Share

bab 2. Mantan suami

Author: Ambu Abbas
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Dini, keluar kamu,” bentak Dewi kasar.

“Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan.

”Bohong kamu!” Dewi menerobos gordein yang menutup pintu kamar. Dilihatnya kamar itu kosong. 

”Kamu sembunyikan dimana iblis laknat ?!” Dewi semakin menggila, mencari ke balik pintu kamar, dalam lemari, sampai kolong tempat tidur.

”Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan sambil mengajaknya keluar dari kamar.

”Jangan sentuh aku!" Dewi menepis tangan Iwan dengan kasar.

"Baguslah kalau udah meninggal, biar dia langsung masuk ke neraka," ucap Dewi lantang. Hati wanita sesabar apa lagi yang tak akan marah saat diuji perselingkuhan didalam rumah tangganya.

Dewi membalikkan tubuhnya kembali mendekati Tia sambil menggerutu.

”Perempuan tidak tau diri, tidak tau berterimakasih." 

Pak Sidik dan Iwan hanya bisa terdiam di situ.

"Kami sudah berusaha membawa Tia berobat kemana-mana neng Dewi, tapi Tia masih tetap seperti itu," ucap pak Sidik.

 

Di sela-sela itu, Iwan masuk ke kamar lagi. Ia kembali setelah beberapa menit kemudian. Iwan memperlihatkan beberapa keping emas milik Dewi.

"Ini sisa harta kamu yang aku ambil dulu," kata Iwan.

"Aku tahu, kamu tidak akan memaafkan kesalahanku, ini kunci mobil kamu,"

tambahnya sambil menghampiri Dewi dan menyerahkan semua benda tersebut.

Dewi menyambarnya dengan kasar.

"Gak perlu bertele-tele, Tia ikut aku sekarang," ucap Dewi tegas.

Iwan tahu persis sikap Dewi akan seperti itu, dia sadar betul atas kesalahannya dulu.

"Ini baju-baju Tia." Iwan bicara lagi.

"Aku antar kamu Wi," tambahnya.

"Gak perlu," sahut Dewi singkat.

Dewi mengajak Tia,

"Ayoo Tia, ikut ibu ya, ayo."

Tia hanya menatap Dewi dengan pandangan mata yang kosong. Tia tidak mengenali siapa Dewi. Ia hanya bingung sekaligus bengong; sejak tadi jadi penonton dari kemarahan serta kesedihan Dewi di depan matanya.

Dewi mengajak Tia berdiri dari kursi. Namun, tiba-tiba ia terjatuh. Kakinya tak kuat, Tya meringis kesakitan.

”Tia ... kamu tidak bisa berdiri? Ya Allah. Anakku.” Dewi terbata-bata, memeluk tubuh Tia.

Sulit menerima kenyataan jika sekarang puterinya lumpuh. Padahal, Tia adalah anak yang aktif dan juga cerdas.

Hancur hati Dewi berkeping-keping melihat kondisi Tia. 

Ia merasa bersalah, dan kepalanya terasa seperti mau pecah.

Tangisnya pun tak dapat ia bendung lagi.

”Maafkan ibu ya Tia. Ibu tidak mencarimu waktu itu, maafkan ibu nak, maafkan."

Dewi menangis sesegukan, airmata mengalir deras membasahi pipinya. Sesekali ia menyeka airmatanya dengan kaos tangan panjangnya.

"Aku sudah membawa Tia ke dokter untuk fisioterapi, tapi belum ada hasilnya," kata Iwan.

Pak Sidik lalu mengambil kursi roda kecil di kamar belakang. Tempat Tia tidur.

”Sabar ya Tia, ibu sayang kamu. Ibu akan jaga kamu,” ucap Dewi sambil mencium pipi Tia dan tak mampu menahan kepedihan hatinya yang menyesakkan dadanya.

Mengapa anaknya yang harus menanggung penderitaan ini?

Dewi lalu menggendong tubuh Tia dan menaruh di atas kursi roda. Tanpa basa basi lagi kepada Pak Sidik, ia mendorong kursi roda keluar dari rumah.

