dari rumahsakit, tidak dapat ditolaknya, dan itu adalah merupakan suatu kewajiban yang mutlak."Wi, aku pamit ya, Tia, om pulang dulu... Nanti kalau Tia kangen sama om, minta ibu telpon om ya,""oya, saya harus bayar berapa biaya konsultasinya dok ?""Nanti aja Wi,""Gak bisa begitu dok.. kamu sudah meluangkan waktu untuk datang kesini,""Oke, kalau begitu terserah kamu aja.. pemeriksaan dan pengobatan Tia masih akan berlanjut Wi..""Iya aku tahu dok.. tentu akan butuh waktu yang lama ya..""Iya Wi.. kamu sabar aja... aku pasti bantu kamu, sampai Tia sembuh. Tia mau sembuh kan?" katanya sambil mengeluarkan dua plastik obat dari dalam tas kecilnya,"Ini aku bawakan obat penenang dan vitamin buat Tia,"Dr Permana memberikan dua bungkus plastik yang berisi beberapa pil kepada Dewi, begitu pula sebaliknya Dewi mengambil amplop dari saku bajunya, ia berikan pada Dr Permana.Dr Permana menerima amplop dari tangan Dewi, meski hatinya merasa kurang enak. Entah dorongan apa yang membuat perasaannya seperti itu. Apakah karena dulu semasa SMA, Dewi adalah idolanya?. Dia sering berusaha mendekati Dewi, tapi ternyata wanita itu sulit ditaklukkan hatinya. Dewi orang yang serius, fokus pada pendidikan, sehingga tak ada waktu untuk pacar-pacaran. ***Masa-masa menjalani pendidikan di SMA, hanya ada tiga orang di sekolah yang selalu bersaing untuk jadi juara kelas dan dapat nilai tertinggi. Selain berharap bisa mendapatkan bea siswa untuk melanjutkan kuliah keluar negeri, ada kepuasan tersendiri bila masuk ke ranking teratas diantara teman-teman lainnya di satu sekolah. Mereka itu adalah Dewi, Permana, dan Intan.Permana sudah pernah bertemu dengan Intan, sewaktu dia meneruskan pendidikan S3 di luar negeri. Akan tetapi sikap Intan kurang bersahabat. Intan membuat jarak komunikasi dengannya, mungkin karena jabatan yang dipegang Intan di kota itu, banyak didatangi orang yang butuh tandatangannya, terutama pada musim pendaftaran mahasiswa/siswi baru di negeri tersebut. Begitulah adanya. Setiap orang, tentu punya karakter dan sikap hidup yang berbeda. Atau, menjadi berubah sikap hidupnya, ketika interaksi antar ruang hidupnya berubah.** Setiba di rumahsakit, Dr Permana langsung menuju ke ruang ICU yang telah diberitahukan oleh dr Fink
Bang Andy menatap langkah Iwan menuju panggung kecil di pojok ruangan kedai itu. Dia merasa bersyukur dapat dipertemukan dengan Iwan, sosok yang tidak neko-neko. Obrolannya selalu nyambung tentang apapun. Kalau bukan karena ada isteri dan anak yang menunggu di rumah, rasanya bang Andy lebih suka ngobrol dengan Iwan ngalor ngidul soal perjalanan hidupnya, setiap malam sampai pagi.Tiba-tiba Maming lewat dari koridor ruang belakang disamping bang Andy,"E eeh Ming.. sini, duduk dulu.""Ada apa Boss?" sahut Maming sambil duduk di sebelah bang Andy."Besok pagi, lu bersihin garasi samping. Gue kurang suka kalau lama-lama garasi itu berubah jadi gudang. Pokoknya lu kosongin ruangan itu, bersihin, trus cat ulang."Bang Andy mengeluarkan dompetnya, lalu memberikan beberapa lembaran uang merah kepada Maming."Nih buat beli catnya.. Beli 1 galon yang besar trus sekalian sama roll, gak usah pake kuas ngecatnya, ntar kelamaan,""Oke boss. " sahut Maming. "Eh warna catnya apa boss?" tanya Maming
