Part 1
Bayinya Mirip Dengan Suamiku'Selamat Datang Ke Dunia Sayang, sehat selalu ya, Elvano Prasetya, Kesayangan Mama Papa.'Sebuah status yang sangat membanggakan dari salah satu teman masa sekolah dasarku dulu, Ririn. Status itu diunggah dengan sebuah foto seorang bayi lelaki yang sangat tampan dan menggemaskan. Antara senang dan sedih juga sih sebenarnya aku membaca status dari Ririn ini. Senang karena temanku telah bisa mendapatkan momongan, sedangkan aku yang dua tahun menikah belum juga bisa hamil. Kehadiran seorang anak memang kadang menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi pasangan yang sudah menikah."Astaghfirullah aladzim!" Sontak aku pun beristighfar sambil menutup mulut ini.Karena ketika terus kuperhatikan, bayi laki-laki yang diberi nama Elvano ini ternyata sangat mirip dengan Mas Herman, suamiku. "Nggak mungkin deh kayaknya!" ucapku menghibur diri sendiri.Aku pun kembali memperhatikan foto bayi itu, ada dua buah foto yang diunggah oleh Ririn. Kenapa semakin aku lihat wajahnya makin mirip dengan Mas Herman? Bentuk wajah, bentuk hidung, mata dan bibir serta kulit pun sama sekali. Mereka tak layak anak kembar, bagai pinang dibelah dua."Astaghfirullah aladzim! Kenapa aku jadi berpikiran buruk seperti ini?" ucapku kembali dengan lirih sambil memejamkan mata. Menghapus pikiran-pikiran buruk yang saat ini mulai menggangu.Bukankah kata orang wajah dari bayi yang baru lahir itu gampang sekali berubah? Jadi mungkin saja memang begitu adanya. Atau mungkin memang karena aku telah sekitar enam bulan tak pulang ya? Jadi merasa kangen pada Mas Herman. Apa lagi memang dia sangat sulit dihubungi.Kuputuskan kali ini mengirimkan chat pada Ririn. Sebagai ucapan selamat juga atas anugerah dari Allah yang telah dia dapatkan ini.[Selamat ya Rin. Ya ampun bayinya ganteng dan menggemaskan sekali.]Pesanku itu langsung terkirim dan berubah menjadi biru, nampak saat ini teman lamaku itu sedang mengetik.[Terima kasih Ra. Dia memang sangat ganteng, mirip sekali dengan papanya.]Aku tersenyum membaca balasan pesan dari Ririn ini. Tetapi kembali pikiran buruk menghinggapi. Mirip dengan suami Ririn? Apa itu berarti suaminya wajah mirip dengan Mas Herman? [Alhamdulillah kalau begitu. Oh iya, suami kamu orang mana sih Rin? Aku kok nggak diundang pas kamu menikah.]Dengan pesan itu aku berharap jika bisa mengorek info atau mungkin tahu wajah dari suami Ririn itu.[Orang sini-sini aja kok Rin, hehehe. Aku nikahnya diem-diem aja kok, karena perut ini memang sudah ada isinya duluan sih, hehehe.]Membaca pesan balasan dari Ririn itu aku pun kembali tersenyum. Sejak dulu temanku yang satu ini memang terkenal ceplas ceplos sih. Kadang sesuatu hal yang tabu untuk dibicarakan menjadi biasa saja bagi dia. Seperti jawabannya kali ini. Menurutku sih, hal seperti itu tak patut juga jika dibicarakan pada orang lain. Hamil sebelum menikah menurutku adalah sebuah aib.[Hmmm ... makannya aku nggak dengar tentang kamu nikah, tau-tau udah lahiran aja sih. By the way selamat ya. Oh iya, aku kok masih penasaran dengan suami kamu ya, kalau orang sini-sini aja, pasti aku kenal dong. Siapa sih? Kepo banget deh aku.] Balasku lagi dengan cepat.[Hahaha kepo aja atau kepo banget nih? Makanya Ra, kamu itu jangan kerja terus di Jakarta. Masak iya sih pulang cuma beberapa jam saja, jadi nggak pernah update berita bukan? Hehehe. Ya kenal sih, coba tebak siapa suamiku? Pokoknya wajahnya itu mirip sekali dengan bayi gantengku itu.] Balas Ririn dengan spontan juga.Aku berpikir saat ini, kalau dari kampung sekitar sana, rasanya tak ada lelaki yang wajahnya mirip dengan bayi itu. Hanya ada satu, ya Mas Herman saja. Ah, kenapa kini pikiranku makin tak tenang saja ya.