"Kamu yang setir mobil," kata Dewi sambil melempar kunci mobil ke arah Iwan.

Tapi Iwan tidak siap, sehingga kunci itu jatuh, dan dia langsung mengambilnya.

"Cepat!" Dewi tidak sabar.

Iwan membuka pintu mobil, Dewi menggendong Tia masuk ke dalam mobil, dan Iwan mengambil kursi rodanya, dilipat lalu ditaruh di jok kursi depan.

"Taro di bagasi, bukan disitu,"

Iwan menuruti perintah Dewi, lalu mengambil kursi roda yang sudah dilipat dari jok depan dan memasukkannya kedalam bagasi di belakang mobil.

Mobil pun meluncur menjauh dari situ, diikuti tatapan pak Sidik yang masih mematung didepan pintu.

**

Dewi mengamati perubahan fisik puteri kecilnya. Anak yang dulu usianya masih tiga tahun, kini sudah terlihat dewasa. Tia sudah tumbuh besar. Namun, Dewi meragukan hidup Tia sekarang, dia yakin banyak tekanan mental yang dihadapi puterinya. Apalagi selama ini Tia diasuh oleh orang yang tidak benar menyayanginya, Dewi sudah membayangkan kasih sayang apa yang didapat Tiara.

"Kamu gak apa-apa 'kan Nak? Ibu khawatir," kata Dewi. Dia membisikkan di telinga Tia, berharap Iwan tak mendengar.

"Gak apa-apa." Tia menjawab datar. Dia masih belum bisa menerima kenyataan jika Dewi adalah ibu kandungnya.

Perhatian Dewi langsung teralihkan. Dia langsung teringat, cara mengembalikan keaktifan Tia adalah dengan menyewa seseorang. Membawa Tia ke salah satu orang ini akan membuatnya sembuh.

"Aku punya kenalan dari teman. Moga dia bisa berjodoh bagi kesembuhan puteriku. Ya Allah. Ridhoi jalanku," ucapnya dalam hati.

Di kontak ponselnya, terlihat nama-nama psikiater yang diberikan oleh kenalan Dewi untuk dihubungi. Ya, Dewi punya pemikiran untuk membawa anaknya ke ahli kejiwaan.

**

Setiba di rumah, Dewi langsung menyuapi Tia di ruang tamu. Sedangkan Iwan makan sendirian di kursi dapur. Mbak Surti membawakan minuman hangat dua gelas untuk Tia dan Dewi.

"Mbak Surti nanti tidur di sofa saja, biar dia yang tidur di kamar mbak ya,” kata Dewi pada mbak Surti.

Iwan mendengar ucapan Dewi.

"Gak usah Wi, aku langsung pulang," sahut Iwan dari dapur.

"Kalau dia sudah pergi, mbak Surti kunci garasi dan pagar depan,” pinta Dewi.

"Baik non."

Rumah Dewi ini tidak besar, hanya ada 2 kamar tidur. Ia membeli rumah ini setelah ibunya meninggal dunia. Dewi menjual rumahnya, lalu memilih tinggal di rumah kecil pada pemukiman penduduk yang agak padat. Di Jl. Empang 3 Jakarta Selatan. Dewi memilih rumah itu, karena tidak jauh dari kantornya.

Selang beberapa saat, motor Iwan pergi meninggalkan rumah Dewi. Ia hanya diam. Padahal hatinya masih ingin melihat Iwan ada di rumahnya dan mengenang masa lalu yang pernah dirasa indah oleh Dewi.

Perhatian Dewi teralihkan pada gadis belia di depannya. Saat itu Tia celingukan, dia menatap sekeliling sambil terpelongo. Wajar saja Tia asing, ia benar-benar tidak paham wajah Dewi, sekalipun status wanita itu adalah orang tua kandungnya.

"Kamu mulai sekarang tinggal di sini ya? Kamu anak Ibu."

Tia terdiam. Dia menarik napas dalam, kemudian mencari Iwan. "Ke mana ayah?"

