Part 2
Tanda Itu"Ya Allah---"Kembali aku sangat terkejut kali ini, karena kaos polo berwarna silver dengan logo huruf P yang dikenakan lelaki itu, sama persis dengan hadiah yang kuberikan pada Mas Herman enam bulan Yang lalu saat aku terakhir pulang kampung.[Gimana Ra, udah bisa menebak belum siapa suami aku ini?] Saat aku masih bingung Ririn kembali mengirimkan sebuah pesan lagi. Entah mengapa aku merasa jika saat ini teman lamaku ini sedang menggoda aku.[Sungguh aku tak bisa menebaknya, Rin. Kamu ini senang sekali sih membuat aku penasaran?] Balsaku sedikit bingung.[Ya ampun, Ra. Padahal seingatku dulu ketika kita masih sekolah di sekolah dasar, kamu itu paling pintar loh di kelas! Masak sih sekarang kamu jadi agak lemot gini sih? Coba kamu pikirkan lagi, siapa kira-kira lelaki sekitar desa kita yang wajahnya mirip sekali dengan bayiku tadi. Ayo coba ingat!] Balas Ririn.Membaca balasan dari Ririn itu ada rasa sedikit tak enak. Sepertinya dia tak suka sekali padaku. Tetapi memang sebenarnya sejak dulu aku telah merasakan hal itu. Sejak kecil kami memang satu kelas dulu saat sekolah dasar. Tetapi tak pernah berteman baik. Entah kenapa dia selalu memandang tak suka kepadaku.[Maklum lah, Rin. Sudah lama lulus sekolah sih, hihihi. Bener deh, aku kok nggak bisa mengingatnya sih. Langsung saja deh kamu katakan siapa suami kamu itu, biar aku nggak makin penasaran. Hehehe.] Balasku.Mungkin sebenarnya hal ini sangatlah tidak penting, tetapi karena merasa ada yang sedikit janggal, akhirnya aku pun terus saja mengejar tentang siapa suami Ririn itu.[Ups, iya aku sampai lupa. Meski dulu kamu saat bersekolah di SD memang paling pintar, tetapi kan kamu hanya sekolah sampai sekolah menengah pertama ya? Hemmm makanya kecerdasan menurun. Harusnya kamu dulu melanjutkan sekolah hingga menengah atas, biar lebih pinter gitu. Hehehe. Aku kasihan deh pasti saat ini kamu terus menebak siapa suami aku, maaf ya aku tadi bohong dikit. Hehehe. Suami aku bukan orang sekitar kita kok, beda kecamatan. Lagian kamu kok kelihatan kepo sekali ya?] Balas Ririn.[Pengennya sih dulu itu juga aku sekolah hingga jenjang lebih tinggi, Rin. Tapi ya mau bagaimana lagi, kamu tahu kan bapak aku saat itu meninggal dan aku masih memiliki dua orang adik yang masih kecil? Jadi ya aku lebih memilih untuk bekerja saja. Maaf ya jika kamu tak nyaman, aku cuma penasaran saja sih, hehehe. Karena kamu nggak ngundang aku pas nikahan, dan anak kamu itu ganteng banget.] Balasku.[Ya emang itu sudah nasib kamu, Ra. Terima aja deh! Tetapi aku kasihan juga sih, akhirnya kamu hanya berakhir menjadi seorang pembantu. Hihihi. Anak aku memang ganteng sekali, persis seperti papanya. Kamu pasti sangat iri bukan sama aku?]Balasan dari Ririn itu semakin lama rasanya semakin menyakitkan hati saja. Sesungguhnya memang sejak dulu ucapan Ririn itu sepertinya tak suka padaku, padahal sih jika dipikir untuk apa dia menaruh iri hati padaku? Sedangkan aku ini hanya wanita miskin saja.Sebelumnya aku memang tak pernah mempermasalahkan hal ini. Jika aku membuat status kadang si Ririn sering memberikan komentar, yang rasanya itu lebih pada menghina. Aku tak pernah masukkan hati hal itu, hanya kubalas singkat saja. Tetapi kali ini beda, aku memang merasa ada sedikit yang janggal.