“Dini, keluar kamu,” bentak Dewi kasar.
“Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan.
”Bohong kamu!” Dewi menerobos gordein yang menutup pintu kamar. Dilihatnya kamar itu kosong.
”Kamu sembunyikan dimana iblis laknat ?!” Dewi semakin menggila, mencari ke balik pintu kamar, dalam lemari, sampai kolong tempat tidur.
”Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan sambil mengajaknya keluar dari kamar.
”Jangan sentuh aku!" Dewi menepis tangan Iwan dengan kasar.
"Baguslah kalau udah meninggal, biar dia langsung masuk ke neraka," ucap Dewi lantang. Hati wanita sesabar apa lagi yang tak akan marah saat diuji perselingkuhan didalam rumah tangganya.
Dewi membalikkan tubuhnya kembali mendekati Tia sambil menggerutu.
”Perempuan tidak tau diri, tidak tau berterimakasih."
Pak Sidik dan Iwan hanya bisa terdiam di situ.
"Kami sudah berusaha membawa Tia berobat kemana-mana neng Dewi, tapi Tia masih tetap seperti itu," ucap pak Sidik.
Di sela-sela itu, Iwan masuk ke kamar lagi. Ia kembali setelah beberapa menit kemudian. Iwan memperlihatkan beberapa keping emas milik Dewi.
"Ini sisa harta kamu yang aku ambil dulu," kata Iwan.
"Aku tahu, kamu tidak akan memaafkan kesalahanku, ini kunci mobil kamu,"
tambahnya sambil menghampiri Dewi dan menyerahkan semua benda tersebut.
Dewi menyambarnya dengan kasar.
"Gak perlu bertele-tele, Tia ikut aku sekarang," ucap Dewi tegas.
Iwan tahu persis sikap Dewi akan seperti itu, dia sadar betul atas kesalahannya dulu.
"Ini baju-baju Tia." Iwan bicara lagi.
"Aku antar kamu Wi," tambahnya.
"Gak perlu," sahut Dewi singkat.
Dewi mengajak Tia,
"Ayoo Tia, ikut ibu ya, ayo."
Tia hanya menatap Dewi dengan pandangan mata yang kosong. Tia tidak mengenali siapa Dewi. Ia hanya bingung sekaligus bengong; sejak tadi jadi penonton dari kemarahan serta kesedihan Dewi di depan matanya.
Dewi mengajak Tia berdiri dari kursi. Namun, tiba-tiba ia terjatuh. Kakinya tak kuat, Tya meringis kesakitan.
”Tia ... kamu tidak bisa berdiri? Ya Allah. Anakku.” Dewi terbata-bata, memeluk tubuh Tia.
Sulit menerima kenyataan jika sekarang puterinya lumpuh. Padahal, Tia adalah anak yang aktif dan juga cerdas.
Hancur hati Dewi berkeping-keping melihat kondisi Tia.
Ia merasa bersalah, dan kepalanya terasa seperti mau pecah.
Tangisnya pun tak dapat ia bendung lagi.
”Maafkan ibu ya Tia. Ibu tidak mencarimu waktu itu, maafkan ibu nak, maafkan."
Dewi menangis sesegukan, airmata mengalir deras membasahi pipinya. Sesekali ia menyeka airmatanya dengan kaos tangan panjangnya.
"Aku sudah membawa Tia ke dokter untuk fisioterapi, tapi belum ada hasilnya," kata Iwan.
Pak Sidik lalu mengambil kursi roda kecil di kamar belakang. Tempat Tia tidur.
”Sabar ya Tia, ibu sayang kamu. Ibu akan jaga kamu,” ucap Dewi sambil mencium pipi Tia dan tak mampu menahan kepedihan hatinya yang menyesakkan dadanya.
Mengapa anaknya yang harus menanggung penderitaan ini?
Dewi lalu menggendong tubuh Tia dan menaruh di atas kursi roda. Tanpa basa basi lagi kepada Pak Sidik, ia mendorong kursi roda keluar dari rumah.
"Kamu yang setir mobil," kata Dewi sambil melempar kunci mobil ke arah Iwan.
Tapi Iwan tidak siap, sehingga kunci itu jatuh, dan dia langsung mengambilnya.
"Cepat!" Dewi tidak sabar.
Iwan membuka pintu mobil, Dewi menggendong Tia masuk ke dalam mobil, dan Iwan mengambil kursi rodanya, dilipat lalu ditaruh di jok kursi depan.
