Dewi senang mendengar kata-kata Tia yang menyebut ibu padanya, karena selama ini, belum pernah terdengar kata “ibu” keluar dari mulutnya.
Tia lalu dijaga oleh mbak Surti, sementara Dewi bisa sedikit lebih tenang.
Dewi beruntung, karena selama pandemi ini dia bisa kerja dari rumah, meski kadang dua minggu satu kali ia harus meeting ke kantor, tetapi hal itu tidak merepotkan dirinya. Ia mulai dengan kegiatan baru, di samping kewajiban rutin atas tanggungjawab kerja dari kantornya, ia merawat Tia bersama mbak Surti di rumah.
Tia bertanya kepada Dewi. Tidak sekali dua kali, berkali-kali.
”Iwan kemana Bu?"
”Iwan itu siapa? Ibu siapa?"
Dewi kembali sedih, ternyata Tia belum mengenalnya sebagai ibu kandungnya. Sejauh ini dia hanya tahu sebutan ibu, seolah hanya sebuah nama panggilan saja. Ia ingin konsultasi pada psikiater, dan sekaligus pada dokter ortopedi, tapi suasana rumah sakit masih dipenuhi oleh pasien covid19. Ada perasaan takut yang hadir dan mencengkeram hatinya. Takut tertular virus flu yang berbahaya tersebut.
Namun, pada akhirnya ia memberanikan diri menelpon nomor handphone dokter Permana, sang psikiater. Beberapa hari masih belum ada jawaban sama sekali, karena tidak diangkat. Akhirnya Dewi kirim sms dan malam harinya baru dapat jawaban, bahwa dokter Permana baru saja kembali dari tugas di luar kota.
Dokter Finka waktu itu sempat bilang, bahwa dokter Permana adalah kakak kelas mereka sewaktu di SMA dulu. Akan tetapi, Dewi sudah lupa.
”Masa kamu lupa Wi? Inget gak waktu tas kamu digantung di tiang bendera, terus kamu sibuk mencari tas kamu sebelum pulang sekolah, gak ketemu sampai kamu pulang," kata dokter Finka.
”Oh waktu kejadian itu. Iya inget, Maman panggilannya kan? Malamnya dia datang ke rumahku mengembalikan tas dan minta maaf. Tapi aku kerjain dia Fin. Aku suruh dia ajari pelajaran biologi yang paling aku gak suka, hehehe.” Dewi tertawa kecil saat ingat masa itu.
Dewi tidak bisa membayangkan, bagaimana pertemuannya dengan dokter Permana nanti.
Maman Permana itu orangnya culun tapi cerdas dan selalu juara kelas, kurus pendek kecil, dan terkenal jahil.
Waktu itu, Dewi sebal atas ulahnya, meski terobati oleh kedatangannya ke rumah dan minta maaf. Terkadang, Dewi sering senyum-senyum sendiri. Masa lalu dengan dokter Permana bisa membuat Dewi melupakan Iwan.
"Apa aku harus bisa melupakan Iwan dan serius mencari calon suami? Aku udah bertemu anakku, ini saatnya dia punya ayah pengganti. Aku harus membuat Tia merasa lebih beruntung punya orangtua lengkap." Dewi sampai berpikir seperti itu.
Besar harapan Dewi, ke depannya dokter Permana mau datang ke rumahnya. Konseling langsung pada pasien. Berapa pun yang mesti Dewi bayar, ia siap pada konsekuensi tersebut. Sedikitnya, ia merasa sudah ada bayangan jalan keluar; dari masalah trauma mental yang dialami oleh Tia, puterinya.
Disamping itu, Dewi ingin mendekatkan Tia dengan si dokter; layaknya hubungan ayah dengan anak. Setelah itu, Dewi punya senjata untuk bisa menikah dengan Permana atas dasar anak. Ia ingin melihat anaknya bahagia.Namun, hati Dewi tidak mudah berpaling dari Iwan. Apalagi mereka sudah menjalin kisah lama. Rasanya Dewi ingin rujuk kembali dengan Iwan dan hidup bersama Tia. Sekarang semuanya sudah berubah, dipastikan Dini tidak akan hadir lagi sebagai perusak rumah tangga.Akan tetapi, Dewi sama sekali tidak tahu bahwa Dini masih hidup; di tempat lain. Waktu peristiwa tsunami itu, Dini hanyut terbawa arus dan terdampar ditepi pantai pesisir daerah Karawang. Ia tidak sadarkan diri, hingga ada beberapa nelayan yang melihat dirinya terkapar disitu."Eh, lihat itu sepertinya ada orang yang terdampar, kita lihat apa dia masih hidup?" kata seorang Nelayan yang terlihat penasaran.