[Kamu itu suka sekali membuat aku penasaran memang. Aku kerja ini demi tuntutan hidup, Rin. Hehehe. Sebenarnya aku sudah sejak beberapa bulan yang lalu ingin berhenti kerja, tetapi suamiku melarang. Katanya aku baru boleh berhenti bekerja jika sudah bisa beli mobil gitu. Mumpung masih belum punya anak juga, ya jadi kami masih menabung terus gitu.]Aku memang sejak beberapa bulan yang lalu ingin tak lagi bekerja, karena aku menginginkan anak segera. Tetapi malah Mas Herman yang tak memperbolehkan hal itu. Dia ingin kamu memiliki sebuah mobil sebelum memiliki anak. Katanya agar nanti mudah ketika bepergian. Sebagai seorang istri tentu saja aku menuruti perintah suamiku itu.[Perintah suami itu kan memang harus selalu dilakukan Ra. Pasti suami kamu senang memiliki istri yang pintar cari uang seperti kamu. Menabung itu memang penting loh! Lanjut saja bekerja Ra, demi masa depan kamu loh itu. Anak sih gampang bisa menyusul nanti.] Balas Ririn cepat.[Punya anak jika miskin biar apa sih Rin? Jadi menurut aku benar sekali apa yang dikatakan suami kamu itu. Jangan sering pulang karena yang ada hanya akan menghabiskan uang, berat di ongkos tahu. Kirim aja gaji kamu tiap bulan, nah biar suami kamu itu saja yang nabung. Yakin deh, kalian segera bisa membeli sebuah mobil.] Kembali Ririn mengirim pesan saat aku belum membalas pesan yang tadi.Dari beberapa teman yang pernah ku ceritakan tentang hal ini, hanya Ririn saja yang menyarankan agar aku tetap bekerja. Sementara teman yang lain lebih menyarankan jika aku segera pulang dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Karena bekerja jauh dari suami itu besar resikonya memang.[Bagiku sebenarnya anak adalah yang utama Rin. Tetapi ya mau gimana lagi ya? Sepertinya majikanku pun tak akan memperbolehkan aku pulang dalam waktu dekat ini. Jalani saja semua biar mengalir seperti air ya, Rin. Hehehe. Oh iya, kalau begitu tunjukkan foto suami kamu saja, biar aku nggak terus penasaran, hehehe.]Aku masih terus mengejar hal itu, berharap Ririn menunjukan wajah suaminya. Karena hanya hal ini lah yang akan bisa membuatku tenang dan tak lagi berpikiran buruk.[Oke deh, aku nggak mau nanti kamu jadi jerawatan karena penasaran, hehehe. Tapi nanti kamu harus menebak ya .... ][Siap!]Ririn pun kemudian mengirimkan sebuah screen shot foto. Foto Ririn dan seorang lelaki yang sedang berpelukan, tetapi wajah lelaki itu ditutupi dengan sebuah emoticon bentuk hati. Jadi aku tak dapat melihat wajah dari lelaki yang sepertinya berkulit putih itu."Ya Allah---"Kembali aku sangat terkejut kali ini, karena kaos polo berwarna silver dengan logo huruf P yang dikenakan lelaki itu, sama persis dengan hadiah yang kuberikan pada Mas Herman enam bulan Yang lalu saat aku terakhir pulang kampung.Part 2Tanda Itu"Ya Allah---"Kembali aku sangat terkejut kali ini, karena kaos polo berwarna silver dengan logo huruf P yang dikenakan lelaki itu, sama persis dengan hadiah yang kuberikan pada Mas Herman enam bulan Yang lalu saat aku terakhir pulang kampung.[Gimana Ra, udah bisa menebak belum siapa suami aku ini?] Saat aku masih bingung Ririn kembali mengirimkan sebuah pesan lagi. Entah mengapa aku merasa jika saat ini teman lamaku ini sedang menggoda aku.[Sungguh aku tak bisa menebaknya, Rin. Kamu ini senang sekali sih membuat aku penasaran?] Balsaku sedikit bingung.[Ya ampun, Ra. Padahal seingatku dulu ketika kita masih sekolah di sekolah dasar, kamu itu paling pintar loh di kelas! Masak sih sekarang kamu jadi agak lemot gini sih? Coba kamu pikirkan lagi, siapa kira-kira lelaki sekitar desa kita yang wajahnya mirip sekali dengan bayiku tadi. Ayo coba ingat!] Balas Ririn.Membaca balasan dari Ririn itu ada rasa sedikit tak enak. Sepertinya dia tak suka sekali padaku. Tetapi me
