“Ad... uh.” Danu meringis, dia terjatuh dari tempat tidur.
Ternyata dia tadi sedang bermimpi, tak terdengar lagi suara dari dalam kamar mandi, baru saja Danu ingin beranjak untuk mengintip, pintu kamar mandi terbuka, Alika keluar dengan menggunakan baju tidur lengkap.
“Ngapain kamu di sini!?” tanya Alika.
Danu bangkit dari lantai, dia memegang pinggang yang terasa nyeri.
“Mau-mau aku dong, mau di mana! Ini kan kamar aku juga!” ucap Danu.
“Keluar sana, aku mau tidur!” usir Alika.
“Kalau aku tidak mau?!” tanya Danu, dia mendekat ke arah Alika.
“Jangan macam-macam kamu!” Alika memperingatkan.
“Kenapa? Hem... apa aku bikin kamu hamil saja, seperti ucapanmu tadi di cafe!” ucap Danu sambil menatap tubuh Alika dari atas ke bawah.
 
Danu yang baru saja selesai mandi, terkejut melihat chat Maya, dia tak percaya kalau Alika jalan dengan Hamid.Secepat kilat dia mengganti pakaian lalu ke Mall tempat Maya menunggu. Dari jauh Maya sudah bisa melihat Danu menghampirinya, dia tersenyum melihat lelakinya begitu tampan.Maya mencium kedua pipi Danu ketika mereka telah bertemu.“Sayang, makan yuk. Lapar!” ajak Maya. Dia menggandeng tangan Danu menuju ke restoran siap saji, mereka juga melihat Alika dan Hamid sedang makan, dengan tak punya malu, Maya mendekati mereka.“Boleh gabung?” tanya Maya. Senyuman tak lekang dari bibirnya.“Nggak!” jawab Alika ketus.Danu langsung duduk di kursi kosong samping Alika, Maya pun ikut duduk di samping Hamid.“Kalian tuli? Aku bilang enggak malah kamu duduk, dasar sekilo kurang!” rutuk Alika.
Bu Marni tertegun ketika mendapati panggilan beberapa kali dari Danu, dia sedang di kamar mandi jadi tak mendengar panggilan tersebut. Dia memanggil ulang nomor anaknya itu. Terdengar nada sambung, lalu di angkat.“Halo, ada apa?” tanya bu Marni.“Maaf, Bu. Kami dari kantor polisi ingin mengabarkan jika pemilik telpon ini kecelakaan dan sekarang lagi di rawat di rumah sakit Hati Mulya.Bu Marni terduduk lemas, hapenya terlepas dari genggaman, untung saja jatuh di atas kasur. Dia berkali-kali mengusap dada, menahan nyeri yang tiba-tiba muncul. Dia membaringkan badan, menutup mata, mencoba menghilangkan perasaan kaget yang baru saja dia alami.Setelah lima belas menit, dia kembali bangkit lalu menelpon Mira, menyuruhnya segera ke rumah sakit sepulang sekolah. Bu Marni bergegas mengganti pakaian lalu ke luar kamar, mencari sopirnya untuk di antar ke rumah sakit.
“Kalau aku tidak mau?” tanya Maya, Tangannya masih bermain di dasi Hamid.“Jangan salahkan aku, kalau kamu di seret dari sini.”Hamid menghentak tangan Maya, lalu berbalik meninggalkan wanita itu. Tak tinggal diam, Maya menahan pergelangan tangan Hamid, secepat kilat melingkarkan sebelah tangan di leher jenjang lelaki itu, berusaha melumat bibir Hamid.Lelaki itu mengelak dengan mendongakkan kepala, susah payah Hamid melepaskan pegangan Maya tapi tak bisa, bibir seksi Maya berhasil mendarat di bibir Hamid. Beberapa orang berdecak, melihat adegan tak senonoh di depan mereka.“Wanita gi*la!!!” maki Hamid, setelah berhasil melepaskan diri dari Maya.Beberapa kali Hamid melap bibir menggunakan lengan baju, sedang Maya tersenyum sambil mengusap bibir merahnya dengan lidah.“Jangan munafik Sayang, bukannya bibirku ini yang paling membuatmu ketagihan? Aku masih bisa merasakan deru napas mu, tiap kali kamu m