Dewi mengatakan jika Iwan akan kembali, tetapi Tia tidak percaya. Dia mendesak untuk pulang kembali ke rumah kakek dan neneknya.

Melihat kondisi Tia, Dewi tidak tega. Namun, dia punya satu cara untuk bisa memperbaiki semua ini. Dewi berjalan ke arah lemari, dia mencari sesuatu, kembali ke hadapan Tia dengan membawa sebuah album foto. Di sana ada gambar bayi perempuan yang menggemaskan.

"Coba tebak ini siapa?"

Tia mengerutkan dahi. Ia merasa memiliki foto yang sama di rumahnya. Ia paham jika gambar bayi itu adalah foto dirinya sewaktu masih kecil.

"Ini Tiarawaty, anak saya. Sedangkan ini foto saya. Kami adalah Ibu dan anak."

Tia kebingungan. Ia tidak pernah merasa jika Dewi adalah ibu kandungnya. Setelah berpikir keras, Tia memegangi kepala. Ia menggelengkan kepala dan mengeluh sakit. Hal itu tentu membuat Dewi ikut kelabakan. Satu hal yang dilakukan Dewi, yaitu menghubungi kontak psikiater atas nama dokter Permana dan siap membawa puterinya ke sana.

Namun, saat hendak melakukan apa yang sudah ada di ujung pikiran, tiba-tiba Tia berbicara. "Ibu ... kepalaku sakit Ibu. Tolong...."

  

 

 

Related chapters

  • Pelakor dan mantan suami   bab 3. Kontradiksi

    Dewi senang mendengar kata-kata Tia yang menyebut ibu padanya, karena selama ini, belum pernah terdengar kata “ibu” keluar dari mulutnya. Tia lalu dijaga oleh mbak Surti, sementara Dewi bisa sedikit lebih tenang. Dewi beruntung, karena selama pandemi ini dia bisa kerja dari rumah, meski kadang dua minggu satu kali ia harus meeting ke kantor, tetapi hal itu tidak merepotkan dirinya. Ia mulai dengan kegiatan baru, di samping kewajiban rutin atas tanggungjawab kerja dari kantornya, ia merawat Tia bersama mbak Surti di rumah. Tia bertanya kepada Dewi. Tidak sekali dua kali, berkali-kali. ”Iwan kemana Bu?" ”Iwan itu siapa? Ibu siapa?" Dewi kembali sedih, ternyata Tia belum mengenalnya sebagai ibu kandungnya. Sejauh ini dia hanya tahu sebutan ibu, seolah hanya sebuah nama panggilan saja. Ia ingin konsultasi pada psikiater, dan sekaligus pada dokter ortopedi, tapi suasana rumah sakit masih dipenuhi oleh pasien covid19. Ada perasaan takut yang hadir dan mencengkeram hatinya. Takut tertul

  • Pelakor dan mantan suami   Bab 4. Kembalinya masa Lalu

    Dini mengambil air wudhu dari kran di kamar mandi rumah pak Sidik. Perasaannya campur aduk, setelah mendengar semua kejadian yang diceritakan oleh pamannya Iwan.”Neng Dini ga perlu temui Iwan dan neng Dewi lagi. Kasian mereka..”Dini mengangguk pelan.Dalam shalat, Dini mengadukan semua kepada Tuhannya. Tiba-tiba saja ia langsung menangis karena teringat akan dosanya yang begitu banyak terasa. Pikirannya yang kalut karena beranggapan bahwa salahnya itu banyak sekali, mungkin Tuhan juga tidak mudah memaafkan dirinya. Dini shalat dengan sangat khusyuk, disetiap gerakan shalat wanita itu tidak hentinya meneteskan air mata. Hingga diakhiri dengan salam. Dini memanjatkan doa, kesulitannya dia berkata, karena lidahnya kelu, dan hanya mampu menangis dengan hebat."Aku adalah pendosa, aku begitu buruk ya Allah, sekarang ini aku menghadap padaMu, dengan keadaanku yang seperti ini. Ya Allah... Maukah Engkau memaafkan aku? Seorang wanita yang hina dan banyak menorehkan malu pada diri sendiri,