[Kenapa kamu tak lagi membalas, Ra? Apa kamu merasa sedih atau sakit hati dengan apa yang aku katakan tadi? Maaf ya aku hanya berkata sesuai dengan kenyataan saja. Baiklah nih ku kasih satu lagi foto mesra aku dan suamiku, tetapi kamu tetap harus menebaknya ya. Sebagai permintaan maaf dan juga untuk membalas rasa penasaran kamu itu.]Ririn kemudian kembali mengirimkan sebuah foto. Foto itu menunjukkan wajah bahagia Ririn yang sedang memeluk seorang lelaki. Tetapi wajah lelaki itu membelakangi kamera, saat itu mereka sedang berdiri. Si lelaki saat itu tanpa memakai kaos atasan, hanya sebuah celana pendek saja.Ririn berpose memeluk sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Firasatku mengatakan bahwa lelaki itu adalah Mas Herman. Aku kemudian memperbesar foto itu, karena aku mengingat sebuah tanda pada diri Mas Herman, yang pastinya mungkin jarang dimiliki oleh orang lain."Astaghfirullah aladzim! Mas Herman!"Sontak aku pun kaget dan langsung menutup mulut, karena ternyata tanda yang kucari ada pada tubuh bagian belakang lelaki yang diakui menjadi suami Ririn itu. Di punggung bagian kiri atas terdapat tiga buah tahi lalat yang lumayan besar, dengan letak yang sangat berdekatan."Ya Allah, apa pikiran burukku ini semua benar?" ucapku lirih sambil memandang terus foto tadi.[Gimana Ra? Apa kamu sudah bisa menebaknya atau belum? Yang pasti wajah suami aku itu mirip sekali dengan bayi yang beberapa hari yang lalu baru saja aku lahirkan. Selamat berpikir ya ... Aku mau bobok sebentar, ini kebetulan suamiku baru datang. Hehehe. Selamat berpikir, Ra.]Part 3Semakin GanjilSaat ini aku tak sedikit pun ingin membalas pesan dari Ririn itu. Pikiranku justru langsung melayang pada Mas Herman. Apa iya suamiku itu menghianati janji suci pernikahan kami? Tetapi rasanya hal itu tak mungkin sekali, aku selalu menuruti semua yang dia mau. Jadi, rasanya tak ada alasan untuk dia bermain api di belakangku.Kurasa saat ini aku harus menelepon Mas Herman, aku harus berbicara sedikit padanya. Sekedar untuk membuat hatiku tenang dan menghilangkan pikiran jelek ini. Tiga kali percobaan panggilanku, baru diterima oleh suamiku itu."Assalamualaikum. Kamu sedang berada dimana Mas? Kok sulit banget sih ditelepon," ucapku lembut seperti biasanya ketika memulai perbincangan melalui sambungan telepon ini."Lagi ngojek lah, Dek. Mau dimana lagi? Tadi saat kamu telepon aku lagi nganterin orang. Ini sekarang sudah balik ke pangkalan." Seperti biasa Mas Herman juga selalu berkata lembut padaku."Oh begitu ... Gimana Mas, kerjaannya lancar bukan?"Jujur saat
Part 4Oh Ibu MertuaOek Oek OekKeinginanku untuk berpikiran positif seketika berubah, ketika mendengar suara tangisan bayi itu. Apa lagi kini Mas Herman malah langsung mengakhiri panggilan ini tanpa salam.Suara mesra dari seorang wanita tadi dan sekarang ditambah dengan suara tangisan bayi itu, rasanya sudah sangat cukup untuk membuat hati bimbang seorang istri yang sedang bekerja di luar kota seperti aku ini."Astaghfirullah aladzim. Apa yang sebenarnya terjadi di desa ya Allah?" Hanya pada Allah saja aku bisa menanyakan hal ini.Kucoba kembali menghubungi Mas Herman, namun nyatanya kini ponsel suamiku itu tak lagi aktif. Akhirnya ku kirimkan saja sebuah pesan panjang, berharap nanti dia akan membalas ketika tengah kembali aktif.[Suara bayi siapa tadi itu Mas? Jangan bilang jika itu adalah suara bayi pelanggan atau bayi teman kamu. Aku merasa ada yang ganjil. Kenapa juga kamu tiba-tiba mengakhiri panggilan itu. Dan, nomer kamu sekarang malah tidak lagi aktif. Tolong segera bala