Part 3Semakin GanjilSaat ini aku tak sedikit pun ingin membalas pesan dari Ririn itu. Pikiranku justru langsung melayang pada Mas Herman. Apa iya suamiku itu menghianati janji suci pernikahan kami? Tetapi rasanya hal itu tak mungkin sekali, aku selalu menuruti semua yang dia mau. Jadi, rasanya tak ada alasan untuk dia bermain api di belakangku.Kurasa saat ini aku harus menelepon Mas Herman, aku harus berbicara sedikit padanya. Sekedar untuk membuat hatiku tenang dan menghilangkan pikiran jelek ini. Tiga kali percobaan panggilanku, baru diterima oleh suamiku itu."Assalamualaikum. Kamu sedang berada dimana Mas? Kok sulit banget sih ditelepon," ucapku lembut seperti biasanya ketika memulai perbincangan melalui sambungan telepon ini."Lagi ngojek lah, Dek. Mau dimana lagi? Tadi saat kamu telepon aku lagi nganterin orang. Ini sekarang sudah balik ke pangkalan." Seperti biasa Mas Herman juga selalu berkata lembut padaku."Oh begitu ... Gimana Mas, kerjaannya lancar bukan?"Jujur saat
Part 4Oh Ibu MertuaOek Oek OekKeinginanku untuk berpikiran positif seketika berubah, ketika mendengar suara tangisan bayi itu. Apa lagi kini Mas Herman malah langsung mengakhiri panggilan ini tanpa salam.Suara mesra dari seorang wanita tadi dan sekarang ditambah dengan suara tangisan bayi itu, rasanya sudah sangat cukup untuk membuat hati bimbang seorang istri yang sedang bekerja di luar kota seperti aku ini."Astaghfirullah aladzim. Apa yang sebenarnya terjadi di desa ya Allah?" Hanya pada Allah saja aku bisa menanyakan hal ini.Kucoba kembali menghubungi Mas Herman, namun nyatanya kini ponsel suamiku itu tak lagi aktif. Akhirnya ku kirimkan saja sebuah pesan panjang, berharap nanti dia akan membalas ketika tengah kembali aktif.[Suara bayi siapa tadi itu Mas? Jangan bilang jika itu adalah suara bayi pelanggan atau bayi teman kamu. Aku merasa ada yang ganjil. Kenapa juga kamu tiba-tiba mengakhiri panggilan itu. Dan, nomer kamu sekarang malah tidak lagi aktif. Tolong segera bala
Part 5Partner"Aku sering melihat Mas Herman ke desa sebelah Mbak. Beberapa kali aku melihat tetapi memang aku tak pernah bilang sama kamu Mbak. Takut kamu mikir nanti. Tetapi hari ini aku melihat dia berboncengan mesra dengan teman kamu itu loh. Kalau nggak salah namanya Mbak Ririn."Perkataan dari Dita ini sungguh membuat aku senang, bak mendapatkan angin segar. Setelah tadi dibuat penasaran oleh Ririn dan juga hanya dibuat kesal oleh ibu mertuaku. Suatu kenyataan yang menyakitkan, tetapi aku sungguh merasa lega. Berarti memang dugaaanku tadi benar adanya."Apa kamu nggak salah lihat, Dit?" tanyaku memastikan."Ya ampun, Mbak. Masak iya sih aku ini sampai nggak kenal dengan Mas Herman? Tetapi kurasa dia tak tahu kalau aku melihatnya. Apa lagi kan aku melihatnya tak hanya satu kali. Beberapa kali loh." Dita menjelaskan dengan khas seperti bocah ABG."Kamu tahu rumahnya Mbak Ririn?" "Tahu, Mbak. Ada teman sekolahku yang kebetulan sekali berdekatan dengan rumah Mbak Ririn. Ini ak