"Taro di bagasi, bukan disitu,"
Iwan menuruti perintah Dewi, lalu mengambil kursi roda yang sudah dilipat dari jok depan dan memasukkannya kedalam bagasi di belakang mobil.Mobil pun meluncur menjauh dari situ, diikuti tatapan pak Sidik yang masih mematung didepan pintu.
**
Dewi mengamati perubahan fisik puteri kecilnya. Anak yang dulu usianya masih tiga tahun, kini sudah terlihat dewasa. Tia sudah tumbuh besar. Namun, Dewi meragukan hidup Tia sekarang, dia yakin banyak tekanan mental yang dihadapi puterinya. Apalagi selama ini Tia diasuh oleh orang yang tidak benar menyayanginya, Dewi sudah membayangkan kasih sayang apa yang didapat Tiara.
"Kamu gak apa-apa 'kan Nak? Ibu khawatir," kata Dewi. Dia membisikkan di telinga Tia, berharap Iwan tak mendengar.
"Gak apa-apa." Tia menjawab datar. Dia masih belum bisa menerima kenyataan jika Dewi adalah ibu kandungnya.
Perhatian Dewi langsung teralihkan. Dia langsung teringat, cara mengembalikan keaktifan Tia adalah dengan menyewa seseorang. Membawa Tia ke salah satu orang ini akan membuatnya sembuh.
"Aku punya kenalan dari teman. Moga dia bisa berjodoh bagi kesembuhan puteriku. Ya Allah. Ridhoi jalanku," ucapnya dalam hati.
Di kontak ponselnya, terlihat nama-nama psikiater yang diberikan oleh kenalan Dewi untuk dihubungi. Ya, Dewi punya pemikiran untuk membawa anaknya ke ahli kejiwaan.
**
Setiba di rumah, Dewi langsung menyuapi Tia di ruang tamu. Sedangkan Iwan makan sendirian di kursi dapur. Mbak Surti membawakan minuman hangat dua gelas untuk Tia dan Dewi.
"Mbak Surti nanti tidur di sofa saja, biar dia yang tidur di kamar mbak ya,” kata Dewi pada mbak Surti.
Iwan mendengar ucapan Dewi.
"Gak usah Wi, aku langsung pulang," sahut Iwan dari dapur.
"Kalau dia sudah pergi, mbak Surti kunci garasi dan pagar depan,” pinta Dewi.
"Baik non."
Rumah Dewi ini tidak besar, hanya ada 2 kamar tidur. Ia membeli rumah ini setelah ibunya meninggal dunia. Dewi menjual rumahnya, lalu memilih tinggal di rumah kecil pada pemukiman penduduk yang agak padat. Di Jl. Empang 3 Jakarta Selatan. Dewi memilih rumah itu, karena tidak jauh dari kantornya.
Selang beberapa saat, motor Iwan pergi meninggalkan rumah Dewi. Ia hanya diam. Padahal hatinya masih ingin melihat Iwan ada di rumahnya dan mengenang masa lalu yang pernah dirasa indah oleh Dewi.
Perhatian Dewi teralihkan pada gadis belia di depannya. Saat itu Tia celingukan, dia menatap sekeliling sambil terpelongo. Wajar saja Tia asing, ia benar-benar tidak paham wajah Dewi, sekalipun status wanita itu adalah orang tua kandungnya.
"Kamu mulai sekarang tinggal di sini ya? Kamu anak Ibu."
Tia terdiam. Dia menarik napas dalam, kemudian mencari Iwan. "Ke mana ayah?"
Dewi mengatakan jika Iwan akan kembali, tetapi Tia tidak percaya. Dia mendesak untuk pulang kembali ke rumah kakek dan neneknya.
Melihat kondisi Tia, Dewi tidak tega. Namun, dia punya satu cara untuk bisa memperbaiki semua ini. Dewi berjalan ke arah lemari, dia mencari sesuatu, kembali ke hadapan Tia dengan membawa sebuah album foto. Di sana ada gambar bayi perempuan yang menggemaskan.
"Coba tebak ini siapa?"
Tia mengerutkan dahi. Ia merasa memiliki foto yang sama di rumahnya. Ia paham jika gambar bayi itu adalah foto dirinya sewaktu masih kecil.
"Ini Tiarawaty, anak saya. Sedangkan ini foto saya. Kami adalah Ibu dan anak."