  • Pelakor dan mantan suami   Bab 5. Dini

    Dalam hati, Iwan merasa menyesal sudah melukai hati Dewi dengan berselingkuh. Walaupun itu masa lalu, Iwan tetap merasa berdosa. Dia berjanji akan menemui Dewi saat sudah kembali dari puncak. Dia sekaligus ingin bertemu Tia. Lalu muncul inisiatif untuk Iwan mengajak Dewi rujuk, tetapi apa Dewi mau menerima ajakannya. ** Pagi itu, setelah kembali dari puncak, Iwan langsung menuju ke rumah Dewi dan berniat mewujudkan rencananya dari awal. Kedatangannya kali ini akan dibuat lebih baik. Ia ingin bicara serius dengan Dewi, mengajaknya untuk kembali rujuk. Jika Tuhan saja masih mau memaafkan kesalahan hambanya, Iwan yakin Dewi akan memaafkan kesalahannya. Ia tidak pernah menganggap jika Dewi akan mengusirnya saat Iwan mengatakan tentang perasaannya sekarang. Tok! Tok! Pintu rumah Dewi diketuk. Saat itu Dewi masih asyik mengajak Tia berbicara dan mencoba mengembalikan ingatan puterinya, ia lalu menghentikan terlebih dahulu. "Nanti ya. Ibu mau lihat siapa yang datang." Dengan langkah p

  • Pelakor dan mantan suami   Bab 6. Dini korban tabrak lari

    Dewi mengunci pintu kamarnya, diatas kursi roda, tubuh Tia gemetaran, ketakutan."Ibu, apa mereka orang jahat?"Degh !Pertanyaan Tia membuat Dewi bingung merangkai kata jawabannya, ia berjongkok disamping kursi roda Tia, menggenggam tangan Tia dengan kelembutan, akhirnya Dewi harus mengatakan apa yang sebenarnya dulu pernah terjadi. "Dulu, mereka berdua pernah jahat pada ibu. Mereka membawa Tia pergi sampai jauh dari ibu, tapi sekarang Tia sudah dikembalikan lagi kepada ibu. Ibu senang sekali." kata Dewi sambil menciumi pipi Tia.Tia belum paham apa yang dibicarakan Dewi. Namun melihat airmata yang menetes dipipi Dewi, Tia lalu menghapus lembut dengan jemarinya." Ibu jangan nangis, Tia ga tau.. Tia ga tau buu... "Dewi memeluk Tia, mengelus-elus rambut dikepalanya. Meskipun Dewi tahu persis kesadaran Tia belum pulih, tapi ia sudah mau berbicara dengan ibunya, walaupun masih menganggap ibu hanya sebuah panggilan tanpa makna yang jelas baginya. Kamar Dewi tidak terlalu luas, tapi dis

  • Pelakor dan mantan suami   Bab 7. Dr Permana.

    Dalam perjalanan menuju ke kedai Kopi Para Mantan, hati Iwan masih galau. Pada satu sisi dia tidak mau kehilangan Dewi dan Tia, tapi disisi lain dia membayangkan lelaki lain, yaitu sang psikiater, yang bakal hadir kedalam hidup Dewi dan Tia. Apalagi dari pembicaraan dr Finka tadi, mereka satu sekolah di SMA, masa muda yang penuh nostalgia. Ditambah lagi ingatannya pada Dini yang masih tak sadarkan diri di rumahsakit. Apakah dia bisa setega itu dengan membiarkan nasib Dini yang harus menghadapi kenyataan hidupnya sendirian?. Iwan tahu persis masa lalu Dini di kampungnya. Dini diperlakukan semena-mena oleh kedua orangtuanya, bahkan telah beberapa kali diperkosa oleh ayahnya sendiri. Itu sebabnya Dini kabur dari rumah, berusaha hidup mandiri; sampai akhirnya nasib membawanya ke kota Jakarta."Woiii.. lu mau belok kanan atau ke kiri, itu sen yang bener dong!" bentak seseorang dari sebuah motor yang tiba-tiba muncul di samping kirinya.Iwan tersentak dari lamunannya, dia lalu minta maaf k

  • Pelakor dan mantan suami   Bab 8. Dr Permana di rumahsakit.