Part 6Kenyataan Lagi?"Ira ... "Terdengar suara lirih dari Ama yangbgerag memanggil. Berarti wanita tua yang aku rawat itu sudah bangun. Segera aku menghapuskan air mata dan melangkah menuju ke kamar."Sudah dulu ya, Dit. Aku harus kembali bekerja. Jangan lupa infonya. Assalamualaikum.""Siap, Mbak. Kamu jangan terlalu banyak mikir ya. Waalaikumsalam."Apa pun yang saat ini sedang terjadi padaku, aku tetap harus profesional. Ama membutuhkan aku, jadi aku pun saat ini harus fokus pada beliau."Sudah bangun Ama," ucapku sembari memberikan sebuah senyum manis."Air putih----"Aku pun segera memberikan air putih yang sudah kusediakan sebelumnya di nakas. Sudah menjadi kebiasaan memang, setiap tidur Ama akan selalu terbangun sementara dan minta minum air putih."Silahkan Ama. Hati-hati ya minumnya."Dengan sebuah sedotan, aku memberikan dengan hati-hati air itu. Ama memang masih sangat suka minum banyak air putih, karena memang itu bagus juga untuk kesehatan beliau."Mau bangun atau tidu
Part 7Sebuah Kenyataan"Maafkan aku ya, Ra. Aku serba salah, karena Bulek juga selalu mengancam aku dan ibu untuk tak mengatakan apa pun kepada kamu. Kamu tahu sendirikan bagaiman sifat mertua kamu itu? Sebenarnya Herman itu sudah sejak beberapa bulan setelah menikah dengan kamu, dia sudah bermain api dengan wanita lain---""Astaghfirullah aladzim!" Secara spontan bibirku kembali mengucapkan kata-kata itu, karena sungguh aku tak menyangka jika Mas Herman sudah lama mengurangi aku."Tetapi kali aku akan menceritakan semuanya kepada kamu. Karena jujur selama ini aku terus saja dihantui rasa bersalah sama kamu. Sebagai sesama wanita, aku takut jika hal seperti ini akan terjadi padaku juga, aku pun tak tega melihat kamu terus-terusan dibohongi oleh Bulek dan juga Herman. Rasanya tak pantas jika aku terus saja menyembunyikan sebuah kebohongan kepada istri yang jujur dan baik seperti kamu," lanjut Mbak Nita."Terima kasih banyak Mbak Nita, aku akan sangat berterima kasih karena hal in
Part 8Menantu Baru "Ra, coba ganti panggilan suara ini menjadi panggilan video. Ada suatu hal yang pasti membuat kamu senang---""Ada apa sih memangnya Mbak!?!"Karena saking penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Mbak Nita itu, aku pun langsung merubah menjadi panggilan video."Lihatlah itu siapa yang datang dengan motor di depan rumah Bulek?" Mbak Nita kini mengarahkan ponselnya menuju ke samping, tepat di depan rumah Mas Herman. Tanpa banyak kata aku pun memperhatikan dengan seksama hal itu."Astaghfirullah aladzim. Itu adalah Ririn dan Mas Herman bukan sih Mbak?" tanyaku dengan cepat saat itu."Ya wanita itulah yang tadi kuceritakan kepada kamu. Eh tapi sepertinya dia kini sudah tak hamil lagi, kemungkinan besar memang di sudah melahirkan. Apa itu benar teman lama kamu itu?" tanya Mbak Nita balik."Benar sekali Mbak."Mas Herman saat ini sedang menggandeng mesra tangan Ririn dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Sungguh mereka tak tahu malu, padahal keduanya sudah saling
Part 8Menantu Baru "Ra, coba ganti panggilan suara ini menjadi panggilan video. Ada suatu hal yang pasti membuat kamu senang---""Ada apa sih memangnya Mbak!?!"Karena saking penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Mbak Nita itu, aku pun langsung merubah menjadi panggilan video."Lihatlah itu siapa yang datang dengan motor di depan rumah Bulek?" Mbak Nita kini mengarahkan ponselnya menuju ke samping, tepat di depan rumah Mas Herman. Tanpa banyak kata aku pun memperhatikan dengan seksama hal itu."Astaghfirullah aladzim. Itu adalah Ririn dan Mas Herman bukan sih Mbak?" tanyaku dengan cepat saat itu."Ya wanita itulah yang tadi kuceritakan kepada kamu. Eh tapi sepertinya dia kini sudah tak hamil lagi, kemungkinan besar memang di sudah melahirkan. Apa itu benar teman lama kamu itu?" tanya Mbak Nita balik."Benar sekali Mbak."Mas Herman saat ini sedang menggandeng mesra tangan Ririn dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Sungguh mereka tak tahu malu, padahal keduanya sudah saling