Salah seorang kawannya yang mendengar hal itu agak khawatir tapi juga merasa iba terhadap Dini. Hingga akhirnya mereka pun memutuskan untuk menghampiri Dini dan melihat kondisi dari wanita itu. Disekujur tubuh Dini terlihat banyak luka. Setelah mengetahui bahwa Dini masih bernafas, para nelayan itu hendak membawanya ke pos kesehatan di TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Disitu adalah tempat berkumpulnya, para nelayan serta saudagar atau boss-boss yang sengaja hendak membeli ikan fresh langsung dari penampungan hasil tangkapan nelayan.
Tetapi langkah mereka dihalangi oleh aki Jupri, seorang kakek berusia 85 tahun, yang hidup sendiri di rumahnya.”Jangan dibawa kesana, biar aki saja yang mengobati anak ini,”Mereka tidak berani menolak niat baik aki Jupri, karena mereka tahu siapa kakek tua itu sebenarnya."Kalau begitu, saya akan bantu menggotongnya ke rumah aki," kata kedua orang nelayan yang tinggal tak jauh dari rumah aki Jupri.Sederetan perumahan kumuh tempat para Nelayan bermukim untuk sementara. Sedangkan, Aki Jupri penduduk asli di daerah ini. Rumahnya hanya sebuah gubuk kecil terbuat dari bilik bambu disanggah oleh kayu, dan juga batang-batang bambu. Kedua nelayan itu menggotong tubuh Dini masuk ke rumah aki Jupri, lalu meletakkannya diatas bale bambu beralaskan tikar dan sebuah bantal kumal.Gubuk ini hanya satu ruangan terbuka, di pojok tampak tungku kayu untuk memasak serta peralatan masak seadanya. Aki Jupri dengan tulus menolong Dini, memperhatikan luka-luka ditangan dan kakinya, yang membiru dan mulai mengeluarkan bau nanah. Dia lalu mengganti pakaian Dini dengan sebuah sarung bersih. Memasak air, untuk melap seluruh tubuh Dini dengan air hangat. Kemudian membalurkan ramuan rempah-rempah yang dibuatnya.Dengan kesabaran, aki Jupri merawat luka-luka di tubuh Dini tanpa mengenal lelah. Terutama luka pada wajah Dini, sebuah sobekan dipipinya, yang mungkin tersentuh benda tajam sewaktu ia terbawa gelombang tsunami; beberapa hari yang lalu.Tak lama kemudian, ramuan rempah-rempah mulai bereaksi, rasa perih yang menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsum dikakinya, membuat Dini tersadar dari pingsannya. Matanya langsung melihat aki Jupri yang sedang mengipasi ramuan rempah dikakinya, supaya tidak terasa perihnya oleh Dini."Aki siapa? saya ini ada dimana? kata Dini pelan."Jangan bergerak dulu neng.. ada sobekan dipipi neng, baru saja aki tempel ramuan obatnya,"Dini hendak memegang pipinya, tapi tangannya tak kuat. Dini sedih, tak mampu menahan airmatanya yang menetes tak tertahankan."Eneng ditemukan nelayan di ujung pesisir pantai, trus aki suruh bawa kesini," Dini merasa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup. Ia tidak tahu bagaimana nasibnya jika tidak ditemukan oleh para Nelayan dan diurus oleh aki Jupri."Ya Allah, padahal aku banyak salah dan dosa, tapi Engkau masih mau menyelamatkan aku, aku jadi malu aki," ucapnya.
