"Iya. Karena aku geram saat Han menemuiku tempo hari dan meminta untuk membantunya berbaikan denganmu. Itu gila, bukan?" Riki tidak habis pikir dengan arah pikiran Han yang sudah mengkhianati adiknya, malah sekarang meminta bantuan darinya. "Aku masih waras. Makanya aku bertindak demikian," sambung Riki lagi. Senja tidak menyangka jika Han menemui Riki untuk meminta bantuan. Entah apa maksudnya. Padahal Han sendiri yang meminta berpisah, tapi kenapa Han sekarang yang sulit untuk berpisah. "Apakah kamu mau jika Han memintamu untuk balik dengannya?" "Jangan gila kamu, Mas. Tidak mungkin itu terjadi. Aku bukan wanita gila yang mau menampung pria yang jelas-jelas sudah selingkuh dengan sahabatku." "Bagus kalau kamu punya pendirian. Pria berengsek seperti itu memang tidak pantas kembali bersamamu." Mereka setuju. Senja juga akan membubuhkan tanda tangan secepat mungkin untuk bisa lepas dari jeratan Han. Apapun yang terjadi, ia tidak akan menerima Han kembali. Ji
Makan malam yang selalu diimpikan wanita di luaran sana, sungguh membuat Senja tercekik. Bagaimana tidak? Langit memintanya untuk menemaninya makan malam. Tentu dia terkejut dengan permintaan atasannya. Ia sadar diri ia siapa, tapi kenapa Langit masih saja mendekatinya. Dia sudah berusaha menghindar, tapi seperti Langit terus mendekat. Lalu ia harus bagaimana sekarang? "Tolong temani aku makan malam. Hanya makan malam?" Langit penuh permohonan. Senja sendiri hanya mematung dia bingung harus menolak atau menerima ajakan Langit. Ia menoleh ke arah Vivi yang juga menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Jika di tanya, Vivi pun sama bingungnya dengan apa yang dialami Senja sekarang. Tapi bedanya ia masih dalam mode aman karena Langit tidak mengajaknya ikut serta. Yang seharusnya berpikir keras saat ini adalah Senja, bukan dirinya. Senja kembali menoleh ke arah Langit. Bibirnya tidak tau harus menjawab seperti apa. "Tidak masalah jika hanya di warung tenda ping
Beberapa hari ini Senja disibukkan dengan agenda perceraiannya. Dan akhirnya ia mendapat status yang diinginkannya dari awal. Bukan suatu kebanggaan, tapi inilah prinsip hidup yang ia pegang. Ia tidak bisa terima jika ia dipoligami oleh suaminya walaupun itu jaminannya surga. Itu sangat terasa berat baginya. Ia belum mampu mengikhlaskan dan meridhoi suaminya menikah lagi. Tentu, itu pilihan masing-masing wanita di dunia ini. Ia lemah sehingga ia memilih mengalah dan pergi. Beberapa kali Han terlihat memberontak karena hak asuh Bina jatuh ke tangannya. Hakim memvonisnya bersalah karena dengan sengaja telah berselingkuh dengan sahabatnya. Tentu ia sangat puas mendapatkan kemenangan ini setelah keputusan ketuk palu hakim. Tak henti-hentinya bibirnya mengucapkan syukur kepada sang pencipta yang telah melancarkan segala urusannya. Rasa terima kasih juga ia ucapkan kepada saudara satu-satunya yang telah membantunya selama ini. Entah bagaimana jadinya jika Riki tida