Part 5Partner"Aku sering melihat Mas Herman ke desa sebelah Mbak. Beberapa kali aku melihat tetapi memang aku tak pernah bilang sama kamu Mbak. Takut kamu mikir nanti. Tetapi hari ini aku melihat dia berboncengan mesra dengan teman kamu itu loh. Kalau nggak salah namanya Mbak Ririn."Perkataan dari Dita ini sungguh membuat aku senang, bak mendapatkan angin segar. Setelah tadi dibuat penasaran oleh Ririn dan juga hanya dibuat kesal oleh ibu mertuaku. Suatu kenyataan yang menyakitkan, tetapi aku sungguh merasa lega. Berarti memang dugaaanku tadi benar adanya."Apa kamu nggak salah lihat, Dit?" tanyaku memastikan."Ya ampun, Mbak. Masak iya sih aku ini sampai nggak kenal dengan Mas Herman? Tetapi kurasa dia tak tahu kalau aku melihatnya. Apa lagi kan aku melihatnya tak hanya satu kali. Beberapa kali loh." Dita menjelaskan dengan khas seperti bocah ABG."Kamu tahu rumahnya Mbak Ririn?" "Tahu, Mbak. Ada teman sekolahku yang kebetulan sekali berdekatan dengan rumah Mbak Ririn. Ini ak
Part 6Kenyataan Lagi?"Ira ... "Terdengar suara lirih dari Ama yangbgerag memanggil. Berarti wanita tua yang aku rawat itu sudah bangun. Segera aku menghapuskan air mata dan melangkah menuju ke kamar."Sudah dulu ya, Dit. Aku harus kembali bekerja. Jangan lupa infonya. Assalamualaikum.""Siap, Mbak. Kamu jangan terlalu banyak mikir ya. Waalaikumsalam."Apa pun yang saat ini sedang terjadi padaku, aku tetap harus profesional. Ama membutuhkan aku, jadi aku pun saat ini harus fokus pada beliau."Sudah bangun Ama," ucapku sembari memberikan sebuah senyum manis."Air putih----"Aku pun segera memberikan air putih yang sudah kusediakan sebelumnya di nakas. Sudah menjadi kebiasaan memang, setiap tidur Ama akan selalu terbangun sementara dan minta minum air putih."Silahkan Ama. Hati-hati ya minumnya."Dengan sebuah sedotan, aku memberikan dengan hati-hati air itu. Ama memang masih sangat suka minum banyak air putih, karena memang itu bagus juga untuk kesehatan beliau."Mau bangun atau tidu
Part 7Sebuah Kenyataan"Maafkan aku ya, Ra. Aku serba salah, karena Bulek juga selalu mengancam aku dan ibu untuk tak mengatakan apa pun kepada kamu. Kamu tahu sendirikan bagaiman sifat mertua kamu itu? Sebenarnya Herman itu sudah sejak beberapa bulan setelah menikah dengan kamu, dia sudah bermain api dengan wanita lain---""Astaghfirullah aladzim!" Secara spontan bibirku kembali mengucapkan kata-kata itu, karena sungguh aku tak menyangka jika Mas Herman sudah lama mengurangi aku."Tetapi kali aku akan menceritakan semuanya kepada kamu. Karena jujur selama ini aku terus saja dihantui rasa bersalah sama kamu. Sebagai sesama wanita, aku takut jika hal seperti ini akan terjadi padaku juga, aku pun tak tega melihat kamu terus-terusan dibohongi oleh Bulek dan juga Herman. Rasanya tak pantas jika aku terus saja menyembunyikan sebuah kebohongan kepada istri yang jujur dan baik seperti kamu," lanjut Mbak Nita."Terima kasih banyak Mbak Nita, aku akan sangat berterima kasih karena hal in