”Tidak mengapa neng.. Allah Maha Pengampun dosa. Bertaubatlah, dengan niat yang kuat, dan jangan mengulanginya lagi,””Insyaa Allah Ki..”Satu tahun lebih, Dini masih belum kuat bangun dan berdiri, ia hanya menyaksikan, disetiap waktunya shalat, melihat aki Jupri pergi ke Mushola. Dan disetiap selesai shalat maghrib dari Mushola, aki Jupri membawa santri-santrinya, yaitu anak-anak yatim piatu yang masih kecil-kecil, untuk belajar mengaji dirumah itu."Anak-anak, baca al Fatihah untuk teteh eneng ya, supaya lekas sembuh sakitnya,""Iya ki.." sahut mereka bersamaan. Rutinitas hal tersebut telah mengetuk pintu hati Dini, membuat perasaannya jadi semakin sedih dan muncul perasaan rindu untuk kembali dan mengadu kepada Tuhannya.Mulanya Dini merasa sangat tidak yakin dengan apa yang dia lakukan, karena khawatir Allah tidak mau menerima taubatnya atas banyaknya kesalahan yang telah ia buat.
"Ya allah, apakah aku masih layak berhadapan denganMu?" dalam benak Dini yang sering memperhatikan Aki Jupri shalat pada tengah malam.
Sejak saat itu, Dini mau mengenakan hijab atau jilbab; yang diberikan aki Jupri, dari peninggalan almarhum isterinya. Aki Jupri juga mengajarkan Dini shalat walau tubuhnya masih terbaring lemah.Bulan berganti bulan, tahun pun berganti tahun. Tak terasa, sudah dua tahun lebih Dini dirawat oleh aki Jupri. Kondisi badan Dini sudah pulih seperti sedia kala, ia sudah bisa membantu aki Jupri memasak air, kadang menggoreng ikan yang dibawa oleh aki Jupri dari pantai.
Hingga suatu hari, setelah melihat kondisi Dini sehat kembali; aki Jupri bertanya,“Apa kamu tidak punya keluarga nak?” ”Ada aki.. tapi jauh, di pulau Nias.””Apa kamu rindu pada keluargamu?””Iya ki.. tapi aku tak punya uang untuk kembali kesana,”Aki Jupri melangkah, lalu mengambil sebuah kotak yang disembunyikannya di pojok dapur. Dia membuka kotak tersebut di depan Dini, didalam kotak itu tampak berisi beberapa gulungan uang kertas yang terikat karet gelang dengan lembaran yang bernilai limapuluh ribuan.”Ini uang simpanan aki.. kamu pakailah untuk kembali pada keluargamu,””Tapi Ki, nanti bagaimana kalau aki butuh uang..””Sudah, tidak apa-apa. Kamu pergilah.. temui keluarga yang kamu rindukan,”Keesokan harinya, dengan berat hati Dini meninggalkan aki Jupri, setelah mencium punggung telapak tangannya dengan penuh rasa khikmat. Dia merasa berhutang budi pada kakek tua yang baik hati itu.Perubahan Dini sangat terlihat. Ia menjadi lebih baik. Dipastikan dia tidak akan melakukan kesalahan masa lalu, dengan menjadi penggoda di tengah hubungan orang lain. Dini berusaha membersihkan diri dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat.
