Alika lebih dulu turun, lalu Danu yang di bantu oleh sopir.
“Pak, langsung antar Bapak ke kamar yah!” perintah Alika.
“Ngapain kamu ke sini?” tanya Danu, tangannya menunjuk lelaki yang sedang ada di depannya.
“Tenang saja, aku ke sini cuma mau kasih selamat atas pernikahanmu, ternyata tangismu di makam Airin palsu.” Lelaki itu berkata sambil berkacak pinggang.
Alika memberi kode kepada sopir yang mendorong kursi roda Danu, tapi lelaki itu kekeh menahan roda kursi.
“Kembali ke mobil, nanti ku panggil baru datang,” perintah Danu, setengah ragu, lelaki tua itu kembali ke dalam mobil.
“Masuk, kita bicara di dalam aja Kak,” ucap Alika, dia mendorong kursi roda Danu.
“STOP! Jangan berani lagi kamu injakkan kaki di rumah ini!” Seru Danu
Alika menggeleng, malas dengan tingkah Danu. Dia melepaskan kursi roda Danu, membiarkan lelaki itu di tempatnya, dia membuka pint
“Mau bukti?” tanya Alika.Maya tertegun, sedikit ragu.KlikPintu toilet terbuka, beberapa abege masuk dan mulai bercerita, Alika berbalik, melangkah meninggalkan Maya.“Sia*an!” umpat Maya. Kaki dia hentakkan, malang bagi Maya, hak yang tingginya dua belas sentimeter patah.“Aduh!”Karena tak dapat menahan bobot, Maya terjatuh.Dua orang cewek yang baru masuk tertawa melihat kejadian itu.“Diam kalian!” hardik Maya.“Siapa kamu!” jawab mereka berdua.Susah payah Maya bangkit, mau tak mau dia harus bertelanjang kaki keluar. Semua mata memandang wanita itu, untung saja Robi menunggunya dalam mobil, kalau tidak bisa jatuh harga dirinya di depan Alika.“Kamu kenapa sayang?” tanya Robi heran melihat penampilan Maya.“Staf Hamid menyenggol aku tadi di toilet,” adu Maya.“Kok bisa?” tanya Robi, dahinya be
“Ibu!” teriak Mira, dia mendekati bu Marni.Prang!!Sebuah cangkir kaca di lempar ke arah kaki Mira, kepingan kaca bertebaran.“Kak, kamu apa-apaan?” tanya Mira.“Berani kamu pulang?! Aku sudah bilang Alika nggak boleh pergi, kenapa kalian bersekongkol membantunya?” teriak Danu, matanya merah menahan amarah.“Kak, Alika pergi urusan kantor apa hak kamu melarangnya?!” balas Mira dengan berteriak pula.“Aku suaminya, breng*ek!” jawab Danu.“Jangan merasa jadi suaminya kalau kamu belum bisa melepaskan perempuan Sunda*l itu!” tantang Mira.“Kamu nggak ada sopan santunnya jadi adik, aku kakakmu, jangan membantah!” ucap Danu.“Kamu yang dasar anak durh*ka, kamu nggak takut kualat dengan Ibu?” tanya Mira.“Ibu nggak berhak ikut campur urusan rumah tanggaku! Kamu
“Jelas dia akan menggantimu!” seru Maya.“Kalau begitu, bersiaplah kamu menampung suamiku, karena jika dia menceraikan aku, dia akan menjadi gembel,” ucap Alika.“Omong kosong apa itu?” tanya Maya.“Ini bukan omong kosong, ini fakta, aku rasa kamu nggak akan sanggup menderita,” sindir Alika.“Hentikan, apa kalian tidak sadar sudah jadi bahan tontonan. Maya, pergilah! Kamu nggak ada gunanya di sini,” lerai Hamid.“Tanpa kamu bilang pun aku akan pergi, ingat kamu akan terima pembalasan ku!” ancamnya pada Alika.“Weeee,” balas Alika sambil menjulurkan lidahnya.Maya berlalu meninggalkan mereka berdua, Hamid duduk lalu memegang kepalanya.“Gimana nasib proyek kita ini?!” gerutunya.Alika tak mendengar kegalauan lelaki itu, dia terus saja menekuni hape yang sedari tadi di pegangnya.“Pak, kan kerjaan sudah beres apa be