Riki mengangguk. "Lalu, bagaimana hubunganmu dengan CEO itu. Apakah akan berlanjut ke jenjang pernikahan?" Senja terdiam. Bahkan ia sama sekali tidak memikirkan sampai ke arah jenjang pernikahan. Rasa traumanya tidak akan bisa hilang dengan mudah. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun untuk menghilangkan trauma di hatinya karena penghianatan mantan suaminya. Apalagi ia sudah memiliki Bina, yang akan lebih membuatnya sulit untuk menemukan pria yang benar-benar bisa menerima anaknya seperti anak kandungnya sendiri. "Tidak semudah itu, Mas. Kamu tahu sendiri aku sudah mempunyai Bina dalam hidupku. Lagian mana ada pria yang benar-benar bisa mencintai seorang janda sepertiku?" Senja meneguk minumannya. "Pikiranmu saja yang terlalu sempit. Tidak semua laki-laki berengsek seperti Han. Aku yakin jika suatu saat akan ada seorang pria yang menerimamu apa adanya. Bahkan akan menyayangi Bina melebihi anak kandungnya sendiri." "Apakah aku harus percaya dengan kalimatmu i
"Kamu dari mana, Mas?" tanya Sherly saat Han tiba di rumah. Begitulah Sherly. Belum ada ikatan resmi tapi wanita itu sekalu berkunjung ke rumahnya. Jika bukan meminta uang, pasti wanita itu minta jatah makan. Seolah ia seperti depot yang menyediakan kebutuhannya. "Rumah Senja." "Dikampung?" Yang mendapatkan anggukan dari Han. Seketika Sherly langsung bereaksi. Dia yang tadinya fokus makan pun langsung berdiri dan menghampiri Han yang masih berdiri seraya meneguk air putih. "Ngapain kamu kesana, Mas? Kalian kan sudah resmi bercerai. Kalian mau rujuk?" Dari nada bicaranya saja Han tau jika Sherly saat ini tengah marah dan cemburu kepada Senja. Haruskah ia mengatakan tujuannya ke sana? "Jawab, Mas? Kenapa kamu diam?" tanya Sherly dengan nada penekanan. Ia tidak suka diabaikan. Han menoleh pada Sherly. "Memangnya aku harus jujur? Nanti kamu sakit hati terus nangis-nangis seperti biasanya. Aku lelah menghadapimu yang seperti anak kecil, Sherly." Han meninggalkan Sherly b
Mama Han yang bernama Riana itu terduduk di sofa. Ia shock sampai tubuhnya lemas. Bahkan seolah ia tidak bertenaga saat mendengar jika wanita yang berada di rumah Han adalah kekasih anaknya. Lalu dimana menantunya? "Apa mama sudah lebih baik?" Han bertanya. Ia sempat panik tak karuan melihat mamanya yang tiba-tiba lemas dan hampir saja ambruk jika saja Han tidak menopang tubuh sang mama. Susah payah Han membawa mamanya untuk bisa sampai di sofa rumahnya. Sedangkan Sherly yang berniat untuk membantu, Riana menolaknya karena merasa tidak sudi di sentuh olehnya. Riana diam. Seolah masih enggan untuk menyuarakan apa yang dia rasakan saat ini. Hatinya terlalu kecewa dengan apa yang sudah dilakukan oleh anaknya. "Ma." "Jangan sentuh mama!!" sentak Riana. Han kembali diam. Takut, karena ia sudah membuat sang mama kecewa dengan apa yang telah ia lakukan. Bukan ia tidak tau jika Senja adalah menantu kesayangan mama sejak dulu. Apa yang diinginkan Senja, mam
Langit mondar mandir di ruangannya bagaikan baling-baling rusak, yang membuat Benji pusing melihatnya. "Pak, bisakah bapak duduk? Apa bapak tidak capek mondar-mandir seperti itu dari tadi?" tegur Benji. Kepalanya mendadak pening melihat Langit yang nampak demikian. Dua hari ini mood bosnya tersebut seperti tidak bisa dikendalikan. Di minta untuk fokus pada pekerjaan, tapi pikirannya melayang entah kemana. Sampai membuat Benji kesusahan mengembalikan mood Langit yang berantakan. Meski itu hanya bersama dirinya. "Apakah dia belum kembali bekerja di hotel?" Aha, Benji baru bisa menebak apa yang menjadi pemicunya seperti itu. Ternyata bosnya itu galau karena ditinggal Senja cuti selama dua hari. Benji yang sedang duduk di sofa pun menegakkan tubuhnya. "Ternyata ini yang membuat bapak tidak tenang selama dua hari ini. Bapak galau?" goda Benji lagi. Langit terdiam. Kemudian ia duduk di samping Benji dan meneguk kopi hitamnya. "Mungkin itu yang terjadi pa