Part 7Sebuah Kenyataan"Maafkan aku ya, Ra. Aku serba salah, karena Bulek juga selalu mengancam aku dan ibu untuk tak mengatakan apa pun kepada kamu. Kamu tahu sendirikan bagaiman sifat mertua kamu itu? Sebenarnya Herman itu sudah sejak beberapa bulan setelah menikah dengan kamu, dia sudah bermain api dengan wanita lain---""Astaghfirullah aladzim!" Secara spontan bibirku kembali mengucapkan kata-kata itu, karena sungguh aku tak menyangka jika Mas Herman sudah lama mengurangi aku."Tetapi kali aku akan menceritakan semuanya kepada kamu. Karena jujur selama ini aku terus saja dihantui rasa bersalah sama kamu. Sebagai sesama wanita, aku takut jika hal seperti ini akan terjadi padaku juga, aku pun tak tega melihat kamu terus-terusan dibohongi oleh Bulek dan juga Herman. Rasanya tak pantas jika aku terus saja menyembunyikan sebuah kebohongan kepada istri yang jujur dan baik seperti kamu," lanjut Mbak Nita."Terima kasih banyak Mbak Nita, aku akan sangat berterima kasih karena hal in
Part 6Kenyataan Lagi?"Ira ... "Terdengar suara lirih dari Ama yangbgerag memanggil. Berarti wanita tua yang aku rawat itu sudah bangun. Segera aku menghapuskan air mata dan melangkah menuju ke kamar."Sudah dulu ya, Dit. Aku harus kembali bekerja. Jangan lupa infonya. Assalamualaikum.""Siap, Mbak. Kamu jangan terlalu banyak mikir ya. Waalaikumsalam."Apa pun yang saat ini sedang terjadi padaku, aku tetap harus profesional. Ama membutuhkan aku, jadi aku pun saat ini harus fokus pada beliau."Sudah bangun Ama," ucapku sembari memberikan sebuah senyum manis."Air putih----"Aku pun segera memberikan air putih yang sudah kusediakan sebelumnya di nakas. Sudah menjadi kebiasaan memang, setiap tidur Ama akan selalu terbangun sementara dan minta minum air putih."Silahkan Ama. Hati-hati ya minumnya."Dengan sebuah sedotan, aku memberikan dengan hati-hati air itu. Ama memang masih sangat suka minum banyak air putih, karena memang itu bagus juga untuk kesehatan beliau."Mau bangun atau tidu
Part 5Partner"Aku sering melihat Mas Herman ke desa sebelah Mbak. Beberapa kali aku melihat tetapi memang aku tak pernah bilang sama kamu Mbak. Takut kamu mikir nanti. Tetapi hari ini aku melihat dia berboncengan mesra dengan teman kamu itu loh. Kalau nggak salah namanya Mbak Ririn."Perkataan dari Dita ini sungguh membuat aku senang, bak mendapatkan angin segar. Setelah tadi dibuat penasaran oleh Ririn dan juga hanya dibuat kesal oleh ibu mertuaku. Suatu kenyataan yang menyakitkan, tetapi aku sungguh merasa lega. Berarti memang dugaaanku tadi benar adanya."Apa kamu nggak salah lihat, Dit?" tanyaku memastikan."Ya ampun, Mbak. Masak iya sih aku ini sampai nggak kenal dengan Mas Herman? Tetapi kurasa dia tak tahu kalau aku melihatnya. Apa lagi kan aku melihatnya tak hanya satu kali. Beberapa kali loh." Dita menjelaskan dengan khas seperti bocah ABG."Kamu tahu rumahnya Mbak Ririn?" "Tahu, Mbak. Ada teman sekolahku yang kebetulan sekali berdekatan dengan rumah Mbak Ririn. Ini ak