Part 8Menantu Baru "Ra, coba ganti panggilan suara ini menjadi panggilan video. Ada suatu hal yang pasti membuat kamu senang---""Ada apa sih memangnya Mbak!?!"Karena saking penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Mbak Nita itu, aku pun langsung merubah menjadi panggilan video."Lihatlah itu siapa yang datang dengan motor di depan rumah Bulek?" Mbak Nita kini mengarahkan ponselnya menuju ke samping, tepat di depan rumah Mas Herman. Tanpa banyak kata aku pun memperhatikan dengan seksama hal itu."Astaghfirullah aladzim. Itu adalah Ririn dan Mas Herman bukan sih Mbak?" tanyaku dengan cepat saat itu."Ya wanita itulah yang tadi kuceritakan kepada kamu. Eh tapi sepertinya dia kini sudah tak hamil lagi, kemungkinan besar memang di sudah melahirkan. Apa itu benar teman lama kamu itu?" tanya Mbak Nita balik."Benar sekali Mbak."Mas Herman saat ini sedang menggandeng mesra tangan Ririn dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Sungguh mereka tak tahu malu, padahal keduanya sudah saling
Part 1Bayinya Mirip Dengan Suamiku'Selamat Datang Ke Dunia Sayang, sehat selalu ya, Elvano Prasetya, Kesayangan Mama Papa.'Sebuah status yang sangat membanggakan dari salah satu teman masa sekolah dasarku dulu, Ririn. Status itu diunggah dengan sebuah foto seorang bayi lelaki yang sangat tampan dan menggemaskan. Antara senang dan sedih juga sih sebenarnya aku membaca status dari Ririn ini. Senang karena temanku telah bisa mendapatkan momongan, sedangkan aku yang dua tahun menikah belum juga bisa hamil. Kehadiran seorang anak memang kadang menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi pasangan yang sudah menikah."Astaghfirullah aladzim!" Sontak aku pun beristighfar sambil menutup mulut ini.Karena ketika terus kuperhatikan, bayi laki-laki yang diberi nama Elvano ini ternyata sangat mirip dengan Mas Herman, suamiku. "Nggak mungkin deh kayaknya!" ucapku menghibur diri sendiri.Aku pun kembali memperhatikan foto bayi itu, ada dua buah foto yang diunggah oleh Ririn. Kenapa semakin
Part 8Menantu Baru "Ra, coba ganti panggilan suara ini menjadi panggilan video. Ada suatu hal yang pasti membuat kamu senang---""Ada apa sih memangnya Mbak!?!"Karena saking penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Mbak Nita itu, aku pun langsung merubah menjadi panggilan video."Lihatlah itu siapa yang datang dengan motor di depan rumah Bulek?" Mbak Nita kini mengarahkan ponselnya menuju ke samping, tepat di depan rumah Mas Herman. Tanpa banyak kata aku pun memperhatikan dengan seksama hal itu."Astaghfirullah aladzim. Itu adalah Ririn dan Mas Herman bukan sih Mbak?" tanyaku dengan cepat saat itu."Ya wanita itulah yang tadi kuceritakan kepada kamu. Eh tapi sepertinya dia kini sudah tak hamil lagi, kemungkinan besar memang di sudah melahirkan. Apa itu benar teman lama kamu itu?" tanya Mbak Nita balik."Benar sekali Mbak."Mas Herman saat ini sedang menggandeng mesra tangan Ririn dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Sungguh mereka tak tahu malu, padahal keduanya sudah saling
