Dengan terpaksa Senja akhirnya menemui Han saat jam istirahat makan siang. Sesungguhnya ia juga penasaran maksud dari surat perceraian itu? Apakah Han sudah mengurus segala hal untuk bisa berpisah dengannya? Meski di hatinya sangat lega, tapi ia masih bertanya-tanya tujuan Han yang sebenarnya. "Kenapa kamu menggugat cerai secepat ini, Nja? Apakah rasa karena pria itu?" Senja mengerjap bingung dengan maksud Han. "Maksud kamu apa, Mas? Bukankah kamu yang sudah menggugat cerai untuk bisa menikahi wanita itu?" Senja melirik Sherly yang ternyata duduk di tempat yang berbeda. Han menyodorkan map itu. Segera Senja membukanya. Betapa terkejutnya Senja saat namanya terdaftar disana sebagai sang penggugat. Padahal ia sama sekali belum mendaftar ke pengadilan agama. Lalu siapa yang melakukan ini semua? Apakah pria itu? Senja menebak-nebak dalam hatinya. Tapi ia harus bersikap wajar untuk membalas perbuatan Han kepadanya dulu. Ia kembali memasukkan surat itu dan memb
"Iya. Karena aku geram saat Han menemuiku tempo hari dan meminta untuk membantunya berbaikan denganmu. Itu gila, bukan?" Riki tidak habis pikir dengan arah pikiran Han yang sudah mengkhianati adiknya, malah sekarang meminta bantuan darinya. "Aku masih waras. Makanya aku bertindak demikian," sambung Riki lagi. Senja tidak menyangka jika Han menemui Riki untuk meminta bantuan. Entah apa maksudnya. Padahal Han sendiri yang meminta berpisah, tapi kenapa Han sekarang yang sulit untuk berpisah. "Apakah kamu mau jika Han memintamu untuk balik dengannya?" "Jangan gila kamu, Mas. Tidak mungkin itu terjadi. Aku bukan wanita gila yang mau menampung pria yang jelas-jelas sudah selingkuh dengan sahabatku." "Bagus kalau kamu punya pendirian. Pria berengsek seperti itu memang tidak pantas kembali bersamamu." Mereka setuju. Senja juga akan membubuhkan tanda tangan secepat mungkin untuk bisa lepas dari jeratan Han. Apapun yang terjadi, ia tidak akan menerima Han kembali. Ji
Makan malam yang selalu diimpikan wanita di luaran sana, sungguh membuat Senja tercekik. Bagaimana tidak? Langit memintanya untuk menemaninya makan malam. Tentu dia terkejut dengan permintaan atasannya. Ia sadar diri ia siapa, tapi kenapa Langit masih saja mendekatinya. Dia sudah berusaha menghindar, tapi seperti Langit terus mendekat. Lalu ia harus bagaimana sekarang? "Tolong temani aku makan malam. Hanya makan malam?" Langit penuh permohonan. Senja sendiri hanya mematung dia bingung harus menolak atau menerima ajakan Langit. Ia menoleh ke arah Vivi yang juga menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Jika di tanya, Vivi pun sama bingungnya dengan apa yang dialami Senja sekarang. Tapi bedanya ia masih dalam mode aman karena Langit tidak mengajaknya ikut serta. Yang seharusnya berpikir keras saat ini adalah Senja, bukan dirinya. Senja kembali menoleh ke arah Langit. Bibirnya tidak tau harus menjawab seperti apa. "Tidak masalah jika hanya di warung tenda ping
Beberapa hari ini Senja disibukkan dengan agenda perceraiannya. Dan akhirnya ia mendapat status yang diinginkannya dari awal. Bukan suatu kebanggaan, tapi inilah prinsip hidup yang ia pegang. Ia tidak bisa terima jika ia dipoligami oleh suaminya walaupun itu jaminannya surga. Itu sangat terasa berat baginya. Ia belum mampu mengikhlaskan dan meridhoi suaminya menikah lagi. Tentu, itu pilihan masing-masing wanita di dunia ini. Ia lemah sehingga ia memilih mengalah dan pergi. Beberapa kali Han terlihat memberontak karena hak asuh Bina jatuh ke tangannya. Hakim memvonisnya bersalah karena dengan sengaja telah berselingkuh dengan sahabatnya. Tentu ia sangat puas mendapatkan kemenangan ini setelah keputusan ketuk palu hakim. Tak henti-hentinya bibirnya mengucapkan syukur kepada sang pencipta yang telah melancarkan segala urusannya. Rasa terima kasih juga ia ucapkan kepada saudara satu-satunya yang telah membantunya selama ini. Entah bagaimana jadinya jika Riki tida