    Masa-masa menjalani pendidikan di SMA, hanya ada tiga orang di sekolah yang selalu bersaing untuk jadi juara kelas dan dapat nilai tertinggi. Selain berharap bisa mendapatkan bea siswa untuk melanjutkan kuliah keluar negeri, ada kepuasan tersendiri bila masuk ke ranking teratas diantara teman-teman lainnya di satu sekolah. Mereka itu adalah Dewi, Permana, dan Intan.Permana sudah pernah bertemu dengan Intan, sewaktu dia meneruskan pendidikan S3 di luar negeri. Akan tetapi sikap Intan kurang bersahabat. Intan membuat jarak komunikasi dengannya, mungkin karena jabatan yang dipegang Intan di kota itu, banyak didatangi orang yang butuh tandatangannya, terutama pada musim pendaftaran mahasiswa/siswi baru di negeri tersebut. Begitulah adanya. Setiap orang, tentu punya karakter dan sikap hidup yang berbeda. Atau, menjadi berubah sikap hidupnya, ketika interaksi antar ruang hidupnya berubah.** Setiba di rumahsakit, Dr Permana langsung menuju ke ruang ICU yang telah diberitahukan oleh dr Fink

  • Pelakor dan mantan suami   Bab 9. Peluang baru.

    Bang Andy menatap langkah Iwan menuju panggung kecil di pojok ruangan kedai itu. Dia merasa bersyukur dapat dipertemukan dengan Iwan, sosok yang tidak neko-neko. Obrolannya selalu nyambung tentang apapun. Kalau bukan karena ada isteri dan anak yang menunggu di rumah, rasanya bang Andy lebih suka ngobrol dengan Iwan ngalor ngidul soal perjalanan hidupnya, setiap malam sampai pagi.Tiba-tiba Maming lewat dari koridor ruang belakang disamping bang Andy,"E eeh Ming.. sini, duduk dulu.""Ada apa Boss?" sahut Maming sambil duduk di sebelah bang Andy."Besok pagi, lu bersihin garasi samping. Gue kurang suka kalau lama-lama garasi itu berubah jadi gudang. Pokoknya lu kosongin ruangan itu, bersihin, trus cat ulang."Bang Andy mengeluarkan dompetnya, lalu memberikan beberapa lembaran uang merah kepada Maming."Nih buat beli catnya.. Beli 1 galon yang besar trus sekalian sama roll, gak usah pake kuas ngecatnya, ntar kelamaan,""Oke boss. " sahut Maming. "Eh warna catnya apa boss?" tanya Maming

  • Pelakor dan mantan suami   10. Dini pura-pura gila

    Dr Permana tidak tega melihat kondisi Dini. Bagaimana pun ia seorang perempuan. Dari hasil diskusi yang telah diadakan bersama, Pihak pemilik rumahsakit memutuskan satu solusi. Dini tetap dirawat disitu tapi tidak ditangani Dr Permana, dan tidak di ruang isolasi khusus, karena masih banyak pasien lain, terutama pasien yang sedang dalam kondisi terpapar wabah covid dan mempunyai catatan komorbid. Dalam situasi seperti itu, ruangan tersebut sangat dibutuhkan."Mendengar laporan-laporan medis, mengamati seluruh catatan, maka jalan keluar bagi masalah pasien tanpa nama itu, sebaiknya, bukan lagi merupakan tanggung jawab Dr Permana. Depresi berat seperti itu, akan semakin sulit disembuhkan, kalau kita melayani gejolak dari pengaruh halusinasi sipasien.""Terimakasih prof.. saya sepakat," ucap Dr Inggrid."Kita pindahkan pasien saat dia dalam pengaruh obat penenang dan tertidur pulas. Taruh di ruang rawat inap yang sudah tidak dipakai, di dekat kamar jenazah. Lepaskan ikatan tangannya, biark

Latest chapter

  • Pelakor dan mantan suami   44. Tia kangen ayah.