Dr Permana tidak tega melihat kondisi Dini. Bagaimana pun ia seorang perempuan. Dari hasil diskusi yang telah diadakan bersama, Pihak pemilik rumahsakit memutuskan satu solusi. Dini tetap dirawat disitu tapi tidak ditangani Dr Permana, dan tidak di ruang isolasi khusus, karena masih banyak pasien lain, terutama pasien yang sedang dalam kondisi terpapar wabah covid dan mempunyai catatan komorbid. Dalam situasi seperti itu, ruangan tersebut sangat dibutuhkan."Mendengar laporan-laporan medis, mengamati seluruh catatan, maka jalan keluar bagi masalah pasien tanpa nama itu, sebaiknya, bukan lagi merupakan tanggung jawab Dr Permana. Depresi berat seperti itu, akan semakin sulit disembuhkan, kalau kita melayani gejolak dari pengaruh halusinasi sipasien.""Terimakasih prof.. saya sepakat," ucap Dr Inggrid."Kita pindahkan pasien saat dia dalam pengaruh obat penenang dan tertidur pulas. Taruh di ruang rawat inap yang sudah tidak dipakai, di dekat kamar jenazah. Lepaskan ikatan tangannya, biark
Pinggir jalan raya pantai Pelabuhan Ratu. Dr Permana turun dari mobil, lalu mengambil kursi roda Tia dari dalam bagasi. Kemudian membukakan pintu mobil dan membantu Dewi menggendong Tia turun dari mobil.Dewi menghirup udara pantai dengan lembut, menatap laut lepas yang dirasakannya turut melepas seluruh sendi permasalahan hidup yang sedang dihadapinya. Dr Permana mendorong kursi roda Tia mendekat ke arah tepi pantai. Dewi dan Dr Permana sengaja tidak mengenakan alas kaki agar dapat menikmati kehalusan pasir di tepi pesisir pantai itu.Gulungan gelombang ombak dari arah laut lepas berkejaran menuju ke pantai. Sorot mata Tia tampak mulai gelisah, tubuhnya bergerak seolah-olah menghindari air laut yang sedang menuju ke pantai. Lama kelamaan tubuh Tia semakin berguncang, ia terlihat ketakutan,"Ayaaah.. ibuuu tollooong, ayaaah..... ibuuu toolloooong,"Dewi panik, mendekat ke arah Tia, tapi sebelum Dewi menyentuh tubuh Tia, tangannya ditahan oleh Dr Permana,"Ssstt.. jangan ganggu, Tia ga
Di ruangan rapat di rumahsakit.Dr Sumiyati, tampak membuka pintu lalu masuk, ia sudah rapi dengan kostum gaya simbok. Mengenakan daster batik lama/warna pudar ala rumahan, ditutupi oleh jaket putih seragam khas seorang dokter. Rambut terikat asal kebelakang, wajah tanpa make up, dan memakai alas kaki sendal jepit.Di ruangan itu sudah menunggu Dr Permana, Dr Seno, Prof. DR Tagor pemilik saham terbesar pada rumahsakit tersebut."Nah ini dia artis kita sudah siap..""Selamat pagi prof, dokter Seno, dokter Permana,"Dr Permana dan Dr Seno spontan menoleh kearah kedatangan Dr Sumiyati."Pagi dokter Sumiyati,"Dr Sumiyati langsung duduk dekat Dr Seno."Prof, sepertinya ada yang pasang cctv di kamar itu ya?" tanya Dr Sumiyati."Iya, kemarin saya suruh tehnisi kesitu, tapi itu cctv lama, gak bisa rekam suara, makanya Dr Sumi saya minta datang kesini. Hape Dr Sumiyati jadi merekam suaranya..?""Jadi prof... Ini," jawab Dr Sumiyati sambil mengambil hape dan menaruhnya diatas meja."Coba tolong
Jam 10.00 pagi hari ini, hari pertama Iwan membuka bengkelnya. Dia mengenakan kaos oblong hitam dan celana jean. Laki-laki itu semakin bertambah usianya, makin terlihat aura ditubuhnya. Dengan memiliki tinggi badan proporsional sebagai laki-laki, wajah yang tertutup janggut dari mulai tulang pipi sampai rahangnya, menambah kharismanya sebagai lelaki. Kedewasaan Iwan dalam menyikapi setiap masalah hidup dengan santai dan selalu tersenyum, itulah yang telah membangkitkan aura pada wajahnya.Iwan menatap situasi lalu lintas didepan bengkel, lumayan ramai dan berisik sekali. Disitu terlihat banyak motor mundar mandir. Ada ojek online, ada tukang roti keliling, ada juga ibu-ibu yang mengantar anak-anaknya ke sekolah. Iwan menarik nafas lega. Dia lalu membereskan sebagian perlengkapan alat-alat, kaleng-kaleng oli baru, dan lainnya, yang kemarin dibelinya. Kemudian Iwan menata benda-benda itu pada rak-rak kecil yang terbuka yang disisipkan mengikuti garis cat batas anak tangga dengan warna ti