Tia kebingungan. Ia tidak pernah merasa jika Dewi adalah ibu kandungnya. Setelah berpikir keras, Tia memegangi kepala. Ia menggelengkan kepala dan mengeluh sakit. Hal itu tentu membuat Dewi ikut kelabakan. Satu hal yang dilakukan Dewi, yaitu menghubungi kontak psikiater atas nama dokter Permana dan siap membawa puterinya ke sana.
Namun, saat hendak melakukan apa yang sudah ada di ujung pikiran, tiba-tiba Tia berbicara. "Ibu ... kepalaku sakit Ibu. Tolong...."
Dewi senang mendengar kata-kata Tia yang menyebut ibu padanya, karena selama ini, belum pernah terdengar kata “ibu” keluar dari mulutnya. Tia lalu dijaga oleh mbak Surti, sementara Dewi bisa sedikit lebih tenang. Dewi beruntung, karena selama pandemi ini dia bisa kerja dari rumah, meski kadang dua minggu satu kali ia harus meeting ke kantor, tetapi hal itu tidak merepotkan dirinya. Ia mulai dengan kegiatan baru, di samping kewajiban rutin atas tanggungjawab kerja dari kantornya, ia merawat Tia bersama mbak Surti di rumah. Tia bertanya kepada Dewi. Tidak sekali dua kali, berkali-kali. ”Iwan kemana Bu?" ”Iwan itu siapa? Ibu siapa?" Dewi kembali sedih, ternyata Tia belum mengenalnya sebagai ibu kandungnya. Sejauh ini dia hanya tahu sebutan ibu, seolah hanya sebuah nama panggilan saja. Ia ingin konsultasi pada psikiater, dan sekaligus pada dokter ortopedi, tapi suasana rumah sakit masih dipenuhi oleh pasien covid19. Ada perasaan takut yang hadir dan mencengkeram hatinya. Takut tertul
Dini mengambil air wudhu dari kran di kamar mandi rumah pak Sidik. Perasaannya campur aduk, setelah mendengar semua kejadian yang diceritakan oleh pamannya Iwan.”Neng Dini ga perlu temui Iwan dan neng Dewi lagi. Kasian mereka..”Dini mengangguk pelan.Dalam shalat, Dini mengadukan semua kepada Tuhannya. Tiba-tiba saja ia langsung menangis karena teringat akan dosanya yang begitu banyak terasa. Pikirannya yang kalut karena beranggapan bahwa salahnya itu banyak sekali, mungkin Tuhan juga tidak mudah memaafkan dirinya. Dini shalat dengan sangat khusyuk, disetiap gerakan shalat wanita itu tidak hentinya meneteskan air mata. Hingga diakhiri dengan salam. Dini memanjatkan doa, kesulitannya dia berkata, karena lidahnya kelu, dan hanya mampu menangis dengan hebat."Aku adalah pendosa, aku begitu buruk ya Allah, sekarang ini aku menghadap padaMu, dengan keadaanku yang seperti ini. Ya Allah... Maukah Engkau memaafkan aku? Seorang wanita yang hina dan banyak menorehkan malu pada diri sendiri,
Dalam hati, Iwan merasa menyesal sudah melukai hati Dewi dengan berselingkuh. Walaupun itu masa lalu, Iwan tetap merasa berdosa. Dia berjanji akan menemui Dewi saat sudah kembali dari puncak. Dia sekaligus ingin bertemu Tia. Lalu muncul inisiatif untuk Iwan mengajak Dewi rujuk, tetapi apa Dewi mau menerima ajakannya. ** Pagi itu, setelah kembali dari puncak, Iwan langsung menuju ke rumah Dewi dan berniat mewujudkan rencananya dari awal. Kedatangannya kali ini akan dibuat lebih baik. Ia ingin bicara serius dengan Dewi, mengajaknya untuk kembali rujuk. Jika Tuhan saja masih mau memaafkan kesalahan hambanya, Iwan yakin Dewi akan memaafkan kesalahannya. Ia tidak pernah menganggap jika Dewi akan mengusirnya saat Iwan mengatakan tentang perasaannya sekarang. Tok! Tok! Pintu rumah Dewi diketuk. Saat itu Dewi masih asyik mengajak Tia berbicara dan mencoba mengembalikan ingatan puterinya, ia lalu menghentikan terlebih dahulu. "Nanti ya. Ibu mau lihat siapa yang datang." Dengan langkah p