Part 7Sebuah Kenyataan"Maafkan aku ya, Ra. Aku serba salah, karena Bulek juga selalu mengancam aku dan ibu untuk tak mengatakan apa pun kepada kamu. Kamu tahu sendirikan bagaiman sifat mertua kamu itu? Sebenarnya Herman itu sudah sejak beberapa bulan setelah menikah dengan kamu, dia sudah bermain api dengan wanita lain---""Astaghfirullah aladzim!" Secara spontan bibirku kembali mengucapkan kata-kata itu, karena sungguh aku tak menyangka jika Mas Herman sudah lama mengurangi aku."Tetapi kali aku akan menceritakan semuanya kepada kamu. Karena jujur selama ini aku terus saja dihantui rasa bersalah sama kamu. Sebagai sesama wanita, aku takut jika hal seperti ini akan terjadi padaku juga, aku pun tak tega melihat kamu terus-terusan dibohongi oleh Bulek dan juga Herman. Rasanya tak pantas jika aku terus saja menyembunyikan sebuah kebohongan kepada istri yang jujur dan baik seperti kamu," lanjut Mbak Nita."Terima kasih banyak Mbak Nita, aku akan sangat berterima kasih karena hal in
Part 6Kenyataan Lagi?"Ira ... "Terdengar suara lirih dari Ama yangbgerag memanggil. Berarti wanita tua yang aku rawat itu sudah bangun. Segera aku menghapuskan air mata dan melangkah menuju ke kamar."Sudah dulu ya, Dit. Aku harus kembali bekerja. Jangan lupa infonya. Assalamualaikum.""Siap, Mbak. Kamu jangan terlalu banyak mikir ya. Waalaikumsalam."Apa pun yang saat ini sedang terjadi padaku, aku tetap harus profesional. Ama membutuhkan aku, jadi aku pun saat ini harus fokus pada beliau."Sudah bangun Ama," ucapku sembari memberikan sebuah senyum manis."Air putih----"Aku pun segera memberikan air putih yang sudah kusediakan sebelumnya di nakas. Sudah menjadi kebiasaan memang, setiap tidur Ama akan selalu terbangun sementara dan minta minum air putih."Silahkan Ama. Hati-hati ya minumnya."Dengan sebuah sedotan, aku memberikan dengan hati-hati air itu. Ama memang masih sangat suka minum banyak air putih, karena memang itu bagus juga untuk kesehatan beliau."Mau bangun atau tidu
Part 5Partner"Aku sering melihat Mas Herman ke desa sebelah Mbak. Beberapa kali aku melihat tetapi memang aku tak pernah bilang sama kamu Mbak. Takut kamu mikir nanti. Tetapi hari ini aku melihat dia berboncengan mesra dengan teman kamu itu loh. Kalau nggak salah namanya Mbak Ririn."Perkataan dari Dita ini sungguh membuat aku senang, bak mendapatkan angin segar. Setelah tadi dibuat penasaran oleh Ririn dan juga hanya dibuat kesal oleh ibu mertuaku. Suatu kenyataan yang menyakitkan, tetapi aku sungguh merasa lega. Berarti memang dugaaanku tadi benar adanya."Apa kamu nggak salah lihat, Dit?" tanyaku memastikan."Ya ampun, Mbak. Masak iya sih aku ini sampai nggak kenal dengan Mas Herman? Tetapi kurasa dia tak tahu kalau aku melihatnya. Apa lagi kan aku melihatnya tak hanya satu kali. Beberapa kali loh." Dita menjelaskan dengan khas seperti bocah ABG."Kamu tahu rumahnya Mbak Ririn?" "Tahu, Mbak. Ada teman sekolahku yang kebetulan sekali berdekatan dengan rumah Mbak Ririn. Ini ak
Part 4Oh Ibu MertuaOek Oek OekKeinginanku untuk berpikiran positif seketika berubah, ketika mendengar suara tangisan bayi itu. Apa lagi kini Mas Herman malah langsung mengakhiri panggilan ini tanpa salam.Suara mesra dari seorang wanita tadi dan sekarang ditambah dengan suara tangisan bayi itu, rasanya sudah sangat cukup untuk membuat hati bimbang seorang istri yang sedang bekerja di luar kota seperti aku ini."Astaghfirullah aladzim. Apa yang sebenarnya terjadi di desa ya Allah?" Hanya pada Allah saja aku bisa menanyakan hal ini.Kucoba kembali menghubungi Mas Herman, namun nyatanya kini ponsel suamiku itu tak lagi aktif. Akhirnya ku kirimkan saja sebuah pesan panjang, berharap nanti dia akan membalas ketika tengah kembali aktif.[Suara bayi siapa tadi itu Mas? Jangan bilang jika itu adalah suara bayi pelanggan atau bayi teman kamu. Aku merasa ada yang ganjil. Kenapa juga kamu tiba-tiba mengakhiri panggilan itu. Dan, nomer kamu sekarang malah tidak lagi aktif. Tolong segera bala
