"Kamu dari mana, Mas?" tanya Sherly saat Han tiba di rumah. Begitulah Sherly. Belum ada ikatan resmi tapi wanita itu sekalu berkunjung ke rumahnya. Jika bukan meminta uang, pasti wanita itu minta jatah makan. Seolah ia seperti depot yang menyediakan kebutuhannya. "Rumah Senja." "Dikampung?" Yang mendapatkan anggukan dari Han. Seketika Sherly langsung bereaksi. Dia yang tadinya fokus makan pun langsung berdiri dan menghampiri Han yang masih berdiri seraya meneguk air putih. "Ngapain kamu kesana, Mas? Kalian kan sudah resmi bercerai. Kalian mau rujuk?" Dari nada bicaranya saja Han tau jika Sherly saat ini tengah marah dan cemburu kepada Senja. Haruskah ia mengatakan tujuannya ke sana? "Jawab, Mas? Kenapa kamu diam?" tanya Sherly dengan nada penekanan. Ia tidak suka diabaikan. Han menoleh pada Sherly. "Memangnya aku harus jujur? Nanti kamu sakit hati terus nangis-nangis seperti biasanya. Aku lelah menghadapimu yang seperti anak kecil, Sherly." Han meninggalkan Sherly b
Mama Han yang bernama Riana itu terduduk di sofa. Ia shock sampai tubuhnya lemas. Bahkan seolah ia tidak bertenaga saat mendengar jika wanita yang berada di rumah Han adalah kekasih anaknya. Lalu dimana menantunya? "Apa mama sudah lebih baik?" Han bertanya. Ia sempat panik tak karuan melihat mamanya yang tiba-tiba lemas dan hampir saja ambruk jika saja Han tidak menopang tubuh sang mama. Susah payah Han membawa mamanya untuk bisa sampai di sofa rumahnya. Sedangkan Sherly yang berniat untuk membantu, Riana menolaknya karena merasa tidak sudi di sentuh olehnya. Riana diam. Seolah masih enggan untuk menyuarakan apa yang dia rasakan saat ini. Hatinya terlalu kecewa dengan apa yang sudah dilakukan oleh anaknya. "Ma." "Jangan sentuh mama!!" sentak Riana. Han kembali diam. Takut, karena ia sudah membuat sang mama kecewa dengan apa yang telah ia lakukan. Bukan ia tidak tau jika Senja adalah menantu kesayangan mama sejak dulu. Apa yang diinginkan Senja, mam
Langit mondar mandir di ruangannya bagaikan baling-baling rusak, yang membuat Benji pusing melihatnya. "Pak, bisakah bapak duduk? Apa bapak tidak capek mondar-mandir seperti itu dari tadi?" tegur Benji. Kepalanya mendadak pening melihat Langit yang nampak demikian. Dua hari ini mood bosnya tersebut seperti tidak bisa dikendalikan. Di minta untuk fokus pada pekerjaan, tapi pikirannya melayang entah kemana. Sampai membuat Benji kesusahan mengembalikan mood Langit yang berantakan. Meski itu hanya bersama dirinya. "Apakah dia belum kembali bekerja di hotel?" Aha, Benji baru bisa menebak apa yang menjadi pemicunya seperti itu. Ternyata bosnya itu galau karena ditinggal Senja cuti selama dua hari. Benji yang sedang duduk di sofa pun menegakkan tubuhnya. "Ternyata ini yang membuat bapak tidak tenang selama dua hari ini. Bapak galau?" goda Benji lagi. Langit terdiam. Kemudian ia duduk di samping Benji dan meneguk kopi hitamnya. "Mungkin itu yang terjadi pa
Senja baru menyadari jika mantan mertuanya ada disana bersama Han. Meski begitu, Senja twtap menghormati wanita itu sebagai irang tuanya walau ia dan Han tidak akan kembali bersama. "Mama," ujarnya seraya mencium punggung tangan Riana. Yang di susul juga oleh Bina yang mengikuti gerakan sang mama dengan tetap waspada. "Maaf tadi Senja tidak melihat mama." "Tidak apa-apa, Nja. Ayo duduk, mama ingin melihat kalian berdua. Mama rindu!!" Matanya kembali berkaca melihat dua orang yang amat dirindukan hadir di depan matanya. Tangan Riana terangkat bermaksud untuk meminta Vina untuk mendekat tapi bocah itu hanya diam saja dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan titik senjata dari surat matanya saja pinnya terlihat ketakutan mungkin ya sedikit merasa trauma ketika ditarikan untuk ikut pulang bersamanya. "Sayang," Bina menoleh, mendapati Senja yang tersenyum menatapnya. "Bina takut, Ma," cicit Bina seraya merunduk. Sebuah sentuhan membelai rambutnya, seol