Dewi mengunci pintu kamarnya, diatas kursi roda, tubuh Tia gemetaran, ketakutan."Ibu, apa mereka orang jahat?"Degh !Pertanyaan Tia membuat Dewi bingung merangkai kata jawabannya, ia berjongkok disamping kursi roda Tia, menggenggam tangan Tia dengan kelembutan, akhirnya Dewi harus mengatakan apa yang sebenarnya dulu pernah terjadi. "Dulu, mereka berdua pernah jahat pada ibu. Mereka membawa Tia pergi sampai jauh dari ibu, tapi sekarang Tia sudah dikembalikan lagi kepada ibu. Ibu senang sekali." kata Dewi sambil menciumi pipi Tia.Tia belum paham apa yang dibicarakan Dewi. Namun melihat airmata yang menetes dipipi Dewi, Tia lalu menghapus lembut dengan jemarinya." Ibu jangan nangis, Tia ga tau.. Tia ga tau buu... "Dewi memeluk Tia, mengelus-elus rambut dikepalanya. Meskipun Dewi tahu persis kesadaran Tia belum pulih, tapi ia sudah mau berbicara dengan ibunya, walaupun masih menganggap ibu hanya sebuah panggilan tanpa makna yang jelas baginya. Kamar Dewi tidak terlalu luas, tapi dis
Dalam perjalanan menuju ke kedai Kopi Para Mantan, hati Iwan masih galau. Pada satu sisi dia tidak mau kehilangan Dewi dan Tia, tapi disisi lain dia membayangkan lelaki lain, yaitu sang psikiater, yang bakal hadir kedalam hidup Dewi dan Tia. Apalagi dari pembicaraan dr Finka tadi, mereka satu sekolah di SMA, masa muda yang penuh nostalgia. Ditambah lagi ingatannya pada Dini yang masih tak sadarkan diri di rumahsakit. Apakah dia bisa setega itu dengan membiarkan nasib Dini yang harus menghadapi kenyataan hidupnya sendirian?. Iwan tahu persis masa lalu Dini di kampungnya. Dini diperlakukan semena-mena oleh kedua orangtuanya, bahkan telah beberapa kali diperkosa oleh ayahnya sendiri. Itu sebabnya Dini kabur dari rumah, berusaha hidup mandiri; sampai akhirnya nasib membawanya ke kota Jakarta."Woiii.. lu mau belok kanan atau ke kiri, itu sen yang bener dong!" bentak seseorang dari sebuah motor yang tiba-tiba muncul di samping kirinya.Iwan tersentak dari lamunannya, dia lalu minta maaf k
Masa-masa menjalani pendidikan di SMA, hanya ada tiga orang di sekolah yang selalu bersaing untuk jadi juara kelas dan dapat nilai tertinggi. Selain berharap bisa mendapatkan bea siswa untuk melanjutkan kuliah keluar negeri, ada kepuasan tersendiri bila masuk ke ranking teratas diantara teman-teman lainnya di satu sekolah. Mereka itu adalah Dewi, Permana, dan Intan.Permana sudah pernah bertemu dengan Intan, sewaktu dia meneruskan pendidikan S3 di luar negeri. Akan tetapi sikap Intan kurang bersahabat. Intan membuat jarak komunikasi dengannya, mungkin karena jabatan yang dipegang Intan di kota itu, banyak didatangi orang yang butuh tandatangannya, terutama pada musim pendaftaran mahasiswa/siswi baru di negeri tersebut. Begitulah adanya. Setiap orang, tentu punya karakter dan sikap hidup yang berbeda. Atau, menjadi berubah sikap hidupnya, ketika interaksi antar ruang hidupnya berubah.** Setiba di rumahsakit, Dr Permana langsung menuju ke ruang ICU yang telah diberitahukan oleh dr Fink