Kakinya melangkah ke arah terminal bis, tujuannya ingin menemui Iwan, meski hatinya tidak yakin; apakah Iwan dan Tia masih hidup.***Dini mengambil air wudhu dari kran di kamar mandi rumah pak Sidik. Perasaannya campur aduk, setelah mendengar semua kejadian yang diceritakan oleh pamannya Iwan.”Neng Dini ga perlu temui Iwan dan neng Dewi lagi. Kasian mereka..”Dini mengangguk pelan.Dalam shalat, Dini mengadukan semua kepada Tuhannya. Tiba-tiba saja ia langsung menangis karena teringat akan dosanya yang begitu banyak terasa. Pikirannya yang kalut karena beranggapan bahwa salahnya itu banyak sekali, mungkin Tuhan juga tidak mudah memaafkan dirinya. Dini shalat dengan sangat khusyuk, disetiap gerakan shalat wanita itu tidak hentinya meneteskan air mata. Hingga diakhiri dengan salam. Dini memanjatkan doa, kesulitannya dia berkata, karena lidahnya kelu, dan hanya mampu menangis dengan hebat."Aku adalah pendosa, aku begitu buruk ya Allah, sekarang ini aku menghadap padaMu, dengan keadaanku yang seperti ini. Ya Allah... Maukah Engkau memaafkan aku? Seorang wanita yang hina dan banyak menorehkan malu pada diri sendiri,
Dalam hati, Iwan merasa menyesal sudah melukai hati Dewi dengan berselingkuh. Walaupun itu masa lalu, Iwan tetap merasa berdosa. Dia berjanji akan menemui Dewi saat sudah kembali dari puncak. Dia sekaligus ingin bertemu Tia. Lalu muncul inisiatif untuk Iwan mengajak Dewi rujuk, tetapi apa Dewi mau menerima ajakannya. ** Pagi itu, setelah kembali dari puncak, Iwan langsung menuju ke rumah Dewi dan berniat mewujudkan rencananya dari awal. Kedatangannya kali ini akan dibuat lebih baik. Ia ingin bicara serius dengan Dewi, mengajaknya untuk kembali rujuk. Jika Tuhan saja masih mau memaafkan kesalahan hambanya, Iwan yakin Dewi akan memaafkan kesalahannya. Ia tidak pernah menganggap jika Dewi akan mengusirnya saat Iwan mengatakan tentang perasaannya sekarang. Tok! Tok! Pintu rumah Dewi diketuk. Saat itu Dewi masih asyik mengajak Tia berbicara dan mencoba mengembalikan ingatan puterinya, ia lalu menghentikan terlebih dahulu. "Nanti ya. Ibu mau lihat siapa yang datang." Dengan langkah p
Dewi mengunci pintu kamarnya, diatas kursi roda, tubuh Tia gemetaran, ketakutan."Ibu, apa mereka orang jahat?"Degh !Pertanyaan Tia membuat Dewi bingung merangkai kata jawabannya, ia berjongkok disamping kursi roda Tia, menggenggam tangan Tia dengan kelembutan, akhirnya Dewi harus mengatakan apa yang sebenarnya dulu pernah terjadi. "Dulu, mereka berdua pernah jahat pada ibu. Mereka membawa Tia pergi sampai jauh dari ibu, tapi sekarang Tia sudah dikembalikan lagi kepada ibu. Ibu senang sekali." kata Dewi sambil menciumi pipi Tia.Tia belum paham apa yang dibicarakan Dewi. Namun melihat airmata yang menetes dipipi Dewi, Tia lalu menghapus lembut dengan jemarinya." Ibu jangan nangis, Tia ga tau.. Tia ga tau buu... "Dewi memeluk Tia, mengelus-elus rambut dikepalanya. Meskipun Dewi tahu persis kesadaran Tia belum pulih, tapi ia sudah mau berbicara dengan ibunya, walaupun masih menganggap ibu hanya sebuah panggilan tanpa makna yang jelas baginya. Kamar Dewi tidak terlalu luas, tapi dis