    Di dalam kamarnya, Iwan merenung. Tak lama kemudian, dia mengambil handphonenya, dan menghubungi Badrun, "Assalamu'alaikum kang Badrun..." "Wa alaikum salam kang Iwan.. gimana? jadi besok kesini?" "Justru saya mau kasih kabar, besok belum bisa kesitu. Mendadak di kedai tempat pekerjaan saya, bossnya ngadain pesta pernikahan anaknya kang Badrun," "Wadduh gimana ya kang Iwan?" "Iya saya juga bingung kang... gak enak ninggalin boss pas lagi ada acara keluarga. Masa saya gak bantuin?" "Iya sih.." sahut Badrun tak semangat, lemas. "Ya sudah kalau begitu, bagaimana kalau saya cari orang lain kang Iwan?" "Ya boleh aja kang Badrun, berarti saya gak jadi keluar dari pekerjaan saya disini ya kang?" Badrum diam, merenung. "Gimana kang Badrun?" "Itu mah terserah kang Iwan aja...Anak buah saya juga pada butuh kerja kang Iwan, kalau libur melaut kel;amaan, nanti mereka cari kerja ke kapal lain.. Mereka gak mau makan gaji buta tanpa kerja" "Ya sudah kalau begitu, nanti gampanglah saya a

  • Pelakor dan mantan suami   43. Nasib baik

    Beberapa saat, pak haji Mahmud terdiam. Baru saja Iwan hendak bicara, pak haji Mahmud memotongnya dengan pertanyaan, "Cacatnya sejak lahir atauu......" "Musibah pak haji.." "Ya tentu saja musibah bang Iwan, tapi jangan dijadikan aib bagi keluarga," Deg! Iwan tahu kemana arah pembicaraan pak haji Mahmud, dia lalu menjelaskan garis besarnya. "Maksud saya, putri saya cacat karena korban dari musibah pak haji. Bukan cacat sejak lahir... Waktu itu, kami sekeluarga terseret ombak di pantai, sewaktu peristiwa bencana tsunami di selat sunda," "Astaghfirullah... astaghfirullah... Maafkan saya, bang Iwan" ucap pak haji Mahmud pelan, dia merasa bersalah sudah berprasangka buruk, sebelum dijelaskan oleh Iwan. Pak haji Mahmud pun diam, membisu. "Gak apa-apa pak haji.. saya memakluminya. Sekarang putri saya sudah sembuh, dia mulai belajar jalan lagi. Dua tahun kemarin, anak saya lumpuh total, dan tidak bisa bicara... Tatapan matanya kosong... mungkin saking shocknya" "Alhamdulillah kala

  • Pelakor dan mantan suami   42. Transaksi

    Kehangatan suasana keluarga itu membuat Iwan merasakan kedamaian. Ada laki-laki tua yaitu pak Sidik, dan ada ibu-ibu yang juga sudah tua, nek Warni. Iwan berharap kehadiran mereka semuanya dapat membuat Dini betah tinggal di rumah yang sudah jadi milik Iwan. Sedangkan malam itu, pak haji Mahmud dilanda kebingungan. Dia memikirkan putrinya Wardah Fatimah yang naksir kepada Iwan. Dia tahu persis bagaimana perasaan jatuh hati atau naksir dari gadis usia belasan tahun. Seperti orang lupa diri, dan mabuk kepayang. Dalam tatapan matanya yang ada hanya bayang-bayang wajah Iwan. Ia selalu mengharapkan kehadiran pujaan hatinya itu, berada disisinya. Wardah Fatimah seorang gadis yang penurut. Sejak kematian ibunya, dia hanya diasuh oleh bapaknya. Pernah pak haji Mahmud menggaji seorang Pengasuh dan juga Pembantu rumah tangga, tapi pekerja-pekerja itu pengabdiannya tidak maksimal, alias asal-asalan. Padahal pak haji Mahmud menggaji mereka melebihi gaji ART di daerah tersebut. Begitu pula Penga

  • Pelakor dan mantan suami   41. Kehangatan keluarga.