Bang Andy menatap langkah Iwan menuju panggung kecil di pojok ruangan kedai itu. Dia merasa bersyukur dapat dipertemukan dengan Iwan, sosok yang tidak neko-neko. Obrolannya selalu nyambung tentang apapun. Kalau bukan karena ada isteri dan anak yang menunggu di rumah, rasanya bang Andy lebih suka ngobrol dengan Iwan ngalor ngidul soal perjalanan hidupnya, setiap malam sampai pagi.Tiba-tiba Maming lewat dari koridor ruang belakang disamping bang Andy,"E eeh Ming.. sini, duduk dulu.""Ada apa Boss?" sahut Maming sambil duduk di sebelah bang Andy."Besok pagi, lu bersihin garasi samping. Gue kurang suka kalau lama-lama garasi itu berubah jadi gudang. Pokoknya lu kosongin ruangan itu, bersihin, trus cat ulang."Bang Andy mengeluarkan dompetnya, lalu memberikan beberapa lembaran uang merah kepada Maming."Nih buat beli catnya.. Beli 1 galon yang besar trus sekalian sama roll, gak usah pake kuas ngecatnya, ntar kelamaan,""Oke boss. " sahut Maming. "Eh warna catnya apa boss?" tanya Maming
Dr Permana tidak tega melihat kondisi Dini. Bagaimana pun ia seorang perempuan. Dari hasil diskusi yang telah diadakan bersama, Pihak pemilik rumahsakit memutuskan satu solusi. Dini tetap dirawat disitu tapi tidak ditangani Dr Permana, dan tidak di ruang isolasi khusus, karena masih banyak pasien lain, terutama pasien yang sedang dalam kondisi terpapar wabah covid dan mempunyai catatan komorbid. Dalam situasi seperti itu, ruangan tersebut sangat dibutuhkan."Mendengar laporan-laporan medis, mengamati seluruh catatan, maka jalan keluar bagi masalah pasien tanpa nama itu, sebaiknya, bukan lagi merupakan tanggung jawab Dr Permana. Depresi berat seperti itu, akan semakin sulit disembuhkan, kalau kita melayani gejolak dari pengaruh halusinasi sipasien.""Terimakasih prof.. saya sepakat," ucap Dr Inggrid."Kita pindahkan pasien saat dia dalam pengaruh obat penenang dan tertidur pulas. Taruh di ruang rawat inap yang sudah tidak dipakai, di dekat kamar jenazah. Lepaskan ikatan tangannya, biark
Mobil pajero hitam milik pak haji Mahmud melaju meninggalkan pinggir jalan depan warung Wahyu.Iwan mengenalkan Dini dan Tia pada keluarga Wahyu. Mereka pun saling bersalaman, mengenalkan diri masing-masing,"Wahyu... ini Nuning istri saya, itu nek Warni ibunya Nuning. Nah yang ini Nana teh..""Nanti Tia main sama Nana disini ya?" sela Iwan."Iya ayah.." Tia bersalaman dengan Nana."Yuuk kita main di sana, ada ayunan lho.."Nana mengajak Tia.Iwan terperangah mendengar ucapan Nana."Dimana ayunannya Na?""Di samping rumah om.. kemarin Bapak dan Aki yang buatkan.. ayoo"Nana dan Tia tampak langsung akrab. Mereka berlari menuju ke arah halaman samping rumah Iwan.Iwan, Dini, pak Sidik, Wahyu dan Nuning, saling bersitatap, dan tersenyum lebar."Alhamdulillah... makasih Yu..""Iya bang.. saya tahu mereka butuh tempat bermain, jadi kemarin saya cari ban bekas dan trus diikat ke pohon di samping belakang rumah abang..""Tapi kuat ya Yu..?""Kuat bang.."Iwan menoleh ke arah Dini."Ayo Din, k
Mereka tampak menikmati makan siang di satu warung makan di pinggir jalan raya itu. Setelah perutnya terisi makanan, wajah Dini terlihat segar. Iwan lalu menyuruhnya menelan pil anti mabuk. "Obat anti mabuknya diminum Din, kita bakal naik kapal feri.. nanti kalau mabuk lagi gimana?" "Iya bu diminum," celetuk Tia. "Iya Tia," jawab Dini sambil mengambil obat tersebut dari dalam tasnya. Dini pun lalu menelan pil anti mabuk tersebut. Tak lama kemudian, setelah Iwan merasa sudah cukup waktu istirahat bagi mereka, dia membayar makanan dan mengajak istri dan anaknya menuju ke mobil. Pak Hasan menyalakan mesin mobil, dan mobil melaju kembali. ** Pelabuhan Merak sudah terlihat. Matahari mulai bergeser ke tengah. Diantara teriknya panas matahari, tampak kesibukan kendaraan yang hendak menyeberang menuju Pelabuhan Bakauhuni. Suasana kesibukan di Pelabuhan Merak, tidak begitu padat, mungkin karena hari ini bukan hari liburan anak-anak sekolah dan bukan hari besar juga. Setelah menga