Dalam perjalanan menuju ke kedai Kopi Para Mantan, hati Iwan masih galau. Pada satu sisi dia tidak mau kehilangan Dewi dan Tia, tapi disisi lain dia membayangkan lelaki lain, yaitu sang psikiater, yang bakal hadir kedalam hidup Dewi dan Tia. Apalagi dari pembicaraan dr Finka tadi, mereka satu sekolah di SMA, masa muda yang penuh nostalgia. Ditambah lagi ingatannya pada Dini yang masih tak sadarkan diri di rumahsakit. Apakah dia bisa setega itu dengan membiarkan nasib Dini yang harus menghadapi kenyataan hidupnya sendirian?. Iwan tahu persis masa lalu Dini di kampungnya. Dini diperlakukan semena-mena oleh kedua orangtuanya, bahkan telah beberapa kali diperkosa oleh ayahnya sendiri. Itu sebabnya Dini kabur dari rumah, berusaha hidup mandiri; sampai akhirnya nasib membawanya ke kota Jakarta."Woiii.. lu mau belok kanan atau ke kiri, itu sen yang bener dong!" bentak seseorang dari sebuah motor yang tiba-tiba muncul di samping kirinya.Iwan tersentak dari lamunannya, dia lalu minta maaf k
Masa-masa menjalani pendidikan di SMA, hanya ada tiga orang di sekolah yang selalu bersaing untuk jadi juara kelas dan dapat nilai tertinggi. Selain berharap bisa mendapatkan bea siswa untuk melanjutkan kuliah keluar negeri, ada kepuasan tersendiri bila masuk ke ranking teratas diantara teman-teman lainnya di satu sekolah. Mereka itu adalah Dewi, Permana, dan Intan.Permana sudah pernah bertemu dengan Intan, sewaktu dia meneruskan pendidikan S3 di luar negeri. Akan tetapi sikap Intan kurang bersahabat. Intan membuat jarak komunikasi dengannya, mungkin karena jabatan yang dipegang Intan di kota itu, banyak didatangi orang yang butuh tandatangannya, terutama pada musim pendaftaran mahasiswa/siswi baru di negeri tersebut. Begitulah adanya. Setiap orang, tentu punya karakter dan sikap hidup yang berbeda. Atau, menjadi berubah sikap hidupnya, ketika interaksi antar ruang hidupnya berubah.** Setiba di rumahsakit, Dr Permana langsung menuju ke ruang ICU yang telah diberitahukan oleh dr Fink
Bang Andy menatap langkah Iwan menuju panggung kecil di pojok ruangan kedai itu. Dia merasa bersyukur dapat dipertemukan dengan Iwan, sosok yang tidak neko-neko. Obrolannya selalu nyambung tentang apapun. Kalau bukan karena ada isteri dan anak yang menunggu di rumah, rasanya bang Andy lebih suka ngobrol dengan Iwan ngalor ngidul soal perjalanan hidupnya, setiap malam sampai pagi.Tiba-tiba Maming lewat dari koridor ruang belakang disamping bang Andy,"E eeh Ming.. sini, duduk dulu.""Ada apa Boss?" sahut Maming sambil duduk di sebelah bang Andy."Besok pagi, lu bersihin garasi samping. Gue kurang suka kalau lama-lama garasi itu berubah jadi gudang. Pokoknya lu kosongin ruangan itu, bersihin, trus cat ulang."Bang Andy mengeluarkan dompetnya, lalu memberikan beberapa lembaran uang merah kepada Maming."Nih buat beli catnya.. Beli 1 galon yang besar trus sekalian sama roll, gak usah pake kuas ngecatnya, ntar kelamaan,""Oke boss. " sahut Maming. "Eh warna catnya apa boss?" tanya Maming
Dr Permana tidak tega melihat kondisi Dini. Bagaimana pun ia seorang perempuan. Dari hasil diskusi yang telah diadakan bersama, Pihak pemilik rumahsakit memutuskan satu solusi. Dini tetap dirawat disitu tapi tidak ditangani Dr Permana, dan tidak di ruang isolasi khusus, karena masih banyak pasien lain, terutama pasien yang sedang dalam kondisi terpapar wabah covid dan mempunyai catatan komorbid. Dalam situasi seperti itu, ruangan tersebut sangat dibutuhkan."Mendengar laporan-laporan medis, mengamati seluruh catatan, maka jalan keluar bagi masalah pasien tanpa nama itu, sebaiknya, bukan lagi merupakan tanggung jawab Dr Permana. Depresi berat seperti itu, akan semakin sulit disembuhkan, kalau kita melayani gejolak dari pengaruh halusinasi sipasien.""Terimakasih prof.. saya sepakat," ucap Dr Inggrid."Kita pindahkan pasien saat dia dalam pengaruh obat penenang dan tertidur pulas. Taruh di ruang rawat inap yang sudah tidak dipakai, di dekat kamar jenazah. Lepaskan ikatan tangannya, biark