Suatu sore, di muka ruang tunggu fisioterapi terlihat beberapa pasien sedang duduk mengantri giliran masuk untuk melakukan rawat jalan. Alat fisioterapi di rumahsakit ini hanya ada tiga, sedangkan waktu bagi setiap pasien limabelas menit. Dewi berdiri disamping kursi roda Tia, karena tidak kebagian kursi di ruang tunggu. Melihat dari sisi pagar pembatas, di samping dan belakang ruang fisioterapi itu, tampak ada halaman terbuka, Dewi mendorong kursi roda Tia menuju kesitu. Ada pintu pagar dengan gembok bergelantung. Dewi mencoba mendekati pintu pagar tersebut, ternyata gemboknya tidak terkunci. Ia pun lalu membuka pintu itu dan mendorong kursi roda Tia masuk ke halaman samping ruang fisioterapi.Di halaman samping terlihat beberapa tanaman hias, ada pohon kamboja sedang bermekaran bunganya, kamboja Bali warna kuning, Tia suka sekali pada bunga kuning itu, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah bunga tersebut. Dewi pun memetiknya satu dan diberikan kepada Tia.Tanpa setahu Dewi, tak jauh dar
Dr Permana menutup pembicaraan pada handphonenya, lalu menoleh ke arah Dewi. Dia seolah dapat merasakan apa yang Dewi rasakan saat ini. Dengan perlakuan Iwan seperti itu, dan sebagian cerita yang sudah didengarnya dari pengakuan Dewi, tentang perselingkuhan Iwan dan Dini yang telah menghancurkan hatinya, Dr Permana malah jadi semakin sayang kepada Dewi.Saat itu Dewi masih memikirkan Iwan. Padahal pertemuan tersebut hanya suatu kebetulan. Sebelumnya, Iwan menitipkan bengkel kepada Maming,"Ming, saya keluar sebentar, ada urusan.. Kalo udah gelap, paling orang yang datang buat tambal ban, atau isi angin aja. Tolong kamu layani ya Ming,""Siap bang...,""Oya, pintu rolling doornya tutup separuh saja,"Maming mengangguk pelan.Iwan pergi tujuannya ke mall. Dia merasa perlu memberikan hadiah untuk putrinya, Tia, tapi dia masih bingung mainan apa yang Tia butuhkan saat usianya 5 tahun ini, dan dalam kondisi amnesia pula. Apakah Tia masih mengingatnya sebagai ayahnya, sedangkan Iwan sudah l
Motor yang dikendarai oleh Wahyu terlihat keluar dari halaman rumah pak haji Mahmud."Beruntung ya bang Iwan, dapat gadis cantik, bapaknya orang kaya pula di kampung ini,""Gak usah iri Yu.. keberuntungan orang itu beda-beda. Eh, ingat ya.. ini rahasia yang harus kita tutup selamanya , jangan sampai nanti kamu kelepasan cerita ke Nuning,""Ya enggaklah Wak.."Disitulah perbedaan laki-laki dengan perempuan. Laki-laki pandai menjaga rahasia. Apalagi menyangkut keluarga sendiri. Walaupun begitu tentu ada juga laki-laki yang mulutnya comel, selalu ingin tahu tentang rahasia orang lain; kemudian menggosipkan di tempat kumpul bersama kawan-kawan yang sefrekuensi atau sesama penggosip sambil bercanda, lalu tertawa terbahak-bahak. **Setiba di halaman warung, Nana menghampiri Wahyu,"Bapak bawa makanan ya? "Wahyu memarkir motornya, lalu menenteng plastik kresek berwarna merah yang berisi beberapa kotak dus makanan tersebut. Dua orang sopir ojek yang sedang mangkal disitu, cuma menoleh ke ar
Di dalam kamarnya, Iwan merenung. Tak lama kemudian, dia mengambil handphonenya, dan menghubungi Badrun, "Assalamu'alaikum kang Badrun..." "Wa alaikum salam kang Iwan.. gimana? jadi besok kesini?" "Justru saya mau kasih kabar, besok belum bisa kesitu. Mendadak di kedai tempat pekerjaan saya, bossnya ngadain pesta pernikahan anaknya kang Badrun," "Wadduh gimana ya kang Iwan?" "Iya saya juga bingung kang... gak enak ninggalin boss pas lagi ada acara keluarga. Masa saya gak bantuin?" "Iya sih.." sahut Badrun tak semangat, lemas. "Ya sudah kalau begitu, bagaimana kalau saya cari orang lain kang Iwan?" "Ya boleh aja kang Badrun, berarti saya gak jadi keluar dari pekerjaan saya disini ya kang?" Badrum diam, merenung. "Gimana kang Badrun?" "Itu mah terserah kang Iwan aja...Anak buah saya juga pada butuh kerja kang Iwan, kalau libur melaut kel;amaan, nanti mereka cari kerja ke kapal lain.. Mereka gak mau makan gaji buta tanpa kerja" "Ya sudah kalau begitu, nanti gampanglah saya a