Part 3Semakin GanjilSaat ini aku tak sedikit pun ingin membalas pesan dari Ririn itu. Pikiranku justru langsung melayang pada Mas Herman. Apa iya suamiku itu menghianati janji suci pernikahan kami? Tetapi rasanya hal itu tak mungkin sekali, aku selalu menuruti semua yang dia mau. Jadi, rasanya tak ada alasan untuk dia bermain api di belakangku.Kurasa saat ini aku harus menelepon Mas Herman, aku harus berbicara sedikit padanya. Sekedar untuk membuat hatiku tenang dan menghilangkan pikiran jelek ini. Tiga kali percobaan panggilanku, baru diterima oleh suamiku itu."Assalamualaikum. Kamu sedang berada dimana Mas? Kok sulit banget sih ditelepon," ucapku lembut seperti biasanya ketika memulai perbincangan melalui sambungan telepon ini."Lagi ngojek lah, Dek. Mau dimana lagi? Tadi saat kamu telepon aku lagi nganterin orang. Ini sekarang sudah balik ke pangkalan." Seperti biasa Mas Herman juga selalu berkata lembut padaku."Oh begitu ... Gimana Mas, kerjaannya lancar bukan?"Jujur saat
Part 2Tanda Itu"Ya Allah---"Kembali aku sangat terkejut kali ini, karena kaos polo berwarna silver dengan logo huruf P yang dikenakan lelaki itu, sama persis dengan hadiah yang kuberikan pada Mas Herman enam bulan Yang lalu saat aku terakhir pulang kampung.[Gimana Ra, udah bisa menebak belum siapa suami aku ini?] Saat aku masih bingung Ririn kembali mengirimkan sebuah pesan lagi. Entah mengapa aku merasa jika saat ini teman lamaku ini sedang menggoda aku.[Sungguh aku tak bisa menebaknya, Rin. Kamu ini senang sekali sih membuat aku penasaran?] Balsaku sedikit bingung.[Ya ampun, Ra. Padahal seingatku dulu ketika kita masih sekolah di sekolah dasar, kamu itu paling pintar loh di kelas! Masak sih sekarang kamu jadi agak lemot gini sih? Coba kamu pikirkan lagi, siapa kira-kira lelaki sekitar desa kita yang wajahnya mirip sekali dengan bayiku tadi. Ayo coba ingat!] Balas Ririn.Membaca balasan dari Ririn itu ada rasa sedikit tak enak. Sepertinya dia tak suka sekali padaku. Tetapi me
Part 1Bayinya Mirip Dengan Suamiku'Selamat Datang Ke Dunia Sayang, sehat selalu ya, Elvano Prasetya, Kesayangan Mama Papa.'Sebuah status yang sangat membanggakan dari salah satu teman masa sekolah dasarku dulu, Ririn. Status itu diunggah dengan sebuah foto seorang bayi lelaki yang sangat tampan dan menggemaskan. Antara senang dan sedih juga sih sebenarnya aku membaca status dari Ririn ini. Senang karena temanku telah bisa mendapatkan momongan, sedangkan aku yang dua tahun menikah belum juga bisa hamil. Kehadiran seorang anak memang kadang menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi pasangan yang sudah menikah."Astaghfirullah aladzim!" Sontak aku pun beristighfar sambil menutup mulut ini.Karena ketika terus kuperhatikan, bayi laki-laki yang diberi nama Elvano ini ternyata sangat mirip dengan Mas Herman, suamiku. "Nggak mungkin deh kayaknya!" ucapku menghibur diri sendiri.Aku pun kembali memperhatikan foto bayi itu, ada dua buah foto yang diunggah oleh Ririn. Kenapa semakin