“Mau bukti?” tanya Alika.
Maya tertegun, sedikit ragu.
Klik
Pintu toilet terbuka, beberapa abege masuk dan mulai bercerita, Alika berbalik, melangkah meninggalkan Maya.
“Sia*an!” umpat Maya. Kaki dia hentakkan, malang bagi Maya, hak yang tingginya dua belas sentimeter patah.
“Aduh!”
Karena tak dapat menahan bobot, Maya terjatuh.
Dua orang cewek yang baru masuk tertawa melihat kejadian itu.
“Diam kalian!” hardik Maya.
“Siapa kamu!” jawab mereka berdua.
Susah payah Maya bangkit, mau tak mau dia harus bertelanjang kaki keluar. Semua mata memandang wanita itu, untung saja Robi menunggunya dalam mobil, kalau tidak bisa jatuh harga dirinya di depan Alika.
“Kamu kenapa sayang?” tanya Robi heran melihat penampilan Maya.
“Staf Hamid menyenggol aku tadi di toilet,” adu Maya.
“Kok bisa?” tanya Robi, dahinya be
“Ibu!” teriak Mira, dia mendekati bu Marni.Prang!!Sebuah cangkir kaca di lempar ke arah kaki Mira, kepingan kaca bertebaran.“Kak, kamu apa-apaan?” tanya Mira.“Berani kamu pulang?! Aku sudah bilang Alika nggak boleh pergi, kenapa kalian bersekongkol membantunya?” teriak Danu, matanya merah menahan amarah.“Kak, Alika pergi urusan kantor apa hak kamu melarangnya?!” balas Mira dengan berteriak pula.“Aku suaminya, breng*ek!” jawab Danu.“Jangan merasa jadi suaminya kalau kamu belum bisa melepaskan perempuan Sunda*l itu!” tantang Mira.“Kamu nggak ada sopan santunnya jadi adik, aku kakakmu, jangan membantah!” ucap Danu.“Kamu yang dasar anak durh*ka, kamu nggak takut kualat dengan Ibu?” tanya Mira.“Ibu nggak berhak ikut campur urusan rumah tanggaku! Kamu
“Jelas dia akan menggantimu!” seru Maya.“Kalau begitu, bersiaplah kamu menampung suamiku, karena jika dia menceraikan aku, dia akan menjadi gembel,” ucap Alika.“Omong kosong apa itu?” tanya Maya.“Ini bukan omong kosong, ini fakta, aku rasa kamu nggak akan sanggup menderita,” sindir Alika.“Hentikan, apa kalian tidak sadar sudah jadi bahan tontonan. Maya, pergilah! Kamu nggak ada gunanya di sini,” lerai Hamid.“Tanpa kamu bilang pun aku akan pergi, ingat kamu akan terima pembalasan ku!” ancamnya pada Alika.“Weeee,” balas Alika sambil menjulurkan lidahnya.Maya berlalu meninggalkan mereka berdua, Hamid duduk lalu memegang kepalanya.“Gimana nasib proyek kita ini?!” gerutunya.Alika tak mendengar kegalauan lelaki itu, dia terus saja menekuni hape yang sedari tadi di pegangnya.“Pak, kan kerjaan sudah beres apa be
“Sialan, breng*ek, anj*ng!” umpatku, entah sudah berapa kali aku menelpon Robi, tapi sejak dia meninggalkan ku, tak lagi telponku di angkatnya.Sudah berulang kali pula aku ke kantornya, tapi sekertaris yang jutek itu selalu bilang kalau Robi tak ada di tempat.Kupandangi lekat benda yang ada di tangan kanan, garis dua berwarna merah tergambar jelas.“Aku harus bagaimana?” tanyaku lirih. “Aku harus bertemu Robi, dia harus bertanggungjawab. Ini anaknya, tak bisa dia lepas tangan.”Kumasukan kembali tespek ke dalam plastik tempatnya, lalu berganti pakaian, berdandan seperti biasa, lalu menarik tas yang teronggok di atas meja rias. Tujuanku ke rumah Robi untuk meminta pertanggungjawaban.Sampai di depan pintu sebuah rumah megah dengan pilar yang berdiri kokoh berwarna putih, aku mengetuk pintu dengan pedenya. Tak berapa lama seorang pembantu membukakan pintu saat tau maksudku untuk bertemu Robi, muka wanita tua itu