Pinggir jalan raya pantai Pelabuhan Ratu. Dr Permana turun dari mobil, lalu mengambil kursi roda Tia dari dalam bagasi. Kemudian membukakan pintu mobil dan membantu Dewi menggendong Tia turun dari mobil.Dewi menghirup udara pantai dengan lembut, menatap laut lepas yang dirasakannya turut melepas seluruh sendi permasalahan hidup yang sedang dihadapinya. Dr Permana mendorong kursi roda Tia mendekat ke arah tepi pantai. Dewi dan Dr Permana sengaja tidak mengenakan alas kaki agar dapat menikmati kehalusan pasir di tepi pesisir pantai itu.Gulungan gelombang ombak dari arah laut lepas berkejaran menuju ke pantai. Sorot mata Tia tampak mulai gelisah, tubuhnya bergerak seolah-olah menghindari air laut yang sedang menuju ke pantai. Lama kelamaan tubuh Tia semakin berguncang, ia terlihat ketakutan,"Ayaaah.. ibuuu tollooong, ayaaah..... ibuuu toolloooong,"Dewi panik, mendekat ke arah Tia, tapi sebelum Dewi menyentuh tubuh Tia, tangannya ditahan oleh Dr Permana,"Ssstt.. jangan ganggu, Tia ga
Di dalam kamarnya, Iwan merenung. Tak lama kemudian, dia mengambil handphonenya, dan menghubungi Badrun, "Assalamu'alaikum kang Badrun..." "Wa alaikum salam kang Iwan.. gimana? jadi besok kesini?" "Justru saya mau kasih kabar, besok belum bisa kesitu. Mendadak di kedai tempat pekerjaan saya, bossnya ngadain pesta pernikahan anaknya kang Badrun," "Wadduh gimana ya kang Iwan?" "Iya saya juga bingung kang... gak enak ninggalin boss pas lagi ada acara keluarga. Masa saya gak bantuin?" "Iya sih.." sahut Badrun tak semangat, lemas. "Ya sudah kalau begitu, bagaimana kalau saya cari orang lain kang Iwan?" "Ya boleh aja kang Badrun, berarti saya gak jadi keluar dari pekerjaan saya disini ya kang?" Badrum diam, merenung. "Gimana kang Badrun?" "Itu mah terserah kang Iwan aja...Anak buah saya juga pada butuh kerja kang Iwan, kalau libur melaut kel;amaan, nanti mereka cari kerja ke kapal lain.. Mereka gak mau makan gaji buta tanpa kerja" "Ya sudah kalau begitu, nanti gampanglah saya a
Beberapa saat, pak haji Mahmud terdiam. Baru saja Iwan hendak bicara, pak haji Mahmud memotongnya dengan pertanyaan, "Cacatnya sejak lahir atauu......" "Musibah pak haji.." "Ya tentu saja musibah bang Iwan, tapi jangan dijadikan aib bagi keluarga," Deg! Iwan tahu kemana arah pembicaraan pak haji Mahmud, dia lalu menjelaskan garis besarnya. "Maksud saya, putri saya cacat karena korban dari musibah pak haji. Bukan cacat sejak lahir... Waktu itu, kami sekeluarga terseret ombak di pantai, sewaktu peristiwa bencana tsunami di selat sunda," "Astaghfirullah... astaghfirullah... Maafkan saya, bang Iwan" ucap pak haji Mahmud pelan, dia merasa bersalah sudah berprasangka buruk, sebelum dijelaskan oleh Iwan. Pak haji Mahmud pun diam, membisu. "Gak apa-apa pak haji.. saya memakluminya. Sekarang putri saya sudah sembuh, dia mulai belajar jalan lagi. Dua tahun kemarin, anak saya lumpuh total, dan tidak bisa bicara... Tatapan matanya kosong... mungkin saking shocknya" "Alhamdulillah kala