Riki mengangguk. "Lalu, bagaimana hubunganmu dengan CEO itu. Apakah akan berlanjut ke jenjang pernikahan?" Senja terdiam. Bahkan ia sama sekali tidak memikirkan sampai ke arah jenjang pernikahan. Rasa traumanya tidak akan bisa hilang dengan mudah. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun untuk menghilangkan trauma di hatinya karena penghianatan mantan suaminya. Apalagi ia sudah memiliki Bina, yang akan lebih membuatnya sulit untuk menemukan pria yang benar-benar bisa menerima anaknya seperti anak kandungnya sendiri. "Tidak semudah itu, Mas. Kamu tahu sendiri aku sudah mempunyai Bina dalam hidupku. Lagian mana ada pria yang benar-benar bisa mencintai seorang janda sepertiku?" Senja meneguk minumannya. "Pikiranmu saja yang terlalu sempit. Tidak semua laki-laki berengsek seperti Han. Aku yakin jika suatu saat akan ada seorang pria yang menerimamu apa adanya. Bahkan akan menyayangi Bina melebihi anak kandungnya sendiri." "Apakah aku harus percaya dengan kalimatmu i
"Kamu dari mana, Mas?" tanya Sherly saat Han tiba di rumah. Begitulah Sherly. Belum ada ikatan resmi tapi wanita itu sekalu berkunjung ke rumahnya. Jika bukan meminta uang, pasti wanita itu minta jatah makan. Seolah ia seperti depot yang menyediakan kebutuhannya. "Rumah Senja." "Dikampung?" Yang mendapatkan anggukan dari Han. Seketika Sherly langsung bereaksi. Dia yang tadinya fokus makan pun langsung berdiri dan menghampiri Han yang masih berdiri seraya meneguk air putih. "Ngapain kamu kesana, Mas? Kalian kan sudah resmi bercerai. Kalian mau rujuk?" Dari nada bicaranya saja Han tau jika Sherly saat ini tengah marah dan cemburu kepada Senja. Haruskah ia mengatakan tujuannya ke sana? "Jawab, Mas? Kenapa kamu diam?" tanya Sherly dengan nada penekanan. Ia tidak suka diabaikan. Han menoleh pada Sherly. "Memangnya aku harus jujur? Nanti kamu sakit hati terus nangis-nangis seperti biasanya. Aku lelah menghadapimu yang seperti anak kecil, Sherly." Han meninggalkan Sherly b
Mama Han yang bernama Riana itu terduduk di sofa. Ia shock sampai tubuhnya lemas. Bahkan seolah ia tidak bertenaga saat mendengar jika wanita yang berada di rumah Han adalah kekasih anaknya. Lalu dimana menantunya? "Apa mama sudah lebih baik?" Han bertanya. Ia sempat panik tak karuan melihat mamanya yang tiba-tiba lemas dan hampir saja ambruk jika saja Han tidak menopang tubuh sang mama. Susah payah Han membawa mamanya untuk bisa sampai di sofa rumahnya. Sedangkan Sherly yang berniat untuk membantu, Riana menolaknya karena merasa tidak sudi di sentuh olehnya. Riana diam. Seolah masih enggan untuk menyuarakan apa yang dia rasakan saat ini. Hatinya terlalu kecewa dengan apa yang sudah dilakukan oleh anaknya. "Ma." "Jangan sentuh mama!!" sentak Riana. Han kembali diam. Takut, karena ia sudah membuat sang mama kecewa dengan apa yang telah ia lakukan. Bukan ia tidak tau jika Senja adalah menantu kesayangan mama sejak dulu. Apa yang diinginkan Senja, mam
Langit mondar mandir di ruangannya bagaikan baling-baling rusak, yang membuat Benji pusing melihatnya. "Pak, bisakah bapak duduk? Apa bapak tidak capek mondar-mandir seperti itu dari tadi?" tegur Benji. Kepalanya mendadak pening melihat Langit yang nampak demikian. Dua hari ini mood bosnya tersebut seperti tidak bisa dikendalikan. Di minta untuk fokus pada pekerjaan, tapi pikirannya melayang entah kemana. Sampai membuat Benji kesusahan mengembalikan mood Langit yang berantakan. Meski itu hanya bersama dirinya. "Apakah dia belum kembali bekerja di hotel?" Aha, Benji baru bisa menebak apa yang menjadi pemicunya seperti itu. Ternyata bosnya itu galau karena ditinggal Senja cuti selama dua hari. Benji yang sedang duduk di sofa pun menegakkan tubuhnya. "Ternyata ini yang membuat bapak tidak tenang selama dua hari ini. Bapak galau?" goda Benji lagi. Langit terdiam. Kemudian ia duduk di samping Benji dan meneguk kopi hitamnya. "Mungkin itu yang terjadi pa