Pagi itu ditengah perjalanan, tiba-tiba Dini merasa mual pingin muntah. Ia menduga, mungkin karena dirinya tak terbiasa perjalanan jauh dengan mobil pribadi, bukan kendaraan umum. Jendela mobil yang tertutup rapat, air conditioning yang menebar hingga tercium harum lemon dari pewangi ruangan, itulah yang memicu rasa mualnya. "Okh, owegh.." "Astaghfirullah.." ucap Iwan spontan menengok ke arah Dini yang duduk di jok belakang bersama Tia. "Kamu mabuk Din?" Dini mengangguk pelan. Tia yang baru saja hampir tertidur karena asyik menatap pemandangan di luar mobil, langsung terbangun. Tia menatap ke arah wajah Dini, kemudian memeluk tangan ibunya, "Ibu kenapa... ibu sakit ya?... ibu jangan sakit..." "Ibu gak sakit Tia, ini namanya mabuk darat.. ibu gak kuat dalam mobil dengan jendela tertutup dan ac nya terlalu dingin." Iwan meminta pak Hasan untuk parkir ke pinggir jalan. "Pak Hasan, kita berhenti dulu sebentar," "Baik pak Iwan. Itu ada warung kecil.. dekat situ saj
Tiba-tiba Iwan teringat pada oleh-oleh yang dibelinya untuk ki Jupri."Oh iya, saya bawakan oleh-oleh untuk ki Jupri dan juga kang Badrun,""Waduh.. kok repot-repot kang Iwan,""Ayok kita ambil dulu di mobil,"Tia mau ikut ke mobil tapi dicegah oleh Iwan,"Tia gak usah ikut ya.. ayah sebentar kok.."Iwan lalu jalan keluar diikuti oleh ki Jupri dan Badrun.Setelah menjauh dari rumah ki Jupri, dia mengambil dua buah amplop dari saku jaketnya, yang sudah disiapkan tadi sewaktu Iwan mengambil uang dari atm. Satu untuk Badrun dan satunya lagi untuk ki Jupri,"Maaf ya kang Badrun, anak dan istri saya pasti sudah merepotkan akang. Ini ada rezeki buat kang Badrun, dan ini untuk ki Jupri,""Eh kang Iwan apa-apaan inih, saya kan bantunya ikhlas,""Iya aki juga ikhlas," celetuk ki Jupri."Gak apa-apa kang Badrun, ki Jupri, saya juga ikhlas.. diterima ya. Supaya rezeki kita ke depan sama-sama lancar nantinya,"Akhirnya Badrun dan ki Jupri menerima amplop tersebut."Alhamdulillah.." sahut Badrun.
Di ruang makan, seperti biasanya pak haji Mahmud menyantap sarapan pagi yang disediakan oleh putrinya. Bedanya dengan hari-hari kemarin, adanya kehadiran sosok menantunya, yaitu Iwan Suganda. Lelaki yang baru dikenalnya seumur jagung, tapi ada keterkaitan kepentingan emosional yang bertemu keinginannya, bagai gayung bersambut, nyambung, hingga jadi bagian dari keluarganya. Sambil mengunyah makanan, pak haji menyampaikan jadwal pekerjaan hari ini kepada Iwan. "Selesai sarapan, kita ke toko material, nanti bang Iwan bisa langsung kerja disitu." "Baik pak haji..., tapi minggu depan saya minta waktu untuk jemput istri dan putri saya, sekaligus harus mengundurkan diri dulu dari bengkel yang di Jakarta," "Iya saya tahu.. itu bisa diatur nanti," "Terimakasih pak haji..." Wardah Fatimah bertanya kepada ayahnya, apakah masakannya cocok buat selera lidah suaminya..? Pak haji Mahmud pun bertanya pada Iwan, "Bang Iwan, Wardah tanya.. katanya apa cocok masakan Wardah buat bang Iwan..?" Iwan
Dini melangkah dengan pikiran yang berkecamuk, campur aduk.Ada rasa segan ketika diberikan uang oleh Badrun, tapi ia terpaksa harus menerimanya. Apakah laki-laki seperti kang Badrun ini tidak mengharapkan imbalan? apakah kang Bardun benar-benar setulus hati membantu dirinya?. Dini berusaha menepis pikiran negatif yang muncul, namun semakin ia berusaha melupakan kenyataan yang ada dihadapannya, justru ia bertambah galau.Dalam perjalanan menuju ke rumah ki Jupri, ia banyak melamun. Dini tidak mau kembali ke dunia hitam yang dulu pernah ia jalani. Betapa pahitnya... betapa lama rasanya waktu bergulir, sampai ia dengan berani memutuskan untuk putar haluan. Meninggalkan keluarganya yang hanya membawa mudharat bagi perjalanan hidupnya. Apakah semua perempuan di dunia ini nasibnya sama? Hanya dijadikan boneka pemuas kebutuhan biologis bagi kaum laki-laki saja?. Bagaimana kalau Iwan meninggalkan dirinya bersama Tia disitu?. Apakah ia akan terdampar kembali pada dunia malam pesisir pantai y