Kehangatan suasana keluarga itu membuat Iwan merasakan kedamaian. Ada laki-laki tua yaitu pak Sidik, dan ada ibu-ibu yang juga sudah tua, nek Warni. Iwan berharap kehadiran mereka semuanya dapat membuat Dini betah tinggal di rumah yang sudah jadi milik Iwan. Sedangkan malam itu, pak haji Mahmud dilanda kebingungan. Dia memikirkan putrinya Wardah Fatimah yang naksir kepada Iwan. Dia tahu persis bagaimana perasaan jatuh hati atau naksir dari gadis usia belasan tahun. Seperti orang lupa diri, dan mabuk kepayang. Dalam tatapan matanya yang ada hanya bayang-bayang wajah Iwan. Ia selalu mengharapkan kehadiran pujaan hatinya itu, berada disisinya. Wardah Fatimah seorang gadis yang penurut. Sejak kematian ibunya, dia hanya diasuh oleh bapaknya. Pernah pak haji Mahmud menggaji seorang Pengasuh dan juga Pembantu rumah tangga, tapi pekerja-pekerja itu pengabdiannya tidak maksimal, alias asal-asalan. Padahal pak haji Mahmud menggaji mereka melebihi gaji ART di daerah tersebut. Begitu pula Penga
Suara "uuh" yang keluar dari mulut Wardah Fatimah, mengejutkan pak haji Mahmud, yang sedang jalan di depan kamar putrinya. "Wardah, kamu kenapa... ?" Pak haji Mahmud mengetuk pintu kamarnya, pintu itu tidak terkunci. Pak haji Mahmud langsung masuk, dilihatnya tubuh anak gadisnya jatuh di lantai dengan kedua kaki masih menyangkut pada kursi kecil meja riasnya. "Kamu lagi ngapain.. kok sampai bisa begini sih?" Wardah Fatimah tak menjawab. Pak haji Mahmud lalu mengangkat tubuh putrinya, membopongnya dan meletakkannya diatas kasur. "Kok ketawa sendirian? Ada apa? Ayoo cerita ke bapak..." Wardah Fatimah menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, sekarang kita makan malam dulu yuuk.." kata pak haji Mahmud mengajak putrinya. Wardah kembali menggelengkan kepalanya. "Heii.. jatuh cinta itu butuh tenaga, kalau kamu gak makan, nanti bisa sakit... mau?" Wardah menggelengkan kepalanya kembali. "Bapak suapin ya..?" Putrinya mengangguk pelan dan tersenyum. "Dasar anak manja," gerutu pak haji
Wardah Fatimah dengan tatapan mata yang ceria, membawa toples berisi kue kering buatannya diatas nampan. Ketika langkahnya masuk ke ruang tamu, dilihatnya Iwan sudah tak ada disitu. Ia meletakkan baki tersebut diatas meja, lalu melangkah ke arah pintu keluar. Dilihatnya motor Iwan sudah melaju di halaman rumah pak haji Mahmud. Sekilas Iwan menengok ke arah pak haji Mahmud dan menganggukkan kepalanya, selintas tampak Wardah Fatimah menyender ke pintu menatap kepergian Iwan. Ia melambaikan tangan dengan ragu-ragu, namun ia melempar sesungging senyum mengantar kepergian Iwan dari situ. Motor Iwan menjauh, Wardah Fatimah terpaku, membisu, disisi pintu. Butiran lembut, mengkilat, tersirat pada manik matanya, hingga mengaburkan pandangan. Perih terasa air yang keluar pada ruang bola retinanya. Sudah lama ia tak menangis. Wardah pun menutup kedua matanya. Pak haji Mahmud melihat hal ini, jadi terharu. "Kamu kenapa Wardah?... suka sama pak Iwan ya ?" tanya pak haji Mahmud. Wardah mengan
Iwan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, dilihatnya kasur dan barang-barang milik Wahyu sudah terkumpul disitu. Dia pun masuk ke dalam kamar, sudah kosong. Iwan menghela nafas panjang, "Alhamdulillah.. ternyata tahu diri juga mereka." Dia lalu menelpon pemilik toko perabotan yang tadi di pasar. Agak lama Iwan menunggu diangkat hubungan telpon itu, sampai dua kali dia mengulang kembali nomornya, dan akhirnya.. "Hallo.. ada yang bisa saya bantu?" suara Enci dari sana yang mengangkat telpon. "Hallo Enci, saya mau tanya.. apa sudah dikirim barang yang tadi saya beli?" "Ini siapa ya?" "saya Iwan" "Oh pak Iwan.. sudah, itu mobil angkutannya baru saja jalan. Sebentar lagi juga sampai kesitu," "Baik Ci.. saya tunggu." ** Selang beberapa saat mobil pick up yang mengantar perabot pesanan Iwan datang, lalu parkir di halaman tanah kosong. Melihat hal itu, Wahyu mengajak dua orang pengemudi ojek untuk membantu mengangkat perabotan, "Eh, kita bantuin bang Iwan tuh.." Iwan menoleh k