“Besok, aku dan Maya akan menikah!” ucap Danu.Alika tak menunjukkan reaksi apapun, dia malah menarik koper, melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu.“Jelaskan alasan kamu mau menikahinya!” perintah Alika, setelah bokongnya menempel pada bantalan sofa yang empuk.“Aku hamil!” jawab Maya, mendahului Danu.“Anak siapa??” tanya Alika. Senyum mengejek terlihat jelas di wajah lelah gadis itu.“Maksudmu?! Ini anak mas Danu, buah cinta kami!” seru Maya.“SERIUS???”“Alika! Tak usah ikut campur urusan kami! Kamu cukup tau saja, dan mau tak mau Maya akan jadi madumu!!” teriak Danu.“Hem, susah sih, ngomong sama orang yang otaknya di simpan di dengkul,” sindir Alika. “Silahkan saja kalau kamu mau menikah, tapi bersiaplah keluar dari rumah ini dengan hanya baju di badan.&rdq
Setelah semua pakaian Maya hangus terbakar, Alika menyuruh sopir yang baru saja datang mengantar Mira untuk menyiram bekas pembakaran dengan air, lalu membersihkan abu yang berhamburan.Kini halaman depan rumah mereka kembali bersih, hanya bekas hitam yang masih membekas di tanah. Alika melangkah memasuki rumah, dia tak perduli di dalam ada dua orang laknat yang tak tau etika.Alika tak menemukan mereka di lantai bawah, dia kembali melangkah keluar rumah, menuju warung yang ada di kompleks.“Bu, beli minyak tanah sama korek apinya,” ucap Alika.Minyak tanah dan korek yang tadi dia pakai ikut dia bakar tadi, ternyata dia masih membutuhkannya.“Minyak tanah nggak ada mbak,” balas anak kecil yang menjaga warung tersebut.Alika mengedarkan pandangan, melirik benda apa yang bisa menggantikan fungsi minyak tanah
Hay... yang sudah lama tunggu Danu di usir, boleh kasih like dan komentar di bab ini yagh, kasih gift apa lagi.. 😁😁🥰😘“Iya, Bu. Tadi aku hampir bakar mereka berdua di dalam kamar.” Alika mengakui kelakuannya kepada bu Marni, dia tak mau nantinya mantan mertuanya itu mendengar cerita dari orang lain.“Mereka siapa?” tanya Mira, gadis itu mendekat ke arah Alika, dia ingin mendengar cerita lebih detailnya.“Maya dan Danu,” jawab Alika.“Logh, kok wanita lon*e itu masih berani datang ke rumah kalian?” tanya bu Marni dengan wajah penuh keheranan.“Nggak tau juga, Bu. Tadi, waktu Alika balik, dia sudah ada di rumah itu dan pakaianku sudah mereka keluarkan dari kamar.”“Ini tidak bisa di biarkan, ayo kita ke sana! Perempuan itu harus di usir,” protes Mira.
“Bu! Maya lagi mengandung cucu mu,” kata Danu. Dia masih berusaha merayu ibunya.“Memang apa peduliku? Walaupun dia mengandung anak raja sekalipun, aku tidak sudi membiarkannya tinggal di rumah ini, bisa mati jantungan aku tiap hari melihatnya dengan pakaian kurang bahan seperti itu, dan kelakuannya yang tak sopan!” ucap Bu Marni, dia menatap jijik ke arah Maya.“Maya, minta maaf lah, bilang pada Ibu kalau setelah kita menikah, kamu akan berubah,” perintah Danu.Maya memicingkan mata, berusaha menelisik setiap inci wajah Danu.“Minta maaf? Nggak sudi aku, Mas! Cih... .” jawab Maya, dia meludah ke lantai.“Kamu liat sendiri wanita yang kau pilih, jadi berhenti merengek seperti bayi, aku tak akan menyuruh mu meninggalkan wanita Sunda*l itu, silahkan kalian berbahagia.” Bu Marni masih kekeh dengan pendiriannya.“Tunggu apa lagi kalian! Dasar memang benalu, nggak pun
“Kalian?”“Ngapain kamu ke sini? Mau ikutin kami?” tanya Maya ketika dia menyadari kalau gadis itu adalah Alika.“Apa nggak salah? Bukannya kamu yang ikutin aku, asal tau saja, rumah warna putih pink yang ada di depan itu rumahku,” ucap Alika sambil menunjuk rumah yang pas berada di depan rumah kontrakan mereka.“Hem, dosa apa aku sampai bisa bertetangga sama se*an kayak kamu,” gumam Maya.“Hahahaha, lucu yah kamu! Masa se*an ngomongin se*an,” ejek Alika.“Heh, sudahlah! Kalian ini apa sih, nggak malu di liatin sama orang!” lerai Danu. Tetangga yang datang sudah semakin banyak.Tak mau menjadi bahan tontonan, mau tak mau Maya kembali menarik kursi roda Danu dan membawanya masuk. Sesampai di ruang tamu, Danu di biarkan begitu saja, sementara Maya masuk dan tidur di dalam kamar.