"Hatiku terluka karena cinta. Oleh sebab itu aku tak ingin merasakannya lagi dan membuat hatiku kembali perih. Lebih baik bapak pergi dan mencari wanita yang lebih sempurna, yang mampu mencintaimu setulus hati," kata Senja seraya menundukkan wajahnya. "Aku akan menyembuhkan lukamu dan membalutnya dengan kasih sayangku. Aku memang tak sempurna, tapi aku akan berusaha menjadi orang yang sempurna untukmu dan anakmu," balas Langit tak kalah bersungguh-sungguh. Bahkan di dalam hidupnya, ini kali pertama ia sampai mengemis cinta kepada seorang wanita. Perceraian yang terjadi di hidupnya, membuatnya dingin terhadap pria. Itu semua untuk melindungi dirinya dari godaan pria yang ingin mengetuk hatinya. Setelah kurir itu memberikan paketnya pada Senja, Senja tidak bisa diam begitu saja menerima pemberian orang yang tak dikenal. Wanita itu memaksa kurir untuk mengaku nama pengirimnya. Hingga akhirnya pria itu mengaku jika dimintai tolong oleh Langit. Dan ketika Senja ber
Tiga bulan sudah sejak kejadian malam itu, Senja maupun Langit tak bertegur sapa. Mereka selayaknya bos dan juga pekerja ketika ditempat kerja. Ada rasa berbeda. Senja merasakan perbedaan sikap Langit padanya. Tiada lagi pria yang tiba-tiba mengirimkan makanan untuknya. Tiada lagi pria yang tiba-tiba datang ke kosan hanya untuk sekedar ingin berjumpa. Pria yang gemar menebar senyuman saat bersamanya. Seharusnya Senja bersyukur karena Langit menjauh sesuai dengan keinginannya. Bohong jika Senja tidak merasakan kehilangan saat ini. "Hey, kenapa malah melamun?" Sisil mengagetkan Senja ketika istirahat makan siang. Senja yang terkejut lantas menoleh. "Sisil." "Apa? Kenapa malah melamun? Mikirin pacar ya?" goda Sisil. Karena Sisil sedikit banyak mengetahui status Senja yang seorang janda. Tapi tak serta merta ia mencap Senja dengan sebutan yang hina. Karena semua itu sudah digariskan sama pemberi hidup. "Pacar apaan? Tidak ada," elak Senja. "Eh, tau tidak. Tadi
"Arght, sial!!!" teriak Langit frustasi saat melihat motor Senja mulai bergerak ke jalan raya. Ia sudah berusaha mengejar, tapi tetap ia kalah. Tangannya mencengkram rambutnya untuk meluapkan rasa kesal di hatinya. Akibat kesibukannya, ia kehilangan kesempatan untuk mendekati Senja. Padahal, sebentar lagi Senja sudah dalam genggamannya. Bibir tipis Langit tak hentinya memaki kebodohannya sendiri. Hingga sebuah suara mengalihkan rasa kesalnya. "Pak." Vivi tiba-tiba sudah berada di belakangnya dengan tatapan iba. Ia kasihan dengan bosnya tersebut yang sangat sulit mendapatkan Senja. Sudah dekat, malah sang bos kedapatan bersama wanita lain. Hati wanita mana yang tidak goyah? Dan mungkin itu yang dirasakan Senja sekarang. Vivi tahu bagaimana sepak terjang Langit yang mencoba mendekati Senja. Padahal Senja dengan perlahan sudah membuka hatinya, tapi kenyataan berbicara berbeda. Langit menoleh sekilas. Kemudian membuang pandangannya ke depan menatap k
"Senja? Iya, dia ada di dalam. Mari silahkan masuk!" Fatimah membuka lebar pintu dan mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam. Setelah itu Fatimah masuk ke dalam berniat untuk memanggil Senja. Tapi saat berniat beranjak, Senja tiba-tiba keluar. Tubuhnya kaku bagaikan tidak teraliri darah ketika melihat sosok yang dikenalnya ada di rumahnya. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyakinkan apa yang ia lihat saat ini. Tapi sialnya itu nyata dan bukan halusinasi. "Pak Langit?" lirihnya dengan meyakinkan diri. Pria itu tersenyum lebar saat Senja berhasil mengenali dirinya. "Hai, Senja. Bagaimana kabarmu?" Langit melambaikan tangannya dengan wajah tengil. Wajah yang sempat ia rindukan beberapa bulan belakangan. Senja sempat kehilangan, tapi seolah wajah itu kembali pulang. "Dia siapa, Nja?" Pertanyaan sang ibu membuatnya tersentak dari lamunan. Ia menoleh ke arah sang ibu dengan senyum pelik. "Dia_" "Saya calon suami Senja, Bu," potong Langit ce