Matahari mulai merangkak perlahan menyapa selimut jingga sang senja. Sinarnya memerah condong ke barat. Alangkah indah semburat jingga berlapis kemerahan. Demikian pula rasa yang sedang berbunga-bunga didasar hati Iwan Suganda. Dia merasakan seolah-olah bagaikan mimpi yang hadir sepintas namun nyata dalam perjalanan hidupnya. Menikah dengan Wardah Fatimah. Gadis cantik nan rupawan, perawan asli, tingting pastinya, hmm..... Tatapan mata coklat yang melankolis, bibir mungil yang memerah tanpa polesan lipstik, menggoda hasrat Iwan sejak pertemuan pertamanya. Iwan tampak masih mengemudikan jeep pajero milik pak haji Mahmud. Seperti biasanya, jalan raya ini untuk sementara mulai sepi, dan akan kembali ramai oleh lalu lalang kendaraan setelah senja sembunyi kedalam pelukan malam. Mobil yang dikemudikan oleh Iwan, terlihat tiba di pinggir jalan raya depan warung, Iwan langsung parkir disitu. Para Tukang Ojek pangkalan sepi, tak terlihat seorangpun yang duduk di tempat kumpulnya. Barangk
Motor yang dikendarai oleh Wahyu terlihat keluar dari halaman rumah pak haji Mahmud. "Beruntung ya bang Iwan, dapat gadis cantik, bapaknya orang kaya pula di kampung ini," "Gak usah iri Yu.. keberuntungan orang itu beda-beda. Eh, ingat ya.. ini rahasia yang harus kita tutup selamanya , jangan sampai nanti kamu kelepasan cerita ke Nuning," "Ya enggaklah Wak.." Disitulah perbedaan laki-laki dengan perempuan. Laki-laki pandai menjaga rahasia. Apalagi menyangkut keluarga sendiri. Walaupun begitu tentu ada juga laki-laki yang mulutnya comel, selalu ingin tahu tentang rahasia orang lain; kemudian menggosipkan di tempat kumpul bersama kawan-kawan yang sefrekuensi atau sesama penggosip sambil bercanda, lalu tertawa terbahak-bahak. ** Setiba di halaman warung, Nana menghampiri Wahyu, "Bapak bawa makanan ya? " Wahyu memarkir motornya, lalu menenteng plastik kresek berwarna merah yang berisi beberapa kotak dus makanan tersebut. Dua orang sopir ojek yang sedang mangkal disitu, cuma menole
Di dalam kamarnya, Iwan merenung. Tak lama kemudian, dia mengambil handphonenya, dan menghubungi Badrun, "Assalamu'alaikum kang Badrun..." "Wa alaikum salam kang Iwan.. gimana? jadi besok kesini?" "Justru saya mau kasih kabar, besok belum bisa kesitu. Mendadak di kedai tempat pekerjaan saya, bossnya ngadain pesta pernikahan anaknya kang Badrun," "Wadduh gimana ya kang Iwan?" "Iya saya juga bingung kang... gak enak ninggalin boss pas lagi ada acara keluarga. Masa saya gak bantuin?" "Iya sih.." sahut Badrun tak semangat, lemas. "Ya sudah kalau begitu, bagaimana kalau saya cari orang lain kang Iwan?" "Ya boleh aja kang Badrun, berarti saya gak jadi keluar dari pekerjaan saya disini ya kang?" Badrum diam, merenung. "Gimana kang Badrun?" "Itu mah terserah kang Iwan aja...Anak buah saya juga pada butuh kerja kang Iwan, kalau libur melaut kelamaan, nanti mereka cari kerja ke kapal lain.. Mereka gak mau makan gaji buta tanpa kerja" "Ya sudah kalau begitu, nanti gampanglah saya at