Senja baru menyadari jika mantan mertuanya ada disana bersama Han. Meski begitu, Senja twtap menghormati wanita itu sebagai irang tuanya walau ia dan Han tidak akan kembali bersama. "Mama," ujarnya seraya mencium punggung tangan Riana. Yang di susul juga oleh Bina yang mengikuti gerakan sang mama dengan tetap waspada. "Maaf tadi Senja tidak melihat mama." "Tidak apa-apa, Nja. Ayo duduk, mama ingin melihat kalian berdua. Mama rindu!!" Matanya kembali berkaca melihat dua orang yang amat dirindukan hadir di depan matanya. Tangan Riana terangkat bermaksud untuk meminta Vina untuk mendekat tapi bocah itu hanya diam saja dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan titik senjata dari surat matanya saja pinnya terlihat ketakutan mungkin ya sedikit merasa trauma ketika ditarikan untuk ikut pulang bersamanya. "Sayang," Bina menoleh, mendapati Senja yang tersenyum menatapnya. "Bina takut, Ma," cicit Bina seraya merunduk. Sebuah sentuhan membelai rambutnya, seol
"Kenapa dia cantik sekali saat tidur begini?' tanya Langit dalam hati. Memang Senja terlihat lebih manis dan kalem saat menutup matanya. "Tidak salah aku menjadikanmu istriku, Nja," sambungnya yang lagi-lagi dalam hati saja. Merasakan sapuan lembut di wajahnya, membuat Senja perlahan menggerakkan matanya. Ia menutup mulutnya yang menguap lebar seraya berusaha membuka matanya yang seolah masih merekat. "Nyenyak sekali tidurmu, Sayang. Sampai membuatku harus menunggu lama hanya untuk melihatmu membuka mata untuk pertama kalinya." Suara Langit membuat Senja menoleh ke arah suaminya. "Kamu sudah bangun, Mas?" tanya Senja, menyipitkan kedua matanya yang masih melihat dengan buram. Langit hanya berdehem. Kemudian ia kembali memeluk Senja dengan erat dan membau aroma dari tubuh istrinya yang entah sejak kapan menjadi candu baru baginya. Senja yang mengendus aroma bahaya, berniat bergegas untuk bangkit dari tidurnya. Karena jika tidak, akan ada olahraga lagi menantiny
Percintaan yang terjadi di antara mereka beberapa jam yang lalu diakhiri dengan sebuah kecupan yang cukup lama. Rasa lelah dan lega yang semula tertahankan kini sudah tumpah menjadi satu. Ya, dengan susah payah Langit membujuk Senja untuk kembali bertukar keringat di atas ranjang untuk yang kesekian kalinya. Meski sempat mendapatkan penolakan dari Senja dengan alasan lelah, tapi akhirnya Senja menerimanya setelah Langit mengeluarkan dalil-dalil panjang yang membuat Senja berubah pikiran. Dada mereka kembang kempis saling berebut oksigen untuk mengisi paru-parunya agar pernafasan mereka teratur seperti sedia kala. Senyum manis tersungging di sana. Tangan Langit menarik selimut tebal untuk menutupi sebagian tubuhnya dan juga tubuh istrinya. Rasa lelah karena penyatuan yang menguras tenaga, membuat mereka enggan beranjak walau hanya untuk memakai pakaian mereka saja. Mereka lebih memilih mengistirahatkan tubuh mereka. Walau itu tidak mudah karena sisa-sisa kenikmatan