Part 4Oh Ibu MertuaOek Oek OekKeinginanku untuk berpikiran positif seketika berubah, ketika mendengar suara tangisan bayi itu. Apa lagi kini Mas Herman malah langsung mengakhiri panggilan ini tanpa salam.Suara mesra dari seorang wanita tadi dan sekarang ditambah dengan suara tangisan bayi itu, rasanya sudah sangat cukup untuk membuat hati bimbang seorang istri yang sedang bekerja di luar kota seperti aku ini."Astaghfirullah aladzim. Apa yang sebenarnya terjadi di desa ya Allah?" Hanya pada Allah saja aku bisa menanyakan hal ini.Kucoba kembali menghubungi Mas Herman, namun nyatanya kini ponsel suamiku itu tak lagi aktif. Akhirnya ku kirimkan saja sebuah pesan panjang, berharap nanti dia akan membalas ketika tengah kembali aktif.[Suara bayi siapa tadi itu Mas? Jangan bilang jika itu adalah suara bayi pelanggan atau bayi teman kamu. Aku merasa ada yang ganjil. Kenapa juga kamu tiba-tiba mengakhiri panggilan itu. Dan, nomer kamu sekarang malah tidak lagi aktif. Tolong segera bala
Part 3Semakin GanjilSaat ini aku tak sedikit pun ingin membalas pesan dari Ririn itu. Pikiranku justru langsung melayang pada Mas Herman. Apa iya suamiku itu menghianati janji suci pernikahan kami? Tetapi rasanya hal itu tak mungkin sekali, aku selalu menuruti semua yang dia mau. Jadi, rasanya tak ada alasan untuk dia bermain api di belakangku.Kurasa saat ini aku harus menelepon Mas Herman, aku harus berbicara sedikit padanya. Sekedar untuk membuat hatiku tenang dan menghilangkan pikiran jelek ini. Tiga kali percobaan panggilanku, baru diterima oleh suamiku itu."Assalamualaikum. Kamu sedang berada dimana Mas? Kok sulit banget sih ditelepon," ucapku lembut seperti biasanya ketika memulai perbincangan melalui sambungan telepon ini."Lagi ngojek lah, Dek. Mau dimana lagi? Tadi saat kamu telepon aku lagi nganterin orang. Ini sekarang sudah balik ke pangkalan." Seperti biasa Mas Herman juga selalu berkata lembut padaku."Oh begitu ... Gimana Mas, kerjaannya lancar bukan?"Jujur saat
Part 2Tanda Itu"Ya Allah---"Kembali aku sangat terkejut kali ini, karena kaos polo berwarna silver dengan logo huruf P yang dikenakan lelaki itu, sama persis dengan hadiah yang kuberikan pada Mas Herman enam bulan Yang lalu saat aku terakhir pulang kampung.[Gimana Ra, udah bisa menebak belum siapa suami aku ini?] Saat aku masih bingung Ririn kembali mengirimkan sebuah pesan lagi. Entah mengapa aku merasa jika saat ini teman lamaku ini sedang menggoda aku.[Sungguh aku tak bisa menebaknya, Rin. Kamu ini senang sekali sih membuat aku penasaran?] Balsaku sedikit bingung.[Ya ampun, Ra. Padahal seingatku dulu ketika kita masih sekolah di sekolah dasar, kamu itu paling pintar loh di kelas! Masak sih sekarang kamu jadi agak lemot gini sih? Coba kamu pikirkan lagi, siapa kira-kira lelaki sekitar desa kita yang wajahnya mirip sekali dengan bayiku tadi. Ayo coba ingat!] Balas Ririn.Membaca balasan dari Ririn itu ada rasa sedikit tak enak. Sepertinya dia tak suka sekali padaku. Tetapi me
Part 1Bayinya Mirip Dengan Suamiku'Selamat Datang Ke Dunia Sayang, sehat selalu ya, Elvano Prasetya, Kesayangan Mama Papa.'Sebuah status yang sangat membanggakan dari salah satu teman masa sekolah dasarku dulu, Ririn. Status itu diunggah dengan sebuah foto seorang bayi lelaki yang sangat tampan dan menggemaskan. Antara senang dan sedih juga sih sebenarnya aku membaca status dari Ririn ini. Senang karena temanku telah bisa mendapatkan momongan, sedangkan aku yang dua tahun menikah belum juga bisa hamil. Kehadiran seorang anak memang kadang menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi pasangan yang sudah menikah."Astaghfirullah aladzim!" Sontak aku pun beristighfar sambil menutup mulut ini.Karena ketika terus kuperhatikan, bayi laki-laki yang diberi nama Elvano ini ternyata sangat mirip dengan Mas Herman, suamiku. "Nggak mungkin deh kayaknya!" ucapku menghibur diri sendiri.Aku pun kembali memperhatikan foto bayi itu, ada dua buah foto yang diunggah oleh Ririn. Kenapa semakin