Beberapa saat, pak haji Mahmud terdiam. Baru saja Iwan hendak bicara, pak haji Mahmud memotongnya dengan pertanyaan, "Cacatnya sejak lahir atauu......" "Musibah pak haji.." "Ya tentu saja musibah bang Iwan, tapi jangan dijadikan aib bagi keluarga," Deg! Iwan tahu kemana arah pembicaraan pak haji Mahmud, dia lalu menjelaskan garis besarnya. "Maksud saya, putri saya cacat karena korban dari musibah pak haji. Bukan cacat sejak lahir... Waktu itu, kami sekeluarga terseret ombak di pantai, sewaktu peristiwa bencana tsunami di selat sunda," "Astaghfirullah... astaghfirullah... Maafkan saya, bang Iwan" ucap pak haji Mahmud pelan, dia merasa bersalah sudah berprasangka buruk, sebelum dijelaskan oleh Iwan. Pak haji Mahmud pun diam, membisu. "Gak apa-apa pak haji.. saya memakluminya. Sekarang putri saya sudah sembuh, dia mulai belajar jalan lagi. Dua tahun kemarin, anak saya lumpuh total, dan tidak bisa bicara... Tatapan matanya kosong... mungkin saking shocknya" "Alhamdulillah kala
Kehangatan suasana keluarga itu membuat Iwan merasakan kedamaian. Ada laki-laki tua yaitu pak Sidik, dan ada ibu-ibu yang juga sudah tua, nek Warni. Iwan berharap kehadiran mereka semuanya dapat membuat Dini betah tinggal di rumah yang sudah jadi milik Iwan. Sedangkan malam itu, pak haji Mahmud dilanda kebingungan. Dia memikirkan putrinya Wardah Fatimah yang naksir kepada Iwan. Dia tahu persis bagaimana perasaan jatuh hati atau naksir dari gadis usia belasan tahun. Seperti orang lupa diri, dan mabuk kepayang. Dalam tatapan matanya yang ada hanya bayang-bayang wajah Iwan. Ia selalu mengharapkan kehadiran pujaan hatinya itu, berada disisinya. Wardah Fatimah seorang gadis yang penurut. Sejak kematian ibunya, dia hanya diasuh oleh bapaknya. Pernah pak haji Mahmud menggaji seorang Pengasuh dan juga Pembantu rumah tangga, tapi pekerja-pekerja itu pengabdiannya tidak maksimal, alias asal-asalan. Padahal pak haji Mahmud menggaji mereka melebihi gaji ART di daerah tersebut. Begitu pula Penga
Suara "uuh" yang keluar dari mulut Wardah Fatimah, mengejutkan pak haji Mahmud, yang sedang jalan di depan kamar putrinya. "Wardah, kamu kenapa... ?" Pak haji Mahmud mengetuk pintu kamarnya, pintu itu tidak terkunci. Pak haji Mahmud langsung masuk, dilihatnya tubuh anak gadisnya jatuh di lantai dengan kedua kaki masih menyangkut pada kursi kecil meja riasnya. "Kamu lagi ngapain.. kok sampai bisa begini sih?" Wardah Fatimah tak menjawab. Pak haji Mahmud lalu mengangkat tubuh putrinya, membopongnya dan meletakkannya diatas kasur. "Kok ketawa sendirian? Ada apa? Ayoo cerita ke bapak..." Wardah Fatimah menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, sekarang kita makan malam dulu yuuk.." kata pak haji Mahmud mengajak putrinya. Wardah kembali menggelengkan kepalanya. "Heii.. jatuh cinta itu butuh tenaga, kalau kamu gak makan, nanti bisa sakit... mau?" Wardah menggelengkan kepalanya kembali. "Bapak suapin ya..?" Putrinya mengangguk pelan dan tersenyum. "Dasar anak manja," gerutu pak haji