"Sayang, buka pintunya!!" Langit mengetuk pintu dengan lesu. Beberapa kali ia mencoba membuka pintu, tapi terkunci. Langit dibuat frustasi karenanya. Apalagi ketika melihat baju yang dikenakan Senja, ia yakin jika itu sebuah kode dari istrinya. Sekarang, karena kebodohannya, hal ternikmat yang dia idam-idamkan melayang dengan sia-sia. Tubuhnya merosot, terduduk di depan pintu dengan wajah sendu. Jika bisa, ia ingin menangis saat ini. "Sayang!!!" Tangannya mencoba menggapai pintu, tapi tubuhnya sudah lemas. Kepalanya bersandar di daun pintu, matanya terpejam karena rasa lelah yang mendera setelah jutaan bujuk rayuan tidak mempan membuat Senja luluh. Baru saja ia akan menuju ke alam mimpi, terasa pintu tiba-tiba terbuka. Hampir saja tubuh Langit terguling jika saja ia tidak cepat-cepat sadar dan mengendalikan tubuhnya. "Sayang." Langit langsung beranjak berdiri ketika melihat Senja yang sudah berdiri dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya belum juga ted
"Ayo buka bajunya. Biar aku periksa." Perkataan Langit itu tentu saja membuat Senja mendelik tak terima. Tangannya langsung menutup area dadanya. "Kamu jangan ngawur ya, Mas!!" Senja menatap galak ketika mendapati tatapan Langit yang mesum. Langit tertawa. Pria itu semakin gemas melihat istrinya. Pletak.. Langit menyentil pelan kening Senja. "Memangnya apa yang kamu pikirkan, Sayang? Aku hanya ingin mengobati lukamu, bukan yang lain." Senja gelagapan. Ternyata Langit salah tangkap atas sikapnya. "Bukan itu, Mas. Tapi aku malu jika harus buka baju. Kamu sendiri tau jika luka itu lebih banyak di dada dan bagian pundakku." Tangannya terangkat dan membelai wajah istrinya. "Tidak usah malu, Sayang. Aku akan lebih senang jika kamu mau menuruti apa yang aku katakan. Semua ini untukmu. Demi kesembuhanmu." Senja terdiam. Benar apa kata suaminya. Luka lebam masih butuh diberi obat agar tidak membengkak. Tapi jujur dia malu jika Langit harus melihat tubuh polosnya. "Aku j
"Kamu sudah yakin akan keputusan kamu, Sayang?" tanya Langit yang tengah duduk di sisi ranjang. Matanya menatap lekat pada sang istri yang tengah berkemas. Senja menatap sekilas, kemudian fokus memasukkan bajunya untuk dimasukkan ke dalam koper. "Aku serius, mas!" "Kamu tega ninggalin Bina?" Gerakan Senja terhenti. Ia menghela nafas panjang. Sebagai ibu Ia pun tidak tega jika harus meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan dirinya. Belum juga nanti para omongan tetangga yang mungkin akan menjelekkan suaminya yang dikira ingin ibunya saja tapi anaknya enggan diterima. "Kamu sendiri sudah mendengar ibu berbicara seperti apa tadi pagi. Aku sudah berusaha membawa Bina untuk pergi bersama kita tapi Ibu melarangnya bukan? Lalu aku harus bagaimana, Mas?" Mata Senja mulai berkaca-kaca. Pagi itu setelah sarapan, Senja menemui ibunya secara langsung untuk meminta izin membawa Bina ke rumah yang sudah disiapkan Langit untuknya. Tapi jawaban ibunya sungguh m
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Senja Kamila Binti Ahmad Arhandi dengan mas kawin satu set perhiasan, uang seratus juta dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!!" "Bagaimana para saksi? Sah?" "Saahh!!!" Lantunan doa mengalun merdu mengiringi pergantian status mereka secara agama dan negara. Setelah menggelar acara ijab qobul, mereka melakukan sungkem pada ibu mereka masing-masing. Tangis haru tidak bisa dihindari ketika anak-anak mereka bersimpuh untuk memohon doa restu. Bahkan, Yuke sampai tergugu dalam tangisnya yang sampai membuat beberapa hadirin yang datang ikut menitikkan air mata. Seolah ikut terseret dalam alur penuh keharuan. "Mama, maafkan Langit yang selama ini belum bisa menjadi putra yang baik bagi mama. Belum bisa membahagiakan mama sebagai mestinya. Mah, berilah doa restu untuk Langit, agar Langit bisa mengarungi samudra kehidupan rumah tangga dengan baik bersama wanita pilihan Langit." Jujur, inilah hal yang paling membuat dirinya emosional