“Sialan, breng*ek, anj*ng!” umpatku, entah sudah berapa kali aku menelpon Robi, tapi sejak dia meninggalkan ku, tak lagi telponku di angkatnya.Sudah berulang kali pula aku ke kantornya, tapi sekertaris yang jutek itu selalu bilang kalau Robi tak ada di tempat.Kupandangi lekat benda yang ada di tangan kanan, garis dua berwarna merah tergambar jelas.“Aku harus bagaimana?” tanyaku lirih. “Aku harus bertemu Robi, dia harus bertanggungjawab. Ini anaknya, tak bisa dia lepas tangan.”Kumasukan kembali tespek ke dalam plastik tempatnya, lalu berganti pakaian, berdandan seperti biasa, lalu menarik tas yang teronggok di atas meja rias. Tujuanku ke rumah Robi untuk meminta pertanggungjawaban.Sampai di depan pintu sebuah rumah megah dengan pilar yang berdiri kokoh berwarna putih, aku mengetuk pintu dengan pedenya. Tak berapa lama seorang pembantu membukakan pintu saat tau maksudku untuk bertemu Robi, muka wanita tua itu
“Besok, aku dan Maya akan menikah!” ucap Danu.Alika tak menunjukkan reaksi apapun, dia malah menarik koper, melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu.“Jelaskan alasan kamu mau menikahinya!” perintah Alika, setelah bokongnya menempel pada bantalan sofa yang empuk.“Aku hamil!” jawab Maya, mendahului Danu.“Anak siapa??” tanya Alika. Senyum mengejek terlihat jelas di wajah lelah gadis itu.“Maksudmu?! Ini anak mas Danu, buah cinta kami!” seru Maya.“SERIUS???”“Alika! Tak usah ikut campur urusan kami! Kamu cukup tau saja, dan mau tak mau Maya akan jadi madumu!!” teriak Danu.“Hem, susah sih, ngomong sama orang yang otaknya di simpan di dengkul,” sindir Alika. “Silahkan saja kalau kamu mau menikah, tapi bersiaplah keluar dari rumah ini dengan hanya baju di badan.&rdq
Setelah semua pakaian Maya hangus terbakar, Alika menyuruh sopir yang baru saja datang mengantar Mira untuk menyiram bekas pembakaran dengan air, lalu membersihkan abu yang berhamburan.Kini halaman depan rumah mereka kembali bersih, hanya bekas hitam yang masih membekas di tanah. Alika melangkah memasuki rumah, dia tak perduli di dalam ada dua orang laknat yang tak tau etika.Alika tak menemukan mereka di lantai bawah, dia kembali melangkah keluar rumah, menuju warung yang ada di kompleks.“Bu, beli minyak tanah sama korek apinya,” ucap Alika.Minyak tanah dan korek yang tadi dia pakai ikut dia bakar tadi, ternyata dia masih membutuhkannya.“Minyak tanah nggak ada mbak,” balas anak kecil yang menjaga warung tersebut.Alika mengedarkan pandangan, melirik benda apa yang bisa menggantikan fungsi minyak tanah
Hay... yang sudah lama tunggu Danu di usir, boleh kasih like dan komentar di bab ini yagh, kasih gift apa lagi.. 😁😁🥰😘“Iya, Bu. Tadi aku hampir bakar mereka berdua di dalam kamar.” Alika mengakui kelakuannya kepada bu Marni, dia tak mau nantinya mantan mertuanya itu mendengar cerita dari orang lain.“Mereka siapa?” tanya Mira, gadis itu mendekat ke arah Alika, dia ingin mendengar cerita lebih detailnya.“Maya dan Danu,” jawab Alika.“Logh, kok wanita lon*e itu masih berani datang ke rumah kalian?” tanya bu Marni dengan wajah penuh keheranan.“Nggak tau juga, Bu. Tadi, waktu Alika balik, dia sudah ada di rumah itu dan pakaianku sudah mereka keluarkan dari kamar.”“Ini tidak bisa di biarkan, ayo kita ke sana! Perempuan itu harus di usir,” protes Mira.