Wardah Fatimah dengan tatapan mata yang ceria, membawa toples berisi kue kering buatannya diatas nampan. Ketika langkahnya masuk ke ruang tamu, dilihatnya Iwan sudah tak ada disitu. Ia meletakkan baki tersebut diatas meja, lalu melangkah ke arah pintu keluar. Dilihatnya motor Iwan sudah melaju di halaman rumah pak haji Mahmud. Sekilas Iwan menengok ke arah pak haji Mahmud dan menganggukkan kepalanya, selintas tampak Wardah Fatimah menyender ke pintu menatap kepergian Iwan. Ia melambaikan tangan dengan ragu-ragu, namun ia melempar sesungging senyum mengantar kepergian Iwan dari situ. Motor Iwan menjauh, Wardah Fatimah terpaku, membisu, disisi pintu. Butiran lembut, mengkilat, tersirat pada manik matanya, hingga mengaburkan pandangan. Perih terasa air yang keluar pada ruang bola retinanya. Sudah lama ia tak menangis. Wardah pun menutup kedua matanya. Pak haji Mahmud melihat hal ini, jadi terharu. "Kamu kenapa Wardah?... suka sama pak Iwan ya ?" tanya pak haji Mahmud. Wardah mengan
Iwan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, dilihatnya kasur dan barang-barang milik Wahyu sudah terkumpul disitu. Dia pun masuk ke dalam kamar, sudah kosong. Iwan menghela nafas panjang, "Alhamdulillah.. ternyata tahu diri juga mereka." Dia lalu menelpon pemilik toko perabotan yang tadi di pasar. Agak lama Iwan menunggu diangkat hubungan telpon itu, sampai dua kali dia mengulang kembali nomornya, dan akhirnya.. "Hallo.. ada yang bisa saya bantu?" suara Enci dari sana yang mengangkat telpon. "Hallo Enci, saya mau tanya.. apa sudah dikirim barang yang tadi saya beli?" "Ini siapa ya?" "saya Iwan" "Oh pak Iwan.. sudah, itu mobil angkutannya baru saja jalan. Sebentar lagi juga sampai kesitu," "Baik Ci.. saya tunggu." ** Selang beberapa saat mobil pick up yang mengantar perabot pesanan Iwan datang, lalu parkir di halaman tanah kosong. Melihat hal itu, Wahyu mengajak dua orang pengemudi ojek untuk membantu mengangkat perabotan, "Eh, kita bantuin bang Iwan tuh.." Iwan menoleh k
Iwan jadi teringat kembali pada Badrun. Lelaki muda berparas tampan dengan sikap yang menawan. Apakah dia tidak tergoda pada Dini? Wanita sholeha yang menutup seluruh auratnya. Sebagai sesama lelaki, Iwan meragukan kebaikan Badrun. Hatinya menjelajah, mengingat kembali sewaktu mereka terlibat perkelahian di pantai. Padahal waktu itu, bisa saja Badrun mematahkan tangan atau kakinya; tapi dia tidak melakukannya. Apalagi ternyata Badrun adalah murid Ki Jupri. Akan tetapi kejadian pagi itu, sewaktu Dini jatuh dalam pelukan Badrun karena terpeleset, untuk sekedar melupakanya saja; hatinya sangat sulit. Bayangan itu masih terus membekas.Lamunannya terhenti ketika nek Warni menaruh secangkir kopi dengan kue dan gorengan."Bang, ini kopinya, masih panas. Yang di rumah sana sudah dingin, jadi nek ganti yang baru.. itu gorengannya juga masih hangat.. dicicipi bang..,""Iya nek... Terimakasih ya,"Nek Warni mengangguk pelan, lalu jalan menuju ke arah rumah Iwan lagi.Tak lama kemudian, bebera
Motor yang dikendarai oleh pak Syam dan pak Soenarto menjauh dari depan warung, Wahyu buru-buru menghampiri Iwan, mendekat, dan sangat dekat sekali, setengah berbisik Wahyu bertanya, "Bang, apa petugas itu minta uang?" Iwan menoleh ke wajah Wahyu, "Iya Yu, tapi abang bilang nanti kalau semua sudah selesai." sahut Iwan sambil jalan menuju ke kursi di warung. Wahyu mengikuti jalan disampingnya. Iwan duduk, Wahyu pun ikut duduk di kursi di sebelah Iwan. "Kebiasaan petugas itu bang.. apa-apa dijadikan uang" celoteh Wahyu. "Gak apa-apalah Yu, dia kan cuma cari uang tambahan buat anak istrinya. Mungkin gajinya kurang mencukupi untuk kebutuhan keluarganya," "Mending kalau buat keluarganya, buat disco dangdutan Bang," "Itulah budaya yang sudah melenceng Yu," Iwan menarik nafas panjang. "Tapi gak semua petugas seperti itu kan Yu?" "Ya gak sih Bang. Hanya beberapa aja yang ikut-ikutan begitu. Biasanya dia ngajak tetangganya, apalagi kalau bapak tetangganya itu satu aliran" ujar