Senja mendesis ketika pundaknya disentuh oleh Langit. Langit yang penasaran langsung membukanya meski Senja awalnya menolak. Seketika matanya memerah ketika melihat bekas luka yang masih terlihat ada bekas darah. Di periksanya lagi di bagian dada. Seketika giginya bergemelutuk melihat bekas apa yang dilakukan oleh Han. "Apakah ini sakit?" Senja menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak, Mas. " "Jangan bohong." Senja terdiam. Lebih sakit ia melihat Langit yang terluka seperti itu. Semenjak kenal dengan Langit, baru kali ini ia melihat Langit yang menahan amarah seperti itu. Ia takut jika dia akan menyakiti Han dan membuat Langit harus terjerat kasus hukum karena dirinya. "Aku mohon, jangan lagi berurusan dengan dia, Mas. Aku takut kamu terjerat hukum karena dia." Senja langsung memeluk Langit dengan erat. Ia berharap pria itu akan mengerti apa yang Ia maksud. Tangan Langit terangkat dan membalas pelukan Senja tak kalah erat. "Dia harus membay
Senja memaku ketika melihat seseorang datang menolongnya. Dengan cepat Langit menutup tubuh Senja menggunakan selimut. "Brengsek lo!!" Benji menendang perut Han dengan brutal. Pria yang biasanya kalem, berubah bringas bak hewan buas. Han tak berkutik karena tiba-tiba mendapatkan serangan bertubi-tubi. Sementara Langit melepaskan ikatan tali di kaki dan tangan Senja. Setelah itu mengangkat tubuh calon istrinya untuk keluar dari sana. "Tolong bawa dia pergi, Rik," kata Langit pada Riki. Setelah itu ia langsung berlari menuju ke dalam untuk melampiaskan amarahnya. Mobil polisi datang setelah mobil Senja bergerak pergi meninggalkan tempat kejadian. Di dalam mobil, Senja menangis dalam pelukan Melly. Melly tak kuasa menahan air matanya melihat adik iparnya yang nampak berantakan. Tangan Riki mencengkeram erat kemudinya, merasakan amarah yang membuncah ketika melihat adiknya disakiti untuk yang kedua kali dengan pria yang sama. "Akan aku pastikan dia
Sementara di tempat kerja, perasaan Langit mendadak tidak tenang. Entah kenapa pikirannya hanya tertuju pada Senja. Terlebih pagi ini Senja sama sekali belum menghubunginya sekedar menanyakan sudah sarapan atau belum seperti biasanya. "Bapak kenapa? Atau perlu sesuatu?" tanya Benji yang melihat gelagat Langit yang aneh menurutnya. Langit hanya menggeleng. Lantas ia meraih ponselnya untuk menghubungi Senja sekedar menanyakan kabarnya hari ini agar hatinya bisa kembali tenang. Tapi sayangnya ponsel Senja tidak aktif. "Kenapa ponselnya tidak aktif? Tumben!!" "Kenapa, Pak?" Benji yang tengah duduk di depan Langit mendengarnya bergumam. "Aku telepon Senja tapi kenapa nomornya tidak aktif." "Bapak bisa menghubungi pak Riki untuk menanyakan kabar bu Senja. Siapa tahu Pak Riki bisa menjawab kegelisahan anda hari ini." Langit segera menghubungi Riki untuk menanyakan kabar Senja. Dan Riki mengatakan jika Senja sedang ke pasar serta membawa ponselnya. "Sial, kenapa pe