“Bu! Maya lagi mengandung cucu mu,” kata Danu. Dia masih berusaha merayu ibunya.“Memang apa peduliku? Walaupun dia mengandung anak raja sekalipun, aku tidak sudi membiarkannya tinggal di rumah ini, bisa mati jantungan aku tiap hari melihatnya dengan pakaian kurang bahan seperti itu, dan kelakuannya yang tak sopan!” ucap Bu Marni, dia menatap jijik ke arah Maya.“Maya, minta maaf lah, bilang pada Ibu kalau setelah kita menikah, kamu akan berubah,” perintah Danu.Maya memicingkan mata, berusaha menelisik setiap inci wajah Danu.“Minta maaf? Nggak sudi aku, Mas! Cih... .” jawab Maya, dia meludah ke lantai.“Kamu liat sendiri wanita yang kau pilih, jadi berhenti merengek seperti bayi, aku tak akan menyuruh mu meninggalkan wanita Sunda*l itu, silahkan kalian berbahagia.” Bu Marni masih kekeh dengan pendiriannya.“Tunggu apa lagi kalian! Dasar memang benalu, nggak pun
"Kok, Mama ada disini?" tanya Bunga.Dia berjalan pincang ke arah tante Rani, wanita paruh baya itu hanya tertunduk lemas, dia malas menanggapi pertanyaan putrinya.Dari tadi dia merutuki diri, kenapa mau datang ke kantor polisi, selama ini dia memang menghindari tempat itu, semua urusan yang berkaitan dengan kantor polisi, dia selalu wakilkan kepada anak buahnya.Tak mendapatkan respon, Bunga kembali bertanya. "Ma, kok Mama disini?""Sudah, diam! Mama pusing, ini semua gara-gara kamu, kalau kamu tidak bikin ulah, tidak mungkin mama kesini, tidak mungkin mama bertemu Jo, dan tidak mungkin mama masuk penjara!" teriak tante Rani.Dia bahkan mulai menarik rambut Bunga dan mencekik wanita itu."To— lo— ng, to— long!" teriak Bunga, dia berusaha menahan tante Rani yang mencekiknya, kakinya yang masih sangat sakit, membuat gerakannya terbatas
"Silahkan!" ucap petugas.Mona mengambil hapenya di atas meja, lalu menelpon nomor pak Andreas, sayangnya nomor tersebut sudah tak aktif, Mona mencobanya berulang-ulang, tapi tetap saja tak bisa dihubungi.Wajah Mona yang tadinya tidak terlalu takut, kini menjadi pucat, merasa usahanya sia-sia, dia kembali menyimpan hapenya.Melihat hal tersebut, petugas memulai interogasi, Mona menjawab semua pertanyaan yang di lontarkan oleh petugas, setelah dua jam interogasi, Mona di nyatakan tidak ada sangkut pautnya dengan pembakaran rumah Adam, hanya dia di ganjar dengan pasal tentang penyalahgunaan narkotika. Sehingga dia tetap di tahan dan berkasnya akan segera di limpahkan setelah lengkap.Hamid juga di interogasi, dia awalnya tidak mau menjawab jika tak di dampingi pengacara, setelah menelpon pengacara dan si pengacara datang, barulah dia mau di interogasi. Sama halnya dengan Mona, Hamid di interogasi sela
"Jadi begini kelakuan kamu di belakang aku?" tanya Bunga, sebuah balok kayu dia pegang. Napasnya memburu karena emosi, wajahnya yang hitam manis berubah menjadi merah.Mata Bunga nyalang, menatap kedua manusia yang sedang berbagi peluh. Setengah meringis, Hamid bangkit lalu berdiri menghadap Bunga."Kamu apa-apaan?" tanya Hamid, dia balik marah kepada Bunga."Kamu yang apa-apaan? Kamu suami aku, kenapa berdua dengan wanita seperti ini!" Bunga maju dan menarik Mona hingga terjatuh dari Sofa."Aduh," teriak wanita itu.Tangannya memegang, tangan Bunga yang sedang menarik rambut Mona. Tak merasa puas, karena di halangi oleh Hamid. Bunga melompat dan menekan Mona yang terbaring dengan menggunakan lutut.Tangan Bunga menarik rambut Mona, lalu membenturkan kepala wanita itu ke lantai, susah payah Hamid menarik Bunga. Namun, wanita itu tak mau mengalah, dia ba
Pak Andreas dan Adam menempati apartemen milik Irfan, karena besok subuh pak Andreas akan menyusul anak dan istrinya ke Luar Negeri, maka malam itu juga dia meminta Adam untuk menemaninya ke suatu tempat.Setelah membeli tiket dan mengecek dokumen yang dibutuhkan untuk perjalanan, pak Andreas mulai menunjukkan tempat yang ingin dia datangi.Dia sudah berjanji untuk mengabulkan permintaan Adam, dia harus melakukannya malam ini, karena dia tidak bisa memastikan kapan dia akan pulang ke Indonesia.Adam mengendarai mobilnya, mengantar pak Andreas ke tempat Mona, entah apa yang ingin dilakukan lelaki itu pada sugar baby nya."Sebelum ke rumah Mona, singgah sebentar di Indoapril depan kompleks nya," pinta pak Andreas.Adam hanya mengangguk, seperti di awal, dia hanya meminta pak Andreas menghancurkan Hamid, bagaimana caranya? Ya, terserah!