Alika lebih dulu turun, lalu Danu yang di bantu oleh sopir.“Pak, langsung antar Bapak ke kamar yah!” perintah Alika.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Danu, tangannya menunjuk lelaki yang sedang ada di depannya.“Tenang saja, aku ke sini cuma mau kasih selamat atas pernikahanmu, ternyata tangismu di makam Airin palsu.” Lelaki itu berkata sambil berkacak pinggang.Alika memberi kode kepada sopir yang mendorong kursi roda Danu, tapi lelaki itu kekeh menahan roda kursi.“Kembali ke mobil, nanti ku panggil baru datang,” perintah Danu, setengah ragu, lelaki tua itu kembali ke dalam mobil.“Masuk, kita bicara di dalam aja Kak,” ucap Alika, dia mendorong kursi roda Danu.“STOP! Jangan berani lagi kamu injakkan kaki di rumah ini!” Seru DanuAlika menggeleng, malas dengan tingkah Danu. Dia melepaskan kursi roda Danu, membiarkan lelaki itu di tempatnya, dia membuka pint
“Mau bukti?” tanya Alika.Maya tertegun, sedikit ragu.KlikPintu toilet terbuka, beberapa abege masuk dan mulai bercerita, Alika berbalik, melangkah meninggalkan Maya.“Sia*an!” umpat Maya. Kaki dia hentakkan, malang bagi Maya, hak yang tingginya dua belas sentimeter patah.“Aduh!”Karena tak dapat menahan bobot, Maya terjatuh.Dua orang cewek yang baru masuk tertawa melihat kejadian itu.“Diam kalian!” hardik Maya.“Siapa kamu!” jawab mereka berdua.Susah payah Maya bangkit, mau tak mau dia harus bertelanjang kaki keluar. Semua mata memandang wanita itu, untung saja Robi menunggunya dalam mobil, kalau tidak bisa jatuh harga dirinya di depan Alika.“Kamu kenapa sayang?” tanya Robi heran melihat penampilan Maya.“Staf Hamid menyenggol aku tadi di toilet,” adu Maya.“Kok bisa?” tanya Robi, dahinya be
“Ibu!” teriak Mira, dia mendekati bu Marni.Prang!!Sebuah cangkir kaca di lempar ke arah kaki Mira, kepingan kaca bertebaran.“Kak, kamu apa-apaan?” tanya Mira.“Berani kamu pulang?! Aku sudah bilang Alika nggak boleh pergi, kenapa kalian bersekongkol membantunya?” teriak Danu, matanya merah menahan amarah.“Kak, Alika pergi urusan kantor apa hak kamu melarangnya?!” balas Mira dengan berteriak pula.“Aku suaminya, breng*ek!” jawab Danu.“Jangan merasa jadi suaminya kalau kamu belum bisa melepaskan perempuan Sunda*l itu!” tantang Mira.“Kamu nggak ada sopan santunnya jadi adik, aku kakakmu, jangan membantah!” ucap Danu.“Kamu yang dasar anak durh*ka, kamu nggak takut kualat dengan Ibu?” tanya Mira.“Ibu nggak berhak ikut campur urusan rumah tanggaku! Kamu
“Jelas dia akan menggantimu!” seru Maya.“Kalau begitu, bersiaplah kamu menampung suamiku, karena jika dia menceraikan aku, dia akan menjadi gembel,” ucap Alika.“Omong kosong apa itu?” tanya Maya.“Ini bukan omong kosong, ini fakta, aku rasa kamu nggak akan sanggup menderita,” sindir Alika.“Hentikan, apa kalian tidak sadar sudah jadi bahan tontonan. Maya, pergilah! Kamu nggak ada gunanya di sini,” lerai Hamid.“Tanpa kamu bilang pun aku akan pergi, ingat kamu akan terima pembalasan ku!” ancamnya pada Alika.“Weeee,” balas Alika sambil menjulurkan lidahnya.Maya berlalu meninggalkan mereka berdua, Hamid duduk lalu memegang kepalanya.“Gimana nasib proyek kita ini?!” gerutunya.Alika tak mendengar kegalauan lelaki itu, dia terus saja menekuni hape yang sedari tadi di pegangnya.“Pak, kan kerjaan sudah beres apa be
“Sialan, breng*ek, anj*ng!” umpatku, entah sudah berapa kali aku menelpon Robi, tapi sejak dia meninggalkan ku, tak lagi telponku di angkatnya.Sudah berulang kali pula aku ke kantornya, tapi sekertaris yang jutek itu selalu bilang kalau Robi tak ada di tempat.Kupandangi lekat benda yang ada di tangan kanan, garis dua berwarna merah tergambar jelas.“Aku harus bagaimana?” tanyaku lirih. “Aku harus bertemu Robi, dia harus bertanggungjawab. Ini anaknya, tak bisa dia lepas tangan.”Kumasukan kembali tespek ke dalam plastik tempatnya, lalu berganti pakaian, berdandan seperti biasa, lalu menarik tas yang teronggok di atas meja rias. Tujuanku ke rumah Robi untuk meminta pertanggungjawaban.Sampai di depan pintu sebuah rumah megah dengan pilar yang berdiri kokoh berwarna putih, aku mengetuk pintu dengan pedenya. Tak berapa lama seorang pembantu membukakan pintu saat tau maksudku untuk bertemu Robi, muka wanita tua itu