Iwan jadi teringat kembali pada Badrun. Lelaki muda berparas tampan dengan sikap yang menawan. Apakah dia tidak tergoda pada Dini? Wanita sholeha yang menutup seluruh auratnya. Sebagai sesama lelaki, Iwan meragukan kebaikan Badrun. Hatinya menjelajah, mengingat kembali sewaktu mereka terlibat perkelahian di pantai. Padahal waktu itu, bisa saja Badrun mematahkan tangan atau kakinya; tapi dia tidak melakukannya. Apalagi ternyata Badrun adalah murid Ki Jupri. Akan tetapi kejadian pagi itu, sewaktu Dini jatuh dalam pelukan Badrun karena terpeleset, untuk sekedar melupakanya saja; hatinya sangat sulit. Bayangan itu masih terus membekas.Lamunannya terhenti ketika nek Warni menaruh secangkir kopi dengan kue dan gorengan."Bang, ini kopinya, masih panas. Yang di rumah sana sudah dingin, jadi nek ganti yang baru.. itu gorengannya juga masih hangat.. dicicipi bang..,""Iya nek... Terimakasih ya,"Nek Warni mengangguk pelan, lalu jalan menuju ke arah rumah Iwan lagi.Tak lama kemudian, bebera
Motor yang dikendarai oleh pak Syam dan pak Soenarto menjauh dari depan warung, Wahyu buru-buru menghampiri Iwan, mendekat, dan sangat dekat sekali, setengah berbisik Wahyu bertanya, "Bang, apa petugas itu minta uang?" Iwan menoleh ke wajah Wahyu, "Iya Yu, tapi abang bilang nanti kalau semua sudah selesai." sahut Iwan sambil jalan menuju ke kursi di warung. Wahyu mengikuti jalan disampingnya. Iwan duduk, Wahyu pun ikut duduk di kursi di sebelah Iwan. "Kebiasaan petugas itu bang.. apa-apa dijadikan uang" celoteh Wahyu. "Gak apa-apalah Yu, dia kan cuma cari uang tambahan buat anak istrinya. Mungkin gajinya kurang mencukupi untuk kebutuhan keluarganya," "Mending kalau buat keluarganya, buat disco dangdutan Bang," "Itulah budaya yang sudah melenceng Yu," Iwan menarik nafas panjang. "Tapi gak semua petugas seperti itu kan Yu?" "Ya gak sih Bang. Hanya beberapa aja yang ikut-ikutan begitu. Biasanya dia ngajak tetangganya, apalagi kalau bapak tetangganya itu satu aliran" ujar
Ingatan tentang Robby dan Iwan perlahan pupus dari benaknya. Bang Andy menatap Maming dengan penuh harap. "Oke Ming.. terimakasih atas masukan lu.. Oya, bisa secepatnya gak Yana dipanggil kesini? Biar gue tau selera musiknya. Lagipula sepi banget kalo ga ada live musik disini yah.." "Iya Boss, kayaknya power kedai ini rohnya disajian musik deh.. hehehe" "Ho oh Ming, gue juga baru ngeh.. hahahaha..." bang Andy tertawa. "Sekarang juga kalo saya panggil, Yana bisa langsung meluncur kesini," "Ah yang bener lu...?!" "Iya Boss... dia kemarin sudah ada di Jakarta, katanya malam ini nginep di rumah sodaranya," "Ooooh.. gercep juga lu Ming... " "Iya gitulah boss... sayang aja tu bengkel kalo ga ada yang ngurusin," "Ya udah suruh kesini aja sekarang.. Eh, sekalian bawa baju-bajunya.. jadi gak mundar-mandir ke rumah sodaranya.." "Siap Boss" Bang Andy merasa, Iwan dapat menerima Yana yang akan menggantikan dirinya sebagai teman kerja satu profesi. Dalam pikirannya, mereka berdua b