Aku memandangi tubuh polos tante Rani yang kini sedang berbaring di sofa yang berwarna merah, lampu ruang kerja yang temaram membuat tubuh tante Rani terlihat indah.Berkali-kali aku harus menelan saliva, agar Junior tak meminta keluar sebelum waktunya.Sejak kecil, tante Rani merupakan salah satu orang yang menjadi fantasi ku, hanya saja sepupuku Adam tak pernah membiarkanku berduaan dengan wanita itu, dia selalu saja mengekor jika tante Rani mengajakku berbelanja atau membeli permen.Body tante Rani yang seksi dengan dua gundukan besar di dadanya membuat aku semakin penasaran.Beranjak dewasa, fantasiku tentang wanita seksi semakin menjadi, apalagi tiap malam kami di suguhi pemandangan yang sangat menggoda. Puluhan wanita akan duduk di ruang tamu menunggu pengunjung, setelah lelaki hidung belang membooking. Maka mereka akan masuk ke sebuah kamar dan tak lama terdengar la
DuarrrTerdengar bunyi tabrakan yang sangat besar, pak Andreas dan Adam terbanting, untung saja mobil tak terbalik. Hanya body belakang mobil penyok dan berasap.Tanpa aba-aba, mereka berdua kompak segera keluar dari mobil.Pak Andreas tersungkur ke tanah, tak lupa dia sujud syukur, Adam membaringkan diri di tanah, dia tak mengira bisa melakukan hal seperti tadi.Tak ingin berlama-lama di tempat itu, Adam segera menelpon seorang temannya untuk menjemput mereka. Dia melarang pak Andreas menelpon sopir ataupun orang-orang yang bekerja dengannya, takut di antara mereka adalah mata-mata."Sepertinya aku harus menyeleksi mereka lagi," gumam pak Andreas.Adam hanya melirik sesaat, dia tau bagaimana rasanya di khianati orang yang paling dipercaya."Jadi sampai kapan aku harus bersembunyi?" tanya pak Andreas."Anda tidak haru
"Pergi kamu!" usir pak Andreas, matanya nyalang menatap tak suka pada Adam.Tangannya hendak menjangkau telpon, Adam segera menahannya."Hentikan pikiran Anda untuk memanggil security, itu tak akan cukup kalau aku berniat membunuh Anda." Adam berkata sombong.Pak Andreas mengurungkan niatnya, dia duduk kembali di tempatnya dengan wajah kuyu."Mau kamu apa sebenarnya?" tanya pak Andreas."Aku sudah bilang dari awal, Anda saja tidak percaya. Sekarang, ku tanya sekali lagi. Maukah Anda menghancurkan lelaki di dalam foto, maka aku akan melindungi Anda." ucap Adam."Baiklah, aku akan membantumu," ucap pak Andreas, dia tak bisa berbuat apa-apa, dia baru tau kalau didepannya adalah si Penyair Perang, pembunuh bayaran yang terkenal dikalangan mafia."Asal Anda tau, awalnya saya yang diminta untuk membunuh Anda, hari ini adalah jadwal kematian And
"Apa ini?" tanya AIPTU Wawan."Ini pelaku pembakaran, tadi dia ada disini, aku berhasil melumpuhkannya," jelas Adam."Kalau begitu, kita segera ke kantor, untuk membuat laporan supaya bisa di proses secepatnya," ujar AIPTU Wawan."Boleh, Pak. Tapi, apakah saya bisa minta tolong untuk pelakunya tak dirilis dulu, takutnya dalangnya kabur sebelum bukti cukup untuk menangkapnya," ujar Adam."Bisa saja, nanti kita bicarakan di kantor saja." Mereka akhirnya bersama-sama ke kantor polisi, mereka memakai mobil Adam, sedangkan AIPTU Wawan mengikuti mereka dari belakang.TKP masih dalam proses pemadaman, pihak kepolisian belum berani melakukan investigasi, takut tempatnya masih berbahaya. Polisi belum mengeluarkan statement apapun terkait sebab kebakaran tersebut.Sampai di kantor polisi, Adam di arahkan untuk membuat laporan, sementara lelaki yang berada di bagasi seg
"Kebakaran, kebakaran, Tuan, kebakaran.""Aduh," teriak Adam, ketika doa membuka mata dan ingin segera bangun, dia malah terjatuh.Ternyata, apa yang tadi dia lakukan hanya mimpi, Adam semakin meringis."Tuan, kebakaran!" teriak mbak Nur yang sudah berada di depan Adam, dia membantu Adam bangkit.Peluh sudah membanjiri wajah mbak Nur, rasa panik tergambar jelas, Adam memaksakan diri untuk bangkit, rasa nyeri yang menjalar di seluruh tubuhnya berusaha dia tahan."Mbak jangan panik, cepat panggil Alika, aku akan periksa pintu dan jendela," perintah Adam."Baik, Tuan." Mbak Nur gegas berlari ke kamar Alika, dia menggedor pintu majikannya dengan sangat cepat, tak lama, muncul wajah jutek Alika."Mbak kenapa?" tanyanya."Kebakaran, Nyonya." ucap mbak Nur."Apaaaa, kebakaran?" Mata Ali