    Suara "uuh" yang keluar dari mulut Wardah Fatimah, mengejutkan pak haji Mahmud, yang sedang jalan di depan kamar putrinya. "Wardah, kamu kenapa... ?" Pak haji Mahmud mengetuk pintu kamarnya, pintu itu tidak terkunci. Pak haji Mahmud langsung masuk, dilihatnya tubuh anak gadisnya jatuh di lantai dengan kedua kaki masih menyangkut pada kursi kecil meja riasnya. "Kamu lagi ngapain.. kok sampai bisa begini sih?" Wardah Fatimah tak menjawab. Pak haji Mahmud lalu mengangkat tubuh putrinya, membopongnya dan meletakkannya diatas kasur. "Kok ketawa sendirian? Ada apa? Ayoo cerita ke bapak..." Wardah Fatimah menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, sekarang kita makan malam dulu yuuk.." kata pak haji Mahmud mengajak putrinya. Wardah kembali menggelengkan kepalanya. "Heii.. jatuh cinta itu butuh tenaga, kalau kamu gak makan, nanti bisa sakit... mau?" Wardah menggelengkan kepalanya kembali. "Bapak suapin ya..?" Putrinya mengangguk pelan dan tersenyum. "Dasar anak manja," gerutu pak haji

  • Pelakor dan mantan suami   40. Jatuh cinta.

    Wardah Fatimah dengan tatapan mata yang ceria, membawa toples berisi kue kering buatannya diatas nampan. Ketika langkahnya masuk ke ruang tamu, dilihatnya Iwan sudah tak ada disitu. Ia meletakkan baki tersebut diatas meja, lalu melangkah ke arah pintu keluar. Dilihatnya motor Iwan sudah melaju di halaman rumah pak haji Mahmud. Sekilas Iwan menengok ke arah pak haji Mahmud dan menganggukkan kepalanya, selintas tampak Wardah Fatimah menyender ke pintu menatap kepergian Iwan. Ia melambaikan tangan dengan ragu-ragu, namun ia melempar sesungging senyum mengantar kepergian Iwan dari situ. Motor Iwan menjauh, Wardah Fatimah terpaku, membisu, disisi pintu. Butiran lembut, mengkilat, tersirat pada manik matanya, hingga mengaburkan pandangan. Perih terasa air yang keluar pada ruang bola retinanya. Sudah lama ia tak menangis. Wardah pun menutup kedua matanya. Pak haji Mahmud melihat hal ini, jadi terharu. "Kamu kenapa Wardah?... suka sama pak Iwan ya ?" tanya pak haji Mahmud. Wardah mengan

  • Pelakor dan mantan suami   39. Masalah baru

    Iwan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, dilihatnya kasur dan barang-barang milik Wahyu sudah terkumpul disitu. Dia pun masuk ke dalam kamar, sudah kosong. Iwan menghela nafas panjang, "Alhamdulillah.. ternyata tahu diri juga mereka." Dia lalu menelpon pemilik toko perabotan yang tadi di pasar. Agak lama Iwan menunggu diangkat hubungan telpon itu, sampai dua kali dia mengulang kembali nomornya, dan akhirnya.. "Hallo.. ada yang bisa saya bantu?" suara Enci dari sana yang mengangkat telpon. "Hallo Enci, saya mau tanya.. apa sudah dikirim barang yang tadi saya beli?" "Ini siapa ya?" "saya Iwan" "Oh pak Iwan.. sudah, itu mobil angkutannya baru saja jalan. Sebentar lagi juga sampai kesitu," "Baik Ci.. saya tunggu." ** Selang beberapa saat mobil pick up yang mengantar perabot pesanan Iwan datang, lalu parkir di halaman tanah kosong. Melihat hal itu, Wahyu mengajak dua orang pengemudi ojek untuk membantu mengangkat perabotan, "Eh, kita bantuin bang Iwan tuh.." Iwan menoleh k

  • Pelakor dan mantan suami   38. Keputusan yang bulat.

    Iwan jadi teringat kembali pada Badrun. Lelaki muda berparas tampan dengan sikap yang menawan. Apakah dia tidak tergoda pada Dini? Wanita sholeha yang menutup seluruh auratnya. Sebagai sesama lelaki, Iwan meragukan kebaikan Badrun. Hatinya menjelajah, mengingat kembali sewaktu mereka terlibat perkelahian di pantai. Padahal waktu itu, bisa saja Badrun mematahkan tangan atau kakinya; tapi dia tidak melakukannya. Apalagi ternyata Badrun adalah murid Ki Jupri. Akan tetapi kejadian pagi itu, sewaktu Dini jatuh dalam pelukan Badrun karena terpeleset, untuk sekedar melupakanya saja; hatinya sangat sulit. Bayangan itu masih terus membekas.Lamunannya terhenti ketika nek Warni menaruh secangkir kopi dengan kue dan gorengan."Bang, ini kopinya, masih panas. Yang di rumah sana sudah dingin, jadi nek ganti yang baru.. itu gorengannya juga masih hangat.. dicicipi bang..,""Iya nek... Terimakasih ya,"Nek Warni mengangguk pelan, lalu jalan menuju ke arah rumah Iwan lagi.Tak lama kemudian, bebera

  • Pelakor dan mantan suami   37. Problematik

    Motor yang dikendarai oleh pak Syam dan pak Soenarto menjauh dari depan warung, Wahyu buru-buru menghampiri Iwan, mendekat, dan sangat dekat sekali, setengah berbisik Wahyu bertanya, "Bang, apa petugas itu minta uang?" Iwan menoleh ke wajah Wahyu, "Iya Yu, tapi abang bilang nanti kalau semua sudah selesai." sahut Iwan sambil jalan menuju ke kursi di warung. Wahyu mengikuti jalan disampingnya. Iwan duduk, Wahyu pun ikut duduk di kursi di sebelah Iwan. "Kebiasaan petugas itu bang.. apa-apa dijadikan uang" celoteh Wahyu. "Gak apa-apalah Yu, dia kan cuma cari uang tambahan buat anak istrinya. Mungkin gajinya kurang mencukupi untuk kebutuhan keluarganya," "Mending kalau buat keluarganya, buat disco dangdutan Bang," "Itulah budaya yang sudah melenceng Yu," Iwan menarik nafas panjang. "Tapi gak semua petugas seperti itu kan Yu?" "Ya gak sih Bang. Hanya beberapa aja yang ikut-ikutan begitu. Biasanya dia ngajak tetangganya, apalagi kalau bapak tetangganya itu satu aliran" ujar

  • Pelakor dan mantan suami   36. Yana dan Yanti

    Ingatan tentang Robby dan Iwan perlahan pupus dari benaknya. Bang Andy menatap Maming dengan penuh harap. "Oke Ming.. terimakasih atas masukan lu.. Oya, bisa secepatnya gak Yana dipanggil kesini? Biar gue tau selera musiknya. Lagipula sepi banget kalo ga ada live musik disini yah.." "Iya Boss, kayaknya power kedai ini rohnya disajian musik deh.. hehehe" "Ho oh Ming, gue juga baru ngeh.. hahahaha..." bang Andy tertawa. "Sekarang juga kalo saya panggil, Yana bisa langsung meluncur kesini," "Ah yang bener lu...?!" "Iya Boss... dia kemarin sudah ada di Jakarta, katanya malam ini nginep di rumah sodaranya," "Ooooh.. gercep juga lu Ming... " "Iya gitulah boss... sayang aja tu bengkel kalo ga ada yang ngurusin," "Ya udah suruh kesini aja sekarang.. Eh, sekalian bawa baju-bajunya.. jadi gak mundar-mandir ke rumah sodaranya.." "Siap Boss" Bang Andy merasa, Iwan dapat menerima Yana yang akan menggantikan dirinya sebagai teman kerja satu profesi. Dalam pikirannya, mereka berdua b

DMCA.com Protection Status